JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ciri Khas Orang DUNGU : Seolah Menunggu untuk Menyesal Dikemudian Hari

Dicelakakan oleh Kerakahan Sendiri, You Asked for It!

Orang DUNGU : Berenang-Renang ke Tepian, Barulah Berakit-Rakit ke Hulu. Bersenang-Senang Dahulu, Bersakit-Sakit Kemudian

Terdapat dua jenis nyamuk yang selama ini berkeliaran di perumahan- perumahan penduduk, yakni : Pertama, nyamuk yang “kerempeng” (kurus dan anemia), dicirikan oleh gesit ketika hendak dipukul oleh para korbannya. Kedua, nyamuk yang “gembuk”, dicirikan oleh tubuhnya yang sudah membesar akibat penuh oleh darah yang ia hisap sehingga gerakannya menjadi lamban serta bobotnya berat tidak lagi sanggup diatasi oleh kekuatan sayapnya—namun masih juga “kelaparan” dan terus berupaya menggigit untuk menghisap darah korbannya sehingga mudah sekali bagi sang korban untuk menepuk sang nyamuk “serakah”, sehingga tewas akibat keserakahannya sendiri.

Serupa seperti kalangan koruptor, banyak yang tidak terjaring oleh hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengklaim bahwa biaya menyidik kasus-kasus korupsi tergolong “berbiaya tinggi” (high cost) sehingga lembaga anti-rasuah tersebut melakukan seleksi / filtering terhadap oknum-oknum pelaku korupsi—tebang pilih akibat pertimbangan pragmatis sumber daya manusia maupun pendanaan biaya operasional KPK yang terbatas—lebih tepatnya hanya koruptor-koruptor kelas kakap, kelas hiu, kelas paus, serta kelas gurita yang dijaring dan diproses hukum. Selebihnya, koruptor-koruptor kelas teri, kelas gurame, kelas bawal, maupun koruptor-koruptor kelas mujair dibiarkan bebas dan merajalela—bahasa politis dan diplomatisnya : dipelihara oleh negara, berkeliaran menjadi raja-raja kecil.

Ulasan ini tidak bermaksud mengajak para pembaca untuk menikmati “zona aman dan nyaman” bernama “koruptor kelas teri” demikian, mengingat semua “koruptor kelas kakap” selalu memulai debut perdananya sebagai koruptor bermula dari “korupsi kecil-kecilan”—karena itulah, korupsi besar maupun korupsi kecil, tidak dapat kita tolerir terlebih berikan kompromi, harus ada konsekuensi hukumnya. Orang-orang jenius, terlampau kreatif, sehingga tidak pernah merasa perlu merampas terlebih meng-korupsi hak-hak orang lain. Sebaliknya, para “dunguwan”, selalu memiliki satu corak watak yang sangat khas kaum “dungu”, yakni : bersikap seolah-olah sedang menunggu tiba terjadinya “menyesal dikemudian hari”.

Sudah begitu banyak pemberitaan perihal ditangkap dan dihukumnya para pelaku aksi korupsi maupun kolusi, dimana insan pers (jurnalistik) baik media elektronik maupun media cetak gencar mewartakannya, lengkap dengan geleri foto-foto pihak tersangka ataupun terdakwa yang menyandang rompi khusus terdakwa kasus korupsi, diborgol, serta digiring oleh aparatur penegak hukum. Gedung-gedung yang menjadi tempat rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan (penjara) pun dapat kita jumpai dan kunjungi dengan mata-kepala kita sendiri. Tetap saja, para “dunguwan” mencoba-coba “bermain api” dan “benar-benar terbakar karenanya”—tertangkap oleh aparatur penegak hukum, yang kemudian betul-betul menjadi tempat dimana sang koruptor digelandang dan dijebloskan ke balik jeruji sel di dalamnya. “Sedang apes”, demikian sang napi korupsi membatin.

Ketika selesai menjalani masa hukuman, mereka kembali mencalonkan diri menjadi kepala daerah maupun anggota legislatif, “Mungkin kali ini tidak akan se-apes seperti sebelumnya”, dimana “business as usual”, kembali mencoba-coba aksi korupsi. Ketika untuk kali keduanya tertangkap oleh aparatur penegak hukum atas kasus serupa, korupsi, sang mantan napi korupsi yang kembali menjalani proses persidangan dan masa penghukuman dibalik jeruji sel yang sama, sang “dunguwan” kembali membatin, “Ternyata masih apes. Mungkin tidak untuk yang kali ketiganya nanti.” Menjadi relevan nasehat Einstein, melakukan hal yang sama namun mengharap hasil yang berbeda, “it is INSANE”. Barulah ketika untuk kali kesekiannya sang “dunguwan” dijebloskan atas kasus serupa, ia menyesalinya, namun jelas sudah terlambat—penyesalan mana sejak semula (seolah) ia tunggu-tunggu tiba datangnya.

Salah satu ilustrasi yang relevan, dapat kita jumpai pada pemberitaan pada bulan Juli 2023 dimana Kepala Bea Cukai Makassar diberitakan menyimpan dana pelicin (gratifikasi) dari mertua hingga dari pengusaha, gratifikasi mana diduga diterima selama 10 tahun lamanya, dimana bermula dari aksi sang istri maupun sang anak yang berperilaku “flexing”, sang pejabat pun mendapat perhatian publik luas sebelum kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono yang merupakan tersangka perkara korupsi berupa gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)—bukan “mantan” Kepala Bea Cukai, mengingat aksi kolusi dilakukan oleh yang bersangkutan saat masih / sedang menjabat, bukan saat setelah pensiun dari jabatannya.

KPK mengungkap modus tindak pidana yang dilakukan sang pejabat, mulai dari menyembunyikan uang hasil gratifikasi melalui pengusaha, hingga mertuanya sendiri. Adapun manuver ilegal yang dilakukan Andhi untuk menerima “uang gelap”, diantaranya melalui transfer uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor-impor dan pengurusan jasa kepabeanan dengan bertindak sebagai nominee. Tindakan tersebut diduga sebagai upaya menyembunyikan sekaligus menyamarkan identitasnya sebagai pengguna uang yang sebenarnya untuk membelanjakan, menempatkan maupun dengan menukarkan dengan mata uang lain.

Dugaan penerimaan gratifikasi olehnya sejauh ini sejumlah sekitar Rp28 miliar dan masih terus dilakukan penelusuran lebih lanjut. Pada proses penyidikan, ditemukan adanya transaksi keuangan melalui layanan perbankan melalui rekening bank Andhi Pramono dan Ibu Mertuanya. Adapun nilai dugaan gratifikasi sebesar 28 miliar Rupiah, demikian ditengarai oleh KPK masih bersifat sementara, dimana terbuka potensi jumlah yang lebih besar karena masih terus dilakukan penelusuran lebih lanjut. Dana yang sumbernya tidak jelas hingga sebesar demikian, menjadi patut diduga bahwa Andhi menerima uang dari sejumlah pengusaha sejak tahun 2012 hingga tahun 2022, alias selama 10 tahun dirinya memangku jabatan yang selama itu pula ia salah-gunakan.

Dalam rentang waktu antara tahun 2012—2022, sang pejabat dalam jabatannya selaku PPNS sekaligus pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ditengarai telah memanfaatkan posisi dan jabatannya (kewenangan) untuk bertindak sebagai broker (perantara) dan juga memberikan rekomendasi bagi para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor sehingga nantinya dapat dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnis mereka. Sebagai broker, Andhi diduga menghubungkan antar importir untuk mencarikan barang logistik yang dikirim dari wilayah Singapura dan Malaysia yang diantaranya menuju ke beberapa negara di kawasan ASEAN. Setiap rekomendasi yang dibuat dan disampaikan diduga juga menyalahi prosedur kepabeanan, tidak terkecuali para pengusaha yang mendapatkan izin ekspor-impor diduga tidak berkompeten. Dari rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, yang bersangkutan disangkakan menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk komisi.

Adapun aksi “pencucian uang” yang dilakukannya dengan membelanjakan atau mentransfer uang yang diduga hasil korupsi dimaksud untuk keperluan diri maupun keluarganya, diantaranya dalam kurun waktu 2021 dan 2022, salah satunya dengan melakukan pembelian berlian senilai 652 juta Rupiah, pembelian polis asuransi senilai 1 miliar Rupiah dan pembelian rumah di wilayah Pejaten—Jaksel senilai 20 miliar Rupiah. Andhi awalnya dimintai klarifikasi mengenai asal-usul kekayaan oleh tim Direktorat LHKPN KPK, lalu ditingkatkan ke tingkat penyelidikan setelah KPK menilai adanya kekayaan tidak wajar yang diperoleh oleh Andhi.

Hasil penyelidikan itu lalu menemukan adanya tindak pidana korupsi berupa gratifikasi yang dilakukan Andhi Pramono. Hingga saat kini, Andhi tercatat sebagai pejabat negara kedua yang menjadi tersangka setelah keluarganya diketahui bergaya hidup mewah dan viral di media sosial, setelah belum lama sebelumnya mencuat nama Rafael Alun Trisambodo, seorang pejabat pajak ketika menyalah-gunakan kewenangannya dan juga berakhir sebagai pesakitan di persidangan.

Masyarakat mudingan bahwa aparatur penegak hukum hanya menindak kasus-kasus dimana pejabat pamer harta yang telah viral dan mendapat sorotan publik. Pekerjaan rumah di Republik Indonesia ialah, maraknya pejabat sektor pajak dan bea-cukai maupun para institusi pemerintahan lainnya yang pamer harta pada akun media sosial mereka, menunjukkan fenomena lemahnya pengawasan di institusi pemerintahan, sekaligus menjadi gambaran “puncak gunung es” (yang tidak mendapat sorotan jauh lebih banyak). Baik engusutan atas kasus Rafael Alun maupun Andhi Pramono, merupakan buntut dari kegiatan pamer harta yang diperlihatkan oleh keluarga kedua pejabat bersangkutan.

Seolah, hanya pejabat-pejabat yang viral aksi “pamer harta tidak wajar” saja yang diselidiki asal-usul harta-kekayaannya oleh aparatur penegak hukum, dimana bilamana “pejabat eselon III” saja bisa menghimpun dana dengan nilai fantastis demikian, maka bagaimana dengan pejabat yang lain? Apapun yang menjadi “political will” pemerintah kita, para “dunguwan” tersebut mungkin sedang berdelusi, bahwa dengan terus-menerus menghimpun kekayaan baik secara legal maupun secara ilegal, dan terus menikmati kesenangan duniawi hidup ala “hedon” sepanjang hidup mereka, maka diri yang bersangkutan akan mencapai “akhir dari dukkha” yakni “kepuasan final”—yang ada justru “overdosis” serta menyerupai meminum air laut dengan maksud untuk melepas dahaga, justru kian tercengkeram ke dalam genggaman “tidak pernah terpuaskan” (dukkha)—mengutip pendapat Ajahn Brahm mengenai pola berpikir dan memandang mengenai kebahagiaan hidup, manakah yang Anda pilih : “freedom to wanting” (bebas untuk menginginkan) ataukah “freedom from wanting” (bebas dari keinginan)?

Menjadi cukup relevan ketika kita merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “bergelut menuju akhir dunia” dengan kutipan sebagai berikut:

45 (5) Rohitassa (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata:

“Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, [48] tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.”

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’

“Di masa lampau, Bhante, aku adalah seorang petapa bernama Rohitassa, putra Bhoja, seorang yang memiliki kekuatan batin, mampu melakukan perjalanan di angkasa. Kecepatanku adalah bagaikan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah berbusur kokoh - seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman108 - melintasi bayangan pohon lontar. Langkahku adalah sedemikian sehingga dapat mencapai dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian, ketika aku memiliki kecepatan dan langkah demikian, suatu keinginan muncul padaku: ‘Aku akan mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, Aku melakukan perjalanan selama seratus tahun tanpa henti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan air kecil, dan untuk menghalau kelelahan dengan tidur; namun aku mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai akhir dunia.

[Kitab Komentar menjelaskan : dhanuggaho sebagai seorang guru memanah, sikkhito sebagai seorang yang terlatih dalam memanah selama dua belas tahun, katahattho sebagai seorang yang cukup mahir untuk membelah ujung rambut dari jarak satu usabha, dan katūpasāno sebagai seorang yang berpengalaman dalam menembakkan anak panah yang telah memperlihatkan keahliannya.]

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali.’”

“Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1) dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju lenyapnya dunia.”

[49] Akhir dunia tidak dapat dicapai dengan melakukan perjalanan [melintasi dunia]; namun tanpa mencapai akhir dunia tidak ada kebebasan dari penderitaan. Karena itu Sang Bijaksana, Pengenal-dunia, yang telah mencapai akhir dunia dan telah menjalani kehidupan spiritual, setelah mengetahui akhir dunia, menjadi damai, tidak menginginkan dunia ini atau dunia lainnya.

46 (6) Rohitassa (2)

Ketika malam itu telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, deva muda Rohitassa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan berkata:

“‘Mungkinkah, Bhante, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali?’”

[Selanjutnya adalah identik dengan 4:45, termasuk syairnya, tetapi disampaikan dalam narasi orang pertama.] [50]

Tidak mengherankan bila kemudian timbul kesan di benak publik, Rafael Alun dan Andhi diproses KPK sebagai dampak memamerkan harta yang dilakukan oleh keluarganya, kemudian dilihat dari gaya hidupnya, yang mana secara tidak langsung mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan internal di kedua institusi yang sangat “seksi” (“basah”), yakni Ditjen Pajak dan Bea-cukai. Sejatinya aparatur penegak hukum dapat memanafatkan kecanggihan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) untuk menjadi pengawas terhadap aksi-aksi korupsi—kolusi Aparatur Sipil Negara, semisal dengan menciptakan bot yang mampu menganalisa pesan tertulis maupun komunikasi lisan dengan melakukan penyadapan secara meluas dan tersistematis terhadap seluruh nomor seluler aktif yang beredar di masyarakat, bukan hanya menyadap kalangan aparatur negara maupun yang menyandang jabatan politis di birokrasi pemerintahan.

Sebetulnya sudah sejak lama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengembangkan sistem “bot” untuk menganalisa laporan arus lalu-lintas transaksi keuangan yang diinput oleh berbagai lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia. Mayoritas atau sebagian besar SDM (sumber daya manusia) PPATK dialokasikan untuk membangun sistem ini, yakni kemampuan “perangkat lunak” canggih yang secara cerdas mampu mengendus, melacak, serta menganalisa adanya transaksi yang mencurigakan dan patut diwaspadai. Semisal, ketika terjadi kenaikan grafik pendapatan seseorang Pegawai Negeri Sipil, dari sebelumnya rata-rata pendapatannya dalam sebulan ialah hanya hitungan jutaan Rupiah, namun mendadak pada satu bulan tertentu mendapat pemasukan senilai miliaran Rupiah alias terjadi kenaikan kurva persentase mencapai ribuan persen, maka sistem akan secara otomatis mendeteksinya sebagai “tidak wajar” dan memberi “alert” rambu kuning yang meminta perhatian ekstra dari para penyidik di PPATK untuk diperhatikan dan dipantau terus.

Selebihnya, hanya persoalan “political will” pemerintah,  serius atau tidak memberantas aksi-aksi korupsi, mengingat dalam kasus Rafael Alun, PPATK telah memberikan data laporan adanya transaksi mencurigakan sejak satu dasawarsa lampau, namun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kementerian Keuangan, sebelum kemudian viral aksi “pamer harta” oleh pejabat Kementerian Keuangan pada Kantor Pajak tersebut, barulah diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sama seperti kasus korupsi oleh sipil, yakni Yayasan Aksi Cepat Tanggap (YACT), dimana PPATK telah melaporkan lama sebelum kasus korupsi oleh para pengurus YACT mencuat ke publik dan menimbulkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat, namun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kementerian Sosial.

Barulah ketika viral dan ditetapkan sebagai tersangka, Kementerian Sosial mencabut izin operasional YACT—untuk urusan sosial saja, terjadi korupsi berjemaah yang bernilai fantastis, bagaimana untuk urusan yang bukan sosial? Juliari Batubara, Menteri Sosial yang melakukan aksi korupsi terhadap dana bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak wabah pandemik, dengan nilai yang bombastis—juga mencuat ke publik akibat keserakahan (gaya hidup mewah) para pengurusnya, serta baru diperiksa oleh aparatur penegak hukum setelah viral di publik—merupakan cerminan konkret budaya atau mental-karakter masyarakat kita : korup, namun secara lantang berteriak “anti korupsi”, alias bobrok dari atas hingga ke bawah, dan dari bawah ke atas. Merujuk kembali sabda Sang Buddha, pilihan ada di tangan Anda, ingin mengikuti arus kebodohan mental-karakter masyarakat kita, atau “melawan arus”, dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.