TELUSURI Artikel dalam Website Ini

JENIUS

IQ bukanlah sumber kejahatan, justru kurangnya IQ yang seringkali memicu aksi kejahatan.

Hery Shietra
Tidak sedikit diantara masyarakat kita yang beranggapan secara penuh asumtif bahwa IQ tidaklah penting, semata karena mereka memiliki tingkat IQ yang tidak sesuai harapan mereka (dimana mereka sendiri bila dapat memilih, tentunya akan memilih dapat memiliki IQ yang tinggi, semisal meniru cara para ibu di Israel dalam mengasuh janin dalam kandungannya). Mereka, sebagai pengalihan isu perihal fakta IQ diri mereka yang rendah, mengklaim bahwa EQ dan SQ yang lebih penting serta lebih dominan dalam hidup ini ketimbang IQ.

Atas dasar apa, IQ yang lemah diharapkan mampu menilai tingkat EQ maupun SQ seseorang maupun dirinya sendiri? Justru kita membutuhkan tingkat IQ yang tinggi, untuk mampu menilai tingkat EQ maupun SQ seseorang maupun dirinya sendiri. Cobalah tanyakan kepada diri Anda sendiri, selama ini orang-orang yang membuat kita merasa jengkel dan direpotkan oleh ulah-ulahnya yang irasional, tidak logis, kekanakan, dan tidak pandai, adalah orang-orang yang tergolong cerdas ataukah sebaliknya, orang=orang yang tergolong rendah tingkat kecerdasannya?

Hery Shietra
Kecanggihan teknologi yang kita nikmati dewasa ini, adalah berkat buah kerja keras para jenius, sementara itu para penikmat obrolan yang banyak menghabiskan waktunya untuk bergaul dan bersosialisasi, lebih banyak menjadi pemakai atau konsumen semata, bukan sebagai inovator terlebih creator. Pada akhirnya, karya-karya para jenius yang lebih banyak menggunakan serta menghabiskan seluruh waktunya untuk meneliti dan berkarya sepanjang hidup, jauh lebih berkontribusi bagi kepentingan banyak orang dan hajat hidup orang banyak. Dedikasi mereka yang mengorbankan banyak waktu untuk meneliti dan berkarya, sungguh patut kita hargai. Kita sungguh berhutang budi pada para jenius atas karya-karya hasil jirih payah mereka.

Faktanya, sebagaimana dapat kita cermati dan temukan sendiri realitanya di keseharian, IQ tidak kalah penting dari EQ maupun SQ. Mereka yang memiliki IQ rendah, cenderung juga memiliki EQ serta SQ yang sama dangkalnya dengan tingkat IQ dirinya. Sebaliknya, orang-orang dengan IQ tinggi secara laten memiliki tingkat EQ dan juga SQ yang cenderung sama tingginya--hanya saja sayangnya, waktu mereka sudah habis untuk mengelola dan memberdayakan tingkat kecerdasan mereka untuk berkarya ketimbang membuang-buang waktu untuk hal-hal yang mereka nilai kurang produktif dan tidak berfaedah.

Mereka, para jenius, merasa sayang sekali bila menyia-nyiakan potensi kecerdasan mereka semata untuk kegiatan kurang berfaedah semacam "hangout" maupun obrolan=obrolan tidak cerdas dan tidak produktif. Akibatnya, mereka kerap disalah-pahami sebagai anti sosial, autis, kurang gaul, dan berbagai stigma penuh sentimen negatif lainnya. Namun siapa yang perduli, mereka tetaplah orang-orang yang terberkahi modal kecerdasan yang terlampau besar untuk dijungkalkan oleh berbagai stigma dan tudingan negatif penuh "penghakiman" demikian.

Hery Shietra
Kita hanya mempunyai dua buah tangan, karena itu kita perlu membuat pilihan dalam hidup kita dengan tidak bisa secara serakah menginginkan banyak hal dan semua hal untuk dikerjakan pada satu waktu. Manakah yang lebih penting serta yang paling urgen, itulah yang menjadi pilihan orang-orang jenius. Hanya tong kosong yang nyaring bunyinya (alias banyak bicara), namun minim dalam karya maupun pencapaian intelektual.

Mereka, para "tong kosong", adalah orang-orang yang kurang kerjaan, potensi kecerdasan yang rendah, karenanya lebih sibuk menenggalamkan diri dalam omong-kosong yang tidak berfaedah, tidak cerdas, disamping "norak" agar mereka merasa "eksis" dan berharga atau memiliki hidup yang bermakna (cerminan IQ yang dangkal, mereka tidak memiliki opsi lain dalam hidup mereka kecuali banyak bicara dan besar mulut).

Orang-orang ber-IQ tinggi, cenderung memiliki banyak opsi dalam hidup mereka, karenanya mereka begitu berdaya dan tidak merasa perlu mendapat pengakuan dari segi sosialisasi. Karya-karya mereka sudah cukup membuat mereka agung di mata dunia. Mereka, para jenius, menyadari betul bahwa opsi yang mereka pilih, yang menenggelamkan diri dalam berkarya dan meneliti, akan membawa mereka kepada stigma "anti sosial" semata kurang bergaul. Namun, itulah pilihan mereka. Sebaliknya, orang-orang ber-IQ rendah, merasa tidak memiliki pilihan lain selain dikenal oleh publik sebagai "banyak teman pergaulan". Para pemulung barang bekas pun banyak kawannya, sesama pemulung.

Hery Shietra
Sebuah peribahasa Belanda menyebutkan secara sangat relevan : "Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig." Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia. Peribahasa di atas bukanlah ilustrasi yang merujuk perihal IQ, namun perihal EQ. Karenanya, untuk memiliki EQ yang memadai, seseorang penting untuk memastikan dirinya atau keturunannya memiliki tingkat IQ yang juga memadai.

Hery Shietra
Lantas, bagaimana penjelasannya bila ada modus-modus kejahatan yang tampak canggih dan cerdas aksi para pelakunya muncul di tengah masyarakat seperti yang kerap diberitakan media massa, seperti pembobolan dan peretasan sistem digital?

Mereka, para pelaku kejahatan apapun, bukanlah orang-orang ber-IQ tinggi, alasannya ialah semata karena orang-orang ber-IQ tinggi terlampau cerdas untuk hal-hal sedangkal demikian. Mereka terlampau kreatif untuk perbuatan sedangkal mencuri, menipu, dan segala perbuatan "menggali lubang kubur sendiri" (perbuatan paling tolol, itulah vonis bagi para penjahat) lainnya. Karena mereka memiliki modal keterampilan, pengetahuan, serta kreativitas yang hebat, lebih dari cukup, begitu melimpah tanpa pernah kekurangan ide-ide besar, karenanya mereka cukup mengandalkan segala modal mereka tersebut untuk mencari nafkah dan aktualisasi diri (self esteem).

Boleh percaya atau tidak, orang-orang jenius cenderung merasa kekurangan waktu dan masih memiliki setumpuk pekerjaan yang belum diselesaikan setiap harinya, sekalipun mereka bekerja dari pagi hingga malam, tanpa kenal kata berlibur dalam kalender kerja mereka. Itulah rutinitas mereka dikeseharian, sangat bertolak-belakang dengan orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk berbicara perihal "omong kosong" kepada lawan bicaranya, sebanyak apapun itu jumlah teman pergaulannya.

Hery Shietra
Orang-orang yang memiliki kebiasaan atau kecenderungan menjelek-jelekkan orang lain, mengolok-olok orang lain, menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon, adalah cerminan orang-orang kerdil dan dangkal, yang berdelusi bahwa dengan cara menghina, meledek, melecehkan, hingga mendiskreditkan harkat dan martabah orang lain=lah, seolah-oleh harga diri mereka dapat tampak lebih hebat dan lebih agung daripada orang-orang yang mereka hina dan ejek. Orang-orang jenius, tidak pernah membutuhkan cara sedangkal itu untuk memuliakan dirinya sendiri di mata dunia.

Faktanya, pepatah sudah lama menyebutkan, bahwa "Orang-orang besar cenderung bericara hanya perihal gagasan dan ide-ide besar, sementara itu orang-orang kerdil memperbincangkan tentang orang lain." Orang-orang ber-IQ tinggi, mustahil bagi mereka untuk merendahkan martabat dan tingkat IQ mereka untuk hal sedangkal dan sehina perbuatan jahat maupun tercela, terlebih menjelek-jelekkan orang lain untuk mendongkrak reputasi atau wibawa mereka. Mereka, para jenius, begitu menghargai tingkat kecerdasan mereka sebagai anugerah, bukan justru menodai berkah yang telah mereka miliki dengan perbuatan-perbuatan dangkal yang tercela.

Namun, mengapa orang-orang dengan tingkat IQ tinggi (di atas rata-rata), cenderung tampak kurang bersosialisasi dan minim dunia pergaulan? Waktu merupakan sumber daya yang terbatas, karenanya kita harus membuat pilihan dalam mengalokasikan sumber waktu yang kita miliki, itulah paradigma berpikir orang-orang jenius yang perlu kita pahami dengan baik tanpa salah memahami sikap dan pilihan hidup mereka. Mereka sangat menyadari waktu dan umur hidup mereka yang sangat amat terbatas, sementara itu ide-ide serta gagasan-gagasan mereka begitu mengalir deras tidak terbendung setiap harinya menunggu untuk dieksekusi. Sungguh sayang bila disia-siakan untuk sebuah kegiatan kurang produktif seperti "bergaul".

Yang membuat orang sukses dalam bidang karir ataup bidang apapun, bukanlah faktor pergaulan. Jika faktor pergaulan adalah terpenting (meski bukan tidaklah penting), maka mengapa kita tidak dapat menjelaskan perihal fakta bahwa banyak orang-orang gagal dan berandal bahkan "sampah masyarakat" yang begitu luas dunia pergaulannya, bahkan tiada hari tanpa bergaul selama berjam-jam dengan teman-teman bergaulnya? Banyak diantara masyarakat kita yang bahkan menjadi "rusak' dari segi mental, moralitas, maupun kesehatannya, akibat pergaulan bebas yang tidak sehat dan tidak terkontrol.

Sungguh suatu kesia-siaan atas waktu, hidup, dan potensi diri. Seseorang menjadi pecandu tembakau maupun obat-obatan terlarang, bukan akibat marketing pihak bandar atau pengedar (karena mustahil pihak bandar mengiklankan diri di koran atau televisi), maupun oleh sesama teman pergaulannya yang mempengaruhi gaya hidup tidak sehat kepada sesama teman-teman pergaulannya.

Hery Shietra
Letak pembeda paling utama antara orang=orang dengan IQ rata-rata, mereka gemar membuang waktu untuk hal kurang produktif seperti berkumpul-kumpul untuk berbincang "omong kosong", sementara para jenius menggunakan waktu yang ada secara optimal untuk hal-hal yang lebih produktif, karenanya waktunya sudah habis tanpa sisa waktu maupun tanpa sisa energi tenaga maupun pikiran dan perhatiannya.

Gill Hasson, dalam bukunya yang berjudul “POSITIVE THINKING : Find Happiness and Achieve Your Goals Through the Power of Positive Thought", menyebutkan bahwa kekuatan tekad juga bersifat terbatas adanya, karenanya kita cukup mengerahkan kekuatan tekad kita untuk hal-hal yang betul-betul penting serta bermanfaat.

Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat pernah berkata ketika sedang menjabat sebagai seorang presiden, "Terlalu banyak hal penting urusan kenegaraan yang harus saya putuskan, (maka) saya tidak mau memutuskan apa yang harus saya makan sehari-harinya ketika saya sedang bekerja sebagai Kepala Negara."

Menjadi orang yang gemar bersosialisasi maupun menjadi orang yang tekun bergelut pada hal-hal yang lebih produktif, merupakan pilihan hidup, dimana pilihan hidup seseorang tidak dapat dihakimi oleh orang lain. Bila Anda hendak berkecimpung dalam profesi marketing, maka tepatlah meluaskan dunia pergaulan. Thomas Alfa Edison, dikucilkan oleh pergaulan maupun lingkungan sekolah ketika masih bocah, sampai kemudian tenggelam dalam riset dan penelitian pribadi, sebelum kemudian menemukan lampu pijar yang berkontribusi nyata bagi dunia dan banyak orang serta mendapat pengakuan dari dunia sebagai seorang tokoh besar.

Para peneliti dan ilmuan yang menemukan lampu LED yangs sangat hemat energi dan ramah lingkungan karena mengkonsumsi listrik yang minimal dengan nyala lampu yang setara dengan nyala lampu dengan watt besar, sehingga berkontribusi nyata mengurangi emisi karbon global pembangkit listrik tenaga pembakaran batubara, bisa jadi menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar, riset, meneliti, menguji eksperimen, mengamati, melakukan serangkaian penemuan dan berbagai penemuan lainnya sebelum menghasilan sebuah inovasi kontkrit, sehingga tidak sempat bersosialisasi dengan banyak orang dan berkawan dengan banyak teman. Namun, prestasinya kemudian telah membawa manfaat besar bagi banyak orang ketimbang mereka yang lebih banyak mengisi waktu dan menghabiskan hidup mereka untuk berkumpul-kumpul dengan banyak orang.

Kita, sungguh amat perlu berterimakasih kepada para penemu lampu LED yang hemat energi sebagai cara menyelamatkan lingkungan hidup. Para penemunya telah banyak berkorban waktu. Jika saja mereka tidak memilih memanfaatkan sumber daya waktunya yang terbatas untuk meneliti lampu LED, dan lebih banyak bergaul, bisa jadi lampu LED belum berhasil ditemukan hingga era saat kini. Kita harus menghargai pengorbanan waktu para orang-orang jenius, karena kita mengandalkan mereka.

Hery Shietra

Kita harus berani membayar harganya, dimana segala sesuatunya ada harga dibaliknya. Orang-orang yang sibuk bersosialisasi, memiliki keunggulan dalam segi relasi dan jejaring sosial. Namun bukan artinya orang-orang dengan karakter introvert yang jenius, meski kalah dari segi daya sosialisasi dan jejaring koneksi, maka tidak unggul dalam suatu bidang yang digeluti olehnya. Contoh, Albert einstein tidak mengenal banyak orang, akan tetapi seluruh orang di dunia ini mengenal nama tenar sang jenius, lengkap dengan segala kontribusinya bagi dunia ilmu pengetahuan.

Arsip Artikel JENIUSHUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Banyak Dikunjungi Minggu Ini

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS