Splitsing Dakwaan, Jaksa Mengakali Minimnya 2 Alat Bukti

KODE ETIK Jaksa Republik Indonesia

Splitsing Dakwaan Demi Genap Minimal 2 Alat Bukti, apakah Melanggar Kode Etik Jaksa Penuntut Umum?

Question: Banyak kita dengar pemberitaan, surat dakwaan yang disusun secara terpisah antar terdakwa oleh jaksa, semisal dalam kasus tindak pidana korporasi, dakwaan yang satu terhadap korporasinya, namun dakwaan kedua secara terpisah ialah terhadap pengurus korporasi bersangkutan, atas pelanggaran hukum yang sama. Alih-alih menjadikan satu-kesatuan surat dakwaan, jaksa selaku penuntut umum tampaknya memainkan trik berupa pemisahan surat dakwaan, dalam rangka membuat genap dua alat bukti, dimana salah satunya ialah bukti kesaksian yang notabene terdakwa lain dalam surat dakwaan lainnya.

Semisal surat dakwaan yang satu terdakwanya ialah korporasi, lalu pengurusnya dijadikan saksi. Dalam surat dakwaan kedua, dimana pengurusnya dijadikan terdakwa, pejabat pengurus lainnya dari korporasi dimaksud dijadikan saksi. Kesemua ini seolah hanya untuk mengakali minimnya alat bukti, apakah penuntut umum tidak melanggar kode etik perilaku kejaksaan yang berlaku di Indonesia? Penuntutan secara terpisah, tidak jarang hanya akal-akalan pihak penuntut umum saja meski bisa disatukan dalam satu surat dakwaan, semisal “terdakwa kesatu” dan “terdakwa kedua” didakwa dan dituntut secara sekaligus dalam satu berkas dakwaan.

Brief Answer: Kode Etik kalangan profesi Jaksa, mengatur bahwa : “Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang: menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan melalui cara-cara yang melanggar hukum.” Perihal “melanggar hukum” atau tidaknya metode pemisahan dakwaan (splitsing requisitor) antar terdakwa yang terlibat dalam suatu pemufakatan ketika melakukan tindak pidana (deelneming, penyertaan alias pelaku penyerta) selama ini memang lazim dalam praktik peradilan, dan itu memang dimungkinkan, sehingga tidak melanggar hukum (setidaknya secara eksplisit).

Hanya saja, memang standar kepatutan yang kurang mendapat penekanan, sehingga pihak Penuntut Umum mencoba menyikapi minimnya alat bukti yang ada dengan mencoba “mengakali”-nya dengan menjadikan antar terdakwa sebagai saksi satu sama lainnya dalam berkas dakwaan terpisah. Idealnya, yang disebut sebagai “minimum dua alat bukti, barulah seseorang / suatu subjek hukum dapat didakwa”, kesaksian yang dihadirkan oleh pihak Penuntut Umum ialah saksi yang bersifat “memberikan keterangan yang memberatkan posisi hukum pihak terdakwa”, alias bukan saksi “a de charge”. Bukankah memang begitu, “nature” karakter penuntutan oleh Penuntut Umum?—isu hukum demikian dapat diangkat untuk diputus lewat mekanisme uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI, agar tercipta kepastian hukum, sehingga konteksnya mendapat perhatian, bukan sekadar norma hukum tekstual belaka.

PEMBAHASAN:

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER–014/A/JA/11/2012

TENTANG

KODE PERILAKU JAKSA

Menimbang :

a. bahwa untuk mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri Krama Adhyaksa;

b. bahwa Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan profesi Jaksa;

c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b maka perlu membentuk Peraturan Jaksa Agung Tentang Kode Perilaku Jaksa.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Jaksa Agung ini, yang dimaksud dengan:

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. Profesi Jaksa adalah tugas dan wewenang yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan di bidang pidana, perdata dan tata usaha negara, di bidang ketertiban dan ketentraman umum dan tugas-tugas lain berdasarkan undang-undang.

3. Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.

4. Pelanggaran adalah setiap perbuatan Jaksa yang melanggar kewajiban dan/atau larangan dalam ketentuan Kode Perilaku Jaksa, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.

5. Kewajiban adalah sesuatu hal yang harus dilakukan oleh Jaksa sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila dilanggar akan dikenakan tindakan administratif.

6. Larangan adalah sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan oleh Jaksa sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan tugas profesinya baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dan apabila dilanggar akan dikenakan tindakan admnistratif.

7. Norma hukum adalah kaidah yang merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk yang daya lakunya dipaksakan dari luar diri manusia untuk mewujudkan kepastian dan keadilan hukum meliputi peraturan perundang-undangan, peraturan internal Kejaksaan dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung, Keputusan Jaksa Agung, Instruksi Jaksa Agung, Surat Edaran Jaksa Agung, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis dari Pimpinan Kejaksaan lainnya.

8. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada Jaksa oleh institusi Kejaksaan untuk tidak dipersalahkan atas tindakannya dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.

9. Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah Pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk memeriksa dan menjatuhkan tindakan administratif terhadap Jaksa yang melakukan pelanggaran.

10. Majelis Kode Perilaku yang selanjutnya disingkat MKP adalah wadah yang dibentuk di lingkungan Kejaksaan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.

11. Persatuan Jaksa Indonesia yang selanjutnya disingkat PJI adalah wadah organisasi profesi Jaksa yang menghimpun seluruh Jaksa di Kejaksaan Republik Indonesia, terdiri dari PJI Pusat berkedudukan di Kejaksaan Agung, PJI Daerah berkedudukan di Kejaksaan Tinggi, dan PJI Cabang berkedudukan di Kejaksaan Negeri.

12. Lingkungan Kejaksaan adalah Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, dan Perwakilan Kejaksaan di luar negeri

13. Tindakan administratif adalah tindakan yang dijatuhkan kepada Jaksa yang melakukan pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.

Pasal 2

Kode Perilaku Jaksa berlaku bagi Jaksa yang bertugas di dalam dan di luar lingkungan Kejaksaan.

BAB II

PERILAKU JAKSA

Bagian Kesatu

Kewajiban Jaksa

Pasal 3

Kewajiban Jaksa kepada negara :

a. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan

c. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara.

Pasal 4

Kewajiban Jaksa kepada Institusi:

a. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;

b. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;

c. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia;

d. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;

e. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan; dan

f. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi untuk meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya.

Pasal 5

Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa:

a. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil;

b. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga;

c. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;

d. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti perkembangan hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional;

e. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada Penyidik;

f. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap tersangka / terdakwa yang masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan kecuali penyampaian informasi kepada media, tersangka / keluarga, korban / keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

g. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia; dan

h. memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain.

Pasal 6

Kewajiban Jaksa kepada masyarakat:

a. memberikan pelayanan prima dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia; dan

b. menerapkan pola hidup sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Bagian Kedua

Integritas

Pasal 7

(1) Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:

a. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara apapun;

b. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung;

c. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau finansial secara langsung maupun tidak langsung;

d. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang terkait dalam penanganan perkara;

e. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku;

f. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;

g. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis; dan

h. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan melalui cara-cara yang melanggar hukum;

(2) Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah atau keuntungan dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.

Bagian Ketiga

Kemandirian

Pasal 8

(1) Jaksa melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya:

a. secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya; dan

b. tidak terpengaruh oleh kepentingan individu maupun kepentingan kelompok serta tekanan publik maupun media;

(2) Jaksa dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan kepadanya diberikan perlindungan hukum.

(3) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada yang memberikan perintah dengan menyebutkan alasan, dan ditembuskan kepada atasan pemberi perintah.

Bagian Keempat

Ketidakberpihakan

Pasal 9

Dalam melaksanakan tugas profesi Jaksa dilarang:

a. bertindak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, jender, golongan sosial dan politik dalam pelaksanaan tugas profesinya;

b. merangkap menjadi pengusaha, pengurus / karyawan Badan Usaha Milik Negara / daerah, badan usaha swasta, pengurus / anggota partai politik, advokat; dan/atau

c. memberikan dukungan kepada Calon Presiden / Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Calon Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah dalam kegiatan pemilihan.

Bagian Kelima

Perlindungan

Pasal 10

Jaksa mendapatkan perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa.

Pasal 11

Jaksa dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa berhak:

a. melaksanakan fungsi Jaksa tanpa intimidasi, gangguan dan pelecehan;

b. mendapatkan perlindungan hukum untuk tidak dipersalahkan sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;

c. mendapatkan perlindungan secara fisik, termasuk keluarganya, oleh pihak yang berwenang jika keamanan pribadi terancam sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dan fungsi Jaksa yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku;

d. mendapatkan pendidikan dan pelatihan baik teknis maupun nonteknis;

e. mendapatkan sarana yang layak dalam menjalankan tugas, remunerasi, gaji serta penghasilan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku;

f. mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan dan/atau promosi berdasarkan parameter obyektif, kualifikasi profesional, kemampuan, integritas, kinerja dan pengalaman, serta diputuskan sesuai dengan prosedur yang adil dan tidak memihak;

g. memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, kecuali dengan tujuan membentuk opini publik yang dapat merugikan penegakan hukum; dan

h. mendapatkan proses pemeriksaan yang cepat, adil dan evaluasi serta keputusan yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku dalam hal Jaksa melakukan tindakan indisipliner.

BAB III

TINDAKAN ADMINISTRATIF

Pasal 12

(1) Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.

(2) Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar Jaksa di dalam lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.

(3) Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan administratif.

(4) Tindakan adminstratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar.

Pasal 13

(1) Tindakan administratif terdiri dari:

a. pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama (1) satu tahun; dan/atau

b. pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Apabila selama menjalani tindakan administratif diterbitkan Surat Keterangan Kepegawaian (Clearance Kepegawaian) maka dicantumkan tindakan administratif tersebut.

(3) Setelah selesai menjalani tindakan administratif, Jaksa yang bersangkutan dapat dialihtugaskan kembali ketempat semula atau kesatuan kerja lain yang setingkat dengan satuan kerja sebelum dialihtugaskan.

Pasal 14

Keputusan pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dan Keputusan pengalihtugasan pada satuan kerja lain terhadap Jaksa diterbitkan oleh pejabat yang berwenang melakukan tindakan administratif.

BAB IV

TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN

TINDAKAN ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu

Majelis Kode Perilaku

Pasal 15

(1) Dugaan pelanggaran diperoleh dari laporan / pengaduan masyarakat, temuan pengawasan melekat (Waskat) dan pengawasan fungsional (Wasnal).

(2) Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ditindak-lanjuti melalui proses klarifikasi dan pemeriksaan yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia.

(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sebagai pelanggaran Kode Perilaku Jaksa maka hasil pemeriksaan diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku.

Pasal 16

Pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku, sebagai berikut:

a. Jaksa Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;

b. Para Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas di lingkungannya masing-masing pada Kejaksaan Agung;

c. Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas di luar lingkungan Kejaksaan Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi; atau

d. Kepala Kejaksaan Tinggi bagi Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri dan Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri dalam wilayah hukumnya.

Pasal 17

(1) Setelah menerima hasil pemeriksaan, Pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku menerbitkan Surat Keputusan Pembentukan Majelis Kode Perilaku.

(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan akan dimulainya pemeriksaan dan telah selesainya pemeriksaan kepada atasannya secara berjenjang selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.

Pasal 18

(1) Majelis Kode Perilaku terdiri dari:

a. Ketua merangkap Anggota adalah pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku atau pejabat yang ditunjuk;

b. Sekretaris merangkap Anggota adalah 1 (satu) orang pejabat struktural di lingkungan unit kerja yang bersangkutan, berstatus Jaksa yang jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari Jaksa yang akan diperiksa; dan

c. Seorang Anggota dari unsur PJI yang jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari Jaksa yang akan diperiksa;

(2) Apabila dalam unit kerja yang bersangkutan, pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c tidak ada, pejabat yang berwenang untuk membentuk Majelis Kode Perilaku meminta bantuan dari pimpinan unit kerja di atasnya untuk menunjuk pengganti yang memenuhi syarat.

(3) Majelis Kode Perilaku dibantu oleh staf tata usaha yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 19

Susunan Majelis Kode Perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sebagai berikut:

a. Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk, Pejabat Eselon I, dan unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah pejabat struktural Eselon I;

b. Jaksa Agung Muda di tempat Jaksa yang bersangkutan bertugas atau Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan, Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada masing-masing Jaksa Agung Muda serta unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Jaksa yang bertugas di lingkungan Kejaksaan Agung atau Badan Pendidikan dan Pelatihan;

c. Jaksa Agung Muda Pengawasan, Pejabat Eselon II atau pejabat yang ditunjuk pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan serta unsur PJI Pusat apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa yang bertugas di luar lingkungan Kejaksaan;

d. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Pejabat Eselon III atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI Daerah apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri dalam wilayah hukumnya; atau

e. Kepala Kejaksaan Tinggi atau pejabat lain yang ditunjuk, Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat lain yang ditunjuk serta unsur PJI Daerah apabila Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran kode perilaku adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri.

Bagian Kedua

Tata Cara Pemeriksaan

Pasal 20

(1) Majelis Kode Perilaku melakukan pemanggilan kepada Jaksa yang akan dilakukan pemeriksaan beserta pihak-pihak lain yang terkait untuk dilakukan pemeriksaan.

(2) Pemanggilan terhadap Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran dan pihak-pihak lain yang terkait dilakukan secara tertulis sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum pemeriksaan dilakukan.

(3) Dalam hal Jaksa atau saksi yang akan diperiksa dan/atau pihak-pihak lain yang terkait tidak memenuhi panggilan yang disampaikan maka Majelis Kode Perilaku mengirimkan panggilan kedua.

(4) Apabila Jaksa atau saksi yang bersangkutan atau pihak-pihak lain yang terkait tidak memenuhi panggilan selama dua kali tanpa alasan yang sah, sidang pemeriksaan Kode Perilaku Jaksa akan dilaksanakan tanpa hadirnya Jaksa atau saksi yang bersangkutan.

(5) Sidang pemeriksaan dilaksanakan di kantor satuan kerja di mana Majelis Kode Perilaku bertugas dan pemeriksaannya dilakukan secara tertutup.

Pasal 21

(1) Ketua Majelis Kode Perilaku memimpin sidang pemeriksaan dan membacakan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa.

(2) Dalam hal Jaksa atau Saksi yang dipanggil secara patut tidak hadir maka Majelis Kode Perilaku mengambil keputusan berdasarkan alat bukti tentang terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Perilaku Jaksa.

(3) Jaksa yang diduga melakukan pelanggaran berhak menyampaikan pembelaan diri dihadapan Majelis Kode Perilaku.

Pasal 22

(1) Majelis Kode Perilaku berwenang memeriksa alat bukti, data, fakta dan keterangan untuk membuktikan benar tidaknya dugaan pelanggaran tersebut yang dituangkan dalam Putusan Majelis Kode Perilaku.

(2) Dalam melakukan sidang pemeriksaan, Majelis Kode Perilaku dapat mendengar atau meminta keterangan dari pihak lain apabila dipandang perlu.

Bagian Ketiga

Penjatuhan Tindakan Administratif

Pasal 23

(1) Putusan Majelis Kode Perilaku diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat.

(2) Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

(3) Putusan Majelis Kode Perilaku memuat pertimbangan, pendapat, dan pernyataan terbukti atau tidak terbukti melakukan pelanggaran.

(4) Putusan dibacakan secara terbuka dengan atau tanpa kehadiran Jaksa yang melakukan pelanggaran.

Pasal 24

(1) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa terbukti melakukan pelanggaran maka akan dijatuhkan tindakan administratif.

(2) Dalam hal Majelis Kode Perilaku menyatakan Jaksa terperiksa tidak terbukti melakukan pelanggaran maka nama baiknya direhabilitasi dan diumumkan.

Pasal 25

Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Majelis Kode Perilaku, diselesaikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 26

(1) Putusan Majelis Kode Perilaku bersifat mengikat yang dibuat dalam bentuk Surat Keputusan Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif.

(2) Putusan Majelis Kode Perilaku berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan peraturan kedinasan yang berlaku.

(3) Putusan Majelis Kode Perilaku harus sudah diterima oleh Jaksa yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan ditetapkan.

(4) Jaksa Agung Muda Pengawasan dapat melakukan peninjauan kembali terhadap putusan Majelis Kode Perilaku di daerah jika terdapat dugaan fakta yang terbukti tidak sebanding dengan tindakan admnistratif yang dijatuhkan.

Pasal 27

(1) Jaksa yang melakukan beberapa pelanggaran secara berturut-turut sebelum dilakukan pemeriksaan hanya dapat dijatuhi 1 (satu) jenis tindakan administratif.

(2) Jaksa yang pernah terbukti melakukan pelanggaran, kemudian melakukan pelanggaran yang sifatnya sama dijatuhi tindakan administratif yang lebih berat dari yang pernah dijatuhkan kepadanya.

BAB V

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

(1) Pemeriksaan dan penindakan terhadap perilaku Jaksa baik dalam melaksanakan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan menggunakan peraturan ini.

(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana ayat (1) ditemukan adanya pelanggaran ketentuan pidana dan/atau peraturan disiplin maka pejabat yang berwenang harus menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29

Pada saat Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku, Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-67/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 30

Petunjuk Pelaksanaan dan/atau Petunjuk Teknis Peraturan Jaksa Agung ini dapat di bentuk oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Pasal 31

Peraturan Jaksa Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Jaksa Agung ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 13 November 2012

JAKSA AGUNG

REPUBLIK INDONESIA,

BASRIEF ARIEF

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.