Ketika Demonstrasi Fisik Diberangus oleh Pemerintah, Ber-demo-lah Lewat KEKUATAN PENA (TULISAN)

Rakyat dapat Membalas Pemerintah lewat Caranya Sendiri

Aturan Hukum yang Mempersempit Ruang Demonstrasi (Unjuk Rasa), dari “Notifikasi” menjadi “Perizinan” untuk Berdemonstrasi, apakah merupakan “Law as Social Control” ataukah “Law as a Tool of Crime”?

Ketika Pemerintah Merampas Ruang Publik untuk Berdemonstrasi dan Berekspresi, bagai Membakar Api di dalam Sekam, Menyulut Sinisme dan Antipati Publik terhadap Pemerintah

Kita boleh menyebutnya sebagai “teori hidrolik”, yang menggambarkan situasi dimana sesuatu yang bersifat “liquid” (cair selayaknya zat air), tidak dapat benar-benar direpresi untuk selamanya. Bagai mencoba menggenggam air, air itu sendiri bersifat “liquid”, mengakibatkan kita tidak dapat benar-benar menggenggam air, bagai mencoba menggenggam udara. Adapun cara kerja hidrolik, Anda tekan pada satu sisi, cairan pada pompa hidrolik pada sisi lainnya akan terangkat. Sama halnya, ketika pemerintahan suatu negara bersifat represif terhadap rakyatnya sendiri, sebagai ajang pembalasan / pelampiasannya, sekalipun demonstrasi secara konvensional diberangus hingga ke titik tanpa demokrasi, maka masyarakat akan melakukan “fight back” berupa rasa tidak memiliki terhadap negaranya, memandang sebagai musuh terhadap pemerintah yang berkuasa, kesenjangan yang kian berjarak lebar antara “pemerintah Vs. rakyat sipil”, rendahnya kepatuhan dan kesadaran masyarakat selaku subjek pajak dalam bergotong-royong membayar pajak yang notabene anggaran untuk membiayai kegiatan pemerintah, rakyat yang apatis terhadap pembangunan negara, maupun segala ekses-ekses kontraproduktif lainnya dalam berbangsa maupun bernegara.

Pemerintah, Aparatur Sipil Negara, maupun penyusun kebijakan yang baik, akan mempertimbangkan dampak psikologis terhadap rakyatnya, baik jangka pendek maupun untuk jangka panjangnya, yakni “harga mahal” yang harus pemerintah bayarkan berupa rendahnya partisipasi publik dalam upaya membangun bangsa bilamana segenap rakyat sipil tidak didudukkan selayaknya “pemangku kepentingan” (stakeholders) bangsa bersama, bahkan diposisikan berhadap-hadapan sebagai musuh antara “pemerintah Vs. rakyat”. Setiap elemen rakyat selalu berkepentingan dan memiliki kepentingan atas negaranya, yang mana ketika pemerintah justru menafikan atau bahkan merampas kepentingan rakyat atas negeri Tanah Air-nya, maka “kedaulatan rakyat” hanya menjadi sekadar jargon yang membodohi rakyatnya sendiri.

Belum lama saat ulasan ini disusun, pada akhir tahun 2022, YLBHI dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia, mengungkap berbagai modus pemerintah dalam membungkam kebebasan berekspresi publik, salah satunya menyempitkan ruang untuk berdemonstrasi yang selama ini menjadi wadah berekspresi bagi publik luas dalam menyuarakan aspirasinya. Bila dipuji, pemerintah senang. Namun ketika dikritik, pemerintah menutup diri rapat-rapat—maka dimana letak pembeda antara negara “demokratik” Indonesia dengan negara komun!s ala Korea utara? Dalam beberapa aspek sudut pandang, praktik berhukum, bernegara, dan bersosial di Indonesia sudah menjurus pada tipe negara otorianisme.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, memaparkan sejumlah modus klasik pemberangusan kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh penguasa yang masih relevan hingga saat kini. Salah satunya melalui jalur lembaga pendidikan yang disusupi politik-pemerintahan. Jalur lembaga formal semacam pendidikan digunakan pemerintah sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat dan berekspresi, misalnya dengan mengancam pemutusan beasiswa bagi mahasiswa yang ikut demonstrasi. Dinas pendidikan membuat surat edaran yang pada pokoknya melarang kegiatan demonstrasi. Intimidasi dilakukan pihak sekolah atau kampus.

Hambatan kebebasan berpendapat dan berekspresi juga terjadi melalui serangan digital, seperti penyebaran identitas pribadi (doxing), stigma, fitnah, peretasan, maupun pemblokiran situs. Terjadi pula penghalang-halangan aksi demonstrasi, semisal mencegat para demonstran pada berbagai lokasi, mulai dari titik kumpul maupun di perjalanan. Penangkapan disertai kekerasan baik sebelum, ketika, dan setelah demonstrasi. Aparat kepolisian juga memaksa demonstran yang ditangkap untuk menandatangani pernyataan tidak akan melakukan lagi demonstrasi sebagai syarat untuk dilepaskan dari tahanan.

Kriminalisasi juga menjadi salah satu instrumen penguasa, semisal penerapan secara keras ketentuan dalam UU ITE untuk tujuan kriminalisasi sasaran yang ditargetkan. Bahkan, pemerintah telah mengubah aturan hukum perihal hak untuk ber-demonstrasi, dari semula sebatas “pemberitahuan” rencana demonstrasi menjadi rezim perizinan yang mana konsekuensi yuridisnya ialah demonstrasi dapat dinilai sebagai ilegal dan dilarang bilamana tiada izin untuk itu diberikan oleh pihak penguasa sekalipun yang menjadi subjek kritikan para demontran ialah pihak penguasa itu sendiri.

Modus berupa “framing” hingga fitnah terhadap peserta demonstrasi, dengan pra-asumsi sebagai “perusuh” yang melanggar “ketertiban umum” sehingga aparatur penegak hukum menindak secara keras dan tegas. Ada juga pihak yang sengaja menyebar poster palsu yang menyarankan kekerasan, dan pasukan pelaku kekerasan yang tidak diketahui identitasnya—biasanya “demonstran penyusup” yang sejatinya oknum yang memang disewa oleh penguasa untuk membuat demonstrasi yang tertib dan berlangsung secara damai menjelma huru-hara, sehingga memberi legitimasi bagi aparatur penegak hukum untuk seketika membubarkan dan menangkapi para demonstran dengan alasan telah terjadi tindak pidana anarkhi maiupun vandalisme oleh para demonstran. Bahkan, demonstran yang menggunakan pakaian serba hitam seketika dituduh sebagai “perusuh”.

Adapun cara-cara yang juga sering dilakukan untuk menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi, yakni menggunakan tangan “Ormas” (organisasi massa). Sekalipun UU Ormas melarang Ormas bertindak seperti penegak hukum, tapi Isnur melihat aparat kepolisian membiarkan Ormas melakukan tindakan seperti penegak hukum antara lain penangkapan. Bahkan polisi mengajak Ormas untuk “mengamankan” demonstrasi, sehingga patut dipertanyakan itikad penguasa melakukan praktik demikian dalam menghadapi rakyat sipil. “Ormas digunakan untuk menghadang demonstrasi. Dengan dalih mengamankan kedua pihak aparat kemudian membubarkan demonstrasi,” Isnur mengungkapkan.

Intimidasi juga masuk ke tataran personal pribadi demonstran, yang dilakukan aparat terhadap orang tua peserta demonstrasi. Intimidasi itu dilakukan dengan modus aparat kepolisian mendatangi kediaman orang tua dari pelajar atau mahasiswa yang ditangkap polisi karena melakukan demonstrasi. Aparat menggunakan instrumen SKCK (surat keterangan catatan kepolisian) sebagai ancaman agar masyarakat tidak berdemonstrasi, sehingga rakyat sipil menjadi bungkam menjadi tidak berani berdemonstrasi mengingat resikonya akan dikondisikan seperti menyerupai seorang kriminal yang tidak dapat lagi melamar pekerjaan ataupun menjadi seorang calon Pegawai Negeri Sipil.

Terjadi pula “framing” yang mengada-ngada oleh pihak aparaat yang represif, bahwa seolah-olah yang berhak melakukan demonstrasi ialah hanya mereka yang berlatar-belakang buruh dan mahasiswa, terutama yang menggunakan seragam sekolah. Modus “framing” aparatur penegak hukum yang justru melanggar konstitusi perihal kebebasan bereskpresi demikian, kerap dijadikan justifikasi atau alibi aparat untuk menangkap dan mencegat para demonstran yang tidak masuk kedalam kedua kategori tersebut.

Aparat bahkan melakukan penetrasi lebih jauh lagi sebagai bagian dari strategi intimidatif mereka, yakni menyasar pihak perusahaan untuk menghalang-halangi demonstrasi. Isnur mencatat salah satu cara yang digunakan, yakni aparat kepolisian mengundang pihak penanggung-jawab HRD pada suatu perusahaan untuk datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan atau alasan lain sebagainya. Namun niat sebenarnya dari aparat, aparat hendak melarang demonstrasi di berbagai perusahaan atau pabrik, dimana pihak HRD tidak lagi berani mengizinkan para buruhnya mengikuti demonstrasi di luar pabrik bahkan menjadikan aktivitas demikian sebagai “dilarang” dalam Peraturan Perusahaan.

Tak hanya menyasar peserta demonstrasi, Isnur menyebut aparat juga menyerang pengacara atau asisten pengacara pada Lembaga Babtuan Hukum, semisal turut berorasi sekalipun telah melewati batas waktu yang dibolehkan oleh Undang-Undang. Pengacara dan pendamping juga dihalang-halangi untuk bertemu para korban yang ditangkap aparat ketika demonstrasi. Upaya menghalang-halangi bantuan hukum itu terkait dengan kekerasan yang dialami para korban. “Korban penuh luka dan butuh beberapa hari untuk menyamarkan atau menghilangkan luka itu.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.