Kesaksian atau Saksi DE AUDITU dalam Persidangan Perkara Perdata

Yang Tidak Menyaksikan ataupun Mendengarkan (secara) LANGSUNG, tidak Berkualitas sebagai SAKSI MATA

Saksi di Hadirkan ke Persidangan, untuk Membuat KESAKSIAN, bukan Menceritakan Rumor “Katanya”

Perbedaan antara “MENYAKSIKAN dan KESAKSIAN” Vs. “DICERITAKAN dan BERCERITA”

Kriteria Saksi yang Berharga dan Bernilai di Mata Hakim, Baik Perkara Pidana maupun Perdata

Question: Dalam perkara pidana, ada istilah “saksi mata” yang sebelumnya telah pernah mendengar dan melihat langsung kejadian suatu kejahatan pidana, dan ada juga “saksi de auditu”, yakni saksi yang sekadar “kata si anu, katanya, dan menurut si anu”. Berdasarkan ilmu hukum pidana, saksi yang memberikan keterangan dengan dasar “katanya” semacam itu, tidak dapat dikualifikasi sebagai saksi, sehingga kesaksiannya tidak dapat diterima secara formal, terlebih sifat pembuktian perkara pidana ialah pembuktian materiil. Dalam perkara gugatan perdata, akan ada juga agenda acara pembuktian saksi. Pertanyaannya, apakah hukum acara perdata juga mengenal istilah “de auditu” semacam di perkara pidana?

Brief Answer: Baik perkara perdata maupun perkara pidana, saksi yang dinilai berbobot ialah saksi yang memang betul-betul melihat atau mendengar dengan mata-kepala sendiri, bukan berdasarkan informasi dari pihak lain, alias menjadi narasumber berkualifikasi “sumber primer”, berhubung mereka sendiri yang betul-betul mengetahuinya. Ada satu kesamaan dalam agenda acara pembuktian baik di perdata maupun di pidana, yakni saksi yang dapat dikualifikasikan sebagai “saksi mata”, ialah mereka yang mendengar atau setidaknya mendengar langsung. Sehingga “saksi de auditu”, sekalipun disumpah di hadapan persidangan sebelum diperdengarkan keterangannya, tidak memiliki nilai pembuktian apapun, alias NIHIL.

Memang ilmu hukum mengenal serta mengakui pula istilah “indirect evidences”, dan kerap digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa maupun kalanban Hakim dalam memutus—terutama oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menggugat pelaku usaha “nakal”—namun sifatnya ialah sebatas sebagai alat bukti “petunjuk” dalam perkara pidana dan sebagai alat bukti “persangkaan” dalam perkara perdata. Contoh, saksi menyatakan bahwa korban sebelum kejadian yang menewaskan dirinya akibat insiden pembunuhan, pernah bercerita bahwa dirinya mendapatkan teror ancaman pembunuhan, maka keterangannya menjadi “petunjuk” bagi hakim bahwa ada motif “pembunuhan berencana” dibalik tewasnya korban, terlebih ada saksi lain yang menyatakan adanya cerita serupa oleh korban sebelum terjadinya insiden.

PEMBAHASAN:

Terdapat sebuah contoh nyata dikesampingkannya keterangan seorang saksi “de auditu”, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk ilustrasinya lewat putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur sengketa gugatan cerai register Nomor 135/PDT/2018/PT.SMR tanggal 3 Desember 2018, perkara antara:

- Pihak SUAMI, sebagai Penggugat; melawan

- Pihak ISTRI, selaku Tergugat.

Penggugat dengan Tergugat telah berjalan selama kurang-lebih 16 (enam belas) tahun dan telah dikarunia 2 (dua) orang anak. Pada mulanya, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berjalan harmonis. Namun seiring berjalannya waktu, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidak harmonis lagi dan sering terjadi percekcokan / pertengkaran. Puncaknya ialah ketika Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah dan hidup di tempat masing-masing, dimana Penggugat saat kini bertempat-tinggal di Kalimantan Selatan, meskipun sampai sekarang Penggugat masih tetap menafkahi anak-anak Penggugat dan Tergugat. Tergugat masih tinggal di Balikpapan, akan tetapi sudah pindah dari rumah kediaman bersama.

Penggugat merasa kehidupan rumah-tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada komunikasi yang baik dan sudah tidak ada kecocokan lagi, sehingga bulat tekad Penggugat untuk mengajukan gugatan cerai ini ke Pengadilan Negeri Balikpapan agar menyatakan bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat PUTUS karena PERCERAIAN. Adapun bantahan pihak Tergugat ialah, apa yang didalilkan Penggugat adalah tidak benar, antara Penggugat dan Tergugat tidak ada permasalahan. Apabila Penggugat pulang ke Balikpapan, Tergugat tidak melupakan statusnya dalam rumah-tangga, seperti mengurus / menyiapkan makanan untuk Penggugat jika pulang ke rumah Balipapan serta mendidk anak-anak secara langsung.

Adapun tiga tahun sebelumnya, Penggugat telah pernah mengajukan gugatan perceraian kepada Tergugat ke Pengadilan Negeri Balikpapan, dalam register perkara No.15/Pdt.G/2015/PN.Bpp, dimana putusannya ialah menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Terhadap gugatan pihak suami, yang kemudian menjadi Pengadilan Negeri Balikpapan pada tanggal 3 April tahun 2018 telah menjatuhkan putusan sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;”

Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak, dengan kutipan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa ternyata Pembanding semula Penggugat tidak mengajukan memori banding sehingga Majelis Hakim Banding tidak mengetahui mengenai alasan banding dari Pembanding semula Penggugat tersebut, sehingga Majelis Hakim Banding akan memperhatikan apakah putusan Pengadilan Negeri tersebut telah tepat atau tidak;

“Menimbang, bahwa inti pokok putusan Pengadilan Negeri Balikpapan dalam perkara perdata Nomor 126/Pdt.G/2017/PN.Bpp adalah bahwa gugatan oleh Pembanding semula Penggugat terhadap Terbanding semula Tergugat adalah Telah NEBIS IN IDEM karena antara Pembanding semula Penggugat dan Terbanding semula Tergugat telah pernah berperkara di Pengadilan Negeri Balikpapan dalam perkara perdata Nomor 157/Pdt.G/2015/PN.Bpp dan perkara tersebut telah diperiksa pula dalam tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda dengan Nomor Perkara 130/PDT/2016/PT.SMR dan telah berkekuatan hukum tetap karena para pihak tidak menggunakan upaya hukum kasasi;

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Banding setelah mempelajari putusan Pengadilan Negeri Balikpapan tersebut ternyata bahwa alasan hukum putusan Pengadilan Negeri Balikpapan yang menyatakan bahwa gugatan Pembanding semula Penggugat tersebut tidak dapat diterima adalah karena:

1. Apa yang digugat telah pernah diperkarakan sebelumnya dan telah ada putusan yang telah berkekuatan tetap dan bersifat positif;

2. Nama para pihak yaitu Penggugat dan Tergugat yang tercantum dalam perkara a quo sama dengan perkara Nomor 157/Pdt.G/2015/PN.Bpp;

3. Pokok permasalahan yang dituntut Penggugat dalam perkara a quo Juga sama dengan perkara Nomor 157/Pdt.G/2015/PN.Bpp yaitu gugatan perceraian antara Pembanding semula Penggugat dan Terbanding semula Tergugat;

“Menimbang, bahwa memperhatikan putusan Pengadilan Negeri Balikpapan tersebut, timbul pertanyaan apakah dalam perkara perceraian dapat pula diterapkan asas Nebis In Idem tersebut;

“Menimbang, bahwa tentang hal ini Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 110 K/AG/1992 tanggal 24 Juli 1993 mengatur kaidah hukum: ‘bahwa dalam perkara perceraian tidak berlaku asas Nebis In Idem’, dengan demikian Majelis Hakim Banding akan mempertimbangkan mengenai pembuktian pihak pihak dalam perkara tersebut;

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Banding dalam memperhatikan materi gugatan perkara sebelumnya antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara Nomor 157/Pdt.G/2015/PN.Bpp yang kemudian dikuatkan oleh Majelis Hakim Banding dalam perkara perdata Nomor 130/PDT/2016/PT.SMR ternyata alasan gugatannya adalah sama yaitu cek-cok yang sering terjadi namun dalam perkara sebelumnya menurut Pembanding semula Penggugat karena Terbanding semula Tergugat sering meninggalkan rumah dan mengabaikan urusan rumah tangga dan suami untuk kepentingannya sendiri, namun Pembanding semula Penggugat tidak dapat membuktikan dalil tersebut malahan menurut saksi yang diajukan oleh Penggugat karena adanya orang ketiga yaitu teman sekerja Pembanding semula Penggugat di ‘rumah Penggugat dan Tergugat’, yang memicu cek-cok tersebut, malahan Penggugat dan orang ketiga dimaksud yaitu DICE pergi ke Banjarmasin dan membuka usaha katering dan meninggalkan Istri dan anak anaknya di Balikpapan;

“Menimbang, bahwa dalam perkara sekarang yaitu perkara Nomor 126/Pdt.G/2017/PN.Bpp, Pembanding semula Penggugat telah menggugat lagi Terbanding semula Tergugat dengan alasan yang sama lagi yaitu cekcok ...;

“Menimbang, bahwa dalam membuktikan dalil gugatan tersebut tersebut Pembanding semula Penggugat telah mengajukan 3 (tiga) orang saksi, yaitu: Rina Dwi Handayani, Rosyid dan Sri Wahyuni. Namun ketiga saksi tersebut menerangkan bahwa Pembanding semula Penggugat dan Terbanding semula Tergugat memang sering cekcok atau bertengkar namun hal tersebut diceriterakan oleh Pembanding kepada Saksi Rina Dwi Handayani di rumah saksi tersebut, sedangkan Saksi Sri Wahyuni mendengar cerita cekcok tersebut ketika ke rumah Pembanding dan Terbanding di Balikpapan, sedangkan Saksi Rosyid mendengar cerita cekcok tersebut langsung dari penuturan Pembanding;

“Menimbang, bahwa memperhatikan keterangan ketiga saksi tersebut yang mengetahui cekcok karena mendengar cerita atau penuturan oleh Pembanding sendiri, menurut Majelis Hakim Banding tidak mempunyai nilai pembuktian dan lebih condong kepada cara Pembanding untuk dapat membenarkan alasannya untuk dapat menceraikan Istrinya atau dikategorikan sebagai kesaksian atau Testimonium de auditu;

“Menimbang, bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki atau pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sehingga diperlukan komitmen bersama untuk mencapai tujuan tersebut tanpa menyakiti satu dengan yang lain, dengan cara tinggal bersama dalam rumah dan saling memperhatikan satu dengan yang lain dalam ikatan kasih;

“Menimbang, bahwa Saksi Rosyid menerangkan Pembanding sering menengok anaknya di Balikpapan, sedangkan Terbanding membenarkan bahwa jika Pembanding datang ia melayani suaminya sebagaimana biasa dan tidak melupakan kodratnya sebagai istri hal tersebut bersesuaian dengan pengakuan Pembanding semula Penggugat bahwa ia masih tetap menafkahi anak-anaknya dan Terbanding semula Tergugat tersebut. Dan hal tersebut bersesuaian dengan surat pernyataan yang dibuat ... sebagai anak Pembanding dan Terbanding (bukti P.6) menurut pemahaman Majelis Hakim Banding kehidupan rumah tangga Pembanding dan Terbanding masih dalam batas kewajaran apalagi belum pernah diupayakan perdamaian atau upaya penyelesaian cekcok dalam lingkungan keluarga dari kedua belah pihak tersebut;

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Banding pun dalam mempertimbangkan alasan gugatan Pembanding dalam perkara sebelumnya dimana Pembanding semula Penggugat merasa tidak nyaman tinggal sendirian karena ditinggal Istri yaitu Terbanding dalam waktu yang tidak lama untuk menjenguk orang tuanya yang sudah tua renta bersama anak-anaknya dalam gugatan perkara sebelumnya, bila dibandingkan dengan kelakuan Pembanding semula Penggugat yang pergi meninggalkan Istri dan anak di Balikpapan menuju Kalimantan Selatan bersama Perempuan lain yang bukan Istrinya, berusaha dagang dan berhasil, bukannya menjemput Istri dan anak yang tinggal di Balikpapan untuk tinggal bersama di Kalimantan selatan, malahan menggugat cerai istri. Hal yang demikian ini menurut Majelis Hakim Banding adalah perbuatan yang tidak terpuji atau tercela, dan karena Pembanding semula Penggugat pun tidak bisa membuktikan alasan gugatannya tersebut maka gugatan Pembanding semula Penggugat tersebut beralasan hukum untuk ditolak, oleh karena itu maka putusan Pengadilan Negeri Balikpapan tanggal 3 April 2018 Nomor 126/Pdt.G/2017/PN.Bpp tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan dan Majelis Hakim Banding akan mengadili sendiri dengan amar putusan sebagaimana tersebut di bawah ini;

M E N G A D I L I :

- Menerima Permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat;

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Balikpapan Nomor 126/Pdt.G/2017/PN.Bpp tanggal 3 April 2018 yang dimohonkan banding tersebut;

DENGAN MENGADILI SENDIRI:

- Menolak gugatan Pembanding semula Penggugat tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.