Alasan yang Dicari-Cari dan Dibuat-Buat sebagai Alasan Pembenar, sebuah Justifikasi terhadap Niat Buruk dan Perbuatan Jahat

ARTIKEL HUKUM

Alibi Sempurna sebagai Akar Kejahatan, Delusi yang Membuat sang Pelaku Kejahatan Meyakini Perbuatannya sebagai dapat Ditolerir dan Bahkan Dibenarkan (Alasan sebagai Alat Pembenaran Diri)

Dalam kesempatan ini, kita akan membahas sebuah topik terkait ilmu kriminologi yang jarang diulas dan mendapatkan sentuhan perhatian publik luas. Yang dimaksud dengan “mencari-cari alasan” atau “alasan yang dicari-cari” tidak terkecuali “alasan yang dibuat-buat”, ialah semata merujuk pada fakta empirik niat batin sang pelaku yang sedari awal memang memiliki niat buruk terhadap seseorang lainnya selaku calon korbannya. Karenanya, seringkali hampir dapat dipastikan bahwa “alasan yang dicari-cari” hanyalah “alasan yang mengada”, tidak logis, tidak rasional, “mau menang sendiri”, versi “sepihak”, tendensius, “hanya mau bicara tanpa mau mendengar”, sepenggal-penggal secara parsial tanpa mau melihat ataupun mengakui “the big picture” yang terdiri dari serangkaian kejadian, tanpa bersedia memahami akar masalah dan duduk perkara sebenarnya—namanya juga “alasan yang dicari-cari”. Itulah yang kemudian kita sebut sebagai, “alibi sebagai alasan pembenaran diri untuk menghakimi warga lainnya”.

Penjahat yang ingin tampak “bermartabat”, akan terlebih dahulu mencari-cari “alasan pembenar” bagi perbuatan dirinya untuk melakukan aksi kejahatan seperti premanisme ataupun kejahatan lainnya seperti mencuri ataupun merampok (biasanya dengan alasan desakan ekonomi sekalipun tubuh fisik mereka lengkap dan sehat-bugar), alias alasan yang memang sengaja dicari-cari untuk melabeli perbuatan buruk dan niat jahatnya dengan sebuah alibi, legitimasi, serta justifikasi atas niat buruk yang memang sudah mereka miliki sejak pada mulanya, semata agar mental dan moril para korbannya dapat dimanipulasi “putar balik logika moril”, ditekan, dieksploitasi, dan direpresif secara psikologis seolah-olah sang kriminil dan pelaku aksi premanisme tersebut dapat dibenarkan melakukan aksi-aksi kejahatan ataupun premanisme terhadap sang korban.

Sebagai contoh, dengan mengatas-namakan korbannya memakai pakaian berjenis “you can see” (apanya ya?), lantas melakukan aksi pemerkosaan hingga pelecehan seksuil. Faktanya, dari sejak awal para pelakunya memang sudah memiliki niat buruk untuk itu, dimana kondisi eksternal diluar diri sang pelaku dijadikan sebagai alasan yang disalah-gunakan olehnya sebagai momentum untuk melancarkan aksi yang bersumber dari niat jahat dan niat buruknya terhadap sang korban. Dengan mengatas-namakan “ibadah”, pihak-pihak yang mengajukan komplain atas suara speaker suatu tempat ibadah yang demikian menjelma serupa “polusi suara” (penistaan terhadap agamanya sendiri dari sang pelaku rituil) karena tidak toleran disamping mengganggu tetangga yang butuh beristirahat dan ketenangan hidup damai, akan di-represi dan di-intimidasi dengan alibi : “Kamu mau larang kami ber-ibadah? Kamu mau larang kami berjumpa dan menjumpai Tuhan kami?

Kejahatan yang disebut sebagai sebuah “kejahatan sempurna” (the perfect crime) ialah ketika niat batin (men rea) pelaku kejahatan yang memiliki niat buruk dan jahat terhadap korbannya, memiliki tautan “payung” berupa sebentuk legitimasi, justifikasi, hingga alibi terutama ketika seolah-olah memang menjadi dogma atau wahyu keyakinan keagamaan, dimana menjalankannya sama artinya menjalankan perintah Tuhan serta menegakkan “jalan Tuhan”, sebagaimana akan dapat kita jumpai pada salah satu “Kitab DOSA” sumber “Agama DOSA” (bukan “Kitab SUCI” milik “Agama SUCI”) yang mengandung dogma-dogma berupa ayat-ayat dengan kutipan sebagai berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Disebut sebagai “alibi sempurna”, karena korban kejahatan yang melakukan penolakan, keberatan, komplain, protes, hingga perlawanan terhadap sang pelaku kejahatan akan dianggap sebagai “tidak sopan” dan “sudah tidak waras” (ketika menjerit merasakan sakit karena dilukai dan terluka, seolah-olah tidak punya hak untuk melawan dan menjaga diri, berteriak pun dilarang karena korban seolah-olah wajib bungkam) bahkan dimaknai sebagai “menzolimi” sang pelaku (aksi “zolim teriak zolim”) yang menjadikannya sebagai “alasan baru” untuk melancarkan aksi kejahatannya secara lebih tidak terperi, dimana sang korban di-“kriminalisasi” sebagai telah melawan perintah dan kehendak Tuhan (modus “putar-balik logika moril”, dimana pelaku kejahatan berkedok sebagai korban dan korban didudukkan seolah-olah sebagai penjahat yang telah berbuat jahat), hanya boleh pasrah dan bungkam bak sebongkah batu atau seonggok mayat yang bisu disakiti secara tidak manusiawi dan tidak adil seperti apapun, dimana sang pelaku akan melakukan kejahatan dan perbuatan buruknya secata tanpa kompromi, tanpa toleransi, tanpa perlu lagi menahan diri terhadap korbannya seolah-olah sedang berjuang atas nama dan atas kepentingan Tuhan, yakin sepenuhnya akan mendapat ganjaran berupa “surga”, dimana bahkan sang pelaku masih pula seolah-olah berkata sebagai berikut kepada para korbannya, “Jangan komplain, masih untung dan kalian semestinya merasa bersyukur tidak saya BUNUH atau kami rampok harta milik kalian!

Sama halnya ketika umat suatu keyakinan keagamaan tanpa bersikap toleran maupun kompromi terlebih memiliki dan menunjukkan itikad baik berupa empati terhadap kondisi warga sekitarnya apakah akan terganggu oleh “polusi suara” kegiatan ritual ibadah mereka yang sama sekali tidak mencerminkan sikap toleransi maupun sikap saling menghargai dan saling menghormati antar umat beragama, mengganggu ketenangan, kedamaian hidup, maupun merampas hak-hak warga pemukim setempat untuk hidup secara bebas dari segala jenis gangguan dan “polusi” apapun, dengan mengatas-namakan, “Kalian ingin melarang kami beribadah?”—disaat bersamaan mereka telah mencoreng wajah citra agama dan “Tuhan”-nya sendiri di mata para korban. Setidaknya, para korban tidak akan menaruh empati ataupun untuk turut masuk menjadi salah satu pemeluk keyakinan keagamaan bersangkutan.

Tidak ada yang melarang mereka beribadah sesuai keyakinan mereka, namun janganlah bersikap seolah-olah umat keyakinan keagamaan lainnya tidak berhak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu satu sama lainnya. Mengapa juga caranya harus dengan memasang pengeras suara luar (external speaker) dengan desibel yang demikian luar biasa membahana seolah-olah Tuhan adalah “Maha Tuli” (yang menghina Tuhan bukanlah penulis, namun mereka yang melakukan praktik seolah-olah Tuhan adalah “tuli”), atau mengatas-namakan memberi pengumuman kepada para umatnya jadwal ibadah telah tiba sekalipun instrumen alarm pada perangkat digital genggam setiap penduduk telah diperlengkapi fitur semacam pengingat waktu disamping fakta bahwa ribuan tahun lampau tidak dikenal hal semacam speaker terlebih listrik. Seolah-olah “Tuhan” mereka tidak toleran terhadap kaum lanjut usia (lansia), balita, maupun warga yang sedang sakit dan butuh beristirahat ataupun bagi pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Dimana sebagai contoh, umat Buddhist butuh ketenangan dan keheningan meditatif—suatu cara ibadah yang tidak akan pernah mengganggu umat beragama lain yang berbeda, demikianlah cara umat Buddhist menjaga keluhuran nama agamanya.

Karenanya, penghinaan terhadap praktik ibadah dengan menggunakan instrumen speaker, apakah merupakan penistaan agama? Lihat kasus Meiliana di Tanjung Balai, belasan Vihara dibakar, kediaman Meiliana dirusak, dan Meiliana dipidana penjara oleh ribuan umat tempat ibadah mana speaker pengeras suaranya dikritik oleh Meiliana yang merasa terganggu dan terampas ketenangan hidupnya berkat “polusi suara”. Menjadi pertanyaan bagi kita bersama, bila kalangan umat beragama “radikal” tersebut melakukan kejahatan demikian tatkala sedang mengenakan busana “agamais” serta saat mereka sedang atau akan melakukan kegiatan keagamaan (beribadah), maka bagaimana kelakuan mereka ketika sedang mengenakan baju biasa dan tidak sedang beribadah di tengah-tengah masyarakat?

Dengan mengatas-namakan “beribadah”, menjadikan para umatnya merasa berhak serta bebas melanggar dan merampas hak-hak warga lainnya (watak “hewanis” dan “premanis”, alih-alih mencerminkan sikap “humanis” terlebih “Tuhanis”), seperti dengan parkir liar secara sembarangan pada tempat yang tidak semestinya berupa persis berjejer di depan pagar kediaman warga (seolah-olah tidak ada tempat lain untuk memarkirkan kendaraan mereka secara patut dan layak), sekalipun sebagian diantara mereka faktanya adalah warga sekitar yang dapat cukup berjalan-kaki menuju tempat ibadah terdekat untuk beribadah, warga pemukim pemilik kediaman yang merasa terganggu karena kemerdekaannya untuk keluar dan masuk dari kediaman sendiri telah dirampas dan terampas, mendapatkan tentangan hebat dengan kalimat klise serupa, “Kalian hendak melarang kami beribadah?

Bila semakin kita lawan dan tolak, dapat dipastikan anarkhi sosial yang timbul dari “polusi sosial” demikian menjadi muaranya, dimana mobilisir massa semudah menggunakan kalimat propaganda seperti, “Mereka mengusir-ngusir kita yang sedang beribadah! Mereka melarang kita beribadah!”—memang telah jelas tiada hubungannya antara warga yang melakukan komplain (protes) atas ulah mereka yang serampangan serta sembarangan dan “pengusiran (yang seolah tanpa dasar)”, namun itulah “alasan yang dicari-cari” dan “alasan yang dibuat-buat” dalam rangka “cari-cari alasan” untuk melancarkan niat jahat mereka beraksi represif, suatu kesempatan yang telah mereka tunggu-tunggu dan mereka buat-buat, dimana momentumnya mereka sendiri yang menebarkan “jaring perangkap” serta “ranjau darat” (menabur “sebab, wajar bila menuai “akibat”), memantiknya, hingga ketika pada gilirannya timbul percikan, pergesekan verbal, hingga “meledak”, maka itulah menjadi alibi sempurna untuk melancarkan niat buruknya yang sejak semula memang telah berniat jahat terhadap warga pengusung praktik kebebasan beragama tanpa saling mengganggu dan tanpa saling merugikan maupun merampas hak warga lainnya satu sama lain.

Dengan mengatas-namakan agama, seolah-olah segalanya menjadi “halal” dan “legal” untuk dilakukan, dirampas, serta “dimakan”. Dengan mengatas-namakan “pemuka agama” yang berbusana “agamais”, seolah-olah seorang kriminal sekalipun tidak boleh disentuh dan diproses secara hukum lewat slogan yang terkenal, “STOP KRIMINALISASI PEMUKA AGAMA!” Dengan mengatas-namakan agama, tiada lagi yang “haram” ataupun “ilegal”. Jangankan kekerasan fisik, memenggal, membunuh, mencuri, merampok, hingga berzinah sekalipun tidak ditabukan oleh “dasar hukum agama” bersangkutan—yang mana justru alih-alih sebaliknya, yakni dipromosikan, dianjurkan, diperintahkan, dan ditaati untuk dilaksanakan, sebagaimana maksiat paling primitif sekalipun tetap eksis hingga saat kini seolah dilestarikan oleh kaum “agamais yang pendosa” (entah bagaimana ceritanya, seolah-olah antara “agamais” dan “dosa” dapat dipersatukan dan disanding-padu-padankan dalam keyakinan keagamaan bersangkutan), berkat alibi atau “alasan pembenar” berupa iming-iming ideologi “penghapusan dosa”.

Yang tiada kaitan ataupun hubungannya, serta yang notabene “bukan alasan”, tetap saja dijadikan “alasan” hingga “alasan yang dicari-cari”, “alasan yang dibuat-buat”, ataupun “mencari-cari alasan” hingga “memaksakan alasan” yang tiada relevansinya sama sekali sebagai dasar argumentasi (alibi) untuk melakukan kejahatan dan melancarkan niat buruk, semata dengan mengatas-namakan “alasan yang dibuat-buat” itu sendiri, sehingga sang pelaku kejahatan melakukan kejahatannya seolah-olah disertai sebuah alasan, alibi, dan legitimasi, hingga justifikasi diri (baca : pembenaran diri)seolah-olah dengan cara begitulah, yang ilegal menjelma legal, yang buruk menjelma baik, yang salah menjelma benar, yang hitam menjelma putih. Sifat sejati dibaliknya, ialah penyalah-gunaan terhadap “alibi” dimana sebuah “alibi” sifatnya notabene netral pada dasariahnya, namun menjadi subjektif dan menjelma tendensius ketika disalah-gunakan lengkap dengan tambahan “racikan” bumbu-bumbu yang tidak relevan untuk menyetirnya dalam rangka “re-framing” yang mampu mengecoh “logika moral” sang korban sehingga menjadi “defendless”.

Bila untuk hal sesadistik, sebuas, seberingas, sebrutal, sejahat, seburuk, sekeras, seekstrim membunuh, memenggal, merampok, mencuri, hingga berzinah, tidak ditabukan, bahkan dipromosikan, dikumandangkan, diberi label “SUCI” ataupun “perintah Tuhan untuk dijalankan”, ibadah itu sendiri, “jalan Tuhan”, dikampanyekan, seolah-olah tiada konsekuensi Karma Buruk maupun bahaya lain dibaliknya, dipertontonkan secara berjemaah di siang tengah hari di depan umum tanpa rasa malu ataupun rasa takut, seolah sudah menjadi kelaziman, maka bagaimana dengan sekadar kejahatan-kejahatan lainnya? Tentulah kejahatan-kejahatan demikian menjadi tampak seolah dapat ditolerir dan diberi kompromi, semata karena, “Masih untung dan cukup beruntung sehingga Anda sepatutnya merasa bersyukur, karena setidaknya Kamu tidak sampai kami bunuh!

Faktanya ialah, apapun alasannya dan “bukanlah alasan”, sekalipun menjadikan agama dan ibadah sebagai “alasan”, polusi suara adalah buruk dan mengganggu serta merampas hak-hak warga lainnya, polusi sosial adalah buruk dan patut dicela karena merugikan disamping mengganggu warga setempat selaku “stakeholder” yang berkepentingan atas pemukiman mereka bebas dari segala jenis gangguan, membunuh dan mencuri terlebih berzinah adalah dosa dan maksiat yang harus dilarang dan dijauhi serta diganjar hukuman alih-alih “penghapusan dosa”—sehingga kesemua itu “bukan alasan” serta “bukanlah alasan” untuk dijadikan “alasan pembenar” untuk melanggar dan merampas hak-hak warga lainnya.

Sebagai penutup, yang jarang disadari maupun dipahami oleh mereka yang sampai saat kini masih menjalankan praktik ritual yang menimbulkan “polusi suara” lewat speaker pengeras suara eksternal tempat ibadah, maka berbagai ayat-ayat dikumandangkan lewat gelombang suara yang melewati pekarangan, melampaui, dan menerobos berbagai sekat ruang pemukiman penduduk, menerobos masuk hingga ke dalam ruang-ruang privat-personal seperti kamar mandi, toilet, kamar tidur, gudang, bahkan seperti juga selokan, bergema hingga ke septip tank, tidak jarang pula “masuk telinga kanan keluar telinga kiri” sehingga ayat-ayat tersebut berakhir menyerupai sebagai seonggok “sampah” yang berserakan dan bermuara pada “tong sampah”—pelecehan mana dilakukan oleh umat keyakinan keagamaan itu sendiri, yang mengumbar dan memperlakukan ayat-ayat agamanya bagaikan “sampah” yang tidak berharga.

Sebaliknya, sakralitas dalam Buddhistik, bahkan seorang penceramah ataupun syair-syair dalam paritta tidak akan dilantunkan bila pihak audiens tidak menaruh hormat kepada Dhamma sebagaimana dibabarkan oleh Sang Buddha. Karenanya, kita memberikan penghormatan dan sakralitas terhadap keagungan ayat-ayat dalam Tripitaka dengan tidak membiarkannya menyerupai selebaran-selebaran promosi usaha atau produk barang yang banyak ditebarkan namun banyak pula diantaranya yang berakhir sebagai sampah yang berserakan memenuhi lantai, tanah yang digenangi air keruh, selokan, tong sampah, hingga menjadi barang “loakan” sebelum terinjak-injak dan koyak.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.