Kita bisa Melanjutkan Hidup Tanpa Berdebat, Itulah yang Disebut sebagai POSITIVE THINKING

SENI PIKIR & TULIS

Mengalah Bukan Berarti Kalah, Tidak Berdebat (Memilih Diam) Bukan Berarti Membenarkan ataupun Menyetujui.

Kita tidak Perlu Mengemis untuk Minta Dipahami dan Dimengerti, cukup Kita Mengerti dan Memahami Diri Kita Sendiri

Lebih Baik Memilih untuk Tidak Dipahami oleh Orang Lain, daripada Gagal Memahami Diri Kita Sendiri, Itulah yang Disebut sebagai KEBERANIAN HIDUP—Keberanian sebagai Pangkal Kecerdasan

Ketika seseorang mengajak kita berbicara, namun tidak kita tanggapi alias kita diamkan dengan tetap “bungkam seribu bahasa”, maka siapa yang kemudian akan merasa tersinggung karena merasa tidak dihargai, kita selaku lawan bicara ataukah orang yang mengajak kita bicara namun kita abaikan tersebut? Akan tetapi, rasio yang sama mengapa tidak kita terapkan pula terhadap kasus-kasus atau konteks dimana seseorang mencoba membuat argumentasi penuh diskredit yang ia lontarkan kepada kita dengan tujuan mengajak / memancing kita untuk berdebat—argumentasi mana seringkali tidak logis, berat sebelah, penuh fitnah, “mau menang sendiri”, membodohi (mempertontonkan kebodohan sendiri), irasional, terdelusi, dan penuh niat buruk / motif yang terselubung—sehingga kita kerap terpancing untuk mendebat dan terlibat perdebatan sengit yang tidak berkesudahan, dengan memilih untuk tetap “bungkam seribu bahasa” alih-alih meladeni mereka, sekalipun hati kecil kita mengatahui betul bahwa adalah percuma menyampaikan pandangan dengan “akal sehat” kepada mereka yang hanya mampu memakai “akal sakit milik orang sakit”?

Berdialog, artinya terjadi dialog alias komunikasi dua arah. Berdebat, artinya terjadi sebentuk debat alias komunikasi dua arah dalam rona yang saling menjatuhkan satu sama lainnya (hanya ada satu pihak yang keluar sebagai pihak yang “menang” dan “benar”). Ketika kita memilih untuk tidak menanggapi komunikasi ataupun pernyataan dari orang lain, maka tidak akan terjadi dialog ataupun perdebatan yang berlarut-larut. Tidak ada aturan hukum maupun norma sosial apapun yang menyatakan bahwa dengan tidak mendebat dan tidak “menang” dalam berdebat, maka artinya kita mengaku telah “kalah”, sebagai pihak yang tidak benar, mengakui telah keliru, pihak yang bersalah, dan telah dipecundangi, terlecehkan dan terlukai harga diri kita—sayangnya, kesemua itu adalah asumsi yang berangkat dari delusi belaka atau akibat mispersepsi ataupun “salah asuhan”, terutama mereka yang mengenyam bangku perkuliahan pada perguruan tinggi hukum di Indonesia yang para lulusannya dikenal suka sekali mendebat dan berdebat, meski sebagian besar diantaranya ialah debat-debat yang irasional, tidak logis, dan memamerkan kedunguan serta kedangkalan berpikir, seolah-olah tidak punya pekerjaan lain untuk dikerjakan.

Faktanya, dunia ini tidak akan kiamat sekalipun kita tidak mengikuti dorongan untuk mendebat, dan kita tidak bertekuk-lutut hanya karena tidak menanggapi ajakan debat pihak lain. Kita pun dapat membuktikan kebenaran pendapat atau pemikiran kita, dengan cara-cara yang lebih sehat dan lebih produktif, alias dengan cara-cara kita sendiri, dengan pendekatan personal kita pribadi, tanpa perlu masuk ke dalam permainan debat-mendebat yang dimainkan oleh pihak lain. Orang dengan pemikiran yang “kekanakan”, cukup kita abaikan, biarkan saja mereka melekat pada pandangan yang mereka bangga-banggakan tersebut.

Kita cukup tahu dan menyadari apa yang menjadi pandangan hidup serta pendirian pribadi kita, menghargai pendapat pribadi kita, lalu menjaga jarak dari kontaminasi polutan suara yang “toxic” sifatnya. Tidak perlu kita pungut ataupun kita telan apa yang orang lain nyatakan dan lemparkan keluar dari mulutnya, cukup kita abaikan dan “khafilah berlalu”. Masih banyak pekerjaan yang lebih produktif untuk kita kerjakan dengan sumber daya waktu kita yang amat terbatas ini. Time is money, jangan biarkan siapapun merenggut “money” kita yang berharga ini. Kita perlu menjadi pribadi yang kalkulatif serta penuh perhitungan, terlebih persoalan “money”. Jadilah orang yang benar, namun tanpa perlu membuang-buang waktu untuk membuktikannya.

Sehingga, jangan bersikap seolah-olah tidak ada cara lain yang lebih cerdas serta lebih kreatif untuk menyalurkan ide-ide maupun pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat kita selain dengan mendebat sebagai ajang pembuktiannya. Wadah atau mediumnya bisa sangat beragam, dan pembuktiannya bisa memakan waktu, sehingga kegigihan dan keuletan serta kesabaran memang memegang peranan penting ketimbang secara instan memenangkan ajang debat-mendebat yang belum tentu berfaedah dan tidak menjamin apapun. Sering penulis nyatakan kepada pihak-pihak yang mencoba mendebat penulis dengan disertai itikad tidak baik, bahwa penulis tidak menaruh peduli terhadap apapun yang mereka dalilkan ataupun katakan, namun penulis hanya peduli kepada pendapat maupun penilaian ribuan hingga jutaan para pembaca publikasi karya tulis berisi buah pikiran dan opini pribadi penulis—biasanya cara demikian selalu efektif membungkam para “manusia nyamuk” demikian.

Dalam berbagai kesempatan, penulis lebih memilih untuk menyalurkan energi dan desakan mental atau tekanan batin yang tidak dapat disuarakan secara verbal, kedalam medium seni tulis atau karya tulis, sebagaimana telah ribuan artikel secara produktif penulis publikasikan sebagai wahana untuk menyalurkan opini serta pendapat maupun pandangan-pandangan pribadi penulis yang tidak terakomodir dalam dunia fana di luar sana—dimana kita patut berterimakasih atas kemajuan teknologi dunia digital dan maya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia bila digunakan secara baik dan bertanggung-jawab, kebebasan beropini dan berpikir mendapatkan wadah dan momentumnya tanpa batas sekat waktu maupun ruang.

Sudah menjadi tradisi sejak zaman Sang Buddha, yang ketika ditanyakan pertanyaan oleh seseorang, akan memilih satu dari tiga opsi respons berikut : Kesatu, menjawab dengan memberi afirmasi ataupun menegasikan, penjelasan, ataupun uraian. Kedua, balik bertanya kepada si penanya. Ketiga, berdiam diri (alias bersikap diam sebagai jawaban itu sendiri). Bahkan Sang Buddha tidak pernah berusaha menyenangkan ataupun memuaskan semua orang dengan melecehkan diri-Nya sendiri. Tiada yang lebih gagal daripada seorang yang berupaya untuk menyenangkan dan memuaskan semua orang. Sebagaimana pepatah dalam Bahasa Inggris pernah berpesan, “Be a good person, but don’t waste time to prove it!”—semata agar Anda sang “orang baik” tidak menjadi “mangsa empuk” orang-orang yang tidak tahu budi.

Tradisi yang sama dilakoni para bhikkhu yang telah mencapai atau merealisasi tingkat pencerahan tertentu, lebih cenderung untuk “bungkam seribu bahasa” ketika ia menilai bahwa lawan bicaranya tidak memiliki karakter yang memadai untuk memahami Dhamma, semisal tujuan utama lawan bicaranya sekadar untuk berdebat dengan motif melecehkan Dhamma, maka sang bhikkhu tidak akan membabarkan Dhamma apapun untuk diperdengarkan bagi lawan bicaranya. Membabarkan Dhamma kepada seseorang yang tidak menaruh sikap penghormatan kepada Dhamma, sama artinya membiarkan Dhamma dilecehkan dan diinjak-injak.

Sama halnya, kita pun tidak perlu melecehkan diri kita dengan mendebat orang-orang yang hanya mau membuka mulut lebar-lebar namun disaat bersamaan menutup telinganya rapat-rapat. Respons yang paling ideal ketika kita menemui kondisi demikian, ialah menutup rapat-rapat telinga serta mulut kita sendiri, dan biarkanlah sang “anjing” terus “menggonggong” sementara kita berlalu atau cukup sibuk dengan kesibukan kita sendiri (mode “autis”, tidak selamanya menjadi “autis” adalah petaka, dimana kadang menjadi berkah tersendiri, salah satunya genetik “jenius” terkandung dalam genetik yang sama dengan “autis”). Lebih baik kita simpan dan hemat energi mental kita, untuk kita salurkan kepada hal-hal yang lebih positif. Kita cukup berkata kepada diri kita sendiri di dalam hati (inner self-talk) “mantra” dengan format kalimat sebagai berikut : “Saya berhak punya opini serta pendapat saya pribadi, punya hak untuk diam tidak menjawab, tidak punya kewajiban untuk meladeni segala kemauan orang lain, serta saya punya otak untuk menilai dan memutuskan sendiri.

Ketika seseorang melontarkan argumentasi, dan sekalipun kita mengatahui bahwa pendapatnya adalah keliru (menurut perspektif kita pribadi), maka kita akan tergoda dan cenderung terdorong untuk terjebak masuk kedalam permainan aksi debat-mendebat. Satu kali mendebat dan beragumentasi masih dibolehkan untuk kita lakukan, semata untuk menilai bobot karakter, intelektualitas, dan moralitas mental diri yang bersangkutan, apakah logis ataukah sebaliknya irasional, parsial, dungu, dan cenderung egosentris dalam membuat pernyataan—bila itu yang kita dapatkan, maka segera hentikan debat-mendebat, putar-haluan sekarang juga dengan menutup mulut serta telinga, dan memilih untuk tidak memberi respons balasan apapun atau sekadar menjawab “Saya memilih untuk tidak menjawab” sebagai basa-basinya.

Untuk apa juga kita merepotkan diri memberi “kuliah” bagi orang-orang yang “tersesat” pemikiran maupun pandangannya demikian, toh mereka tidak membayar kita uang “kuliah”. Untuk membuat kontra-narasi, kita tidak perlu berhadap-hadapan dengan lawan bicara semacam demikian, namun kita bisa berbagi kisah, pengalaman, perspektif, dan pemikiran dengan orang-orang yang lebih bisa menghargai opini dan pandangan kita. Hal demikian ibarat seseorang yang kita hadapi memiliki peta yang menyesatkan di kepala mereka, dan kita cukup membiarkan mereka hidup dengan jalan hidup maupun pemikirannya yang sesat agar tersesat. Kontra-narasi cukup kita tujukan bagi pihak ketiga agar tidak turut tersesat bersama sang “sesat”, semisal membuat artikel atau menulis buku untuk kita publikasikan bagi masyarakat umum sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi dan buah pikiran yang bermanfaat bagi mereka yang mau menghargai pandangan serta pendapat kita. Kita memakai kekuatan “pena” alih-alih kekuatan fisik “gontok-gontokkan”—mengingat mentalitas budaya masyarakat kita ialah bila kalah berdebat, selalu ditutup dengan aksi berupa pola “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”, sekalipun “otot tidak memiliki otak”.

“Ini adalah jalan menuju surga, ayo ikut bersamaku!”

“Tidak, jalan yang Anda tempuh tersebut adalah jalan tol menuju neraka.”

“Anda keliru, Bung. Ini adalah jalan bebas hambatan menuju surga, jalan lain mengarah ke neraka.”

“Ya sudah, silahkan Anda lanjutkan sendiri. Saya akan tetap berjalan di jalan saya sendiri.”

Sering penulis mendengarkan ucapan para umat Kristiani, sebagai salah satu contohnya, yang menyatakan kepada sesama umat Kristiani lainnya, “Umat Buddhist adalah orang-orang yang baik, namun karena tidak percaya Yesus, maka mereka masuk neraka.” Mereka, para Kristen, tampak bangga, senang, dan menikmati kebodohan dan kedangkalan berpikir mereka. Masih pula mereka menyebut umat Buddhist sebagai “pengikut setan”. Sebagai seorang Buddhist, apakah penulis mendebat mereka? Tidak sama sekali, biarkan saja mereka terus tersesat dan kian tersesat. Setan mana, yang baik adanya? Justru yang ada hanya setan yang berdosa alias pendosa seperti para pemeluk ideologi “penebusan dosa” tersebut—dimana kita sadari betul, hanya seorang pendosa yang butuh “penebusan dosa”.

Para umat Nasrani mengklaim bahwa Tuhan mereka, manusia bernama Yesus, memiliki hati penuh cinta kasih yang bersinar sebagaimana lukisan yang terpampang di Gereja. Namun, sosok yang sama tersebut bisa begitu keji, kejam, tidak manusiawi, tidak berperikemanusiaan, serta haus darah, dengan melemparkan umat manusia ke alam neraka sekalipun itu orang-orang baik dengan penuh kebencian semata karena tidak menyembah sang manusia yang di-Tuhan-kan atau yang dikultuskan sebagai Tuhan (memberhalakan manusia). Cinta kasih yang penuh syarat, adalah cinta kasih yang ternoda, wajah yang “bopeng sebelah”, penuh “hidden agenda”. Para Nasrani harus menebus mahal surga dengan menggadaikan jiwa mereka demi tidak dilempar ke neraka, para Nasrani bukan mencintai sang nabi, namun takut dan begitu pengecutnya atas ancaman sang nabi yang begitu ringannya pamer kekuasaan (abuse of power).

Mereka menyebut umat manusia membawa “dosa warisan” Adam. Lantas, “harta warisan” Adam, dikorup oleh siapa dan dikemanakan? Sang nabi lahir dari rahim seorang wanita (manusia) di kandang ternak, bukankah artinya juga membawa “dosa warisan” serupa, lantas atas dasar delusi mengharap dapat menebus “dosa-dosa” para manusia lain penyembahnya? Bunuh diri dengan menyerahkan nyawa dan membiarkan diri digantung hingga tewas, adalah cara mati konyol yang tidak patut diteladani, terlebih membiarkan tangan orang lain basah oleh darah sang nabi yang bunuh diri tersebut. Untuk menang melawan Tuhan mereka, mudah saja, semudah dengan menjadi kaum NON, dimana neraka menjadi monumen kegagalan Tuhan atas kebebasan berkeyakinan umat manusia, betapa Tuhan tidak sepenuhnya berkuasa atas pikiran dan jiwa umat manusia—tidak sama sekali “Maha Kuasa”.

Tidak terkecuali kelakuan para Muslim yang identik dengan “minta dihormati”—cerminan miskin penghormatan diri, sehingga menuntut untuk dihormati oleh orang lain agar “eksis”. Ketika bulan Ramadhan, para Muslim menuntut dihormati dengan melarang rumah makan beroperasi, merazia rumah makan, menganiaya orang-orang yang makan di tempat umum. Semestinya, orang yang puasa yang menghargai dan menghormati orang-orang yang tidak puasa, bukan sebaliknya yang tidak puasa yang harus toleran terhadap yang berpuasa. Puasa atau tidak puasa, adalah soal pilihan hidup. Memilih untuk puasa, maka konsekuensi ditanggung sendiri oleh yang berpuasa sebagai sikap profesional. Itu namanya mencoba mengeliminir godaan dan merepresi toleransi dan kemajemukan, alih-alih menghadapi godaan.

Para Muslim berpuasa dalam rangka mengejar “penghapusan / pengampunan dosa”—para pendosa yang mengharap dan meminta dihormati?—bukan dalam rangka mensucikan diri dan pikiran, terbukti dari ajang umbar nafsu makan sehingga tingkat konsumsi para Muslim justru meningkat di bulan Ramadhan, sehingga harga-harga bahan kebutuhan pokok melambung tinggi dan perut para Muslim menjadi busung, terutama kelaparan dan mabuk oleh karena “minta dihormati”. Para Buddhist, berpuasa ala Buddhisme yang terdiri dari delapan hingga sepuluh “sila” (jauh lebih berat daripada cara berpuasa para Muslim, dimana para Muslim hanya sekadar memindahkan jam makan dan jam bersetubuh hubungan intim, ke jam lain), namun tidak pernah meminta dihormati oleh orang lain, melarang maupun menuntut orang lain untuk turut berpuasa, bahkan seringkali orang lain tidak tahu bahwa sang Buddhist sedang berpuasa serta terbukti teruji dengan mampu melihat orang lain makan tanpa merasa risih ataupun terganggu.

Sang Muslim masih pula menuntut dihormati ketika sedang beribadah, meski cara mereka beribadah ialah dengan merampas jalan milik umum dengan menutup seluruh badan jalan, merampas kemerdekaan warga pemilik rumah dengan parkir liar sembarangan secara berderet persis di depan pagar kediaman rumah warga seolah tidak ada tempat lain yang lebih layak untuk dijadikan tempat parkir tidak jauh dari situ, juga mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain seolah hanya para Muslim yang berhak beribadah sesuai keyakinan masing-masing (polusi suara)—ketika sedang beribadah dan berbusana “agamais” saja, para Muslim demikian intoleran, maka bagaimana ketika mereka tidak sedang beribadah? Apa yang perlu dihormati, dari cara beribadah semacam berikut ini : (tuntutan yang berlebihan)

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.” [Hadist Tirmidzi Nomor 2533]

- Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

Para Muslim pun menuntut agar diberi penghormatan ketika seorang Muslim meninggal dunia, dimana para Muslim yang melayat secara serampangan parkir liar secara berjejeran persis di depan pagar kediaman rumah warga (merampas kemerdekaan warga pemilik rumah untuk keluar dan masuk rumah sendiri selama berjam-jam), sementara itu ibadah para Muslim ketika melayat maupun mendoakan Muslim yang meninggal dunia ialah, memohon agar dosa-dosa almarhum (sang Muslim) agar dihapus dan diampuni, alih-alih memohon keadilan bagi para korban-korban sang almarhum. Yang ada ialah dosa-dosa almarhum makin menggunung, sudah mati saja masih merepotkan dan mengganggu orang lain. Seseorang dihormati bukan karena ia sudah tua dan meninggal dunia, namun atas perbuatannya selama masih hidup dan masih muda kuat. Seorang koruptor yang semada ia muda dan kuat-sehat gemar korupsi, mati tua sekalipun tidak layak untuk mendapat penghormatan terlebih kembali merampas hak-hak orang lain.

Doa-doa dan pelimpahan semacam apakah, selain melimpahkan dosa-dosa kepada almarhum dengan merampas kemerdekaan warga pemilik rumah? Bukankah merupakan pengharapan yang berlebihan, pendosa mengharap masuk surga serta dihapus dosa-dosanya, serta masih pula merampas hak-hak warga dengan parkir liar serampangan lalu meminta dihormati? Bagi mereka yang masih memiliki kewarasan, semestinya malu alih-alih merasa bangga dan meminta dihormati ketika memeluk keyakinan semacam berikut:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.” [Shahih Bukhari 6933]

Pendosa hendak berceramah perihal hidup suci dan menyebut diri mereka sebagai “Agama SUCI” alih-alih “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab SUCI” alih-alih “Kitab DOSA”? Pendosa hendak membimbing dan menasehati pendosa lainnya, ibarat orang buta hendak menuntun orang buta lainnya. Dalam perdebatan tatap-muka, penulis cenderung kalah dibawah intimidasi kekerasan fisik, namun kekuatan “pena” penulis kerapkali tidak mampu dipatahkan oleh mereka dan supremasinya ialah penilaian ribuan hingga jutaan pembaca buah pikiran penulis sebagai juri serta hakimnya. Silahkan Anda bantah, itu pun jika Anda mampu. Selama ini para Muslim membungkam orang-orang yang tidak sepaham ataupun yang dirampas hak-haknya dibawah ancaman pisau dan kekerasan fisik, bukan karena mereka dihormati, namun disegani atas dasar ditakuti warga. Penulis tidak sebodoh itu konfrontasi verbal secara tatap-muka dengan para Muslim yang identik dengan ciri khas “dikit-dikit bacok, singgung-dikit gorok, kritik-dikit bakar, protes-dikit pukul, cela-dikit bunuh”.

Ada yang lebih penting daripada sekadar terobsesi menjadi pihak yang “benar” dan “menang debat”. Satu pengalaman pribadi penulis berikut, mengandung pelajaran yang sangat berharga bagi penulis dan dapat menjadi pembelajaran penting bagi para pembaca. Suatu hari, saudara dari penulis mengadakan acara pertunangan dengan calon suaminya. Pada hari pertunangan, salah seorang berkewarganegaraan Jepang yang menjadi sahabat saudara penulis, turut hadir dalam acara pertunangan saudara penulis. Sekadar berbasa-basi dan berkomunikasi, penulis mengatakan kepada sang “Japanese” bahwa kabarnya kehidupan di Jepang sangat keras dan berat. Sang “Japanese” (anehnya) justru tampak terkejut dan terkesan aneh dengan pernyataan penulis. Ia bertanya, mengapa dan itu kata siapa bahwa hidup di Jepang adalah keras dan berat? Entah tidak pernah baca berita, atau ibarat ikan yang tidak pernah tahu apa itu air sekalipun selama ini hidup di air, namun itulah kenyataannya.

Penulis merasa heran, sang “Japanese” selama ini hidup dimana, sehingga apa yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa hidup di Jepang adalah berat dan keras bagi warga Jepang itu sendiri, masih juga ia hendak mendebatnya. Tanpa penulis sadari, penulis terpancing untuk mendebat dan beragumentasi dengan melontarkan berita berisi statistik banyaknya orang-orang di Jepang (warga Jepang) yang mengambil tindakan radikal berupa “aksi bunuh diri” (suicide) akibat bobot tekanan pekerjaan dan biaya hidup yang tinggi di Jepang. Sang “Japanese” pun tidak bisa membantahnya. Penulis “menang”—namun, apakah “menang” dan menjadi “benar”, ini memang penting dan berharga untuk diraih, diperoleh, serta dirayakan? Penulis bahkan sampai lupa, ini adalah acara pertunangan, yang semestinya hanya membicarakan hal-hal yang membahagiakan dan menyenangkan penuh keceriaan, dan adalah “pamali” menyebut kata “bunuh diri” dalam konteks sebuah acara pertunangan anggota keluarga.

Anda lihat, pada contoh kasus di atas, penulis harap para pembaca cukup belajar dari pengalaman “konyol” penulis yang amat fatal, tanpa perlu mengalaminya sendiri kebodohan serupa, bahwa menjadi “menang” dan keluar sebagai pemenang dalam perdebatan, ataupun menjad pihak yang “benar”, adalah delusi ketika kita berpikir bahwa itu adalah “harga mati” untuk kita kejar dan tuju sebagai tujuan hidup. Ada yang lebih penting daripada obsesi untuk menjadi “benar” dan “menang” debat-mendebat—bahkan mungkin sejatinya menang debat-mendebat dan menjadi “benar” adalah hal paling terbelakang dalam prioritas hidup kita. Kita bisa melanjutkan hidup, sekalipun tanpa terlibat debat-mendebat, sekalipun tanpa membuat lawan debat kita bertekuk-lutut, ataupun tidak diakui sebagai pihak yang paling “benar”.

Arthur Schopenhauer pernah berpesan: “Semua kebenaran melalui tiga tahapan. Pertama, ia ditertawakan. Kedua, ia mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar.” Namun, pembuktian seringkali terjadi bukan dalam proses debat-mendebat, namun lewat karya nyata dan kesabaran melewati serangkaian proses yang panjang dan penuh pengorbanan. Bahkan, sejumlah tokoh baru terbukti “benar” ketika sang tokoh telah meninggal dunia, salah satunya ialah tokoh bernama Nicola Tesla dengan teori ether-nya ketika mencoba membantah teori relativitas Einstein, kini “black matter” telah berhasil diobservasi oleh CERN dan teori relativitas Einstein telah sampai di “ujung tanduk” eksistensinya.

Ajakan untuk berdebat, dapat kita samakan dengan ajakan untuk berperang. Solusinya, ialah kesabaran. Untuk belajar mengenai kesabaran, kisah dari Tiongkok berikut dapat menjadi inspirasi, betapa menang debat-mendebat adalah hal yang dangkal, remeh-temeh, dan “trivial matter”. Alkisah, sebuah kerajaan di dataran Tiongkok kuno dijajah oleh kerajaan lainnya. Sang raja dari kerajaan yang terjajah, setiap tahunnya selalu terpaksa untuk menyerahkan upeti berupa uang, hasil bumi, wanita, budak pekerja, kuda, dan segala keperluan kerajaan yang telah pernah menjajahnya.

Sang raja dari kerajaan yang terjajah, bersabar selama sepuluh tahun menerima kenyataan terjajah, sampai tiba pada saat dimana kerajaan penjajah wilayahnya mengalami bencana banjir sehingga pertahanan ekonomi maupun militernya merosot, dan seketika itu pula kerajaan yang terjajah menyerang kerajaan penjajah dan meraih keberhasilan, setelah selama sepuluh tahun menunggu dalam kesabaran. Pembuktian, butuh waktu untuk berbicara secara nonverbal. Biarkan orang lain berkata apa, kesabaran dan ketekunan kita lebih penting, buah manisnya akan kita petik sendiri di kemudian hari. Banyak contoh tokoh terkemuka dunia, yang pada mulanya diberi vonis sebagai “bodoh”, tanpa harapan, namun pembuktian baru terjadi puluhan tahun kemudian, siapa yang sejatinya “dungu”.

Lebih baik berjalan seorang diri, daripada berdebat dengan pihak-pihak yang kita tahu betul adalah percuma dan hanya “wasting time” mencoba mendebat mereka, yang relevansinya dapat kita baca sebagai : biarlah hanya kita seorang diri yang memiliki pandangan dan pemahaman yang kita pikirkan dan ketahui, dan menjalani hidup maupun cara hidup kita sendiri—sebagaimana telah pernah disabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

122. Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’ Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

126. Sejumlah makhluk masuk rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin mencapai kepadaman derita.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

137. Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:

138. perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,

139. usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta benda,

140. kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

144. Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

157. Jika menyadari bahwa diri sendiri adalah tercinta, seseorang patut merawat diri dengan baik. Orang bijak patut menjaga diri sepanjang salah satu di antara tiga kurun waktu.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

186. Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas. Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah memahami demikian,

187. orang bijak tidak mengejar kesenangan inderawi walau yang bersifat surgawi. Siswa Sammâsambuddha bersenang dalam kemusnahan kekotoran batin.

188. Banyak manusia, karena dicekam ketakutan, menjadikan gunung-gunung, hutan-hutan, padepokan, pepohonan, dan kepunden sebagai objek perlindungan.

189. Perlindungan itu bukanlah perlindungan aman. Perlindungan itu bukan perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang takkan bebas dari segala derita.

190. Sedangkan, barangsiapa menjadikan Buddha, dhamma, dan sanggha sebagai objek perlindungan, ia, melalui kebijaksanaan yang benar, akan melihat empat kebenaran ariya,

191. yakni: duka, sebab kemunculan duka, kepadaman duka, dan jalan ariya berunsur delapan menuju kepadaman duka.

192. Perlindungan itulah perlindungan aman. Perlindungan itu adalah perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang terbebas dari segala derita.

193. Manusia unggul jarang ditemukan. Ia tidak terlahir di sebarang tempat. Di keluarga mana manusia unggul terlahir, keluarga itu mengenyam kebahagiaan.

206. Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

208. Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana, berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih, budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!

227. Wahai Atula, celaan dan pujian itu adalah perihal lama. Itu bukan laksana hanya ada di hari ini. Mereka mencela ia yang diam, mencela ia yang banyak bicara, mencela ia yang bicara secukupnya. Tiada siapa pun di dunia bebas dari celaan.

228. Belum pernah ada, akan tidak ada, dan tidak ada di saat ini, seseorang yang melulu mendapat celaan atau melulu mendapat pujian.

229. Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan, cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,

230. siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun memujinya, demikian pula brahmâ.

231. Seseorang patut menjaga luapan (nafsu) jasmani, mengendalikan jasmani. Setelah menjauhi laku buruk melalui jasmani, ia patut berlaku baik melalui jasmani.

232. Seseorang patut menjaga luapan ucapan, mengendalikan ucapan. Setelah menjauhi laku buruk melalui ucapan, ia patut berlaku baik melalui ucapan.

233. Seseorang patut menjaga luapan batin, mengendalikan batin. Setelah menjauhi laku buruk melalui batin, ia patut berlaku baik melalui batin.

234. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

246. Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong, mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,

247. juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di dunia ini.

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

257. Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.

258. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

259. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma, melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang dhamma’.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

262. Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,

263. melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan, mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut ‘budiman’.

264. Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin, bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’. Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan loba sebagai petapa.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

308. Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi penduduk.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

331. Ketika timbul suatu pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.

407. Nafsu ragawi, kebencian, pembandingan diri, dan pelecehan orang telah seseorang tanggalkan, laksana biji sawi yang jatuh dari ujung jarum. Aku menyebutnya ‘brâhmana’.

408. Ia yang bertutur kata tidak kasar, jelas, benar, dan tidak mengundang kemarahan siapa pun itu Aku sebut ‘brâhmana’.

409. Ia yang di dunia ini tidak mengambil barang yang tidak diberikan, baik yang panjang ataupun pendek, yang kecil ataupun besar, yang indah ataupun jelek itu Aku sebut ‘brâhmana’.

Dapat pula kita maknai orang yang mencoba mendebat kita, artinya sedang mencoba mengejek kita bahwa kita “bodoh” atau “tolol” karena “salah” dan “keliru” adanya sehingga perlu ia “gurui” dan “hakimi”. Terhadap “hinaan” demikian, kita tidak perlu merasa “terhina”, namun cukup dengan tidak mengambil “hinaan” yang mereka lontarkan, sebagaimana nasehat Sang Buddha yang mendapat julukan sebagai “Guru Agung bagi para manusia dan para dewata”, dengan kutipan sebagai berikut:

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahanta, namun Guru Gotama masih bisa marah.”

(NOTE Redaksi : Kitab Komentar menyebutkan, Ia telah mendengar bahwa para petapa menjatuhkan kutukan ketika mereka marah, jadi ketika Sang Buddha berkata, “Itu masih tetap milikmu, Brahmana!” Ia menjadi takut, berpikir, “Petapa Gotama sepertinya menjatuhkan kutukan kepadaku.” Oleh karena itu, ia berkata demikian.)

[Sang Bhagavā:]

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar, dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, dalam diri seorang yang seimbang yang berdiam dalam kedamaian?

(NOTE Redaksi : Bhikkhu Bodhi menerjemahkan tādi sebagai “Yang Stabil” sesuai dengan kemasan dalam komentar, tādilakkhaa pattassa, yang menyinggung penjelasan tādi pada Nidd I 114-16: “Arahanta adalah tādi karena Beliau ‘stabil’ (tādi) dalam hal untung dan rugi, dan sebagainya; Beliau adalah tādi karena Beliau telah melepaskan segala kekotoran; Beliau adalah tādi karena Beliau telah menyeberangi empat banjir, dan seterusnya, Beliau adalah tādi karena batin-Nya telah terbebas dari segala kekotoran; dan Beliau adalah tādi sebagai penggambaran diri-Nya dalam hal kualitas-kualitas-Nya.”)

“Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Orang-orang yang menganggapnya dungu, adalah tidak terampil dalam Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Sagha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, sudilah memberikan penahbisan yang lebih tinggi kepadaku.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, dengan tekun berlatih dalam Dhamma, menyadari pembebasan, kemudian Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu dari para Arahanta.

Anda tahu, bagaimana cara penulis memberi “punishment” kepada pihak-pihak yang telah berbuat keliru kepada penulis, namun yang bersangkutan memiliki watak atau karakter yang tidak patut mendapat arahan maupun nasehat? Yakni, dengan cara tidak diberikan masukan (feedback) berupa teguran maupun otokritik yang membangun, alias penulis diamkan tanpa penulis beritahukan dimana letak kesalahan yang bersangkutan. Terlagipula, khas masyarakat kita di Indonesia ialah “lebih galak yang ditegur ketimbang yang memberi teguran” dan kerapnya mempertontonkan aksi tidak beradab semacam “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”. Introspeksi diri belum menjadi budaya masyarakat di Indonesia, sebagaimana dituturkan oleh Sang Buddha, “Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.”

Biarkan saja mereka terus-menerus merugi dengan sikap-sikap buruk dan keliru mereka yang berdelusi telah berjalan di jalan yang benar. Biarkan saja mereka terus menggali lebih dalam “lubang kubur” untuk diri mereka sendiri, itu adalah urusan mereka, bukan urusan kita, tidak perlu kita menjadi hakim yang menghakimi orang lain maupun diri kita sendiri. Kelebihan kedua tidak mendebat ialah, siapa tahu kita yang sedang berdelusi telah benar dan tidak keliru, dengan demikian kita tidak mengambil resiko menyesatkan orang lain ataupun mempermalukan diri kita sendiri mengingat kita sendiri pun tetap berpotensi “kelirutahu” (tahu namun keliru). Kelebihan ketiga tidak mendebat ialah, belum tentu pihak yang kita beri teguran maupun kritik maupun nasehat, akan menghargai perkataan kita, sehingga kita tidak perlu membuang-buang waktu, sebagaimana pepatah pernah berpesan : “Be a good person, but don’t waste time to prove it!”—yang dapat juga kita maknai sebagai, jadilah orang yang sudah “benar”, namun tidak perlu membuang-buang waktu untuk membuktikannya.

Mengejar pengakuan, pengakuan dari publik ataupun komunitas bahwa kita adalah pihak yang “benar” dan “menang”? Namun, pernahkan kita bertanya kepada diri kita sendiri, sepenting itukah pengakuan dari orang lain ketimbang pengakuan dari diri kita sendiri dan merasa sudah cukup bila kita diakui oleh diri kita sendiri? Keberanian dan kemampuan memahami diri kita sendiri, jauh lebih penting diatas kesemua itu. Menjadi “produktif” masih lebih berhaga untuk dikejar serta dituju, daripada menjadi “benar” maupun “menang”. Tahukah Anda, bahkan pada saat mulanya Pangeran Siddhatta Gotama (calon Sang Buddha) baru mencapai pencerahan sempurna, Beliau enggan untuk merepotkan diri memutar roda Dhamma (mengajarkan Dhamma) kepada umat manusia, mengingat banyaknya umat manusia yang mata batinnya tertutup oleh debu bernama “kekotoran batin”. Barulah saat seorang Brahma dari alam brahma turun menemui Sang buddha untuk memohon diputarkannya roda Dhamma, dengan dasar welas asih kepada umat manusia Sang Buddha pada akhirnya mengajarkan Dhamma dengan berkelana selama 45 tahun sisa hidup-Nya hingga Beliau mangkat.

Sebagai tips penutup dari penulis, sering-seringlah kita untuk berkata kepada diri kita sendiri dalam setiap kesempatan maupun setiap kali kita dihadapkan oleh orang-orang yang berkata secara sewenang-wenang kepada kita (cenderung menghakimi, minim empati, menyepelekan kepentingan kita, dan tidak mau memahami), “Saya punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri, saya lebih tahu tentang diri dan kehidupan saya sendiri.” Pikiran, komentar, maupun penilaian orang lain, adalah urusan mereka sendiri. Urusan kita, ialah mengurusi urusan kita sendiri, memahami diri kita sendiri, bersabar terhadap diri kita sendiri, serta berwelas-asih kepada diri kita sendiri.

Adalah delusi, ketika kita berpikir bahwa dengan membuat orang lain memahami diri kita, maka akan menjadi jaminan bahwa kita akan diperlakukan secara patut oleh mereka. Jaminan semacam itu, adalah fatamorgana, tiada jaminan apapun kita bersikap baik kepada seseorang maka seseorang tersebut akan membalas kebaikan kita dengan penghargaan kebaikan serupa, sebagaimana patut kita rujuk kembali sabda Sang Buddha, “Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.”

Anda yakin, dapat berbicara dan mengajak berpikir dengan “akal sehat” dengan orang-orang berwatak “tidak tahu malu” semacam itu? Berhentilah berdelusi, itu pesan terbaik penulis bagi para pembaca, dan belajarlah dari pengalaman-pengalaman kita sendiri sebagai cerminannya. Dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang yang “tidak punya malu”. Lebih baik hemat waktu dan energi Anda, untuk digunakan bagi hal-hal lain yang lebih berfaedah dan lebih produktif, bagi kebaikan diri kita masing-masing. Biarkan orang lain merasa telah “menang” dan “benar” dan memakannya, tugas kita atau tanggung-jawab kita ialah berwelas-asih kepada diri kita sendiri serta mau memahami diri kita sendiri, itu sudah lebih dari cukup. Buktikan bukan lewat debat oral, namun lewat kesabaran, ketekunan, serta keuletan—itulah yang disebut sebagai “obsesi” yang lebih sehat serta lebih positif berorientasi produktif.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.