JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Harapan hanyalah Harapan, namun Fakta adalah Fakta

PENDOSA Tidak Punya Hak untuk Diistimewakan, Terlebih Merampas Hak Korban Mengakses Keadilan

Pelaku Kejahatan Tidak Punya Hak untuk Memohon PENGHAPUSAN DOSA, Pendosa hanya Punya Kewajiban untuk BERTANGGUNG-JAWAB

PENJAHAT / PENDOSA Tidak Punya Hak untuk Menceramahi Korban tentang Apa Itu Kejahatan dan Kebaikan

Question: Rasanya menyakitkan sekali, seakan dilukai untuk kedua kalinya, ketika penjahat yang merupakan pelaku yang telah merugikan kami, justru berkata kepada kami selaku korban, bahwa “Yang berlalu, biarlah berlalu, tidak perlu diungkit-ungkit lagi.” Bukankah konyol, penjahat tapi justru berbicara seolah-olah dirinya orang bijaksana dan melontarkan kata-kata bijak keluar dari mulutnya? Mereka lebih sibuk berkelit dan putar-balik fakta, dengan tujuan untuk lepas tanggung-jawab, namun masih juga bermulut besar tentang ayat-ayat kitab agama, tentang Tuhan, tentang surga dan neraka, dan lain sebagainya. Masyarakat kita juga aneh sekali, mereka justru menghardik korban yang menjerit kesakitan sebagai “orang gila”, sementara pelaku yang menyakiti justru dibela dengan cara tidak dikritik atas perbuatannya ketika menyakiti sang korban. Juga tidak kalah banyak orang-orang yang perilakunya sendiri busuk, tapi justru lebih pandai mengomentari perilaku orang lain. Apalagi yang namanya “playing victim”, tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, namun masih juga mengharap masuk surga dan dianugerahi hidup yang makmur-sejahtera.

Brief Answer: Pernah terjadi pada satu kampung atau pedesaan di Indonesia, seorang anak yang diperkosa hingga hamil oleh sang ayah, sang anak yang notabene korban justru kemudian diusir oleh warga kampungnya, alih-alih sang ayah yang diusir. Bangsa Indonesia begitu miskin perihal “perspektif korban”. Masyarakat kita di Indonesia selama ini dibiasakan dan terbiasa memakai “perspektif penjahat” yang tergila-gila pada ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA”.

Memang ironis, tidak jarang kita menghadapi orang-orang yang sekalipun telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan korbannya, namun kemudian menceramahi sang korban, membuat kesan seolah dirinya orang bijak dengan berkata seperti “sengketa yang besar, dibuat kecil. Sengketa yang kecil, dibuat tiada”, “memaafkan lebih baik daripada mendendam”, “orang waras tidak marah-marah (sekalipun akibat disakiti, seolah-olah korbannya adalah sebongkah batu yang hanya boleh bungkam)”, “Tuhan saja Maha Pemaaf”, “hidup damai itu indah (meskipun sang pelaku yang meresahkan atau telah merampas kedamaian hidup sang korban)”, “berbagi itu indah”, “bersabar agar tidak cepat tua”, dan pernyataan-pernyataan lainnya, yang seakan justru hendak memposisikan korban sebagai pihak yang tercela dan patut disalahkan.

Yang berhak memaafkan, adalah dan hanyalah kalangan korban, bukan menjadi hak istimewa sang pelaku kejahatan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan buruknya sendiri, karena satu-satunya yang diwarisi oleh sang pelaku ialah kewajiban untuk BERTANGGUNG-JAWAB serta DIMINTAKAN PERTANGGUNG-JAWABAN. Itulah juga sebabnya, seorang PENDOSA tidak pernah memiliki hak istimewa untuk diistimewakan, terlebih untuk meminta dan berharap dihapus dosa-dosanya tanpa kemauan ataupun keberanian bertanggung-jawab terhadap korban-korbannya.

Ketika seseorang mengambil tanggung-jawab secara tuntas, maka artinya tidak ada lagi sisa dari dosa perbuatannya, dengan sendirinya dosa terhapuskan lewat aksi nyata berupa sikap penuh tanggung-jawab. Menjadi mengherankan, ketika masyarakat yang berbusana atau mengaku “agamais”, justru lebih sibuk melakukan ritual permohonan “PENGHAPUSAN DOSA’, alih-alih sibuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatannya sendiri. Lawan kata dari sikap ksatria, ialah sifat pengecut. Bagaimana mungkin, seorang pengecut berharap dogma-dogma korup yang “too good to be true” semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” adalah benar adanya? Kabar gembira bagi pendosa, sama artinya kabar buruk bagi kalangan korban.

PEMBAHASAN:

Berbicara bijak, bukan artinya sang pembicara adalah bijak adanya. Mulia atau tidaknya seseorang, ditentukan oleh perbuatan nyatanya dalam keseharian, bukan dari semudah perkataan ataupun membuat pernyataan maupun ritual “lip services”. Orang yang berjiwa ksatria—disebut demikian, karena keberanian untuk mengambil tanggung-jawab atas perbuatannya sendiri, tanpa menunggu tuntutan dari pihak korban, dimana sang korban tidak perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban dari sang pelaku—bahkan tidak perlu berbicara sepatah kata pun, ia cukup berfokus atau lebih sibuk untuk mengambil langkah nyata untuk bertanggung-jawab kepada sang korban.

Sama halnya, seorang penjahat, sekalipun tidak memohon dimasukkan ke neraka, secara sendirinya ketika meninggal dunia maka sang penjahat akan masuk neraka. Sebaliknya, seseorang yang berhati mulia, dengan sendirinya akan terlahir kembali di alam surgawi, sekalipun tidak dimohon demikian, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

71 (7) Pengembangan

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya tidak terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memiliki pengembangan. Tidak memiliki pengembangan apakah?

(1) Empat penegakan perhatian,

(2) empat usaha benar,

(3) empat landasan kekuatan batin,

(4) lima indria spiritual,

(5) lima kekuatan,

(6) tujuh faktor pencerahan, dan

(7) jalan mulia berunsur delapan.

“Misalkan ada seekor ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang tidak ia tutupi, tidak ia erami, dan tidak ia pelihara dengan baik. [126] Walaupun ia berkehendak: ‘Semoga anak-anakku menusuk cangkang mereka dengan ujung cakar atau paruh mereka dan menetas dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu tidak mampu melakukannya. Karena alasan apakah? Karena ayam betina itu tidak menutupi, tidak mengerami, dan tidak memelihara telur-telurnya dengan baik.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu tidak bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya tidak terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memiliki pengembangan. Tidak memiliki pengembangan apakah? Empat penegakan perhatian … jalan mulia berunsur delapan.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia tidak berkehendak: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan!’ namun pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena pengembangannya. Pengembangan apakah?

(1) Empat penegakan perhatian,

(2) empat usaha benar,

(3) empat landasan kekuatan batin,

(4) lima indria spiritual,

(5) lima kekuatan,

(6) tujuh faktor pencerahan, dan

(7) jalan mulia berunsur delapan.

Misalkan ada seekor ayam betina dengan delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur yang ia tutupi, ia erami, dan ia pelihara dengan baik. Walaupun ia tidak berkehendak: ‘Semoga anakanakku menusuk cangkang mereka dengan ujung cakar atau paruh mereka dan menetas dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu mampu melakukannya. Karena alasan apakah? Karena ayam betina itu telah menutupi, mengerami, dan memelihara telur-telurnya dengan baik.

Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka bahkan walaupun ia tidak berkehendak: [127] ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan!’ namun pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Karena alasan apakah? Karena pengembangannya. Pengembangan apakah? Empat penegakan perhatian … jalan mulia berunsur delapan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang tukang kayu atau murid tukang kayu melihat cetakan jari tangannya pada gagang kapaknya, ia tidak mengetahui: ‘Aku telah membuat aus sebanyak ini pada gagang kapak hari ini, sebanyak ini kemarin, sebanyak ini pada hari sebelumnya’; melainkan ketika gagang kapak itu menjadi aus, ia mengetahui bahwa gagang kapaknya telah menjadi aus. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, walaupun ia tidak mengetahui: ‘Aku telah mengikis noda-noda sebanyak ini hari ini, sebanyak ini kemarin, sebanyak ini pada hari sebelumnya,’ namun ketika noda-nodanya terkikis, ia mengetahui bahwa noda-nodanya terkikis.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebuah kapal layar yang terikat dengan tali yang telah usang di dalam air selama enam bulan. Kapal itu akan ditarik ke darat selama musim dingin dan talinya akan diserang lebih jauh lagi oleh angin dan matahari. Dibasahi oleh hujan, tali itu akan menjadi lapuk dan membusuk. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu bertekad pada pengembangan, maka belenggu-belenggunya menjadi runtuh dan membusuk.” [128]

Para pendosa yang kecanduan dogma-dogma KORUP semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” (abolition of sins) sehingga menjelma menjadi kalangan “KORUPTOR DOSA”, namun masih juga berdelusi sebagai kaum paling superior yang berhak untuk menghakimi kaum lainnya, sekalipun sejatinya mereka merupakan kasta paling rendah dan paling hina karena sifat ke-pengecut-annya yang tidak berani untuk mengambil tanggung-jawab atas konsekuensi perbuatan-perbuatan buruknya sendiri—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Babi, disebut “haram”. namun, dogma-dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” disebut “halal” serta dijadikan “halal lifestyle”—sekalipun hanya seorang PENDOSA yang butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, baik, mulia, lurus, adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, berlomba-lomba dan berbondong-bondong dengan penuh percaya-diri terperosok menuju lembah-jurang-nista yang begitu dan kelam. Maka, ajaran KORUP demikian lebih layak menyandang gelar sebagai “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA bagi PENDOSAWAN”? Orang suci dan baik manakah, yang butuh “PENGHAAPUSAN DOSA”?—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]