Orang Indonesia bisa Sangat JAHAT, Sangat Teramat JAHAT

Pendosa Pemeluk Agama DOSA, Pelanggan Ideologi HAPUS DOSA, Mencandu Penghapusan Dosa, Setiap Hari Berbuat Dosa dan Setiap Harinya pula Memohon Penghapusan Dosa

Lebih Tepatnya ialah, IRASIONAL juga JAHAT, alias JAHAT plus IRASIONAL, PENJAHAT yang IRASIONAL

Tidak ada penjahat yang rasional, sama seperti tiadanya pendosa yang rasional—sudah berbuat kejahatan, tidak bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya, masih pula mengharap hidup makmur dan masuk surga setelah ajal menjemputnya. Tentu kita sering dinasehati untuk mendistrosi pikiran kita sendiri dengan anekdot klise berikut : Ada orang-orang diluar sana, yang jauh lebih malang dari kita karena bertemu dan dijahati oleh orang yang lebih jahat daripada orang-orang yang pernah / sedang menjahati diri kita saat kini atau selama ini.

Pertanyaannya ialah, bagaimana bila secara kebetulan, Anda mendapati bahwa diri Anda itulah menjadi sosok “orang yang paling atau lebih malang dari diri kita” sebagaimana dimaksud oleh anekdot di atas? Bagaimana jika secara kebetulan, Anda-lah orang yang paling tidak beruntung di dunia ini karena berjumpa dan dijahati oleh orang-orang paling jahat di dunia ini? Bukankah disaat bersamaan kita juga diajarkan untuk tidak bergembira dan bersenang-senang disamping penderitaan orang lain, namun mengapa kita justru menikmati kondisi dimana masih banyak orang-orang yang lebih malang daripada kondisi hidup kita? Untuk eksisnya orang kaya, maka harus ada orang miskin. Untuk eksisnya orang cantik / rupawan, maka harus ada orang yang buruk rupa. Namun siapa yang rela, dirinya diurutkan pada posisi yang paling kurang beruntung demikian? Apakah dunia ini benar-benar butuh orang jahat, agar ada yang namanya “superhero” atau pahlawan? Bukankah sungguh malang, negara yang bangsanya butuh pahlawan?

Namun, mereka yang menasehati diri kita tersebut disaat bersamaan juga berstandar-ganda, dengan tidak menyatakan bahwa bahwa ada orang-orang yang lebih bodoh daripada diri kita, sehingga nilai 0,5 sebagai hasil ujian tampaknya masih cukup memuaskan juga membanggakan. Terimakasih kepada si paling dungu di kelas atau di dunia tersebut, kita tidak menjadi benar-benar tampak dungu karenanya dan bisa cukup menghibur diri sendiri serta berpuas diri. Faktanya, bertemu, berjumpa, serta dijahati oleh orang-orang yang cukup jahat saja sudah membuat kita begitu merana dan menderita, sehingga untuk apa kita harus mensyukuri hidup ini semata karena tidak berjumpa dan dijahati oleh orang-orang yang paling jahat, paling sadis, paling kejam, dan paling “berdarah dingin” di dunia ini?

Pernah pada suatu hari, tepatnya pada suatu tikungan jalan, seorang pengemudi kendaraan bermotor roda dua melajukan kendaraan yang ia kemudi dengan sangat kencang sekalipun memasuki tikungan jalan, mengakibatkan pengendara motor lainnya dari arah berlawanan ketika berpapasan di tikungan menjadi terkejut sehingga terjatuh bersama kendaraan yang dikemudikannya dan mengalami luka hebat berdarah serta mengakibatkan lubang besar pada bagian lututnya. Bagaimana dengan pelakunya, apakah bertangggung-jawab atas hasil perbuatan jahatnya entah karena faktor kesengajaan ataupun kelalaian? Tidak, pelakunya seketika itu juga melarikan diri alias “hit and run”. Faktanya, negeri ini tidak pernah kekurangan seorang / para “agamais” yang rajin beribadah, meyakini adanya neraka, serta mengaku ber-Tuhan.

Kejadian demikian mengingatkan penulis pada peristiwa beberapa tahun lampau, dimana penulis hendak melewati pintu kecil terbuat dari besi di belakang sebuah perkantoran pemerintahan, dimana pada bagian atas pintu besi kecil tersebut terdapat palang besi yang rendah kedudukannya. Saat penulis sudah mengantri dengan sabar dan dapat giliran untuk lewat, secara mendadak dari arah berlawanan terdapat seseorang yang tidak mau bersabar mengantri dan berjalan melewati pintu kecil itu sehingga penulis terkejut—karena takut tubuhnya mengenai kacamata yang penulis kenakan, jika rusak maka dapat dipastikan sang pelaku tidak akan mau bertanggung-jawab mengganti kerugian—maka penulis refleks berdiri saat merunduk mencoba melewati pintu kecil dari besi, dan seketika itu pula tempurung kepala penulis menghajar palang besi dengan demikian kerasnya sehingga berhari-hari kemudian masih menderita sakit pada tumpurung kepala—dimana hingga saat kini masih mengalami trauma setiap kali melewati tempat-tempat berupa pintu kecil terbuat dari besi.

Penulis kemudian menoleh kebelakang, dan mendapati seorang pria yang menjadi pelakunya berjalan “sok sibuk” pergi, tanpa mau tahu akibat perbuatannya bisa sangat fatal bagi keselamatan orang lain. Penulis sempat berpikir di tengah-tengah kemarahan bercampur rasa sakit yang hebat di bagian ubun-ubun kepala, akan meminta pertanggung-jawaban dari yang bersangkutan. Namun penulis seketika mengurungkan niat, karena penulis sadar betul adalah percuma saja mencoba menuntut tanggung-jawab dari orang-orang atau manusia yang notabene “Made in Indonesia”, orang-orang mana “agamais” namun tidak takut dan tidak malu berbuat dosa—semata-mata karena memakan dan termakan ideologi sesat perusak “standar moralitas” umat manusia bernama ideologi korup “too good to be true” yakni “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, kabar gembira bagi pendosa yang disaat bersamaan menjadi kabar buruk bagi kalangan korban, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pendosa daripada terhadap korban-korban dari para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut.

Giliran berikutnya, pada suatu trotoar yang kondisinya tidak manusiawi bagi kalangan pejalan kaki di sebuah pusat kota sekaliber Jakarta, akibat dikelola oleh pejabat-pejabat yang “tidak berotak” yang tidak pernah merasakan bagaimana hidup sebagai seorang pejalan kaki, ketika penulis sudah dengan tertib mengantri melewati jalan sempit yang oleh pemerintah daerah bagian jalan setapaknya tidak di-semen ataupun diberi aspal namun justru diberi pecahan-pecahan batu kali (sungguh pejabat daerah yang tidak punya otak), seorang ibu-ibu dari arah berlawanan tidak mau bersabar sehingga saat penulis dapat giliran melewati jalan sempit tersebut mengakibatkan penulis terkejut dan kali ini penulis secara refleks berpegangan pada tiang listrik yang penuh kabel menjuntai untuk menyeimbangkan tubuh.

Beruntung tiang yang penulis sentuh untuk berpegangan tidak mengandung sengatan listrik, jika tidak, fatal akibatnya dan ibu-ibu berkerudung (berbusana “agamais”) tersebut dapat penulis pastikan tidak akan mau bertanggung-jawab namun masih juga mengharap memasuki alam surgawi sebagaimana yang sudah-sudah—cobalah perhatikan fenomena sosial kemasyarakan kita yang meluas serta sistematik berikut ini di Indonesia : setiap harinya beribadah dengan ritual sembah-sujud disertai doa-doa yang pada pokoknya meminta permohonan penghapusan dosa, setiap hari raya pemuka agamanya memohon penghapusan dosa bagi para umatnya, dan saat ajal tiba pun sanak-keluarga dari sang almarhum pendosa masih juga memanjatkan doa permohonan penghapusan dosa yang dikumandangkan tanpa rasa malu lewat pengeras suara kepada khalayak ramai, seolah-olah korban tidak pernah punya hak untuk menuntut keadilan. Sekalipun kita ketahui betul, HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPUSAN DOSA (atau apapun itu istilahnya).

Pernah juga terjadi, masih di Indonesia, tepatnya di Jakarta, kota metropolitan yang dibanggakan bangsa Indonesia, sehabis turun dari jembatan penyeberangan orang, dengan kondisi trotoar yang memprihatinkan akibat dikelola pejabat “tidak berotak” sekalipun anggaran Pemerintah Daerah Jakarta sangat amat besar, namun banyak dihabiskan serta terserap untuk hal-hal yang tidak jelas atau proyek-proyek “siluman” yang tidak berfaedah serta tidak urgen sifatnya, seorang pengendara motor memarkir kendaraannya persis di pinggir jalan dan menaruh satu kakinya di atas trotoar, mengakibatkan penulis harus berjalan lewat ke badan jalan mengingat bahu jalan dihalangi pengendara motor yang parkir sembarangan seolah tidak ada tempat parkir yang lebih layak baginya untuk memarkirkan kendaraan bila memang menunggu seseorang untuk ia jemput dan bonceng, dimana seketika itu juga penulis ditabrak oleh kendaraan bermotor yang melintas dari arah belakang yang padat lalu-lintasnya tanpa mau mengalah ataupun bersabar terhadap kalangan pejalan kaki sekalipun kalangan pejalan kaki yang selama ini mengalah terhadap pejalan kaki.

Lagi-lagi, pejalan kaki yang dipersalahkan oleh sang penabrak sekalipun kaki penulis menjadi lebam dan memar hebat membiru bahkan menghitam tidak lama kemudian—seperti yang sudah-sudah, khas bangsa “agamais” kita (lebih galak pelaku daripada korban). Penulis hendak mencari perhitungan dengan pihak yang memarkirkan motor sembarangan tersebut, namun penulis sadar bahwa adalah percuma dan kian “wasting time” menagih pertanggung-jawaban terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab dari manusia-manusia “agamais” yang notabene “Made in Indonesia”, dan seketika itu juga berbalik badan kembali melanjutkan perjalanan dalam kondisi kaki terluka dan pincang. Menurut para pembaca, apakah penulis bersikap “bodoh” karena tidak meminta pertanggung-jawaban ataupun berperang sengit, dalam rangka menuntut pertanggung-jawaban?

Tidak, justru dari sejak sangat kecil di bangku Sekolah Dasar, penulis tahu betul betapa menderita dan tersudutkannya alias tidak menguntungkannya menjadi kalangan korban—pelakunya lebih galak ketika ditegur, terlebih ketika dituntut pertanggung-jawaban (too good to be true). Bukan satu atau dua kali kejadian demikian harus penulis telan dan hadapi kenyataannya sejak usia penulis masih sangat bocah di bangku sekolah, dimana para pelakunya begitu “agamais”, dalam artian rajin beribadah, suka berbicara agama, bangga pada agama dan keyakinannya, berbusana agamais, pandai mengutip ayat-ayat kitab agamanya, dan mengaku ber-Tuhan tentunya.

Penulis telah sampai pada suatu titik, dimana penulis membuat hipotesis dan menemukan afirmasinya dengan kuantitas maupun kualitas pengalaman pahit yang tidak lagi terhitung jumlah serta bobotnya, mengerucut pada konklusi bahwasannya bagi seorang pendosa pemeluk / pelanggan / pecandu ideologi korup tentang “abolition of sins” demikian, BERTANGGUNG-JAWAB SAMA ARTINYA DENGAN MERUGI; DAN SEBALIKNYA TIDAK BERTANGGUNG-JAWAB ATAU LARI DARI TANGGUNG-JAWAB ATAU MENGGAGALKAN UPAYA KORBANNYA MENUNTUT TANGGUNG-JAWAB SAMA ARTINYA UNTUNG DAN KEUNTUNGAN ITU SENDIRI.

Karenanya, penulis tidak lagi dalam posisi untuk membuang-buang waktu lebih banyak lagi untuk menuntut pertanggung-jawaban ataupun untuk mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari pelaku-pelaku yang selama ini telah bersikap tidak sepatutnya terhadap penulis. Mereka, sang pelaku itu sendiri yang semestinya merasa berkepentingan untuk bertanggung-jawab kepada korban-korbannya, dalam rangka tidak menanam benih-benih Karma Buruk. Bila tiada yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini, akibat supremasi Hukum Karma, maka untuk apa juga melarikan diri atau bahkan mempertontongkan sikap-sikap semacam “lebih galak pelaku daripada korban”?

Kita tidak perlu menyia-nyiakan waktu kita untuk seseorang yang menyia-nyiakan kemanusiaan dirinya sendiri—alias tidak malu dan tidak takut berbuat jahat seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai manusia-manusia lainnya. Pemeluk “Agama DOSA”, bernama “pendosa”, dimana para pendosa menjadi umat pemeluknya, disebut demikian semata karena justru mempromosikan penghapusan dosa alih-alih mengkampanyekan gaya hidup bersih dari dosa. Apa yang dapat Anda harapkan dari para pendosa pemeluk ajaran yang diklaim sebagai “kontra-jahiliah” berikut ini, dimana perasaan korban justru disepelekan, membudayakan peremehan terhadap dosa dan maksiat, dimana penjahat / pendosa justru mendapat “insentif” alih-alih “dis-insentif”:

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].

- “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.” [Shahih Bukhari 6933]

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi No. 2533]

Anda tahu apa yang mereka katakan dari mimik wajah mereka ketika menyakiti penulis? Masih untung penulis hanya terluka akibat perbuatan jahat mereka, tidak sampai nyawa penulis yang mereka cabut; itulah yang mereka katakan dari bahasa tubuhnya. Lalu, penulis harus merasa bersyukur dan berterimakasih kepada mereka, karena masih membiarkan penulis hidup dalam kondisi terluka / dirugikan mereka? Tiada satu pun ajaran dari “Agama DOSA” yang sensitif terhadap “perspektif korban”, semuanya serba tebar pesona dan tebar iming-iming “janji-janji surgawi” bagi kalangan pendosa lewat umbar serta obral penghapusan dosa, atau apapun itu istilahnya yang notabene ialah sikap-sikap ala pengecut yang mana “berani berbuat namun tidak berani bertanggung-jawab”. Karenanya, para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut layak serta sudah sepatunya menyandang gelar sebagai “pengecut tulen”—bagaimana ceritanya, yang ternoda, tercemar, dan pengecut, hendak bersatu dengan Tuhan di surga? Itu ibarat nila setitik rusak susu sebelanya, dan dapat penulis pastikan Tuhan tidaklah sebodoh itu sehingga mau ditipu oleh mulut manis maupun “lip service” para penipu, para pendusta, maupun para penjahat maupun pendosa lainnya.

Telah lama penulis mengamati, akar penyebab “kegilaan” (insanity) para pendosa pemeluk ideologi penghapusan dosai ialah bersumber dari delusi pikiran bernama sikap atau sifat “irasional”. Sifat atau sikap “irasional” yang sama itulah, yang berulang-kali mereka pertunjukkan secara vulgar kepada penulis ketika menyakiti, melukai, ataupun merugikan korban-korbannya. Kisah nyata berikut baru-baru ini penulis alami dengan mata-kepala sendiri sebagai korbannya, sekaligus mencerminkan betapa “insane” manusia “Made in Indonesia”.

Mungkin karena bangsa kita hanya diajarkan untuk “cinta produk ‘Made in Indonesia’”, namun tidak dibudayakan untuk “cinta terhadap sesama manusia ‘Made in Indonesia’”. Belum lama ini, disaat penulis berjalan kaki ditengah guyuran hujan di suatu jalan perumahan, penulis hendak berjalan lurus saat akan melewati sebuah ruas jalan yang terdapat tikungan, namun pengendara sebuah mobil dari arah tikungan yang hendak berbelok justru tidak mau mengalah terhadap pejalan kaki yang hendak berjalan lurus ditengah guyuran hujan, sehingga penulis harus segera berkelit agar tidak terkena tabrak “gajah besi” yang dikendarai oleh sang pengendara meski dari jarak jauh penulis telah memberi tanda hendak melewatinya dan berjalan lurus.

Yang membuat penulis takjub sekaligus penuh ironi ialah, ketika penulis perhatikan sang pengendara yang hampir menabrak penulis kurang dari jarak setengah meter saat di jalan tikungan perumahan tersebut, kini kurang dari 100 meter dari tempat kejadian semula penulis hampir ditabrak olehnya, sang pengendara akan melewati tikungan lain ke arah jalan besar yang penuh lalu-lalang kendaraan lain, pengendara tersebut “mendadak penuh kesabaran” alias “mendadak alim” dengan menghentikan laju kendaraannya, dan merayap perlahan-lahan ketika lalu-lintas kosong sehingga ia dapat melajukan kendaraannya untuk berbelok ke jalan besar. Sang pengendara telah ternyata lebih menghargai dan menghormati benda mati berupa kendaraan yang menjadi pengguna jalan lainnya ketimbang terhadap manusia selaku pejalan kaki.

Fenomena sosial berlalu-lintas berikut selalu penulis jumpai di setiap ruas jalan, sehingga menjadi cerminan sempurna mentalitas atau kultur sejati bangsa Indonesia. Sebagai seorang pejalan kaki, penulis mendapati kondisi jalan di Kota Jakarta tergolong sangat tidak manusiawi, mulai dari “pedagang kaki lima” yang merampas bahu jalan ataupun trotoar, rerantingan tumbuhan yang dibiarkan tumbuh lebat tanpa dipangkas sehingga mengancam keselamatan indera mata penglihatan pejalan kaki, hingga atap-atap kios semi permanen yang rendah sehingga bahkan kepala penulis yang berpostur tinggi posisinya lebih tinggi daripada atap kios-kios pinggir jalan, mengakibatkan penulis sesekali harus bergeser sedikit ke badan jalan.

Namun, tanpa mau bersikap pengertian ataupun bersikap humanis terhadap sesama manusia, para pengendara roda dua maupun roda empat secara demikian arogan mengklakson penulis dari arah belakang dengan suara yang keras dan penuh ancaman lewat deru dan akselerasi kendaraan mereka. Gaibnya yang membuat penulis selalu takjub sekaligus miris ialah, tidak sampai beberapa ratus meter kemudian, saat sang pengendara berjumpa kondisi jalan dimana separuh badan jalan ditutupi oleh kendaraan lain yang “parkir liar”, para pengendara yang semula begitu “ganas” tersebut “mendadak alim” alias “mendadak penuh kesabaran”, dengan memperlambat atau bahkan menghentikan laju kendaraan mereka sama sekali, merayap perlahan hingga dapat melewati kendaraan yang parkir tersebut tanpa mengklaksoni kendaraan-kendaraan yang terparkir secara liar tersebut.

Selama ini pihak pengendara bebas sesuka hati memarkir kendaraannya secara merampas hak pengguna jalan lainnya, namun seorang manusia pejalan kaki yang sekadar “parkir” sedikit di badan jalan pun tidak diberi toleransi sedikitpun oleh kalangan pengendara yang selalu “mau menang sendiri”. Pejalan kaki diposisikan selalu harus bersabar dan mengalah, seolah kasta yang sama sekali tidak terhormat. Penulis maupun para pejalan kaki lainnya notabene adalah makhluk hidup, namun para pengendara tersebut telah ternyata lebih manusiawi terhadap benda mati—yakni kendaraan yang dalam kondisi terparkir di pinggir maupun di separuh badan jalan—namun disaat bersamaan demikian aroganis terhadap pejalan kaki yang notabene makhluk hidup. Itulah contoh konkret, betapa manusia “Made in Indonesia” merupakan para “makhluk irasional”, dimana semakin pekat derajat irasional yang bersangkutan, ketika diberi kekuasaan berupa kendaraan untuk dikendarai, maka akan semakin mengancam eksistensi kemanusiaan di ruas-ruas jalan umum.

Belum lagi kita bicara perihal pengendara motor yang kerap berjalan secara melawan arus, dimana jelas bahwa pejalan kaki tidak memiliki mata sebagai indera penglihatan di belakang kepala, namun para pengendara yang sudah jelas-jelas salah, tercela, menghalangi, melanggar hukum, tidak mau mengalah dan mengancam pejalan kaki yang sekadar menggunakan haknya, masih juga dirampas haknya serta diancam akan ditabrak “banteng besi” bisa tidak segera mengalah dengan menghindar ke badan jalan—dengan ancaman akan tertabrak kendaraan yang melaju dari arah belakang. Betapa egois, serakah, dan tidak takut dosa-nya bangsa kita, bahkan pengendara kendaraan bermotor masih juga merampas hak seorang pejalan kaki tanpa rasa malu ataupun takut, berkat ideologi “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!”, ada “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa.

Bukankah absurd, berbuat jahat / dosa kepada sesama umat manusia lainnya, namun sang “pendosa penjilat penuh dosa” justru memohon pengampunan dosa kepada Tuhan? itu bukanlah lagi absurd, namun konyol plus dungu plus pengecut plus tercela plus jahat plus busuk, singkatnya ialah “manusia kotor yang menjijikkan”. Ciri paling khas dari manusia “Made in Indonesia” ialah : Pertama, gemar menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik, karena memang itulah yang dipromosikan oleh versi “Tuhan” yang mereka sembah, tiru, dan junjung. Kedua, lebih galak yang bersalah ketika ditegur oleh korbannya. Ketiga, seolah satu buah kejahatan belum cukup jahat bagi mereka. Keempat, tidak bertanggung jawab, rugi jika menikmati “penghapusan dosa”. Kelima, delusif-irasional alias masih juga mengharap dan yakin masuk surga meski telah banyak mengoleksi dan menimbun dirinya dengan dosa-dosa karena menyakiti, merugikan, ataupun melukai warga lainnya. Keenam, suka mencari-cari “alasan pembenar” untuk segala sesuatunya yang meski sudah jelas-jelas salah, keliru, dan tercela.

Kisah berikut ini dituturkan oleh seorang kenalan yang menjadi korban manusia yang mana (lagi-lagi) tidak bertanggung-jawab terhadap derita korbannya akibat perilaku tidak bertanggung-jawab sesama anak bangsa di Indonesia, bukan oleh penjajah asing—jiwa nasionalisme yang patut dipertanyakan. Pada suatu hari, seorang warga berjalan di jalanan pemukiman rumahnya, mendadak dirinya ditabrak oleh seorang ibu penjual sayur yang mengendarai kendaraan bermotor roda dua, yang melaju dengan sangat kencang. Akibatnya, sang korban menderita patah tulang.

Ketika sang pelaku ditagih oleh keluarga korban, berupa pertanggung-jawaban sekadar ganti-rugi biaya berobat, suami dari sang pelaku kemudian memberikan tanggapan dan respons sebagai berikut. Alih-alih merasa malu dan takut berbuat dosa, suami dari sang pelaku justru memaki-maki dan memarahi sang korban, seolah-olah derita sang korban belum cukup banyak, dan seolah-olah kejahatan sang pelaku belum cukup banyak—alias menutupi satu kejahatan dengan berbuat kejahatan baru lainnya. Faktanya, penulis atau juga mungkin para pembaca telah pernah mengalami kejadian serupa selaku korban yang dikorbankan oleh sifat-sifat “pengecut” tidak bertanggung-jawab oleh sesama warga, kejadian atau fenomena mana masif terjadi bahkan dapat disebut sebagai budaya / kultur khas bangsa Indonesia.

Namun, lebih baik pelakunya tidak bertanggung-jawab bila hanya sekadar ganti-kerugian biaya berobat, mengapa? Jawabannya ialah pertimbangan bahwa tetap saja sang korban merugi lebih banyak daripada yang mampu dibayangkan oleh sang pelaku atau dipungkiri oleh sang pelaku. Tiada sejarahnya korban patah tulang dapat sembuh pulih secara permanen seperti sedia-kala sekalipun telah diberikan pertolongan medik. Sang korban untuk seumur hidupnya seorang diri menanggung derita akibat tulang yang tidak sempurna, nyeri tahunan, keterbatasan gerak fisik, merugi waktu, pikiran, dampak traumatik, ketenangan jiwa maupun kedamaian hidup yang tidak dapat dinilai dengan nominal uang sekalipun pelakunya mampu dan mau membayar.

Dari sejak kecil hingga dewasa, sudah begitu banyak kejadian penulis harus menanggung kerugian akibat kacamata yang penulis kenakan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Ketika ditagih pertanggung-jawaban, mayoritas respons yang penulis terima ialah berkelit sedemikian rupa, 1001 alasan, sekadar “gimmick” akan bertanggung-jawab namun nihil realisasi, bahkan pernah terjadi keluarga pelakunya lebih galak daripada penulis, hingga pelakunya menuding penulis telah berdusta alias merusak plus memfitnah. Masih untung yang rusak ialah kacamata yang penulis kenakan, jika tidak mengenakan kacamata saat kejadian, maka dapat dipastikan bola mata penulis yang akan rusak permenan akibat terkena sabetan tangan anak-anak nakal maupun ulah orang-orang dewasa yang “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”. Meski begitu, lebih baik demikian, mengingat bila pelakunya sekadar membayar ganti-rugi biaya mengganti kacamata baru, maka tetap saja penulis menderita kerugian mulai dari ongkos transportasi, tidak dapat mengikuti kegiatan belajar-mengajar ataupun bekerja, rugi pikiran, rugi waktu, dan lain sebagainya.

Kisah fiktif berisi anekdot berikut di bawah ini merupakan cerita favorit penulis, karena dapat cukup mewakili perangai atau cerminan watak masyarakat kita di Indonesia, yang konon “agamais” namun disaat bersamaan tidak takut dan tidak malu berbuat dosa dengan menyakiti, melukai, ataupun merugikan sesama anak bangsa. Alkisah, seorang pemuda bersafari ke alam liar di hutan rimba. Betapa gembiranya sang pemuda yang berpetualang menikmat indahnya hutan yang dipenuhi oleh beragam flora dan fauna untuk dijelajahi dan dieksplorasi. Mendadak, sang pemuda disergap oleh seekor singa besar yang tampaknya buas dan kelaparan, sungguh mengejutkan. Akan tetapi sang pemuda kembali dikejutkan oleh sang singa, yang dengan takjub-nya sang raja hutan bersujud sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sembari mulai memejamkan mata.

Astaga, saya berjumpa dengan seekor singa yang baik!” pekik sang pemuda, tidak percaya dengan penglihatannya.

Sembari tetap memejamkan mata, sang singa menanggapi, “Ya, sebagai singa yang baik, sebelum makan tidak lupa berdoa terlebih dahulu.

Masyarakat kita kerap menuding pejabat sebagai “korup”, yang mana mereka juluki sebagai “koruptor”, dimana juga masyarakat kita gemar mengutuk agar para koruptor tersebut dihukum “mati”. Sejatinya, masyarakat kita itu sendiri adalah “korup” dan tidak kalah jahat dengan kalangan “koruptor” yang mereka kritik dan kutuk. Betapa tidak, sebagai contoh, para petani kita di Indonesia kerap meng-korupsi kesehatan konsumennya, dengan memakai pestisida secara berlebihan melampaui ambang batas pemakaian, terlebih saat menjelang panen, saat cuaca kurang baik, maupun saat ada hama, belum lagi ketika produk pertanian mereka dipanen serta distribusikan hingga ke pasar maupun pelaku usaha kuliner, tingkat atau kadar pestisida jauh diatas ambang batas lengkap dengan segala cemaran lainnya, bahkan berbagai restoran langsung menyuguhkan tanpa dicuci bersih yang bahkan tanpa dicuci ataupun dibilas sama sekali.

Dari hulu, produk pangan kita mulai dari tingkat petani, distributor, hingga hilirnya pada pedagang pengecer di pasar maupun pelaku usaha kuliner, sama sekali tidak menaruh perduli terhadap ancaman ataupun potensi nyata bombardir setiap harinya diasup produk yang semestinya sehat semacam “lalapan” telah ternyata mengandung bahaya dibaliknya terhadap kesehatan masyarakat selaku konsumen mereka—alias korup serta “durhaka”. Tidaklah mengherankan bilamana kesehatan masyarakat kita dewasa kini kian merosot dan rumah sakit kian padat oleh pasien pengunjung, mengingat kesehatan mereka dirusak dan dirampas oleh sesama rakyat kita sendiri. Praktik usaha tidak sehat demikian berlangsung setiap harinya, selama puluhan tahun belakangan ini.

Jika koruptor memang harus dihukum “mati”, maka sebagian besar masyarakat kita itu sendiri juga harus dihukum “mati” sebagai konsekuensinya. Kita belum berbicara perihal perilaku para pedagang kita yang kerap menggunakan bahan kimia beracun untuk produk pangan / jajanan pasar, mulai dari pengawet berbahaya, pewarna tekstil, penyedap / penguat rasa yang karsinonegik, minyak super jelantah, air yang tidak higienis, cara penyajian yang sama sekali tidak higienis, bahkan sempat diberitakan penjual mengecat cabai hijau dengan cat merah demi mengejar keuntungan tinggi disaat harga komoditas cabai sedang tinggi.

Sebagai penutup, tepat kiranya kita menyimak khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal tiadanya rasa takut memiliki dan memelihara sifat / sikap jahat suatu anggota masyarakat yang hidup berdampingan sebagai sesama anak bangsa:

(1) “Para bhikkhu, jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu sedang berjalan, dan ia membiarkannya, tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai hampa dari semangat dan rasa takut; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi malas dan tanpa kegigihan ketika sedang berjalan.

(2) “Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berdiri … (3) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang duduk … (4) Jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berbaring terjaga, dan ia membiarkannya, tidak meninggalkannya, tidak menghalaunya, tidak menghentikannya, dan tidak melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai hampa dari semangat dan rasa takut; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi malas dan tanpa kegigihan ketika sedang berbaring terjaga.

(1) “Tetapi, para bhikkhu, jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu sedang berjalan, dan ia tidak membiarkannya melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia secara terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan bersungguh-sungguh ketika sedang berjalan.

(2) “Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berdiri … (3) Jika pikiran indriawi … muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang duduk … (4) Jika pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, atau pikiran mencelakai muncul dalam diri seorang bhikkhu sewaktu ia sedang berbaring terjaga, dan ia tidak membiarkannya melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, [14] dan melenyapkannya, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia secara terus-menerus dan tanpa henti menjadi penuh semangat dan bersungguh-sungguh ketika sedang berbaring terjaga.”

Apakah berjalan atau berdiri, duduk atau berbaring, seseorang yang memikirkan pikiran-pikiran buruk yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga telah memasuki jalan mengerikan, tergila-gila oleh hal-hal yang menyesatkan: bhikkhu demikian tidak dapat mencapai pencerahan tertinggi.

Tetapi seseorang yang, apakah berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, telah menenangkan pikiran-pikirannya dan gembira dalam penenangan pikiran: bhikkhu seperti ini dapat mencapai pencerahan tertinggi.

~-~

“Para bhikkhu, berdiamlah dengan mematuhi perilaku bermoral, mematuhi Pātimokkha. Berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerimanya, berlatihlah dalam aturan-aturan latihan. Ketika kalian telah melakukan demikian, apakah yang harus dilakukan lebih lanjut?

(1) “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk ketika sedang berjalan; jika ia telah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan; jika kegigihannya telah dibangkitkan tanpa mengendur; jika perhatiannya telah ditegakkan dan tidak kacau; jika jasmaninya menjadi tenang dan tidak terganggu; jika pikirannya terkonsentrasi dan terpusat, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan bersungguh-sungguh sewaktu sedang berjalan.

(2) “Jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk ketika sedang berdiri … (3) Jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk ketika sedang duduk … [15] … (4). Jika seorang bhikkhu telah bebas dari kerinduan dan niat buruk ketika sedang berbaring terjaga; jika ia telah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keraguraguan; jika kegigihannya telah dibangkitkan tanpa mengendur; jika perhatiannya telah ditegakkan dan tidak kacau; jika jasmaninya tenang dan tidak terganggu; jika pikirannya terkonsentrasi dan terpusat, maka bhikkhu itu dikatakan sebagai tekun dan takut akan perbuatan salah; ia terus-menerus dan tanpa henti penuh semangat dan bersungguh-sungguh sewaktu sedang berbaring terjaga.”

Terkendali ketika berjalan, terkendali ketika berdiri, terkendali ketika duduk dan ketika berbaring; terkendali, seorang bhikkhu menarik anggota tubuhnya, dan terkendali, ia merentangkannya. Ke atas, ke sekeliling, dan ke bawah, sejauh mana dunia ini merentang, ia adalah seorang yang memeriksa muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena itu seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan.

Berlatih dalam apa yang kondusif hingga ketenangan pikiran, selalu penuh perhatian, mereka menyebut bhikkhu demikian sebagai seorang yang terus-menerus bersungguh-sungguh.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.