Kejahatan Terjadi Akibat Lemahnya IQ, Bukan karena Overdosis IQ

Orang Jenius Bersikap Kreatif dan Penuh Kreasi untuk Mencari Pandapatan dan Kebahagiaan, Tanpa Pernah Butuh Merampas Hak-Hak ataupun Kebahagiaan Hidup Milik Pihak Lainnya

Salah seorang klien menceritakan betapa terzolimi dirinya setelah begitu banyak hak-haknya yang dirampas oleh pihak yang beliau gugat, namun dalam proses jalannya persidangan pihak kuasa hukum dari pihak tergugat melakukan aksi akrobatik kata-kata yang pada pokoknya menjurus pada “putar balik logika moril”, seolah-olah para pelakunya adalah korban (play victim) dimana pihak korban justru dilecehkan dengan berbagai perundungan secara verbal. Keganjilan tampak begitu tersurat ketika tiada satu pun dari para tergugat maupun pihak turut tergugat yang mengkritik, mencela, ataupun merendahkan perilaku pihak tergugat yang telah menggelapkan dana modal usaha milik sang klien, namun justru melecehkan pihak korban yang mengajukan gugatan terhadap para kriminil tersebut. Kuasa hukum tergugat lupa, bahwa “lawyering fee” yang mereka terima dari pihak tergugat yang menjadi klien mereka notabene merupakan dana modal usaha milik pihak penggugat yang digelapkan oleh klien mereka.

Bukan hanya kerugian materiil, yang terparah atau terburuk ialah kerugian moril alias kerugian immateriil yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, terlebih untuk dapat dipahami oleh pihak ketiga seperti hakim di persidangan, mulai dari kerugian finansial yang tidak mungkin dibuktikan lewat kuitansi tanda terima uang, kerugian kesehatan, kerugian waktu, kerugian pikiran, kerugian kesenangan hidup, kerugian tidak dapat fokus bekerja (potential loss), tidak dapat berkumpul untuk mengurus keluarga, akan tetapi masih pula harus menanggung derita di-bully oleh para tergugat maupun para turut tergugat, seolah-olah penjahatnya ialah dari pihak penggugat yang sekadar menuntut keadilan setelah sekian lama berjuang menuntut keadilan namun selalu dipermainkan oleh pihak peminjam modal yang justru menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan dengan menggelapkan dana modal usaha—kejahatan dan itikad buruk mana memang patut diganjar dengan hukuman yang ekstra sifatnya.

Berbagai tudingan justru dialamatkan oleh pihak para tergugat dan para turut tergugat, tanpa mau mengetahui betapa banyak kerugian yang selama ini sudah diderita dan ditanggung secara pribadi oleh sang klien. Salah satunya ialah ketika pihak peminjam modal dalam rangka menggerakkan hati calon investornya ini agar tertarik dan tergerak untuk meminjamkan sejumlah dana modal usaha, diberikanlah iming-iming berupa janji “bagi hasil usaha” yang tinggi melampaui bunga deposito perbankan, namun ketika giliran ditagih oleh pihak pemilik modal usaha, justru didiskredit sebagai “rentenir” serta tudingan-tudingan lainnya meskipun sang pelaku terus menghimpun berbagai harta kekayaan berupa aset-aset tidak bergerak maupun kendaraan mewah akan tetapi tidak pernah mengembalikan dana modal usaha yang mereka gelapkan dengan alasan usahanya bangkrut—namun dissaat bersamaan mampu meminjam kredit di bank dan lembaga pembiayaan serta melakukan “percepatan pelunasan”.

Ketika ditagih oleh pihak investornya ini, para tergugat “play gembel” alias “mendadak miskin”. Kuasa hukum tergugat kembali berakrobatik, dengan argumentasi bahwasannya usaha selalu ada resiko, bisa untung dan bisa pula merugi atau bahkan bangkrut. Apa relevansinya dengan semua ini, toh klien dari para pengacara tergugat tersebut itu sendiri yang dengan sengaja menggelapkan modal usaha milik penggugat, dimana telah terbit putusan yang memidana penjara pihak tergugat yang karenanya juga tidak salah bila disebut sebagai para kriminil, dimana juga tidak ada aksi kriminalitas berupa penggelapan yang sifatnya bukan karena faktor kesengajaan serta niat jahat. Klien dari para pengacara tergugat itu yang telah menggelapkan modal usaha, namun mengapa resiko usaha dibebankan kepada pihak penggugat? Apakah mungkin, aksi penggelapan diatur dan disepakati di dalam perjanjian modal usaha? Kesemua tudingan “salah alamat” tersebut kian melukai perasaan pihak pemilik modal yang selama ini telah dirugikan dan terluka.

Beliau pernah menyampaikan kepada penulis dalam suatu sesi konsultasi, betapa banyak kerugian yang beliau tanggung adalah jauh lebih banyak daripada yang dituntut dalam tuntutan ganti-kerugian immateriil, mengingat banyak waktu maupun tenaga dan pikiran disamping berbagai biaya dan pungutan “siluman” yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya akan tetapi sukar dibuktikan serta tidak dapat diharapkan para hakim untuk mampu mengalaminya oleh sebab atau mengingat yang menjadi korban yang mengalaminya langsung ialah sang klien sendiri secara personal, bukan pihak ketiga yang tidak mengalaminya secara langsung—mengingat pengalaman personal sifatnya subjektif dan hanya dirasakan oleh sang pribadi yang mengalaminya sendiri. Korban-korban kejahatan dapat memahami perasaan sesamanya, namun pihak ketiga sekadar bersimpati tanpa dapat betul-betul memahami sejauh dan sedalam apa luka batin yang mereka derita, mengingat sifatnya tidak kasat mata, semisal korban-korban “human trafficking”.

Sebagai contoh, banyak korban kejahatan seksuil yang justru dilecehkan dan direndahkan martabatnya oleh kalangan hakim di pengadilan ketika melaporkan dan mendakwa pelakunya, dengan memandang remeh-temeh trauma yang dialami oleh sang korban, dimana para hakim yang menyidangkan adalah para pria yang tidak memiliki “perspektif korban” terlebih “perspektif wanita korban kejahatan asusila”. Itulah sebabnya, hakim dan aparatur penegak hukum yang baik tidaklah berwujud hakim robot, jaksa robot, maupun polisi robot yang serba objektif, namun juga memiliki kemampuan berempati alias mampu memahami subjektivitas pihak korban yang telah dirugikan maupun terluka, alias menghargai pengalaman personal pihak bersangkutan yang sekadar menuntut keadilan atau apa yang menjadi haknya.

Akan tetapi, bila seluruh kerugian immateriil tersebut dituangkan ke dalam gugatan sebagai pokok tuntutan (petitum), besar kemungkinan akan mengundang cibiran atau setidaknya seketika “dipandang sebelah mata” oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara, sebagai tuntutan yang irasional, karenanya pokok tuntutan ganti-rugi materiil berpotensi juga akan turut “dipandang sebelah mata” sebagai tuntutan yang irasional pula. Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan pihak klien untuk mencantumkan nilai nominal serendah mungkin dalam tuntutan ganti-kerugian immateriil, sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan tuntutan ganti-kerugian materiil secara optminal.

Untuk meredakan gejolak kegundahan perasaan sang klien, maka dalam kesempatan tersebut penulis urai fenomena psikologis apa yang terjadi dibalik fenomena sosial berupa “kegilaan” yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita, yakni minim serta miskinnya perspektif korban yang mampu dilihat oleh masyarakat kita di Indonesia. Berikut kutipan uraian yang penulis sampaikan, hasil dari pengamatan langsung di lapangan selama penulis dilahirkan dan tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia hampir separuh abad lamanya, dimana nama klien bersangkutan penulis samarkan menjadi “Bapak Klien”:

Semangat pagi Bapak Klien, tampaknya tidak ada yang bisa lebih menyamai perasaan dan pengalaman personal yang Bapak Klien alami sendiri secara langsung. Namun saya turut bersimpati kepada Bapak Klien sekaligus turut merasa prihatin atas segala ketidaknyamanan yang Bapak Klien alami terutama dari segi putar-balik fakta logika model ini serta rasa dizolimi karena diperlakukan secara tidak adil.

Kita memandang bahwa menuntut ganti rugi material sebesar 1 miliar pun masih sangat rendah karena tidak menutupi seluruh kerugian Bapak Klien. Sayangnya, pihak ketiga seperti hakim yang tidak tahu-menahu pengalaman personal Bapak Klien, takutnya akan memandang tuntutan sebesar itu sebagai tidak rasional sebagaimana kebanyakan pengacara menggugatti material pasti mencantum angka 1 milyar rupiah, entah dari sejak kapan seperti itu modelnya.

Banyak orang tidak bijaksana hanya menilai luka dan derita dari luka fisik yang terlihat secara kasat mata, namun akan meremehkan luka dan derita yang sifatnya tidak kasat mata terutama luka psikis.

Namun jika saya boleh menyarankan, ini sekedar strategi aja, hakim akan melihat tuntutan ganti rugi immateriil yang cenderung rendah sehingga dipandang sebagai gugatan yang rasional mungkin akan lebih cenderung bersedia mengabulkan seluruh gugatan tuntutan ganti rugi material, karena pastinya juga akan dipandang sebagai rasional satu kesatuan dengan tuntutan ganti rugi immaterialnya yang tidak besar sekalipun tuntutan ganti rugi materialnya sangat besar.

Jadi, ini hanya trik psikologis saja, kurang lebih seperti itu masukkan dari saya untuk Bapak Klien

Pastilah ada perasaan tidak nyaman dan luka batin yang sukar untuk Bapak Klien lukiskan dengan kata-kata, inilah sebenarnya kerugian terbesar luka psikis, karena tidak kasat mata sehingga sukar untuk diukur oleh orang pihak ketiga dan lebih cenderung diremehkan oleh orang lain.

Masyarakat kita belum memiliki pengetahuan ataupun kesadaran mengenai perspektif korban, alias menempatkan sudut pandang di atas sepatu seorang korban. Dari dulu ini yang saya alami dan saya rasakan entah kenapa rasanya seperti khas orang Indonesia.

Alih alih mengkritik dan mencela perbuatan jahat pelaku yang menyakiti korban, masyarakat kita justru lebih senang membully dan menghakimi korban yang sudah dalam posisi lemah dan terluka dengan menyebut korban sebagai “sudah gila” atau “tidak sopan” karena menjerit kesakitan.

Masyarakat kita bersikap seolah-olah bahwa korban hanya boleh untuk menjadi seperti mayat yang diam membisu disakiti seperti apapun atau seperti sebongkah batu atau sebatang kayu yang hanya bisa diam seribu bahasa tanpa bisa merasakan rasa sakit ketika disakiti.

Pernah saya menulis artikel, judulnya ialah menjerit kesakitan adalah hak asasi manusia lebih tepatnya hak asasi korban.

Di Indonesia ini, saya orang pertama yang banyak menulis tentang menggugat dogma “penghapusan dosa”. Akibat termakan ideologi penghapusan dosa, masyarakat kita jadi cenderung meremehkan perbuatan jahat dan disaat bersamaan mulai terbiasa serta membudaya untuk tidak pro terhadap kepentingan maupun berempati pada derita korban.

Alhasil, masyarakat kita sangat miskin dari apa yang namanya perspektif korban. Seolah-olah, Tuhan lebih pro terhadap pendosa ketimbang terhadap korban. Kabar gembira bagi pendosa sama artinya kabar buruk bagi korban. Dapat kita bayangkan, setiap hari pemuka agama dan tempat ibadah mengumbar dan mengkampanyekan penghapusan dosa, setiap hari raya diobral penghapusan dosa, bahkan ketika meninggal pun sama keluarganya masih mendoakan dan mengharapkan penghapusan dosa. Tidak pernah sekalipun mereka bicara mengenai keadilan bagi pihak korban.

Tidak terhitung jumlahnya artikel berisi gugatan semacam itu saya tulis, sampai sekarang belum pernah ada satupun pembaca yang komplain terhadap tulisan saya tersebut.

Terhadap dosa dan maksiat demikian kompromistis, namun terhadap korban mereka sama sekali tidak mau mengerti ataupun memahami. Selama ini yang dipromosikan ialah penghapusan dosa, bagi kalangan pendosa tentunya bukan untuk kalangan korban, jauh dari kata sikap bertanggung jawab.

Sudah puluhan artikel saya menulis 3 kategori besar agama, juga tidak pernah ada komplain dari pembaca yang masuk kepada saya. Pertama, agama suci, yang artinya tidak kompromistik terhadap perbuatan buruk sekecil apapun yang dapat merugikan melukai ataupun menyakiti makhluk hidup lainnya. Umatnya ialah para suciwan, yang terlatih dan melatih diri dalam hal disiplin “self control”. Mereka tidak butuh yang namanya ideologi korup semacam penghapusan dosa.

Kedua, agama kesatria. Umatnya ialah para ksatriawan, yang akan tampil untuk bertanggung jawab sekalipun korbannya tidak meminta pertanggungjawaban ataupun korbannya tidak sadar telah menjadi korban yang dirugikan. Sebagaimana namanya, para kesatriawan bukanlah para pengecut, mereka berani berbuat maka berani bertanggung jawab, karenanya mereka siap dimintakan pertanggung-jawaban alih lebih sibuk berkelit.

Ketiga, agama dosa, alias agama bagi para pendosa di mana para dosawan menjadi umatnya. Disebut demikian, semata karena mengkampanyekan penghapusan dosa alih-alih gaya hidup higienis dari dosa. Pendosa, hendak berceramah tentang hidup jujur bersih dan lurus? Sang Buddha menyebutnya sebagai orang buta yang hendak menuntun orang buta lainnya. Hanya seorang pendosa, yang butuh penghapusan dosa. Para dosawan tersebut berkubang dalam dosa, menimbun diri dalam dosa, mengoleksi dosa serta terbenam dalam segunung dosa. Mereka ialah para pecandu sekaligus pelanggan tetap ideologi penghapusan dosa. Gilanya, alih-alih tabu, mereka tidak malu dan tidak takut mengumbar pernyataan penghapusan dosa bahkan lewat pengeras suara.

Dulu, sebelum agama dosa lahir, tiada seorangpun pendosa yang yakin akan masuk surga setelah kematian. Kini, para pendosa berbondong-bondong serta berlomba-lomba memproduksi dosa sehingga para pendosa pun kian merajalela.

Itulah sebabnya, dapat mulai kita pahami bahwa menjadi korban ialah rugi merugi dan kerugian itu sendiri.

Sungguh, tidak ada yang lebih berbahaya daripada ideologi penghapusan dosa, sering saya nyatakan kepada banyak orang ataupun pada banyak pembaca tulisan saya, bahwa tidak ada yang lebih mendegradasi standar moralitas umat manusia daripada dogma mengenai penghapusan dosa.

Sang Buddha pernah menyatakan, rasa malu dan rasa takut berbuat jahat adalah pintu gerbang moralitas seorang manusia yang betul-betul manusia alias bukan manusia binatang. Sang Buddha membuat tiga kategori manusia, yakni manusia dewa, manusia-manusia, dan manusia hewan. Kini, lebih banyak manusia hewan, akibat mereka tidak lagi malu dan tindak lagi takut berbuat jahat bahkan setiap harinya mereka berceramah dan berdoa mengenai penghapusan dosa yang diumbar tanpa rasa malu dan tanpa ditabukan.

Ibadah buddhisma, ialah tiga hal berikut. Menghindari perbuatan buruk perbanyak perbuatan baik, murnikan pikiran, itulah ajaran para Buddha. Sesukar itukah menjalankan ibadah budhisme ini?

Namun, para pemalas merasa malas untuk menanam benih perbuatan baik untuk mereka petik sendiri, di saat bersamaan mereka tidak malu dan tidak takut berbuat jahat. Mereka ialah para pecundang kehidupan.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk bertanggung jawab atas hidup dan perbuatan kita sendiri karena kita akan menerima dan memetik konsekuensi atas perbuatan kita sendiri, cepat atau lambat, hanya persoalan waktu. Jika tidak mau disakiti, maka jangan menyakiti. Bila ingin dihargai, maka hargai.

Terbukti, para indigo bisa melihat semua catatan sejarah kejahatan orang-orang jahat di “akaschic record”, sekalipun mereka selama ini memakan dan termakan ideologi penghapusan dosa.