JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kiat Menghadapi Preman Pelaku Aksi Premanisme yang Hendak Memanipulasi Mental Korbannya

ARTIKEL HUKUM

Tidak Perlu Membuang Waktu untuk Menjelaskan, bila Lawan Bicara Kita Menutup Telinga Rapat-Rapat dan Hanya Bersedia Membuka Mulut Lebar-Lebar, Terlebih yang Sejak Semula Memiliki Niat Buruk terhadap Kita

Sun Tzu pernah mengajarkan, pahami karakteristik lawan kita sebelum berangkat menghadapi peperangan terhadap mereka, yakni posisi kelebihan dan kekurangan lawan serta posisi kelebihan dan kelemahan diri kita. Hidup di negeri “agamais” yang mana ironis-nya para preman berkeliaran bagaikan predator sedang mencari “mangsa empuk” di setiap ruas jalan maupun berbagai sudut perkotaan hingga pemukiman warga, maka suka atau tidak suka, kita harus siap menghadapi tanpa dapat selamanya berkelit dan menghindari kemunculannya yang selalu akan diwarnai oleh ulah dan keonaran yang meresahkan.

Si vis pacem bara bellum, bila ingin hidup damai maka harus siap-siap untuk berperang. Ini adalah dunia manusia yang tidak ideal sebagaimana semestinya, terlebih Indonesia yang mana penduduknya kerap menjadikan kekerasan fisik sebagai cara paling utama serta paling pertama untuk mengatasi setiap masalah, bukan dunia alam dewata dimana para penghuninya ialah serba orang-orang baik hati dan mulia. Anggaplah, berhadapan atau dihadapkan dengan para kalangan preman, sudah menjadi resiko hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat Indonesia, terkadang sebagai penonton dan terkadang sebagai korban.

Berdasarkan pengalaman pribadi kerap berhadapan dengan kalangan preman pelaku aksi premanisme di Tanah Air, baik preman pasar berbaju lusuh, preman jalanan brewokan, preman berdasi, preman berjas, dan segala macam jenis premanisme lainnya yang banyak berkeliaran dan tumbuh subur di Indonesia, seolah-olah dipelihara oleh negara yang tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat, terdapat satu buah pola yang akan kerap kita jumpai secara kasat-mata selaku korban dari berbagai aksi premanisme tersebut.

Semua orang sudah mengetahui, bahwa kalangan preman memiliki kapasitas CC otak yang kecil, karenanya hanya otot mereka yang berkembang dan yang mereka andalkan selama ini—namun kita tidak perlu merasa iri hati, karena otot sebesar apapun akan melemah saat menjadi uzur, berbanding terbalik dengan mereka yang selama ini melatih kekuatan otak, dimana para preman yang menua hanya dapat menerapkan strategi “mendadak alim” dengan memasang sikap dan wajah seolah-olah “pria tua yang inccocent“ agar didahulukan serta diberikan tempat duduk saat mereka berada di tempat umum ataupun kendaraan umum.

Adapun yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya ialah, para preman di Indonesia, preman kelas baju usang yang lusuh dan berbau ikan asin yang menyengat hidung, hingga preman berdasi, merupakan para “manipulator yang ulung”. Mereka, bermodalkan kemampuan atau keterampilan bernama “mencari-cari alasan”, atau bila perlu “membuat-membuat alasan” hingga “alasan yang dicari-cari”, mencoba memutar-balik “logika moril”, sehingga korbannya yang kurang logis dalam daya pikir kritis, akan terjebak dan terperangkap dalam mentalitas yang sangat destruktif bagi diri sang korban, “Ah, ternyata karena saya telah berbuat keliru, karenanya saya layak dan patut dianiaya oleh para preman tersebut. Ini adalah salah saya sendiri! Saya layak menerimanya!

Tidak ada yang lebih mudah serta lebih “empuk”, daripada menghadapi seorang calon korban maupun korban yang tidak berdaya dari segi mental, sudah pasrah dari segi batin, menyerah sebelum benar-benar berperang, nyali yang di-demotivasi, dan lemah dari segi daya berpikir mandiri yang mampu berpikir jernih dan melihat dan menilai situasi serta kejadian secara kritis dan secara cerdas, atau ketika derajat ketakutan mereka (baik ketakutan yang rasional maupun ketakutan yang irasional) lebih dominan ketimbang tingkat penghargaan diri (self esteem) terhadap diri mereka sendiri. Itulah fakta empirik, betapa para preman ternyata tidaklah sebodoh itu, tidak bodoh-bodoh sekali—mereka bahkan sebaliknya dari dugaan kita selama ini sebagaimana anggapan pada umumnya, seorang preman senyatanya merupakan para manipulator yang pandai dan ulung dalam memanipulasi pikiran para calon korbannya agar menjadi “defendless.

Diri pribadi sang preman itu sendiri tidaklah kuat, mereka tampak menjadi lebih kuat serta dominan ketika berhasil membuat mental calon korbannya “bertekuk lutut” bahkan sebelum tabuh genderang peperangan dimulai. Contoh, bila “satu lawan satu, tangan kosong”, bisa jadi sang preman dapat Anda buat lumpuh tanpa banyak perlawanan. Namun, mereka akan hadir dalam kekuatan dari segi jumlah ataupun membawa senjata tajam, semata agar calon korbannya menyerah dari segi mental, menyerah tanpa berperang. Tidak ada preman yang “sebodoh” itu datang seorang diri tanpa mempersiapkan senjata tajam ketika melakukan aksi premanisme. Mereka, selalu dan dapat dipastikan “berjemaah” sekaligus “pengecut” (menggunakan senjata tajam dan keroyokan).

Mental kita dibuat tidak berkutik, lewat bentuk ancaman serta intimidasi yang tidak seimbang sifatnya, baik dari segi kecurangan (semisal mereka menggunakan senjata tajam dan keroyokan, sementara Anda seorang diri dan “tangan kosong”, atau melakukan aksi vandalisme di tengah malam saat Anda beristirahat dalam lelap tertidur pulas), daya tawar yang berat sebelah, negosiasi yang tidak setimpal (alias mau menang sendiri), hingga aturan main yang ditetapkan sepihak oleh yang preman, fakta versi mereka yang dipaksakan keberlakuannya sebagai “kebenaran”, maupun taraf seperti hakim, wasit, dan juri-nya dirangkap oleh sang preman itu sendiri.

Itulah bahaya dibalik sikap para preman pelaku aksi premanisme, mereka memperlengkapi dan membekali diri mereka hingga amat terampil dalam memanipulasi dan bermain akrobatik kata-kata, sehingga bahkan “korban menjadi pelaku, dan pihak pelaku tampak (seolah-olah) menjadi pihak korban”, suatu aksi putar-balik yang direkayasa lewat permainan kata yang dimainkan secara apik oleh sang preman. Harap maklum, kalangan preman pelaku aksi premanisme tidak memiliki Kode Etik Profesi Preman maupun “sumpah jabatan” untuk bersikap adil dan fairness terhadap orang lain dan para korbannya. Karenanya, jangan pernah meremehkan keberadaan para preman modern, yang tampaknya telah turut berevolusi (evolve) dengan perkembangan zaman, dimana mereka tidak lagi sekadar mengandalkan otot untuk bermain kekerasan fisik, namun juga permainan verbal dalam rangka “putar-balik logika moril”.

Ketika kita mendapati sinyalir bahwa kedatangan para preman tersebut ialah semata-mata mengandung niat buruk atau itikad tidak baik hanya sekadar untuk “cari gara-gara” terhadap kita, maka kita pun perlu “sedia payung sebelum hujan” dengan membekali argumentasi verbal yang cerdik, siap secara mental setiap saat karena mereka dapat hadir sewaktu-waktu tanpa diundang dan tanpa diduga, dimana dapat menjadi kontra-narasi yang mampu melumpuhkan lidah sang preman agar tidak lagi bermain dan mempermainkan kata-kata secara penuh manipulasi.

Strategi mereka, para preman, ialah, “penetrasi verbal” untuk melumpuhkan mental calon korbannya sebelum dengan mudah dapat mengendalikan dan menguasai tubuh korbannya tanpa resiko menghadapi perlawanan yang berarti dari sang korban. Tips pertama, jangan biarkan diri kita dikuasai oleh ketakutan, terutama ketakutan yang irasional. Ketakutan, dapat membuat Anda lumpuh dari segi pikiran, batin, maupun fisik (paralyze). Tenangkan diri, karena ketakutan dapat menurunkan tingkat IQ (Intelligence Quotient, kecerdasan intelektual) kita hingga ke level titik nadir paling terbawah.

Untuk membantu meredakan kecemasan dan kepanikan, ingatlah bahwa Hukum Karma tidak mengenal ras, gender, maupun profesi, termasuk berlaku bagi kalangan profesi premanisme. Menyakiti, akan disakiti, sehingga yang semestinya merasa takut, bukanlah seorang korban. Terlagi pula, bila sang preman yang “masih makan nasi sama seperti kita” adalah betul-betul seorang pemberani, semestinya ia datang seorang diri dan “tangan kosong” untuk berduel. Berikut tips tambahan dari penulis : Ketika kita merasa takut, sungkan, atau apapun itu, JANGAN TUNJUKKAN (rasa takut itu)—jika ditunjukkan, nanti kita bisa “dimakan” oleh mereka. Bersikaplah sebaliknya, seolah-olah berani dan pemberani.

Terlagi pula, ketika kita tampak panik, maka itu menjadi sinyalemen kasat-mata lewat gerak-gerik maupun bahasa tubuh yang dapat dibaca oleh sang preman, bahwa kita terguncang oleh keberadaan dan permainan kata mereka. Itulah bukti tambahan, bahwa para preman era modern, tidak sebodoh yang kita bayangkan. sekali lagi, bila kita tetap dikuasai perasaan takut dan gentar yang tidak kunjung sirna, setidaknya JANGAN DITUNJUKKAN rasa takut ataupun kegelisahan tersebut. “Just being and acting cool”, bersikap saja seolah-olah tenang dan tegar serta berani.

Ingat, kesan pertama (first impression) menjadi krusial dalam menghadapi kalangan preman. Tanyakan pada diri kita, bila Konfusius yang berada pada posisi kita, maka bagaimana dan apa yang menjadi respon dan tanggapannya, lalu tiru gaya serta cara sang Konfusius berkarakter dan berkonfrontasi secara verbal dengan lawan bicaranya. Untuk menjadi cerdas, bersikaplah selayaknya seperti orang cerdas, berpikir seperti orang cerdas, dan merespons seperti orang cerdas.

Selemah dan betapa tidak-menguntungkannya pun posisi kita, semisal karena kalah dari segi jumlah, tetaplah tampil dengan pembawaan diri yang tenang—catatan tambahan, seluruh preman adalah “PENGECUT TULEN”, mereka tidak akan berani tampil mengganggu dan membuat onar ke hadapan calon korbannya tanpa membawa serta seorang atau beberapa teman (sesama kalangan preman, tentunya), dan tanpa memperlengkapi diri dengan senjata tajam yang dipamerkan ataupun yang disembunyikan, disamping sikap penuh kecurangan seperti menganiaya tidak secara “satu lawan satu, tangan kosong”, namun keroyokan.

Pernah terjadi, saat penulis masih seorang bocah yang duduk di bangku Sekolah Menengah, seorang preman membawa seorang temannya yang menemani sang preman mencoba “memalak” (memeras penulis) yang bertubuh kecil dan berkacamata serta berbusana anak sekolahan. Sang preman, tidak berani tampil seorang diri, itu bukti betapa pengecut para preman se-Tanah Air kita. Seseorang, baru dapat disebut sebagai seorang “pemberani yang sejati”, bila dirinya berani berpartisipasi dalam ajang kompetisi pertandingan gulat ataupun tinju pada turnamen bela diri resmi, dimana terdapat unsur-unsur asas meritokrasi seperti aturan main, prinsip fairness, wasit, juri / hakim, serta penonton yang netral dimana yang menang tidak akan beresiko dikeroyok simpatisan dan rekan-rekan sang petarung yang dikalahkan, sehingga yang benar-benar berkompetenlah yang akan mendapat pengakuan dan penghargaan sebagai pemenang.

Tidak seperti preman jalanan, tidak mau ikut aturan main duel yang jantan, senantiasa penuh kecurangan, disamping sikap serba “mau menang sendiri”, semata karena karena mereka akan merangkap sebagai wasit sekaligus hakimnya untuk memastikan kemenangan ada di pihak mereka. Para preman, tidak memilih (yang lebih jujur ialah “tidak berani”) untuk berduel secara jantan sebagai seorang “maskulin” dalam suatu ajang kompetisi bela diri di atas ring tinju yang disaksikan banyak khalayak selaku penonton, semata karena mereka takut kalah, dipecundangi, dipermalukan, dan disaksikan banyak orang ketika mereka, sang preman, keluar dan dijatuhkan di atas ring tinju sebagai “pecundang” bagai ayam jago yang tidak bertaji, sehingga dikenal masyarakat maupun publik sebagai “preman yang payah dan lemah” sehingga tidak lagi ditakutkan warga dimana ancaman-ancaman dan intimidasi mereka akan dipandang remeh tanpa diberikan bobot oleh calon korbannya.

Bila para petarung turnamen di atas ring tinju, mengalami kekalahan, mereka akan saling merangkul satu sama lain secara bersahabat, dan yang kalah mengucapkan selamat bagi yang menang. Selesai, tiada pembalasan dendam modus dengan kecurangan lainnya. Yang kalah mengakui kekalahannya dan menghargai keberhasilan pihak yang memperoleh kemenangan. Harga diri mereka ialah bertarung secar adil dan jujur sesuai aturan main, karenanya mereka tidak “mengakhiri hidup” hanya karena saat kini mengalami kekalahan, dan terus berlatih mempersiapkan diri untuk kompetisi pada kesempatan selanjutnya.

Seorang preman, sebaliknya, merasa wajib menang dengan menghalalkan segala cara, dimana korbannya harus kalah apapun caranya (karenanya para preman tidak memiliki harga diri apapun), sekalipun dengan cara keroyokan dan menggunakan senjata tumpul maupun senjata tajam. Preman, menjadikan kebodohan dan kedangkalan berpikir maupun perilaku sebagai kebanggaan dan “harga diri” mereka. Berikut penulis sertakan argumentasi SATU-SATUNYA, ketika kita selaku warga tiba-tiba menghadapi atau terpaksa berhadapan dengan kalangan preman dalam wujud busana apapun:

Kelihatannya percuma saja bila saya menjelaskan seperti apapun penjelasan saya. Kalian datang ke sini tampaknya memang dengan niat tidak baik. Buktinya, belum apa-apa kalian sudah main menuduh secara sepihak. Sekarang saya tanya kalian, kalian TAKUT DOSA, ATAU TIDAK? Takut berbuat dosa seperti main kekerasan fisik, atau tidak? Jika kalian tidak takut berbuat dosa seperti bermain kekerasan fisik semacam penganiayaan ataupun pengrusakan, itu saja sudah jadi bukti, bahwa kalian BUKAN ORANG BAIK-BAIK, ALIAS ORANG JAHAT! Apapun alasannya, menganiaya orang lain adalah JAHAT, APAPUN ALASANNYA! Orang jahat kok mau mau mengatur-ngatur di sini dan mau menjadi hakim untuk menghakimi orang lain? Saya tidak mau repot bantah-membantah dengan kamu dan kalian. Saya serahkan saja pada HUKUM KARMA. Pertanyaan terakhir saya, siapa yang semestinya paling takut, yang berbuat jahat ataukah korban kekerasan fisik?

Selebih dan selanjutnya, cukup bungkam, tutup mulut. Sebanyak apapun kita berbicara dan mengutarakan penjelasan, bila mereka sejak semula menutup rapat telinga mereka, adalah percuma, hanya membuang waktu dan energi disamping menunjukkan kepanikan kita yang seolah-olah mengemis-ngemis kepada mereka agar mau mengerti dengan mendengarkan ucapan dan penjelasan kita. Yang terpenting ialah, kalimat terpenting di atas telah kita lontarkan, dan kemungkinan besar telinga mereka masih dalam kondisi terbuka ketika beberapa kalimat awal kita sampaikan kepada mereka terutama ketika mereka melontarkan ancaman, “Akan saya pukul wajah kamu!” Dijamin, mereka akan malu sendiri telah pernah melontarkan ancaman khas premanisme demikian.

Mengapa kita setelah melontarkan kalimat pada paragraf di atas, maka kita sebaiknya dan diajurkan oleh penulis untuk bungkam seribu bahasa? Karena, bila kita berkata-kata lain dengan maksud untuk menjelaskan duduk permasalahandan perkara yang sebenarnya sesuai pengalaman kita selaku saksi mata langsung, dikhawatirkan membuka peluang bagi mereka untuk mengalihkan isu—salah satu modus lainnya yang kerap dimainkan oleh para preman pelaku aksi premanisme, dimana isunya mereka geser bukan lagi isu seputar moril, namun isu yang mana telah mereka “re-framing” seolah-olah yang menjadi fakta ialah fakta versi milik merek sendiri, dengan menyalah-gunakan keadaan dimana situasi konflik verbal ini terjadi tanpa moderator, tanpa otoritas penengah dan pengadil semacam wasit maupun hakim dan juri yang netral dan adil, sehingga yang berlaku ialah “hukum rimba”, siapa yang kuat maka ia yang akan menang.

Jadilah, kita masuk ke dalam perangkap dan jebakan debat-kusir yang memang telah mereka pasang dan persiapkan, dimana pemilihan kata-kata kita saat mencoba menjelaskan akan “dipelintir” sedemikian rupa oleh mereka, seolah-olah menjadi bumerang bagi kita sendiri, dimana itu menjadi alibi bagi mereka untuk seolah memiliki hak untuk tersinggung, menjadi murka, dan melakukan kekerasan fisik alias anarkhi. Mereka akan terus mengeksplorasi isu yang berhasil mereka alihkan, mengeksploitasinya sementara Anda semakin panik karena mencoba menjelaskan penjelasan yang sebelumnya Anda berikan, lalu menjadikan itu sebagai “celah” berupa “alasan yang dicari-cari” sebagai alibi untuk melancarkan tahap yang lebih lanjut dari perang verbal, yakni kekerasan fisik yang memang telah mereka tunggu-tunggu selama ini dan sejak semula menjadi intensi awal serta utama mereka, para preman tersebut yang nyata-nyata membekali diri dengan baik keterampilan akrobatik permainan kata.

Ingatlah selalu, mereka seorang preman, bukan seorang mediator, karenanya jangan buang energi ataupun waktu Anda untuk menjelaskan apapun, sebetapa betul dan benar pun posisi Anda, mereka bukanlah orang yang netral dan objektif. Mereka akan selalu terus menyeret-nyeret pada isu yang tampaknya bisa mereka jadikan blunder dan di-“goreng” sedemikian rupa, terutama kata-kata yang multitafsir dan dapat mereka maknai sesuka hati sesuai kepentingan mereka—bukan sesuai konteks saat Anda mengucapkannya.

Semisal, melarang orang asing untuk parkir liar di depan kediaman rumah kita, mereka “re-framing” sebagi “mengusir-ngusir orang” sehingga seolah kita selaku pemilik rumah yang telah bersalah dan melecehkan mereka. Fakta logika moril yang lurus ialah, apapun alasannya, parkir liar tanpa izin di depan pintu pagar kediaman seorang warga, adalah tercela, tidak sopan, dan keliru, apapun alasannya. Namun tetap saja, preman yang hendak “cari-cari masalah”, akan mempermasalahkan korban sebagai telah bersalah, lewat “aturan main” milik mereka sendiri.

Berhubung, sebagaimana penjelasan di muka, mereka memanfaatkan dengan betul keadaan di lapangan saat itu dimana tiada wasit maupun juri dan hakim selaku penerap dan penegak “aturan main”. Mencoba menjelaskan siapa yang sebetulnya bersalah, kepada para preman yang sejak semula memiliki niat buruk, hanya mencari penyakit sendiri. Ingatlah selalu, preman memiliki satu aturan main tertinggi dalam dunia premanisme milik mereka, yakni ketika berbicara, mereka sangat identik dengan sikap “mau menang sendiri”—semata karena aturan mainnya ialah aturan main versi sepihak milik mereka sendiri. Apa yang penulis utarakan di atas, berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang telah banyak mencicipi pahit dan pedas serta jahatnya kalangan preman ketika sejak semula memiliki niat buruk terhadap calon korbannya, bukan sekadar retorika teoretis, sehingga sebaiknya tidak dipandang sebelah mata terhadap berbagai saran yang penulis sampaikan pada kesempatan ini.

Karenanya, percuma bila Anda berniat untuk beragumentasi, kecuali sifatnya secara jarak jauh via “online”, dimana tidak memungkinkan bagi mereka untuk bermain kekerasan fisik dan terdapat para pembaca lainnya sebagai hakim sekaligus juri pada medium tersebut untuk menentukan siapa yang sebetulnya paling bersalah dan siapa yang patut dibenarkan dan didukung. Dalam dunia nyata bertatap-muka, sang preman itu sendiri yang medudukkan dirinya sebagai petarung, hakim, wasit, sekaligus juri dan pembuat aturan. Karenanya, Anda dan kita telah selalu diposisikan untuk selalu kalah dan mereka yang akan selalu menang.

Be a good person, but don't waste time to prove it.” Bisa jadi dan besar kemungkinan, secara objektif berdasarkan fakta realita yang ada dan benar-benar terjadi, kita adalah korban yang tidak bersalah, murni korban yang disaat bersamaan menjadi pula korban “putar balik logika moril” (modus sang preman pelaku premanisme). Namun, kita tidak perlu membuang waktu untuk membuktikan bahwa kita tidak bersalah, terutama kepada para preman. Bila dari sejak semula keberadaan dan kemunculan sang preman ialah dilandasi itikad tidak baik, maka lebih baik simpan kata-kata dan energi kita dengan tidak menjelaskan apapun selain satu buah paragraf berisi argumentasi di atas. Cukup utarakan kalimat yang telah penulis bagikan di atas, tidak lebih dari satu paragraf tersebut dan sebatas serta sejauh itu saja.

Never explain yourself to anyone. Because the person who likes you doesn’t need it, and the person who dislikes you won’t believe it.” Sang preman, terutama preman suruhan alias “preman bayaran”, jelas mengunjungi Anda dengan satu misi untuk mereka laksanakan dan selesaikan, yakni membuat onar dan meresahkan Anda. Lalu, selanjutnya apa yang harus kita lakukan? Tidak ada. Serahkan pada Hukum Karma, dimana bila sang preman tetap tanpa malu menyakiti dan melukai ataupun merugikan Anda, maka biarkan Hukum Karma yang menjadi hakim serta eksekutornya.

Cukup ingat pesan berikut, “I keep moving ahead, as always, knowing deep down inside that I am a good person and that I am worthy of a good life.” Penulis menyebutnya sebagai, Hukum Karma sebagai pelindung. Bila dalam Hukum Negara, kita perlu melapor dan disertai bukti atau saksi, butuh adanya polisi dan jaksa penuntut umum serat kebutuhan atas hakim yang adil serta bijaksana, maka dalam Hukum Karma kita tidak butuh mendokumentasikan kejadian, juga tidak perlu melaporkan apapun kepada siapapun, Hukum Karma akan bekerja secara sendirinya secara senyap di balik layar dan latar bekalakang kehidupan para preman pelaku aksi premanisme tersebut, memberikan keadilan yang setimpal bagi para korban dari sang pelaku kejahatan.

Prove yourself to yourself, not other.” Bukan buktikan kepada sang preman. Cukup kita mengetahui bahwa diri kita tidak bersalah, bahkan merupakan korban, namun masih juga diintimidasi serta diperlakukan secara tidak patut seperti diancam dan dianiaya oleh kalangan preman sehingga menjadi korban untuk kedua-kalinya baik korban luka fisik maupun korban perasaan, cukup kita membatin di dalam hati sendiri dengan kalimat berikut, “Saya sadar bahwa saya adalah orang (yang) baik, karenanya saya berhak mendapatkan keadilan yang setimpal berdasarkan Hukum Karma. Menanam karma buruk dengan menyakiti terlebih memukul (menyakiti fisik) orang baik, akan menjadi bumerang sekaligus petaka bagi sang pelaku itu sendiri yang telah menjahati saya selaku korban.

Menjadi orang baik, cukup buktikan kepada diri kita sendiri, serta untuk diakui oleh diri kita sendiri. Kita patut mencintai diri kita, ketika kita menyadari bahwa diri kita adalah berbeda dari para preman tersebut. Dengan mampu mencintai diri kita sendiri, kita akan mulai dapat menjadi pribadi yang tegar serta tangguh dari segi mentalitas. “Loving yourself isn’t vanity, it’s sanity” (Katrina Mayer). Mencintai diri sendiri bukanlah sebuah keegoisan, tetapi sebuah kewarasan.

If someone takes responsibility without force, that is love.” (Radhanath Swami). Jika seseorang mengambil tanggung-jawab tanpa paksaan, itulah cinta. Para preman tersebut, bukanlah orang baik, karena mereka semata mengumbar serta mengobral ancaman kekerasan fisik hingga penganiayaan untuk memaksakan kehendak mereka, untuk mengatasi setiap masalah, dan untuk mendominasi orang lain dalam rangka eksploitasi demi kepentingan sepihak sang pelaku kekerasan fisik. Sejahat apapun banyak orang di luar sana, tiada yang lebih penting daripada mampu mencintai diri kita sendiri (karena kita sendiri yang paling tahu betul siapa dan baik atau tidaknya diri kita). Tiada gunanya seluruh dunia bersikap baik terhadap diri kita, namun kita gagal mencintai diri kita sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.