Disrupsi Kendaraan Listrik Tidak Bermotor

Kemajuan dan Kecanggihan Teknologi Bisa Sangat Kejam, karenanya Pemerintah dan Negara Perlu Hadir untuk Mengatur dan Menertibkan

Salah satu falsafah paling mendasar dari “safety driving” ialah, pastikan pengguna jalan lain melihat atau setidaknya menyadari keberadaan Anda, dan pastikan pula Anda melihat atau setidaknya menyadari keberadaan pengguna jalan lainnya di sekitar Anda. Seorang pejalan kaki, tidak memiliki instrumen alat bantu semacam “kaca spion” (rear mirror) untuk melihat kondisi lalu-lintas di belakangnya, sehingga seringkali satu-satunya indera yang dapat diandalkan sebagai “early warning system” adanya ancaman tidak terlihat ialah indera pendengaran lewat telinga, apakah ada keberadaan pengendara yang melaju dari arah belakang, dimana input yang diperlukan ialah adanya gelombang suara dari mesin kendaraan bermotor ataupun deruman knalpot kendaraan milik para pengendara tersebut.

Kini, disaat ulasan ini disusun, kendaraan listrik roda dua tidak bermotor sebagai antiklimaks dari kendaraan bermotor, telah memasuki era “kendaraan listrik sebagai kendaraan sejuta umat”, tidak jarang penulis selaku “pecinta jalan kaki” harus membiasakan diri dan berdabtasi terhadap ancaman baru yang nyata, yakni secara tiba-tiba melaju kencang kendaraan motor listrik roda dua dari arah belakang, yang mana benar-benar sunyi-senyap nyaris tanpa suara, dimana laju kendaraan listrik tersebut hampir menyamai kecepatan kendaraan bermotor konvensional, bahkan lebih efisien serta lincah lajunya mengingat bobot kendaraannya demikian ringan, tidak seberat kendaraan bermotor roda dua konvensional.

Negara Indonesia sungguh-sungguh dipimpin oleh para pejabat yang tidak kompeten dibidangnya. Sekalipun kendaraan listrik tanpa motor sudah sedemikian masif menjadi bagian dari gerak kehidupan dan ekonomi rakyat, Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Perhubungan belum kunjung menerbitkan aturan, sekalipun urgen, yang mewajibkan pihak manufaktor, produsen, importir, maupun perakit atau setidaknya agen penjualan di dalam negeri untuk memasang komponen tambahan semacam alat pembuat suara mesin artifisial, dalam rangka memastikan keselamatan pengendara bersangkutan maupun pengguna jalan lainnya—mengingat deru kendaraan listrik sama sekali tidak menimbulkan polusi udara maupun polusi suara, mengingat tiada pembakaran ala karburator ataupun gesekan piston, tidak juga terdapat komponen semacam knalpot.

Seolah-olah di negeri ini kekurangan orang cerdas, sekalipun memang kenyataannya banyak diantara pengemudi kita yang tidak kompeten mengemudi namun mampu mengantungi Surat Izin Mengemudi (SIM)—bayangkan, di kantor tempat pengujian calon pengendara yang menjadi markas / sarang para polisi lalu lintas, didalamnya terdapat tempat “pelatihan berkendara” berbiaya tinggi yang sekadar menjadi formalitas semata agar diluluskan ujian praktik secara “sumir”, dimana praktik pungutan liar ataupun “sogokan” berupa uang tidak seberapa nilainya, kini dikemas dengan kedok “pelatihan” berbiaya tinggi namun faktanya sekadar formalitas dimana terjadi aksi kolusi antara pihak pejabat pada kantor sarang para polisi tersebut serta pengelola “pelatihan berkendara”. Pada sarang tempat para polisi bersarang dan bermarkas saja, kejahatan terjadi masif di depan mata serta dipelihara oleh para polisi yang memiliki sumpah jabatan serta digaji oleh pajak yang dibayar rakyat untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Logika sederhana telah mampu menjelaskan, akibat tiadanya faktor pembakaran bahan bakar ataupun knalpot, akibatnya laju maupun deru kendaraan listrik nyaris tidak terdengar, sementara itu kendaraan listrik mampu berakselerasi layaknya kendaraan konvensional (bahkan lebih tinggi mengingat faktor bobotnya yang ringan)—dan itu menjadi ancaman tersendiri bagi pengguna jalan lainnya seperti pengendara lain maupun bagi kalangan pejalan kaki. Cobalah tengok kembali kaedah “safety driving” yang paling utama yang telah kita singgung di muka, alhasil kendaraan listrik tanpa alat tambahan yang dipasang / terpasang pada rangka-nya, menjadi tidak lagi tergolong sebagai kendaraan yang lengkap dan utuh laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lalu Lintas, sehingga semestinya pihak kepolisian dapat menilang pemilik kendaraan yang menggunakan kendaraan “senyap” nyaris tidak terdengar sementara laju kendaraannya mampu menyamai akselerasi maupun kecepatan kendaraan bermotor konvensional—mengingat berpotensi membawa bahaya bagi pengguna jalan lainnya.

Singkat kata, suara deru kendaraan bermotor normal layaknya kendaraan bermotor konvensional, menjadi bagian dari kelengkapan kendaraan yang perlu dipastikan oleh seorang pengendara sebelum berkendara dan mengendarai kendaraan tersebut di jalan umum. Itu sama seperti filosofi berikut, seseorang perlu berjalan dengan membawa pelita di tengah kegelapan malam, semata agar orang-orang di sekitarnya mengetahui keberadaan dirinya sehingga tidak saling bertabrakan satu sama lainnya ketika bersama-sama berjalan di tengah kegelapan malam. Sementara itu, kendaraan listrik tanpa motor mampu berjalan dengan kecepatan sangat tinggi, dimana kita kerap terkejut mendapati adanya ancaman yang begitu dekat hendak melintas dekat dengan posisi keberadaan diri kita, nyaris tanpa suara.

Masalah demikian solusinya semudah menerbitkan peraturan, yang mewajibkan berbagai stakeholder bersangkutan untuk memastikan kelengkapan berkendara, salah satunya ialah alat tambahan pemancar suara layaknya mesin kendaraan bermotor, dimana semakin cepat akselerasi kendaraan listrik bersangkutan, maka semakin keras suara dihasilkan sebagai pengingat atau “alarm” bagi pengguna jalan lainnya maupun bagi si pengendara itu sendiri bilamana terlena telah masuk dalam kondisi “over speed”. Tanpa alat tambahan tersebut, maka kendaraan bersangkutan belum dapat dikategorikan sebagai kendaraan yang lengkap dan siap operasional.

Norma hukum yang mewajibkan alat tambahan dari kendaraan listrik tanpa motor, baik itu motor listrik maupun mobil listrik, sejatinya dapat membuka lapangan pekerjaan ataupun potensi bisnis baru, bagi para produsen pembuat / perancang alat pemancar suara yang dapat dibongkar-pasang pada kendaraan listrik secara swadaya oleh pemilik kendaraan, semisal pengendara dapat menyetel suara siulan, suara seruling bambu, suara hembusan angin, suara burung pipit, suara tapak kuda, atau berbagai pilihan lainnya sesuai selera dan sesuai “mood” sang pengendara. Bukan satu atau dua kali kejadian penulis selaku pejalan kaki di area pemukiman dibuat terkejut oleh keberadaan kendaraan listrik yang bak “kendaraan siluman” demikian—datang melintas dan pergi secara nyaris tanpa peringatan atau aba-aba apapun.

Deru kendaraan bermotor memang kerap mengancam dan membuat perasaan terancam para kalangan pejalan kaki, namun fakta realita lapangan telah membuktikan bahwa laju kendaraan listrik tidak bermotor tanpa kelengkapan alat tambahan suara artifisial demikian dapat lebih membahayakan dan menjadi ancaman tersendiri, yakni tanpa peringatan apapun diseruduk oleh “banteng besi” yang sunyi dan senyap tanpa lenguhan khas banteng yang mengamuk hendak menyeruduk. Ibarat penyakit, “silent killer” seperti penurunan fungsi hati yang tanpa gejala lebih perlu diwaspadai daripada penyakit-penyakit yang disertai gejala keluhan fisik.

Bagi para penggemar kompetisi balap kendaraan bermotor “sport” roda dua, tidak perlu khawatir, karena bilamana sekalipun kendaraan bermotor berbahan bakar minyak bumi tersebut cepat atau lambat akan punah—hal yang pasti, hanya tinggal persoalan waktu—tergantikan oleh kendaraan “sport” berpenggerak tenaga listrik dari baterai yang senyap tanpa suara, namun pihak sponsor atau “event organizer”, produsen, maupun promotor dapat semudah memasang atau menambah komponen pembuat suara artifisial pada bodi kendaraan motor listrik yang dikompetisikan. “BRRRM.. BRRRM... BRRRRMMMMMMMM...

Hanya saja, kelak yang akan mendominasi kompetisi ajang balap bermotor paling bergengsi dunia tersebut bukan lagi produsen asal Jepang maupun Eropa, namun produsen “Mocin” alias “motor listrik buatan China”. Selamat tinggal Formula 1, selamat tinggal MotoGP, dan selamat datang “Mocin”. Hari gini, masih pakai motor / kendaraan berbahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan? Siapa yang dapat menyangka, dominasi serta hegemoni produsen raksasa dunia dalam dunia otomotif, akan terancam tumbang akibat disrupsi teknologi yang tidak dapat dibendung untuk selamanya.

Kelak, bukan hanya alat-alat elektronik maupun teknologi canggih semacam handphone buatan asal China yang menggeser pemain lama produsen-produsen ternama dunia, namun juga teknologi kendaraan hingga pesawat, sebagaimana industri drama Korea yang bersaing ketat dengan drama-drama asal China yang begitu produktif satu dasawarsa terakhir ini, hingga animasi Jepang kini pangsa pasarnya telah direbut oleh dominasi animasi 3D asal China yang dikemas dalam genre bernama “donghua” (based on CGI, computer graphic image) dan ternyata sangat dapat diterima dan digemari pangsa penonton di Indonesia.

Bahkan, tren di China sendiri, banyak genre film drama “wuxia” yang semula diisi oleh pemain drama / aktor-aktris orang nyata (real person), mulai tersisihkan oleh “wuxia” berpadu “donghua” yang lebih dramatis dan lebih realistik daripada kenyataan—ibarat minuman rasa strawberry (artifisial) yang bahkan lebih strawberry daripada strawberry, ataupun minuman dengan citrasa jeruk (artifisial) yang bahkan lebih jeruk daripada jeruk, meski tiada sari jeruk sama sekali dalam kandungannya. Sungguh sukar meramalkan nasib sebuah teknologi, yang semula mapan, dapat remuk dan tumbang jatuh seketika dan tergantikan dalam satu sapuan disrupsi. Teknologi dapat sangat kejam, tanpa pandang bulu, namun demikianlah adanya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.