Vonis Pidana NIHIL, bagi Profesi Penjahat yang Tidak Tanggung-Tanggung menjadi Penjahat yang Jahat Teramat Sangat

Bila Anda seorang Penjahat / Kriminal, maka Jadilan Penjahat yang Tidak Tanggung-Tanggung. Jangan Sekadar “Kelas Kakap”, namun “Kelas Ikan Hiu” agar sang Penjahat dapat Mengambil Untung dari Keganjilan Sistem Hukum Pemidanaan di Indonesia

Jangan menjadi PENJAHAT, Jadilah IBLIS—Kata Sistem Penitensier Vonis Pemidanaan di Indonesia

Keuntungan bagi Penjahat (Insentif) = Kerugian bagi Korban (Disinsentif)

Ketika untuk kali pertamanya menjejakkan kaki sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum salah satu universitas di Indonesia, pada mulanya penulis berniat untuk mendalami dan menjadi spesialis dibidang hukum pidana. Namun, rasio berkata lain, ketika penulis pada kala itu menemukan fakta mengejutkan, betapa irasional hukum pidana yang selama ini diterapkan di Indonesia, baik secara norma hukum pidana pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun secara teori pada teks-teks buku ilmu hukum di Indonesia. Betapa tidak, sejahat apapun seorang terpidana, sebanyak apapun kejahatannya, sanksi hukuman pidana penjara bagi sang terpidana maksimumnya hanya terbuka tiga opsi berikut ini untuk dijatuhkan oleh hakim di pengadilan : pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara (selama-lamanya atau sebanyak-banyaknya) dua puluh tahun.

Penulis bertanya kepada dosen pembaca acara perkuliahan hukum pidana, mengapa tidak bisa dijatuhkan vonis 30 tahun, atau 40 tahun, maupun lama pidana penjara lainnya? Hukum pidana di negeri kita seolah “logis” dan “rasional”, namun telah ternyata sangat tidak logis, terlebih untuk dapat disebut sebagai rasional, meski sudah berjalan selama ratusan tahun lamanya. Sang dosen pengajar perkuliahan tidak mampu menjelaskan logika darimanakah sehingga aturan “konyol” demikian dapat memiliki pegangan validitas untuk dapat dipertahankan ataupun dikukuhkan dalam praktik peradilan kita selama ini? Logika dalam dunia hukum, bisa sangat tidak logis dalam artian yang sebenarnya.

Penulis kemudian menemukan, bahwa seorang terpidana di Amerika Serikat, oleh pengadilan di negara tersebut bahkan dapat dijatuhi vonis pidana penjara hingga seribu tahun lamanya—dan penulis merasa bahwa itulah hukum yang lebih logis dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada kalangan korban, terutama terhadap kejahatan yang sifatnya amat-sangat-jahat. Alhasil, tidak puas terhadap sistem hukum pidana kita yang “konyol” di Indonesia, penulis pun “banting setir” dengan mulai menekuni dan mendalami hukum perdata yang telah ternyata lebih logis dan lebih menarik untuk ditekuni serta dielaborasi—contohnya perihal “perbuatan melawan hukum” konteks perdata sebagaimana dalam landmark decision Cohen Vs. Lindenbaum Arres 1919—alih-alih hukum pidana sebagaimana niat semula pribadi penulis.

Vonis pidana “seumur hidup” ataupun “dua puluh tahun” penjara bukanlah tanpa resiko, mengingat disaat negara tengah mengumbar “obral remisi”, pembebasan bersyarat, pengurangan masa hukuman, dan lain sebagainya, demi “potong kompas” masalah klise “over capacity” penghuni lembaga pemasyarakatan, vonis tersebut bisa dari “semula seumur hidup menjelma dua puluh tahun”, atau dari “semula dua puluh tahun menjelma lima belas tahun”. Bandingkan dengan bilamana seorang terpidana divonis hukuman pidana penjara selama 1.000 tahun akibat akumulasi kejahatannya yang masing-masing dijatuhi vonis sekian tahun oleh hakim, sebagai contoh, maka sekalipun sang terpidana turut mendapatkan program “obral remisi” oleh pemerintah, masa hukuman dipangkas separuhnya, tetap saja sang terpidana “yang sangat-amat jahat” ini harus mendekam dan “mati membusuk” di balik jeruji sel besi selama 500 tahun, adalah sudah layak dan sepatutnya bagi seorang kriminal “kelas super berat”.

Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal akumulasi vonis hukuman atas setiap aksi kejahatan (baik kejahatan yang sama maupun kejahatan yang berbeda dengan “tempus” maupun “locus delicti” yang berbeda) sang pelaku selayaknya di Amerika Serikat, karenanya penjahat “kelas berat” akan termotivasi dan terprovokasi untuk “tidak tanggung-tanggung” menjadi seorang penjahat yang benar-benar jahat sejahat-jahatnya yang ia mampu—menimbang atau mengingat toh ancaman vonis hukumannya paling maksimum ialah ketiga jenis opsi vonis sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Kita dapat menyebutnya sebagai “menggoda” terbitnya “moral hazard”, yang mana kejadian berikut di bawah ini bahkan sudah mampu penulis prediksi bahkan sejak kali pertamanya penulis menjadi seorang mahasiswa hukum di Pengadilan Tinggi.

Dalam pemberitaan yang dilansir oleh detikNews, dengan tajuk berita “Vonis Nihil Benny Tjokro di ASABRI Sebab Seumur Hidup Bui di Jiwasraya”, 13 Jan 2023, sang terpidana dijatuhi vonis “nihil” oleh Majelis Hakim pada kasus korupsi di ASABRI, mengingat sang terpidana dalam perkara pidana kajahatan terpisah lainnya berupa kejahatan korupsi pada kasus Jiwasraya telah terlebih dahulu divonis penjara “seumur hidup”. Kesalahan satu-satunya dari sang terdakwa ialah, semestinya ia tidak hanya merampok negara dan rakyatnya di Jiswaraya maupun ASABRI, namun juga pada berbagai lembaga-lembaga keuangan milik pemerintah lainnya, dimana resiko vonis yang ia tanggung cukup satu buah vonis pemidanaan sebagaimana vonis yang terlebih dahulu dijatuhkan, sementara itu vonis kejahatan terpisah lainnya dijatuhi “NIHIL”. Simak selengkapnya pemberitaan tersebut, dengan kutipan sebagai berikut:

Benny Tjokrosaputro divonis nihil di kasus ASABRI oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Komisaris PT Hanson International Tbk itu tetap divonis bersalah dalam kasus ini.

Dia terbukti melakukan korupsi bersama mantan Dirut ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk. Perbuatan mereka terbukti merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.

"Mengadili, menyatakan Terdakwa Benny Tjokrosaputro telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan kesatu primer dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar hakim ketua IG Eko Purwanto saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kamis (12/1/2023).

Nasib Benny Tjokro Lolos Dari Tuntutan Hukuman Mati di Kasus ASABRI. “Menjatuhkan pidana dengan pidana nihil kepada terdakwa,” imbuh hakim.

Benny Tjokro dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Hal Memberatkan. Salah satu hal memberatkan vonis itu adalah perbuatan Benny Tjokro telah merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun. Perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain.

“Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bersama-sama dengan pelaku lain yang dilakukan penuntutan secara terpisah telah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar,” kata hakim Eko

Hakim Eko mengatakan hal memberatkan lainnya adalah perbuatan Benny Tjokrosaputro dinilai telah terencana dan terstruktur. Selain itu, perbuatannya di skandal kasus ASABRI tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

“Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, perbuatan terdakwa terencana, terstruktur, dan masif,” ujarnya.

Hakim Eko mengatakan perbuatan Benny Tjokro juga menyebabkan munculnya rasa tidak percaya di masyarakat terhadap kegiatan asuransi. Kemudian, Benny Tjokrosaputro juga tidak mengaku bersalah.

“Perbuatan terdakwa dapat menimbulkan ‘distrust’ atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap kegiatan perasuransian dan pasar modal, perbuatan terdakwa bisa berdampak pada stabilitas perekonomian negara dan terdakwa tidak mengakui kesalahannya,” katanya.

Sementara itu, hal meringankan putusan nihil itu adalah Benny Tjokrosaputro bersikap kooperatif dan bersikap sopan selama proses persidangan.

“Hal yang meringankan terdakwa kooperatif dan bersikap sopan di persidangan, terdakwa adalah tulang punggung keluarga,” ujarnya.

Komentar Netizen:

- Perbuatan maksiatnya beda tempat kok dosanya ditumpangkan ke maksiat lain. Emang salah kalo ditambah hukuman seumur hidup lagi atau dihukum mati?

- Seharusnya tetap ada vonis atas kasus berbeda dan bisa digabungkan total vonisnya 2x seumur hidup walau terpidana hanya jalani 1x seumur hidup dan akan mati dipenjara.... Model Amerika bisa total di vonis 200 tahun utk 1 pelaku yg byk kasusnya... Walau  tidak mungkin dijalani sampai 200 thn ttp membuktikan hukum tegak dan adil atas setiap perbuatan pidananya..

- Kasihan korban2nya, org nyangka asuransi bumn, asabri aman, malah duitnya dipke mereka kongkalingkong beli saham perush bodonk. Lalu diklaim sbg: rugi wajar investasi.

Sejujurnya, sudah sejak lama sekali penulis secara pribadi memiliki pemikiran atau lebih tepatnya kegundahan yang sama seperti komentar para netizen di atas, sekalipun saat masih duduk di bangku perkuliahan kasus ekstrim “vonis nihil” untuk korupsi yang merugikan keuangan negara senilai puluhan triliun rupiah belum pernah penulis dengar kejadiannya sebagaimana tren korupsi dewasa ini. Telah ternyata, praktik berhukum kita di Indonesia bisa sangat tidak logis, tidak rasional, dan tidak mengindahkan etika bernurani dalam realisasinya di pengadilan perkara pidana.

Penulis memilih untuk “banting setir” menjadi seorang spesialis dibidang hukum perdata, demi tidak mem-“beo” kepada sistem hukum pemidanaan “konyol” demikian, meski “passion” awalnya ialah menjadi seorang “expert” dibidang hukum pidana. Be realistic, kita generasi muda masa kini, terlahir pada zaman ataupun pada negara yang keliru, namun itulah kenyataannya. Kita tetap bisa berkarya sesuai nurani kita, tanpa harus terobsesi menjadi “expertise” dibidang hukum pidana “konyol” semacam demikian. Masih banyak spesialisasi bidang disiplin ilmu hukum lain diluar pidana untuk kita tekuni dan berkarya, itulah yang disebut sebagai “positive thinking”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.