Splitsing Dakwaan, Jaksa Mengakali Minimnya 2 Alat Bukti

KODE ETIK Jaksa Republik Indonesia

Splitsing Dakwaan Demi Genap Minimal 2 Alat Bukti, apakah Melanggar Kode Etik Jaksa Penuntut Umum?

Question: Banyak kita dengar pemberitaan, surat dakwaan yang disusun secara terpisah antar terdakwa oleh jaksa, semisal dalam kasus tindak pidana korporasi, dakwaan yang satu terhadap korporasinya, namun dakwaan kedua secara terpisah ialah terhadap pengurus korporasi bersangkutan, atas pelanggaran hukum yang sama. Alih-alih menjadikan satu-kesatuan surat dakwaan, jaksa selaku penuntut umum tampaknya memainkan trik berupa pemisahan surat dakwaan, dalam rangka membuat genap dua alat bukti, dimana salah satunya ialah bukti kesaksian yang notabene terdakwa lain dalam surat dakwaan lainnya.

Semisal surat dakwaan yang satu terdakwanya ialah korporasi, lalu pengurusnya dijadikan saksi. Dalam surat dakwaan kedua, dimana pengurusnya dijadikan terdakwa, pejabat pengurus lainnya dari korporasi dimaksud dijadikan saksi. Kesemua ini seolah hanya untuk mengakali minimnya alat bukti, apakah penuntut umum tidak melanggar kode etik perilaku kejaksaan yang berlaku di Indonesia? Penuntutan secara terpisah, tidak jarang hanya akal-akalan pihak penuntut umum saja meski bisa disatukan dalam satu surat dakwaan, semisal “terdakwa kesatu” dan “terdakwa kedua” didakwa dan dituntut secara sekaligus dalam satu berkas dakwaan.