Perceraian Bersifat PROSPEKTIF, Bukan Retroaktif Akibat Hukumnya. Perceraian Memutus Perkawinan bukan Membatalkan Perkawinan

Hutang Suami adalah Hutang Istri juga, Sekalipun Kemudian Keduanya Bercerai

“Harta Bersama” Mengandung pula didalamnya “Hutang Rumah-Tangga” maupun “Kewajiban Bersama”

“Percampuran Harta” antar Suami-Istri Mencakup pula Tanpa Terkecuali “Percampuran Hutang” diantara Keduanya

Question: Apa mungkin terjadi, orang (suami-istri) yang saat ini sedang kami gugat di pengadilan mencoba menyelundupkan hukum untuk berkelit dari tanggung-jawab mereka terhadap kreditornya, dengan bercerai sehingga perkawinan mereka menjadi putus karena perceraian itu, entah cerai secara baik-baik ataupun seolah mereka saling bersengketa gugat-menggugat perceraian di persidangan.

Kita tahu bahwa dengan bercerainya sepasang suami-istri, maka tidak lagi terjadi “percampuran harta” antar keduanya yang menjadi mantan suami dan mantan istri. Mungkin saja itu yang terjadi sebagai cara atau modus bagi mereka untuk berkelit dari tanggung-jawab perdata sehingga gugatan kami berpotensi “menang di atas kertas”, mengingat putusan yang kami menangkan terancam tidak dapat dieksekusi dikemudian hari, tepatnya aset-aset milik sang istri dari debitor yang kami gugat ini tidak dapat kami eksekusi.

Brief Answer: Pada prinsipnya, hutang-piutang yang terbit saat ikatan perkawinan sepasang suami-istri masih berlangsung, maka sekalipun dikemudian hari keduanya saling bercerai, baik bercerai secara konsensual maupun perceraian akibat gugatan perceraian, maka beban kewajiban pembayaran sejumlah hutang yang ditagihkan pihak ketiga tetap mengikat keduanya, mengingat perceraian tidaklah bersifat “berlaku secara surut” (non-retroaktif). Singkat kata, perceraian bukanlah “escape clause” untuk berkelit dari tanggung-jawab keperdataan yang terbit saat perkawinan masih berlangsung.

PEMBAHASAN:

Sudah terdapat preseden berupa putusan pengadilan sebagai “best practice” praktik peradilan yang menutup peluang modus-modus berkelit dari tanggung-jawab keperdataan, tidak terkecuali terhadap upaya bercerai antara sepasang suami-istri (pasutri) sehingga seolah-olah tiada lagi “percampuran harta” antar keduanya, dimana telah ternyata “hutang rumah-tangga” selama keduanya masih terikat perkawinan tetap mengikat keduanya sekalipun dikemudian hari mereka saling bercerai, sebagaimana  dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata hutang-piutang register Nomor 1904 K/Pdt/2007 tanggal 16 September 2008, perkara antara:

- HENDRO ROESTANTO, sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II, semula selaku Tergugat I; melawan

1. EDY ROESTANTO; 2. TEGUH HERTANTO; 3. TANTY ANGGRAINI, sebagai Termohon Kasasi I juga para Pemohon Kasasi II, semula selaku Para Penggugat; dan

- LINDAWATI, selaku Turut Termohon Kasasi juga Termohon Kasasi II, semula selaku Tergugat II.

Para Penggugat dan Tergugat I merupakan saudara kandung, sementara itu Tergugat II merupakan saudara IPAR dari Penggugat—alias isteri dari Tergugat I. Sesudah perkawinan Tergugat I dan Tergugat II, antara Para Penggugat dengan Para Tergugat memiliki hubungan hukum hutang-piutang, yakni Tergugat I meminjam uang kepada Para Penggugat yang seluruhnya berjumlah Rp. 1.000.000.000,- untuk dijadikan modal usaha perusahaan milik Tergugat I. Sekalipun kemudian perusahaan milik Tergugat I beroperasi, ternyata hutang sebagaimana dimaksud di atas tidak kunjung dibayar ataupun dikembalikan seluruhnya, karena Tergugat I baru melaksanakan pembayaran berjumlah Rp. 125.000.000,- sementara itu sisanya sebesar Rp. 875.000.000,- oleh Tergugat dijanjikan akan dibayar sesuai dengan surat pernyataan yang dibuat olehnya.

Akan tetapi setelah jatuh tempo waktu pelunasan, ternyata Tergugat I “cidera janji” alias tidak melaksanakan kewajibannya, sementara itu adapun Tergugat II merasa tidak memiliki kewajiban hukum berupa pembayaran hutang, dengan alasan seluruh keuangan dipergunakan oleh Tergugat I. Telah ternyata pula antara Tergugat I dengan Tergugat II terjadi permasalahan internal rumah-tangga mereka, yakni perselisihan suami-istri, dimana Para Penggugat sudah berupaya untuk mendamaikan mereka akan tetapi gagal yang berbuntut antara Tergugat I dan Tergugat II bersengketa gugat-perceraian di Pengadilan Negeri yang saat ini masih dalam proses persidangan.

Akibat terjadi perselisihan pasutri yang terjadi dalam internal rumah-tangga Para Tergugat, Para Penggugat secara langsung maupun tidak langsung menjadi dirugikan, mengingat uang pinjaman yang seharusnya menjadi “kewajiban bersama” antara Tergugat I dan Tergugat II untuk melunasi sisa hutang mereka sejumlah Rp. 875.000.000,- berakibat pada sikap Tergugat I yang selalu menunda-nunda pembayaran dengan alasan masih terjadi masalah keluarga, sementara itu Tergugat II beralasan bahwa uang tersebut seluruhnya dipergunakan oleh Tergugat I. Dengan demikian Para Tergugat sudah beriktikad tidak baik dengan wanprestasi, sementara itu Para Penggugat merupakan “pihak ketiga” yang tidak semestinya menanggung rugi akibat sengketa internal rumah-tangga Para Tergugat.

Mengingat iktikad tidak baik para Tergugat sudah nyata yaitu sengaja tidak melaksanakan kewajibannya, menjadi beralasan bilamana Para Penggugat khawatir terjadi peralihan hak atas harta kekayaan milik Para Tergugat kepada Pihak lain tanpa sepengetahuan Para Penggugat, sehingga Para Penggugat memiliki urgensi memohon kepada Majelis Hakim untuk menetapkan “sita jaminan” (conservatoir beslaag) terhadap harta milik Para Tergugat, baik berupa hak atas tanah maupun harta bergerak.

Para Penggugat juga mendalilkan, hutang pinjaman Tergugat I turut dinikmati oleh Tergugat II, maka sekalipun antara Tergugat I dan Tergugat II dikemudian hari terjadi perceraian, hubungan hukum antara Para Penggugat dan Tergugat I maupun mantan istrinya tidak menjadi putus karena perceraian itu, karenanya hubungan hukum hutang-piutang tetap melekat serta wajib dibayar oleh keduanya. Sekalipun Tergugat II tidak turut membubuhkan tanda-tangan dalam Surat Pernyataan akan melunasi hutang yang dibuat oleh Tergugat I, adalah tidak menyebabkan batalnya kewajiban pembayaran sisa tunggakan “hutang rumah-tangga” mereka kepada para Penggugat.

Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri dalam putusannya sebagaimana register No. 145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum yang penting sekaligus menarik untuk disimak, bahwa sekalipun Tergugat II tidak pernah menyetujui Tergugat I berhutang pada Para Penggugat, namun uangnya dipergunakan untuk keperluan rumah-tangga keduanya, dimana biaya operasional perusahaan yang menjadi sumber penghasilan keluarga, maka patut dipersangkakan Tergugat II secara diam-diam menyetujui pinjam-meminjam yang dilakukan Tergugat I, dengan demikian keberatan Tergugat II harus ditolak dimana Tergugat II dinyatakan turut bertanggung jawab atas hutang-hutang suaminya dan juga harus dinyatakan wanprestasi, sebelum kemudian menjatuhkan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;

- Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat I dan II telah cidera janji (wanprestatie);

- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar secara tanggung-renteng sisa utang pokok sebesar Rp.787.500.000,- (tujuh ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan denda sebagai ganti kerugian atau bunga moratoir sebesar 6% (enam persen) per tahun terhitung gugatan terdaftar sampai sisa utang pokok dibayar lunas kepada para Penggugat secara tunai dan sekaligus;

- Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah di letakkan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Semarang berdasarkan Penetapan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg berikut Berita Acara Sita Jaminan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg adalah sah dan berharga;

- Menolak gugatan para Penggugat untuk yang lain dan selebihnya.”

Dahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat II, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang lewat putusan No. 205/PDT/2006/PT.SMG. tanggal 22 Januari 2007, dengan amar sebagai berikut:

- Menerima permohonan banding dari Tergugat II / Pembanding;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 27 Pebruari 2006 No. 145/Pdt.G/2005/PN.Smg. yang dimohonkan banding tersebut;

MENGADILI SENDIRI:

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat / Para Terbanding untuk sebagian;

2. Menyatakan bahwa Tergugat I / Turut Terbanding telah melakukan wanprestasi yang merugikan para Penggugat;

3. Menyatakan bahwa Tergugat I memiliki hutang yaitu kewajiban membayar hutang pokok kepada para Penggugat sebesar Rp.875.000.000,- dan denda sebesar Rp.78.750.000,- yang seluruhnya berjumlah Rp.953.750.000,- yang wajib dibayar oleh Tergugat I kepada Para Penggugat secara tunai dan sekaligus;

4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kewajiban hutang pokok sebesar Rp.875.000.000,- dan denda sebesar Rp.78.750.000,- secara tunai dan sekaligus kepada Para Penggugat;

5. Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) berdasarkan Penetapan No. 145/Pdt.G/2005/PN.Smg. berikut berita acara sita jaminan No. 145/Pdt.G/2005/PN.Smg. adalah tidak sah dan berharga oleh karenanya harus diangkat;

6. Menghukum Tergugat I / Turut Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat banding sebesar Rp.350.000,-;

7. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”

Baik Tergugat I maupun Para Penggugat sama-sama mengajukan upaya hukum kasasi, dimana Tergugat I berkeberatan terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang menerangkan bahwa sekalipun Tergugat II tidak pernah menyetujui Tergugat I berhutang pada Para Penggugat, namun uangnya dipergunakan untuk keperluan keluarga dan biaya operasional perusahaan yang menjadi sumber penghasilan keluarga maka patut dipersangkakan Tergugat II secara diam-diam menyetujui pinjam-meminjam yang dilakukan Tergugat I, dengan demikian dalil Tergugat II harus ditolak dan Tergugat II juga dinyatakan bertanggung-jawab atas hutang-hutang tersebut dan juga harus dinyatakan wanprestasi (cidera janji). [Note SHIETRA & PARTNERS : Dalil Tergugat I sama persis dengan dalil Para Penggugat dalam Memori Kasasi yang mereka ajukan, terkesan “copy-paste”, indikasi satu “komplotan”, yang tampaknya memang menyasar pada Tergugat II sebagai target mereka.]

Terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak menyetujuinya dengan alasan sejak terjadi kemelut rumah-tangga antara Tergugat I dan Tergugat II tidak harmonis lagi, maka pengakuan Tergugat I atas pinjaman-pinjaman tersebut tidaklah dapat mengikat pada Tergugat II melainkan hanya mengikat diri dan menjadi tanggung jawab Tergugat I semata, dengan demikian terhadap Tergugat II agar dihukum membayar sisa hutang pokok sebesar Rp.875.000.000,- adalah tidak dapat dikabulkan dan secara hukum tidak turut bertanggung-jawab karena tidak terbukti mengetahui atau menyetujui adanya pinjaman tersebut baik secara diam-diam ataupun secara jelas dan terang, sehingga tuntutan Para Penggugat hanya dapat dikabulkan terhadap diri Tergugat I saja sedangkan tentang denda 6 persen per tahun haruslah dibebankan kepada Tergugat I seorang diri.

Didalilkan pula oleh Tergugat I selaku suami dari Tergugat II, secara yuridis Undang-Undang Perkawinan sekalipun hanya mengenal “harta bersama” alias “harta gono-gini”, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) jo. Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2), yang mengatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi “harta bersama”, dalam hal ini dapat dimaknai bahwa hutang Tergugat I sejumlah Rp.1.000.000.000,- tersebut secara legal-formil merupakan hutang yang terbit selama dalam perkawinan berlangsung, hutang mana uangnya digunakan membeli mobil dan modal operasional perusahaan milik sang suami sehingga menjadi harta yang statusnya menjadi “harta bersama” pasutri.

Dengan demikian, konsekuensi yuridisnya ialah modal usaha yang telah dipinjam oleh Tergugat I merupakan juga sebagai “hutang bersama” yang disaat bersamaan menjadi “kewajiban bersama” Tergugat II selaku istri dari peminjam, ikut bertanggung-jawab untuk membayar dan melunasinya. Telah ternyata antara Tergugat I dan Tergugat II tidak memiliki Perjanjian Pisah Harta selama perkawinan berlangsung, oleh karenanya dalam hal ini baik perolehan harta dalam bentuk keuntungan maupun kerugian, secara hukum menjadi “kewajiban bersama” pasutri, mengingat hutang-piutang terbit saat Tergugat I dan Tergugat II masih sah sebagai pasangan SUAMI-ISTERI, sekalipun Pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian maka “harta bersama” menjadi pupus dan berakhir, namun tidak dapat dimaknai pupusnya “harta bersama” berlaku “secara surut”, dengan demikian kewajiban membayar sisa hutang menjadi kewajiban bersama antara Tergugat I dan Tergugat II.

Adapun keberatan Para Penggugat terhadap putusan Pengadilan Tinggi, terutama ketika Pengadilan Tinggi menganulir putusan Pengadilan Negeri dengan argumentasi bahwa sejak terjadi kemelut rumah-tangga antara Tergugat I dan Tergugat II, sepasang pasutri tersebut telah tidak harmonis lagi, maka pengakuan Tergugat I atas pinjam-meminjam hutang tidaklah dapat mengikat Tergugat II, melainkan hanya mengikat diri dan menjadi tanggung jawab pribadi Tergugat I seorang, dengan demikian Pengadilan Tinggi berpendirian bahwa Tergugat II tidak dapat dihukum bertanggung-jawab membayar sisa hutang sebesar Rp.875.000.000,- dimana Tergugat II tidak terbukti mengetahui terlebih menyetujui adanya pinjaman demikian baik secara diam-diam ataupun secara tegas, sehingga tuntutan Para Penggugat hanya dapat dikabulkan terhadap diri Tergugat I.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenal istilah “harta bersama” (gono-gini), sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) jo. Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2), yang pada pokoknya menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi “harta bersama”. Namun apakah “harta bersama” hanya dapat dimaknai “hak” atau “kepemilikan” minus “kewajiban” maupun “hutang”? Fakta hukumnya ialah keberadaan hutang keluarga Tergugat sejumlah Rp.1.000.000.000,- terjadi pada saat Tergugat I dan Tergugat II masih berstatus sebagai suami-isteri.

Bila merujuk teori neraca akutansi, hasil uang hutang demikian akan diperhitungkan sebagai perolehan harta selama dalam masa perkawinan sehingga statusnya memang merupakan “harta bersama” karena ada pinjaman yang masuk dalam percampuran harta diantara keduanya, yang karenanya juga terbit “kewajiban bersama” berupa “hutang bersama” untuk membayarnya, sementara itu modal hasil hutang digunakan untuk keperluan bersama yaitu membeli mobil dan untuk operasional perusahaan yang menjadi sumber penghasilan keluarga bersangkutan, setidaknya Tergugat II patut berprasangka bahwa dana sebesar itu yang diperoleh oleh suaminya merupakan dana hasil pinjaman milik pihak ketiga.

Perolehan harta dari pinjaman” berakibat terjadi suatu keuntungan maupun kerugian menjadi “resiko bersama” dan menjadi “kewajiban bersama” pula untuk membayar hutang keluarga pasutri demikian. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung dalam peradilan tingkat kasasi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah dalam pertimbangan hukumnya, tentang tidak adanya tanggung jawab dari Tergugat II atas adanya hutang Pemohon Kasasi yang hanya didasarkan pada bukti P.6 (Surat Pernyataan) dengan menafsirkan sebagai suatu pengakuan adalah bukti sempurna;

“Berdasarkan fakta hukum / fakta di persidangan:

1. Pemohon Kasasi kawin dengan Tergugat II (asal) pada tahun 1989, dan mengajukan perceraian pada tanggal 27 Juli 2005 dan telah diputus pada tanggal 28 September 2005 No. 132/Pdt/G/2005/PN.Smg.;

2. Bahwa hutang-hutang Pemohon Kasasi yang dibuat / dipergunakan untuk usaha telah terjadi sejak tahun 1999 sampai dengan 2003 (P.1 s/d P.5) yaitu pada waktu perkawinan masih utuh;

3. Bukti P.1 s/d P.5 diterangkan dalam bukti P.6;

4. Bahwa berdasarkan bukti dan keterangan saksi hutang-hutang tersebut terjadi pada saat perkawinan berlangsung;

“Bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 Jo. Pasal 36 ayat 1 dan ayat 2, dengan penafsiran a contrario, maka semua hutang-hutang yang terjadi pada saat perkawinan / selama perkawinan adalah tanggung jawab bersama;

“Bahwa Pengadilan Negeri telah tepat dalam pertimbangan hukumnya, serta benar dalam penerapan hukumnya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : HENDRO ROESTANTO, dan Pemohon Kasasi II : 1. EDY ROESTANTO, 2. TEGUH HERTANTO, 3. TANTY ANGGRAINI, dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 205/PDT/2006/PT.SMG. tanggal 22 Januari 2007 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : HENDRO ROESTANTO, dan Pemohon Kasasi II : 1. EDY ROESTANTO, 2. TEGUH HERTANTO, 3. TANTY ANGGRAINI tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 205/PDT/2006/PT.SMG. tanggal 22 Januari 2007 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 145/PDT.G/2005/PN.SMG. tanggal 27 Pebruari 2006;

MENGADILI SENDIRI:

- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;

- Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat I dan II telah cidera janji (wanprestatie);

- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar secara tanggung renteng sisa utang pokok sebesar Rp.787.500.000,- (tujuh ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan denda sebagai ganti kerugian atau bunga moratoir sebesar 6% (enam persen) per tahun terhitung gugatan terdaftar sampai sisa utang pokok dibayar lunas kepada para Penggugat secara tunai dan sekaligus;

- Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakkan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Semarang berdasarkan Penetapan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg berikut Berita Acara Sita Jaminan No. 145/Pdt/G/2005/PN.Smg adalah sah dan berharga;

- Menolak gugatan para Penggugat untuk yang lain dan selebihnya.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.