Makna Hakim yang Berintegritas

Daya Ikat Preseden sebagai Rambu Pengaman Integritas Hakim Pemutus Perkara di Pengadilan maupun Penegak Kode Etik Profesi

Hukum Dibentuk secara Demokratis, dan Hukum Ditegakkan secara Komun!stik

Question: Sebenarnya apa maksud dibalik istilah “hakim yang berintegritas”? Apakah bila hakim tersebut tidak pernah ditangkap atau tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka secara sendirinya disebut sebagai hakim yang memiliki integritas?

Brief Answer: Terdapat dua indikator yang dapat menjadi alat ukur integritas seorang hakim pemeriksa dan pemutus perkara di pengadilan. Pertama, apakah putusan hakim yang bersangkutan adalah konsisten ataukah tidak terhadap preseden praktik peradilan yang telah ada maupun konsisten terhadap putusan-putusannya sendiri selama ini. Kedua, apakah hakim yang bersangkutan bersikap “komun!stik”—dalam artian tidak “pandang bulu” dan tidak “pilih kasih”—ataukah justru “tebang pilih”—dalam artian “menerapkan hukum secara tumpul ke atas dan tajam ke bawah” atau tidaknya.

Prinsip atau tolak-ukur yang sama juga dapat diberlakukan dalam menyikapi peran seorang penegak / pengawas Kode Etik profesi suatu organisasi atau suatu kalangan profesi, tidak boleh bersikap “pandang bulu” semata karena kenal atau selama ini merupakan “teman baik’ sehingga sistem merit berupa “reward” dan “punishment” tidak berjalan dan juga tidak ditegakkan secara efektif dan tegas-keras sebagaimana mestinya—mengatas-namakan “sungkan” terhadap rekan seprofesi—alias separuh hati dan tidak dilandasi “komitmen” sebagaimana semangat profesionalisme yang profesional.

PEMBAHASAN:

Sebagai pembuka bahasan, penulis akan membahas perihal “hakim berintegritas bersikap komun!stik dalam memutus perkara”—akan tetapi bukan dimaksudkan untuk lebih pandai “menghukum” ketimbang “mengadili”, namun penekanannya lebih kepada sikap “tidak pandang bulu” seperti disimbolikkan oleh maskot profesi dunia hukum berupa Dewi Themis yang sepasang matanya ditutup kain dalam membuat pertimbangan hukum, dimana satu tangan memegang timbangan dan tangan lainnya memegang pedang yang terhunus—dilatar-belakangi fakta yuridis bahwasannya hukum bersumber dari “norma hukum”, yang memiliki distingsi atau pembeda tegas antara “norma hukum” dan “norma sosial”, dimana “norma hukum” memiliki ciri khas berupa daya pemaksanya bersifat eksternal diri seorang warga, yakni oleh aparatur penegak hukum. Sebaliknya, “norma sosial” berangkat dari kesadaran pribadi internal masing-masing individu.

Untuk lebih memudahkan pemahaman para pembaca, anekdot sidang peradilan di alam neraka yang dipimpin oleh sang Raja Neraka berikut di bawah ini, ketika dihadapkan seorang arwah manusia yang meninggal dunia dan masuk ke alam neraka untuk diadili, sang arwah yang dijadikan terdakwa merasa berkeberatan terhadap vonis hukuman yang dijatuhkan oleh sang Raja Neraka, selengkapnya dengan kutipan dialog sebagai berikut:

Raja Neraka : “Semasa hidup Anda dengan disertai niat jahat dan kesengajaan selama puluhan tahun menyiksa dan merampas hak hidup anak Anda sendiri yang Anda celakai dengan cara-cara jahat yang terselubung, anak mana seharusnya Anda lindungi dan kasihi. Anda ‘toxic parent’, sehingga demi keadilan bagi pihak korban dari perbuatan Anda tersebut, Anda dihukum dengan dijebloskan ke alam neraka tingkat paling dalam, selama seratus juta tahun lamannya agar tidak ada lagi korban-korban perbuatan jahat Anda dikemudian hari.”

Mantan Manusia : “Saya tidak pernah tahu ada aturan semacam itu, terlebih aturan mengenai ancaman sanksi hukumannya. Vonis hukuman Raja Neraka telah melanggar prinsip / asas ‘larangan legalitas’, non-retroaktif.”

Raja Neraka : “Kalau begitu, kini saya mewajibkan Anda untuk menjawab pertanyaan berikut ini. Pertama, atas dasar apakah, Anda berdelusi memiliki hak untuk merugikan ataupun menyakiti orang lain? Kedua, bagaimana bila Anda yang saya celakai seperti Anda mencelakai orang lain?”

Mantan Manusia : “Meski begitu, mengapa saya dijatuhi hukuman berupa dijebloskan ke alam yang paling dalam setelah ajal menjelang? Raja Neraka telah bersikap seperti seorang komun!s!”

Raja Neraka : “Memang! Hakim macam mana yang lembek dan lunak kepada penjahat dan kriminil? Apakah Anda pernah memberi toleransi dan keringanan sikap, kepada korban-korban Anda? Apakah Anda bersikap humanis dan manusiawi kepada korban-korban Anda tersebut?”

Mantan Manusia : “Raja Neraka ternyata seorang KOMUN!S!”

Raja Neraka : “Hukum itu keras, namun itulah adanya.”

Mantan Manusia : “Jadi hukum itu komun!stis sifat keberlakuannya?”

Raja Neraka : “Begitulah adanya.”

Mantan Manusia : “Mengapa tidak pernah ada yang memberi tahu saya, bahkan dosen saya tidak pernah memberi tahu saya saat berkuliah hukum selama bertahun-tahun hingga lulus dari fakultas hukum. Saya seorang Sarjana Hukum, wahai Raja Neraka. Namun saya masih bersikukuh untuk minta dibebaskan, setidaknya diberi keringanan hukuman. Saya seorang soleh karena rajin beribadah, setiap hari ‘lip service’ dengan menyembah Tuhan, dan kami para umatnya telah diperjanjikan pengampunan dosa!”

Raja Neraka : “Hanya seorang pendosa, yang butuh pengampunan dosa. Anda berbuat dosa kepada korban, namun memohon ampun kepada Tuhan? Jangan bersikap seolah-olah Tuhan lebih pro terhadap pendosa alih-alih bersikap adil kepada para kalangan korban. Tuhan tidak bodoh, pendosa mana yang tidak suka berbohong dan berdusta, sehingga tentulah Tuhan mau dibodohi oleh para pendusta-penjilat-pendusta penuh dosa semacam Anda. Janganlah berdelusi bahwa seorang pendosa memiliki reputasi yang baik di mata Tuhan. Memuliakan Tuhan adalah dengan cara menjadi manusia yang mulia, bukan dengan menjadi seorang ‘pendosa penjilat penuh dosa’. Anda ‘Sarjana Tukang Langgar Hukum’, bukan ‘Sarjana Hukum’.”

Mantan Manusia : “Kalau begitu saya bertobat dan memohon ampunan, wahai Raja Neraka.”

Raja Neraka : “Tuhan saja akan Anda bohongi dan bodohi lewat ritual ‘tobat sambal’ Anda, tobat sejenak lalu esoknya kembali berbuat kejahatan yang sama maupun kejahatan-kejahatan lainnya sebelum kemudian kembali memohon pengampunan dosa setiap harinya, bagai menu dan ritual sehari-hari. Kini Anda mau membohongi dan membodohi seorang raja neraka? Anda tidak lihat, bahkan di dunia manusia saja penjara penuh sesak, terutama di Indonesia yang setiap tahun selalu beredar berita klise perihal over-kapasitasnya para narapidana penghuni penjara.”

Kini kita berlanjut dengan bahasan indikator lainnya dari ciri watak seseorang yang berintegritas berupa adanya corak atau pola konsistensi, untuk itu selengkapnya dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang salah satunya mengupas makna integritas diri seseorang, dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, empat fakta [tentang orang-orang] dapat diketahui dari empat fakta [lainnya]. Apakah empat ini?

(1) “Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(2) “Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(3) “Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(4) “Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah rusak, cacat, ternoda, dan bebercak, dan ia tidak secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini tidak bermoral, tidak baik.’

“Tetapi pada kasus lainnya, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengetahui sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini tidak rusak, tidak cacat, tidak ternoda, dan tanpa bercak, dan ia secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini bermoral, bukan tidak bermoral.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(2) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan berurusan dengan seseorang, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang mulia ini berurusan dengan satu orang dengan cara ini, dengan cara lain jika berurusan dengan dua orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan tiga orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus berbeda dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini tidak murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berurusan dengan seseorang, ia mengenalinya sebagai berikut: ‘Dengan cara yang sama ia berurusan dengan satu orang, ia berurusan dengan dua orang, tiga orang, atau banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus sama dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, bukan tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(3) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia tidak merefleksikan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian (keberdiaman di dunia bersifat demikian, perolehan penjelmaan diri bersifat demikian) bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan.

“Tetapi dalam kasus lain, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(4) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini tidak membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana.

Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia tidak mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’

Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan kecil meloncat, ia akan berpikir: ‘Menilai dari cara ikan ini meloncat, dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan kecil, bukan ikan besar,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana.

Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan besar meloncat, ia akan berpikir: ‘Menilai dari cara ikan ini meloncat, dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan besar, bukan ikan kecil,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: : ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat fakta [tentang orang-orang] itu yang dapat diketahui dari empat fakta [lainnya].”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.