Perjudian dan Penipuan, Tidak Serupa dan Tidak Sama
Telah ternyata, baik masyarakat, pemerintah selaku regulator, maupun aparatur penegak hukum mulai dari Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, hingga Hakim Pengadilan, gagal membedakan antara penipuan dan praktik perjudian, sekalipun keduanya sama sekali berbeda dan tidak memiliki kesamaan apapun. Jud!, ialah suatu konstruksi yang bersifat murni “permainan untung-untungan”, tanpa ada anasir penipuan apapun didalamnya. Berbeda dengan jud!, penipuan bisa bewujud atau berupa beragam modus, yang seringkali terjadi dalam praktik selama ini di Indonesia pada khususnya, ialah “penipuan berkedok perjudian”. Dengan kata lain, banyak hal yang disebut-sebut oleh masyarakat luas maupun aparatur penegak hukum sebagai “perjudian”, sejatinya ialah “penipuan berkedok perjudian”.
Praktik perjudian, ialah berupa
semacam praktik sabung ayam, sabung jangkrik, permainan kartu remi manual, catur,
tebak skor pertandingan sepakbola, tebak mata dadu, domino manual, mahyong, dan
lain sebagainya, yang sifatnya manual dan konvensional, dan disertai sejumlah
nominal angka taruhan antar pemain. Adapun “penipuan berkedok perjudian”, ialah
berupa lotere pasang taruhan berupa angka (jud! “pakong”), jud! online (judol),
mesin slot dalam kasino, dan lain sebagainya yang melibatkan bandar. Itulah kata
kuncinya, ada atau tidaknya pihak bandar yang menjadi penyelenggara taruhan,
serta adanya “konflik kepentingan”.
Dalam modus-modus “penipuan
berkedok perjudian”, terdapat “konflik kepentingan” berupa pihak bandar yang sejak
semula telah menyetel atau men-setting di latar belakang atau di balik layar mesin
jud!-nya maupun aplikasi judolnya, sedemikian rupa agar peluang pemain untuk
menang menjadi sangat kecil alias tipis. Untuk memudahkan pemahaman dalam
membedakan antara praktik perjudian dan “penipuan berkedok perjudian”,
ilustrasi berikut dapat cukup mencerminkan. Dalam sebuah permainan jud! manual
semisal permainan kartu remi, terdiri dari empat orang pemain, maka masing-masing
pemain memiliki potensi atau peluang menang ialah 100% : 4 = 25%. Jika pemainnya
hanya ada 2 orang, maka peluang menang masing-masing pemain ialah 100% : 2 =
50%. Jika pemainnya terdiri dari 10 orang, maka masing-masing pemaian memiliki
peluang menang 100% : 10 = 10%. Dengan demikian, “fair play” masih dapat kita jumpai di dalam konstruksi perjudian.
Berbeda halnya dengan “penipuan
berkedok perjudian” alias penipuan yang berkamuflase sebagai “permainan untung-untungan”.
Contoh paling klasik yang banyak dapat kita jumpai di masyarakat, terutama di
pedesaan dan di perkampungan ialah, “penipuan pakong”, dimana pemain memasang
taruhan pada sejumlah angka tunggal, ataupun angka dua digit, dan seterusnya. Yang
menarik ialah, agen yang memfasilitasi pemain untuk memasang taruhan,
mengumpulkan sejumlah dana dari pemain, namun tidak seketika menyebutkan angka taruhan
berapakah yang keluar sebagai pemenangnya. Agen melapor kepada bandar, dimana
bandar beberapa jam kemudian barulah mengumumkan angka taruhan yang keluar
sebagai pemenang.
Alhasil, yang terjadi dibalik
layar praktik penipuan tersebut ialah, pihak bandar melakukan rekapitulasi yang
memetakan jumlah pemasang taruhan pada masing-masing angka taruhan, lalu
mengeluarkan angka taruhan yang paling sedikit pemasang taruhannya. Singkat kata,
sejak semula pihak bandar tidak telah menetapkan angka taruhan tertentu sebagai
pemenangnya, dan baru menetapkannya beberapa waktu setelah menghimpun dan
merekapitulasi seluruh angka-angka taruhan yang dipasang oleh para pembeli
angka taruhan. Hasilnya, tidak butuh dijelaskan oleh seorang bergelar profesor
ataupun sarjana ekonomi, jelas-jelas pihak bandar tidak pernah dirugikan—justru
sebaliknya, selalu paling diuntungkan.
Untuk memanipulasi masyarakat,
pihak bandar menetapkan angka taruhan yang memang dibeli sejumlah pembeli angka
taruhan, namun bukanlah jumlah pembeli angka taruhan terbanyak, namun pembeli
yang minor jumlahnya, sehingga terkesan “bisa menang beli angka taruhan”. Begitulah
selama berpuluh-puluh tahun lamanya pihak penipu dibalik penipuan “angka
taruhan” demikian membodohi, mengeksploitasi, memiskinkan, serta menipu masyarakat.
Praktik demikian, bukanlah praktik permainan untung-untungan sebagaimana
definisi perjudian, namun murni penipuan—hanya saja berkedok perjudian sehingga
seolah-olah terkandung unsur “untung-untungan” sekalipun sama sekali tidak
terkandung muatan “untung-untungan” kerja dibalik layar atau dapur pihak
bandar.
Sejatinya juga, praktik semacam
judol, tidak berbeda dengan penipuan berkedok “jud! pakong” demikian. Pihak bandar
pembuat aplikasi judol, adalah pihak yang membuat algoritma yang bekerja
dibalik tampilan permainan judol. Mereka akan membuat sistem, dimana pihak
pemain dan pemasang taruhan hanya memiliki peluang menang kurang dari 50%, atau
bahkan kurang dari satu digit potensi kemenangannya. Karenanya, bandar selalu
menang besar, tidak pernah berpotensi menjadi miskin. Sebaliknya juga, suatu
pertandingan sepakbola yang telah ternyata tidak sportif karena direkayasa oleh
bandar “jud! bola”, telah membuat setting agar salah satu tim kesebelasan kalah
dalam suatu pertandingan, sehingga terkandung muatan “penipuan” dibalik cara kerja
bandar “jud! bola”. Karena mengandung unsur penipuan, maka itu bukan lagi
perjudian, namun “penipuan berkedok perjudian”.
Yang menarik ialah, selama berpuluh-puluh
tahun ini aparatur penegak hukum tidak pernah mendakwa dan menuntut para pelaku
dibalik “penipuan berkedok perjudian” sebagai pelaku penipuan yang didakwa dengan
pasal-pasal pidana penipuan, namun sebagai pelaku perjudian. Akibatnya, rata-rata
vonis pemidanaan terhadap pelaku menjadi minim, berbeda halnya bila sang pelaku
didakwa dengan pasal-pasal pidana penipuan, sebagaimana adagium dalam : Clam Delinquens Magis Punitur Quam Palam.
Seseorang yang Melakukan Kekeliruan secara Rahasia akan Dihukum Lebih Keras
daripada Mereka yang Melakukannya secara Terbuka.
Itulah penjelasannya, mengapa
praktik perjudian tidak seburuk praktik penipuan. Sebagai contoh, pernah kita
mendengar seseorang berkata bahwa “hidup
ini menyerupai pertaruhan”, tidak ada jaminan kita berhasil berkarir atau
membuka usaha pada suatu bidang. Potensi untung dan merugi, tetap ada, dan itulah
“resiko usaha”, lumrah saja sifatnya. Hidup ibarat “gambling”, bahkan menikah pun ibarat “gambling”. Tidak ada jaminan rumah-tangga dengan pasangan hidup Anda
akan setia bersama dengan Anda dan mau bersama-sama menanggung “suka serta duka”
hingga sampai tua. Tidak ada jaminan kendaraan umum yang Anda tumpangi, benar-benar
aman. Tidak ada jaminan, kader partai Anda tidak akan berkhianat. Yang tercela
ialah praktik penipuan, dimana Anda mungkin berkata kepada pasangan Anda : “Jika dari sejak awal saya tahu kamu adalah
pasangan yang hanya mau suka saja, tanpa mau duka bersama-sama, tidak akan saya
melamar dan menikahi kamu!”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.