Akar Penyebab Penegakan Hukum yang DISKRIMINATIF dan TEBANG PILIH

Hanya PENDOSA, yang Butuh Iming-Iming Korup Bernama PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA (Abolition of Sins), alias Umat Pemeluk AGAMA DOSA

Keberpihakan dan Subjektivitas, Mengakibatkan Berat Sebelah, Tegak Separuh Hati, Roboh Akhirnya. Terlebih Adanya Anasir KONFLIK KEPENTINGAN (Conflict of Interest) Umat Vs. NON-Umat

Question: Mengapa dan apa yang menjadi akar penyebabnya secara sosiologis, hukum tajam ke bawah dan disaat bersamaan tumpul ke atas, tajam kepada yang tidak membayar dan tumpul kepada yang mampu membayar, serta tajam kepada yang tidak dikenal sementara itu tumpul terhadap mereka yang dikenal ataupun kenalan?

Kesaksian atau Saksi DE AUDITU dalam Persidangan Perkara Perdata

Yang Tidak Menyaksikan ataupun Mendengarkan (secara) LANGSUNG, tidak Berkualitas sebagai SAKSI MATA

Saksi di Hadirkan ke Persidangan, untuk Membuat KESAKSIAN, bukan Menceritakan Rumor “Katanya”

Perbedaan antara “MENYAKSIKAN dan KESAKSIAN” Vs. “DICERITAKAN dan BERCERITA”

Kriteria Saksi yang Berharga dan Bernilai di Mata Hakim, Baik Perkara Pidana maupun Perdata

Question: Dalam perkara pidana, ada istilah “saksi mata” yang sebelumnya telah pernah mendengar dan melihat langsung kejadian suatu kejahatan pidana, dan ada juga “saksi de auditu”, yakni saksi yang sekadar “kata si anu, katanya, dan menurut si anu”. Berdasarkan ilmu hukum pidana, saksi yang memberikan keterangan dengan dasar “katanya” semacam itu, tidak dapat dikualifikasi sebagai saksi, sehingga kesaksiannya tidak dapat diterima secara formal, terlebih sifat pembuktian perkara pidana ialah pembuktian materiil. Dalam perkara gugatan perdata, akan ada juga agenda acara pembuktian saksi. Pertanyaannya, apakah hukum acara perdata juga mengenal istilah “de auditu” semacam di perkara pidana?

Jangan Kambing-Hitamkan Hukum Karma, Karma Bukanlah Kambing juga Tidak Berwarna Hitam

Menghakimi dan Mengkambing-Hitamkan Karma, sebuah Pandangan Ekstrem yang Ditolak secara Tegas oleh Sang Buddha

Banyak Umat Buddhist Terjebak dalam Paradigma Ekstrem “Segala Sesuatunya Disebabkan / Diakibatkan oleh Karma”—Meski Sang Buddha telah secara Tegas Menolak Pandangan Demikian

Question: Ada kalangan non-Buddhist yang menghakimi umat Buddhist, semisal ketika umat Buddhist ini diperlakukan (secara) tidak adil atau tidak patut lantas menjadi marah dan memberontak atau melawan, pada saat itu juga ia dihakimi sebagai “sedang memetik karma buruk yang sedang berbuah sehingga disakiti oleh orang lain, karenanya tidak boleh marah ataupun melawan”. Mengapa ajaran Buddha, justru menjadi bumerang yang mendiskreditkan dan menghakimi kalangan umat Buddhist oleh kalangan lain yang secara serampangan menuding karma sebagai biang-keladinya untuk menyudutkan si umat Buddhist yang terluka ataupun tersakiti? Bahkan tidak sedikit kalangan internal umat Buddhist yang punya persepsi bahwa segala sesuatunya adalah karena karma, karma, dan karma. Apakah memang benar demikian, ajaran Buddhistik sebagaimana diajarkan oleh Buddha?

Ciri Khas Orang DUNGU : Seolah Menunggu untuk Menyesal Dikemudian Hari

Dicelakakan oleh Kerakahan Sendiri, You Asked for It!

Orang DUNGU : Berenang-Renang ke Tepian, Barulah Berakit-Rakit ke Hulu. Bersenang-Senang Dahulu, Bersakit-Sakit Kemudian

Terdapat dua jenis nyamuk yang selama ini berkeliaran di perumahan- perumahan penduduk, yakni : Pertama, nyamuk yang “kerempeng” (kurus dan anemia), dicirikan oleh gesit ketika hendak dipukul oleh para korbannya. Kedua, nyamuk yang “gembuk”, dicirikan oleh tubuhnya yang sudah membesar akibat penuh oleh darah yang ia hisap sehingga gerakannya menjadi lamban serta bobotnya berat tidak lagi sanggup diatasi oleh kekuatan sayapnya—namun masih juga “kelaparan” dan terus berupaya menggigit untuk menghisap darah korbannya sehingga mudah sekali bagi sang korban untuk menepuk sang nyamuk “serakah”, sehingga tewas akibat keserakahannya sendiri.

Antara KELAHIRAN KEMBALI dan COBAAN / UJIAN Tuhan, Saling MENEGASIKAN Satu Sama Lainnya

Agama SAMAWI, Versi Tuhan yang KURANG KERJAAN dan TERSANDERA oleh Manusia Ciptaan-Nya Sendiri—Tuhan Tidak Boleh Tidur, dan Segala Sesuatu adalah Atas Kehendak, Kuasa, Rencana, serta Seizin Tuhan, termasuk Setiap Hari Harus Merepotkan Diri menentukan Berapa Jumlah Telur yang akan Ditelurkan oleh Bebek-Bebek, Berapa Ekor Anak yang akan Dilahirkan oleh Sapi-Sapi, Kemana dan Berapa Helai Daun Harus Berguguran, dsb.

Jika Sudah Ada HUKUM ALAM dan HUKUM KARMA, (maka) untuk Apa Lagi Tuhan Terlibat Merepotkan Diri dan Direpotkan oleh Urusan Manusia, bahkan Mengatur Skor Pertandingan Sepak Bola yang Semestinya Sportif, Egaliter, Kompetitif, dan Meritokrasi?

Si Pemalas Terlampau Malas untuk Merepotkan Diri Menanam Perbuatan-Perbuatan baik untuk Mereka Petik Sendiri, dan Terlampau Pengecut untuk Bertanggung-Jawab Atas Perbuatannya Sendiri. Si Dungu ini, Lebih Sibuk Menyembah-Sujud Mengemis Sesuatu agar Jatuh dari Langit serta Mengharap Penghapusan Dosa—Hanya Seorang Pendosa yang Butuh Penghapusan Dosa

Question: Agama-agama samawi mengajarkan dogma-dogma perihal cobaan atau ujian dari Tuhan, sehingga manusia mengalami berbagai derita, kesukaran hidup, kesedihan, ratap tangis, kerasnya hidup, tekanan hidup, hingga depresi atau bahkan tewas mengakhiri hidupnya maupun terjeblos masuk ke dalam alam neraka bila gagal lulus ujian kehidupan yang telah di-setting oleh Tuhan. Bagaimana dengan agama Buddha, apakah juga punya ajaran seperti atau semacam itu?

Splitsing Dakwaan, Jaksa Mengakali Minimnya 2 Alat Bukti

KODE ETIK Jaksa Republik Indonesia

Splitsing Dakwaan Demi Genap Minimal 2 Alat Bukti, apakah Melanggar Kode Etik Jaksa Penuntut Umum?

Question: Banyak kita dengar pemberitaan, surat dakwaan yang disusun secara terpisah antar terdakwa oleh jaksa, semisal dalam kasus tindak pidana korporasi, dakwaan yang satu terhadap korporasinya, namun dakwaan kedua secara terpisah ialah terhadap pengurus korporasi bersangkutan, atas pelanggaran hukum yang sama. Alih-alih menjadikan satu-kesatuan surat dakwaan, jaksa selaku penuntut umum tampaknya memainkan trik berupa pemisahan surat dakwaan, dalam rangka membuat genap dua alat bukti, dimana salah satunya ialah bukti kesaksian yang notabene terdakwa lain dalam surat dakwaan lainnya.

Semisal surat dakwaan yang satu terdakwanya ialah korporasi, lalu pengurusnya dijadikan saksi. Dalam surat dakwaan kedua, dimana pengurusnya dijadikan terdakwa, pejabat pengurus lainnya dari korporasi dimaksud dijadikan saksi. Kesemua ini seolah hanya untuk mengakali minimnya alat bukti, apakah penuntut umum tidak melanggar kode etik perilaku kejaksaan yang berlaku di Indonesia? Penuntutan secara terpisah, tidak jarang hanya akal-akalan pihak penuntut umum saja meski bisa disatukan dalam satu surat dakwaan, semisal “terdakwa kesatu” dan “terdakwa kedua” didakwa dan dituntut secara sekaligus dalam satu berkas dakwaan.

Kejahatan Terjadi Akibat Lemahnya IQ, Bukan karena Overdosis IQ

Orang Jenius Bersikap Kreatif dan Penuh Kreasi untuk Mencari Pandapatan dan Kebahagiaan, Tanpa Pernah Butuh Merampas Hak-Hak ataupun Kebahagiaan Hidup Milik Pihak Lainnya

Salah seorang klien menceritakan betapa terzolimi dirinya setelah begitu banyak hak-haknya yang dirampas oleh pihak yang beliau gugat, namun dalam proses jalannya persidangan pihak kuasa hukum dari pihak tergugat melakukan aksi akrobatik kata-kata yang pada pokoknya menjurus pada “putar balik logika moril”, seolah-olah para pelakunya adalah korban (play victim) dimana pihak korban justru dilecehkan dengan berbagai perundungan secara verbal. Keganjilan tampak begitu tersurat ketika tiada satu pun dari para tergugat maupun pihak turut tergugat yang mengkritik, mencela, ataupun merendahkan perilaku pihak tergugat yang telah menggelapkan dana modal usaha milik sang klien, namun justru melecehkan pihak korban yang mengajukan gugatan terhadap para kriminil tersebut. Kuasa hukum tergugat lupa, bahwa “lawyering fee” yang mereka terima dari pihak tergugat yang menjadi klien mereka notabene merupakan dana modal usaha milik pihak penggugat yang digelapkan oleh klien mereka.

Menggugat PMH Pemerintah ke PTUN ataukah ke PN?

Kewenangan Absolute Pengadilan Tata Usaha Negara atas Gugatan Warga Vs. Pemerintah

Question: Jika sesama warga yang merugikan warga lainnya, bisa digugat PMH (“perbuatan melawan hukum”) ke PN (Pengadilan Negeri). Bagaimana jika pelaku yang merugikan ialah pemerintah terhadap warga sipil, bisakah juga digugat PMH ke PN baik itu aparaturnya ataupun kantor pemerintah tersebut?

Perceraian Bersifat PROSPEKTIF, Bukan Retroaktif Akibat Hukumnya. Perceraian Memutus Perkawinan bukan Membatalkan Perkawinan

Hutang Suami adalah Hutang Istri juga, Sekalipun Kemudian Keduanya Bercerai

“Harta Bersama” Mengandung pula didalamnya “Hutang Rumah-Tangga” maupun “Kewajiban Bersama”

“Percampuran Harta” antar Suami-Istri Mencakup pula Tanpa Terkecuali “Percampuran Hutang” diantara Keduanya

Question: Apa mungkin terjadi, orang (suami-istri) yang saat ini sedang kami gugat di pengadilan mencoba menyelundupkan hukum untuk berkelit dari tanggung-jawab mereka terhadap kreditornya, dengan bercerai sehingga perkawinan mereka menjadi putus karena perceraian itu, entah cerai secara baik-baik ataupun seolah mereka saling bersengketa gugat-menggugat perceraian di persidangan.

Kita tahu bahwa dengan bercerainya sepasang suami-istri, maka tidak lagi terjadi “percampuran harta” antar keduanya yang menjadi mantan suami dan mantan istri. Mungkin saja itu yang terjadi sebagai cara atau modus bagi mereka untuk berkelit dari tanggung-jawab perdata sehingga gugatan kami berpotensi “menang di atas kertas”, mengingat putusan yang kami menangkan terancam tidak dapat dieksekusi dikemudian hari, tepatnya aset-aset milik sang istri dari debitor yang kami gugat ini tidak dapat kami eksekusi.

Bangsa yang Gemar Merampas Hak dan Kemerdekaan Orang Lain

Pemaksaan artinya Merampas Hak serta Merampas Kemerdekaan Orang Lain untuk Memilih Diam dan untuk Tidak Diganggu (Hak untuk Bebas dari Gangguan)

Jangan Bersikap Seolah-olah Orang Lain Punya Kewajiban untuk Menjawab dan Meladeni Orang yang Tidak Dikehendakinya

Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Tidak Punya Hak untuk Diam dan Hak untuk Tidak Menjawab

Baik itu berupa penyerobotan, pemaksaan, pemerasan, maupun aksi semacam pencurian dan perampokan, sejatinya ialah ekses dari sifat-sifat picik kalanganorang dengan pikiran kerdil, yang mana genus dari kesemua contoh aksi tercela di atas ialah suatu perbuatan “merampas”—tidak terkecuali “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” yang khas dipertontonkan oleh masyarakat kita di Indonesia di depan umum maupun di berbagai ruang publik, seyogianya yang terjadi ialah suatu bentuk perampasan terhadap kesehatan maupun keselamatan jiwa milik orang lain.

Efektifkah Hukum Potong Tangan bagi Pencuri ataupun Koruptor?

Penghapusan Dosa artinya PRO terhadap Pelaku Kejahatan, bukan kepada Korban

Seolah-olah Tuhan Lebih PRO terhadap PENDOSA PENJILAT PENUH DOSA, alih-alih Bersikap Adil sebagai Hakim yang Adil bagi Kalangan KORBAN dari para PENDOSA tersebut

Question: Ada yang bilang dan promosikan hukum agama, katanya hukuman “potong tangan” bagi pencuri, akan membuat efek jera bagi pelakunya (si pencuri yang dihukum vonis “potong tangan”) maupun bagi masyarakat luas agar mengurungkan niatnya untuk mencuri, apakah betul demikian atau justru bahkan secara kontradiktif sebaliknya, menciptakan “lingkaran setan” tidak berkesudahan, kemiskinan melahirkan tindak kriminalitas ditengah-tengah masyarakat sementara itu dengan dihukum “potong tangan” mengakibatkan pelakunya terjerat dalam kemiskinan untuk seumur hidupnya yang pada akhirnya “lingkaran setan” ini tidak pernah terputuskan, anak si pencuri terpaksa ikut mencuri dengan menjadi pencuri cilik, kemiskinan melahirkan kemiskinan baru lainnya?

Are We SAFE? Apakah Kita (Benar-Benar) Aman?

Konon, Indonesia adalah Negara (Berdasarkan) Hukum

Namun apakah Betul Kita Benar-Benar Aman dan Terlindungi oleh Hukum maupun oleh Aparaturnya?

Seorang kepala Divisi Propam POLRI, yang menjadi kepala tertinggi “polisinya polisi”, justru melakukan aksi mafioso “yang lebih preman daripada premanisme biasa” berupa pembunuhan berencana yang tersistematis—memakai tangan milik orang lain, pemunuhan spontan selalu bersifat memakai tangan milik sendiri. Memberi perintah untuk membunuh sudah merupakan jeda waktu yang menderogasi sifat spontanitas aksi pembunuhan—serta aksi persekusi (main hakim sendiri) bahkan para perwira berpangkat Jenderal-Polisi turut terlibat dalam “obstruction of justice” berupa press release berisi “prank”, menghapus alat bukti, rekayasa olah Tempat Kejadian Perkara yang penuh adegan fiktif, menutup-nutupi, dan segala kejahatan lain yang sukar dipercaya oleh orang awam kejahatan.

Vonis Pidana NIHIL, bagi Profesi Penjahat yang Tidak Tanggung-Tanggung menjadi Penjahat yang Jahat Teramat Sangat

Bila Anda seorang Penjahat / Kriminal, maka Jadilan Penjahat yang Tidak Tanggung-Tanggung. Jangan Sekadar “Kelas Kakap”, namun “Kelas Ikan Hiu” agar sang Penjahat dapat Mengambil Untung dari Keganjilan Sistem Hukum Pemidanaan di Indonesia

Jangan menjadi PENJAHAT, Jadilah IBLIS—Kata Sistem Penitensier Vonis Pemidanaan di Indonesia

Keuntungan bagi Penjahat (Insentif) = Kerugian bagi Korban (Disinsentif)

Ketika untuk kali pertamanya menjejakkan kaki sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum salah satu universitas di Indonesia, pada mulanya penulis berniat untuk mendalami dan menjadi spesialis dibidang hukum pidana. Namun, rasio berkata lain, ketika penulis pada kala itu menemukan fakta mengejutkan, betapa irasional hukum pidana yang selama ini diterapkan di Indonesia, baik secara norma hukum pidana pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun secara teori pada teks-teks buku ilmu hukum di Indonesia. Betapa tidak, sejahat apapun seorang terpidana, sebanyak apapun kejahatannya, sanksi hukuman pidana penjara bagi sang terpidana maksimumnya hanya terbuka tiga opsi berikut ini untuk dijatuhkan oleh hakim di pengadilan : pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara (selama-lamanya atau sebanyak-banyaknya) dua puluh tahun.

Ketika Demonstrasi Fisik Diberangus oleh Pemerintah, Ber-demo-lah Lewat KEKUATAN PENA (TULISAN)

Rakyat dapat Membalas Pemerintah lewat Caranya Sendiri

Aturan Hukum yang Mempersempit Ruang Demonstrasi (Unjuk Rasa), dari “Notifikasi” menjadi “Perizinan” untuk Berdemonstrasi, apakah merupakan “Law as Social Control” ataukah “Law as a Tool of Crime”?

Ketika Pemerintah Merampas Ruang Publik untuk Berdemonstrasi dan Berekspresi, bagai Membakar Api di dalam Sekam, Menyulut Sinisme dan Antipati Publik terhadap Pemerintah

Kita boleh menyebutnya sebagai “teori hidrolik”, yang menggambarkan situasi dimana sesuatu yang bersifat “liquid” (cair selayaknya zat air), tidak dapat benar-benar direpresi untuk selamanya. Bagai mencoba menggenggam air, air itu sendiri bersifat “liquid”, mengakibatkan kita tidak dapat benar-benar menggenggam air, bagai mencoba menggenggam udara. Adapun cara kerja hidrolik, Anda tekan pada satu sisi, cairan pada pompa hidrolik pada sisi lainnya akan terangkat. Sama halnya, ketika pemerintahan suatu negara bersifat represif terhadap rakyatnya sendiri, sebagai ajang pembalasan / pelampiasannya, sekalipun demonstrasi secara konvensional diberangus hingga ke titik tanpa demokrasi, maka masyarakat akan melakukan “fight back” berupa rasa tidak memiliki terhadap negaranya, memandang sebagai musuh terhadap pemerintah yang berkuasa, kesenjangan yang kian berjarak lebar antara “pemerintah Vs. rakyat sipil”, rendahnya kepatuhan dan kesadaran masyarakat selaku subjek pajak dalam bergotong-royong membayar pajak yang notabene anggaran untuk membiayai kegiatan pemerintah, rakyat yang apatis terhadap pembangunan negara, maupun segala ekses-ekses kontraproduktif lainnya dalam berbangsa maupun bernegara.

Makna Hakim yang Berintegritas

Daya Ikat Preseden sebagai Rambu Pengaman Integritas Hakim Pemutus Perkara di Pengadilan maupun Penegak Kode Etik Profesi

Hukum Dibentuk secara Demokratis, dan Hukum Ditegakkan secara Komun!stik

Question: Sebenarnya apa maksud dibalik istilah “hakim yang berintegritas”? Apakah bila hakim tersebut tidak pernah ditangkap atau tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka secara sendirinya disebut sebagai hakim yang memiliki integritas?

Orang Indonesia bisa Sangat JAHAT, Sangat Teramat JAHAT

Pendosa Pemeluk Agama DOSA, Pelanggan Ideologi HAPUS DOSA, Mencandu Penghapusan Dosa, Setiap Hari Berbuat Dosa dan Setiap Harinya pula Memohon Penghapusan Dosa

Lebih Tepatnya ialah, IRASIONAL juga JAHAT, alias JAHAT plus IRASIONAL, PENJAHAT yang IRASIONAL

Tidak ada penjahat yang rasional, sama seperti tiadanya pendosa yang rasional—sudah berbuat kejahatan, tidak bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya, masih pula mengharap hidup makmur dan masuk surga setelah ajal menjemputnya. Tentu kita sering dinasehati untuk mendistrosi pikiran kita sendiri dengan anekdot klise berikut : Ada orang-orang diluar sana, yang jauh lebih malang dari kita karena bertemu dan dijahati oleh orang yang lebih jahat daripada orang-orang yang pernah / sedang menjahati diri kita saat kini atau selama ini.

Disrupsi Kendaraan Listrik Tidak Bermotor

Kemajuan dan Kecanggihan Teknologi Bisa Sangat Kejam, karenanya Pemerintah dan Negara Perlu Hadir untuk Mengatur dan Menertibkan

Salah satu falsafah paling mendasar dari “safety driving” ialah, pastikan pengguna jalan lain melihat atau setidaknya menyadari keberadaan Anda, dan pastikan pula Anda melihat atau setidaknya menyadari keberadaan pengguna jalan lainnya di sekitar Anda. Seorang pejalan kaki, tidak memiliki instrumen alat bantu semacam “kaca spion” (rear mirror) untuk melihat kondisi lalu-lintas di belakangnya, sehingga seringkali satu-satunya indera yang dapat diandalkan sebagai “early warning system” adanya ancaman tidak terlihat ialah indera pendengaran lewat telinga, apakah ada keberadaan pengendara yang melaju dari arah belakang, dimana input yang diperlukan ialah adanya gelombang suara dari mesin kendaraan bermotor ataupun deruman knalpot kendaraan milik para pengendara tersebut.