(DROP DOWN MENU)

Kisah Devil Advokat Bagian Keenam, sang Pengacara Devil Junior

CERITA PENDEK HUKUM

Kata Siapa Seorang Devil harus Berpenampilan Seram? Devil Modern Berparas Cantik dan Berbusana Rapih, Menyediakan dan Menawarkan Layanan Jasa bagi para “Manusia Evil”

Sebuah puri kecil, dengan cat eksterior maupun interior serba berwarna pink, dihiasi oleh berbagai boneka maupun tempelan gambar tempel berbentuk hewan-hewan mungil yang memikat penuh warna, membuat puri tersebut lebih menyerupai sebuah istana kecil milik seorang puteri yang menunggu didatangi oleh oleh seorang pengeran untuk meminang sang puteri. Namun itu bukanlah sebuah toko boneka, toko bunga, museum, ataupun toko coklat, namun sebuah kantor pengacara milik sang “DEVIL ADVOCATE”, demikian tertera pada papan nama terbuat dari lempengan perak yang terpasang pada pagar masuk yang tinggi megah, dipermanis ornamen bunga-bungaan yang ceria nan hangat.

Bila biasanya ornamen pada berbagai kantor hukum, selalu berupa simbolik sebuah timbangan yang melambangkan keadilan, pada kantor hukum tersebut justru memiliki ornamen berupa trisula raksasa bewarna perak terpampang pada bagian puncak dari menara kastil kecil pada puri serba “pink” tersebut—membuatnya tampak kontras dengan tampilan puri milik sang pengacara yang hangat dan penuh keramahan.

Sang pemilik kantor hukum, seorang wanita karir muda berambut tergerai panjang emas-kecoklatan ditata bergelombang sekitar umur tiga puluhan, sedang sibuk menyisir bulu-bulu boneka koleksinya sembari berbincang seorang diri dengan boneka-bonekanya tersebut, dan menciuminya satu per satu sebelum kemudian menata pada masing-masing tempat mereka dipajang pada rak yang memenuhi dinding. Suaranya manis serta imut berseri-seri, semanis dan seimut bentuk wajah dan pakaiannya yang memang lebih menyerupai penampilan seorang puteri pada sebuah kastil kecil dari zaman kerajaan dahulu kala yang sering dikisahkan diculik oleh naga bernafaskan semburan api. Sungguh kantor pengacara yang jauh dari kesan “sarang penyamun”.

Mendadak pintu kantor terbuka dari arah luar, disertai bunyi denting bel lonceng kecil yang terpasang di atas pintu sebagai penanda ada kedatangan tamu. “Hello,” sapa sang tamu, calon klien sang pengacara, terdiri dari tiga orang pria dewasa bersetelkan jas hitam lengkap dengan kacamata hitamnya, masuk satu per satu dengan langkah hati-hati ke dalam ruang tamu sekaligus sebagai ruang kerja sang pengacara.

 Selamat datang,” sambut sang pengacara menyambut mereka. Suaranya jenaka dan merdu, meski sedikit “centil” terhadap para calon klien yang baru dikenal olehnya, semanis gula dan madu, lesung pipitnya menawan mampu memikat siapa pun yang menjumpainya. Gaun puterinya berupa rok bergelambir dengan lapisan-lapisan yang memanjang hingga ke mata kaki menutupi hampir seluruh kakinya.

Ini kantor advokat?” tanya sang tamu memandangi sekeliling isi kantor itu, terheran-heran mendapati suasana interior kantor yang hangat diisi keceriaan berbagai warna dan perabotnya yang ditata khusus menyerupai tempat-tempat seperti taman bermain. Semua jenis bentuk dan ragam boneka akan kita jumpai pada kantor itu, kecuali boneka berbentuk peri ataupun semacam malaikat.

Emmn.. menurut Anda?” tanya balik sang pengacara, sambil tersenyum dengan lesung pipit yang semakin menggoda, menawan hati, dan sepasang mata yang jenaka menatapi sang tamu lekat-lekat.

Saya rasa saya tidak salah alamat.”

Agar sang tamu tidak kehilangan orientasi, sang pengacara segera mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang calon klien. “Nama saya Devil Advokat, boleh panggil dengan nama sebutan Devil saja.”

Oh, ternyata Nona Devil. Sudah lama kami mendengar nama Nona Devil yang sudah termasyur dan mendapat rekomendasi khusus di dunia mafia kami. Nama saya Bogem Taktakutdosa, dan ini kedua rekan saya, Aniaya Sampaibabakbelur dan Ancam Putarbalikfakta. Kalian berdua, berikan hormat kepada Nona Devil.”

Siap Bos, our Godfather!” Kedua anak buahnya dengan patuh membungkuk, memberi hormat kepada sang pengacara, tanpa melepaskan kacamata hitam yang mereka kenakan, khas seorang anggota gengster, triad, mafia, atau apapun itu nama sebutannya. Sang pengacara turut memberi salam hormat dengan cara yang sama, membungkuk bagi para tamunya.

Mengapa Anda bisa diberi nama Devil, Anda tampaknya lebih cocok bernama Angel?” tanya sang Godfather. (‘Angel’, dalam Bahasa Inggris terjemahan Bahasa Indonesianya menjadi ‘Malaikat’.)

Karena saya memiliki taring,” jawab sang pengacara yang kini dengan nada serius, sembari menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang mungil dan imut manis, dipadu dengan sepasang anting bergambar Hello Kitti bewarna merah. “Mau lihat dua tanduk di atas kepala saya? Saya sembunyikan di balik bando rambut saya.

Tawa sang tamu mendadak meledak, mendapati sikap manis sang pengacara, sungguh diluar dugaan dan diluar bayangan sosok diri sang Devil Advokat yang ternama dan akan membuat siapa pun menjadi “terpana”, meski ternyata masih berusia sangat muda dan berpenampilan “modis” bak puteri. Mereka saling berbasa-basi ringan, sebelum sang pengacara mempersilahkan sang klien duduk di depan meja kerjanya.

Bagaimana kabar dunia gengster, hari ini?

Bisnis jasa gengster sedang ramai peminat, banyak masyarakat ‘premanis’ kita yang butuh menyewa jasa tukang pukul, namun terlampau pengecut untuk menjadi preman yang terjun langsung dan masih pula ingin tampil bak orang suci di mata publik. Sebagaian diantara klien pengguna jasa kami, bahkan adalah para agamawan yang sering memberikan mimbar dan ceramah di tempat ibadah.

Setelah menyepakati tarif jasa, sang klien mulai menceritakan latar belakang mengapa dirinya bisa sampai di tempat itu. “Jadi begini, Miss Devil, kami ingin tahu resiko hukum apa yang bisa menjadi potensi resiko bagi bisnis mafia kami,” urai sang klien memulainya, duduk di bangku sembari menyandar dan mengangkat satu kakinya ke atas lutut satu kaki lainnya dan kedua tangan yang diletakkan di atas lutut, sementara kedua anak buahnya berdiri “mematung” bak patung di kedua sisinya. “Kami ingin tahu secara lebih tepatnya...

Namun sang pengacara segera menahannya, “Tunggu sebentar!” Sang pengacara menghidupkan sound system dari balik meja kerjanya, yang kini mulai menyenandungkan nada lembut musik instrumental dari bambu klasik. “Oke, lanjutkan.” Sang Pengacara menyandarkan kepalanya kepada kedua tangan yang bertopang di atas meja, menyimak penuh minat sembari tersenyum manis. Kedua bola mata besarnya bagaikan bersinar memantulkan cahaya yang jernih. Wajahnya bersih dan putih, mirip boneka barbie. Bila ia tidak bergerak untuk beberapa waktu, mungkin orang lain akan mengira dirinya boneka manekin dari porselen.

Pada mulanya sang klien masih cukup kaget juga untuk beradaptasi dengan gaya dari pengacara eksentrik muda satu ini, namun dilanjutkannya juga penuturannya yang sempat terpotong. “Apa ada resiko hukum bila kami terus melanjutkan bisnis premanisme dan gengster kami ini? Tentunya kami perlu mempersiapkan diri dari kemungkinan terburuk, katakanlah, seperti ancaman adanya polisi.

Oh, tidak akan ada masalah apapun, santai saja,” sahut sang pengacara sembari memainkan ujung rambut panjangnya yang bergelombang namun tersisir rapih sepanjang punggung, sebelum kemudian pandangan matanya disibukkan pada kedua tangannya yang menggambar sesuatu pada selembar kertas dengan kuas dari cat minyak di atas meja kerjanya yang putih dan lebar. “Coba saya mau tanya, ketika Mr. Bogem Taktakutdosa mengganggu warga, lalu korban kalian mengancam akan memanggil polisi, apakah polisi itu akan benar-benar datang untuk melindungi si warga?

Rasanya tidak pernah. Justru kami yang menjadi tertawa, bahkan kami tantang si korban untuk memanggil polisi, polisi itu tidak pernah tampil ataupun muncul sesuai panggilan korban-korban kami, bahkan korban kami menjadi malu sendiri dan berkata : ‘Polisi brengsek, makan gaji buta!’

Nah itu dia. Polisi dan negara kita tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat. Artinya apa, coba?

Sang pengacara menunggu respons dari sang klien yang duduk memikirkan jawaban dari pertanyaan sang pengacara, sementara kedua anak buahnya tetap berdiri masih bak patung di kedua sisinya, lengkap dengan kacamata hitamnya yang “macho”.

Negara memelihara dan melestarikan kami, para triad dan gengster?

PAS SEKALI!” sang pengacara tanpa diduga-duga mendadak menggebrak meja, bangkit dari kursinya, mengangkat satu kakinya dan menjejakkan satu sepatu “high heel” merahnya di atas kursi sembari memamerkan hasil lukisannya, berupa seorang pria pendek berseragam polisi yang gemuk bertampang hitam jelek dengan bulu hidung yang menyembul keluar. “Menurut Anda semua, bapak-bapak gengster yang saya hormati dan cintai, apakah ada perbedaan, antara Pak Polisi yang mirip ‘pria hamil’ ini dengan kalian, para preman dan gengster?

Mendadak, salah satu anak buah dari sang klien, Aniaya Sampaibabakbelur yang memiliki rambut tersemir rapih dan berpostur tinggi tegap yang sedari tadi bungkam, kini berbicara tegas dengan nada lantang, “SAMA SAJA! Mereka, para polisi gemuk itu, hanya sibuk memeras warga yang melapor, hanya sibuk menghisap bakaran tembakau dan menyemburkan asapnya ke wajah warga yang datang melapor, bersikap arogan, menganiaya mental warga pelapor, merugikan waktu warga pelapor, dan masih banyak pelanggaran hak-hak warga pelapor dengan mengabaikan dan menelantarkan apa yang menjadi kewajiban si polisi gemuk dan korup itu. Warga pelapor yang bahkan harus mengemis-ngemis agar polisi menjalankan tugas dan wewenang monopolistiknya dalam menegakkan hukum pidana.”

TEPAT SEKALI!” seru sang pengacara, kini melepaskan satu sepatu “high heel”-nya sembari memukul-mukulkan sepatunya itu kepada gambar polisi gendut yang digambarnya tersebut, membuat ketiga orang tamunya takjub betapa maskulin diri sang pengacara dapat menjelma. “Dasar polisi gemuk gendut jelek korup pelasan arogan jahat sialan! Pergi saja kalian ke neraka, polisi gemuk gendut jelek!

Setelah puas, menginjak-injak gambar sang polisi gendut itu, sang pengacara mulai menenangkan dirinya. “Maaf, saya terlampau bersemangat. Semoga dapat dimaklumi, terkadang kondisi Bipolar saya muncul bila sedang bersemangat.” Sang pengacara merampihkan kembali tata rambutnya, sebelum kembali duduk tenang di bangkunya semula, dan kembali memasang wajah mungil seperti sebelumnya seolah-olah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Lalu?” tanya sang pengacara, senyum manis mungil memikat yang sama, memandangi lekat-lekat sang klien secara penuh minat, sembari menunggu respons dari klien yang duduk di hadapannya.

“...Umn, rasanya kini saya mulai paham. Warga yang kami korbankan ketika mencoba melaporkan premanisme yang kami lakukan kepada pihak polisi, itu sama artinya mereka ‘keluar mulut harimau untuk masuk mulut buaya’!” Nada suara sang klien dalam dan berat, ia berkata secara perlahan dan terkadang terdengar seperti sedang berbisik atau seolah sedang berbicara untuk dirinya sendiri.

Buaya ‘bunting’, untuk lebih tepatnya,” tambah sang pengacara sembari tersenyum sedikit lebih lebar sehingga menampilkan deretan gigi-giginya yang mungil dan putih bersih, lengkap dengan taringnya yang imut nan menggemaskan turut mencuat dari sisi birinya yang merah segar. “Anda bisa melihat, taring saya yang menakutkan ini?

Sang klien hanya merespons dengan tersenyum, tetap duduk dalam posisi menyandar seperti sejak semula dengan satu kaki menumpu kaki lainnya. Usianya sebenarnya telah memasuki paruh baya, terlihat dari rambutnya yang sebagian telah bewarna putih keperakan, namun masih tampak gagah postur tubuhnya yang ramping dan atletis, benar-benar berparas dan berkharisma sebagai seorang “Godfather”. Tampaknya semua pihak menikmati momen-momen kebersamaan ini bersama sang pengacara, Nona Devil.

Sang pengacara lalu menambahkan, “Bukankah bodoh, bila ada warga yang menjadi korban aksi premanisme, lalu masih harus pula mengemis-ngemis kepada polisi ‘bunting’, mengemis-ngemis apa yang sebenarnya memang sudah menjadi hak mereka, mengemis-ngemis agar polisi-polisi ‘bunting’ itu melaksanakan apa yang memang sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka, mengemis-ngemis agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya. Itu namanya, apa, jika bukan turut menjadi korban untuk kedua kalinya? Korban yang cerdas, tidak akan membiarkan diri mereka dilecehkan untuk kedua kalinya.

Wah, itu memang wawasan baru yang brilian dan cerdas. Ternyata Anda memang patut mendapat reputasi sebagai pengacara Top, Miss Devil,” apresiasi sang klien, memang tampak tulus, yang dari awal begitu antusias namun dengan tenang menyimak penuturan sang pengacara meski kelihatannya sang pengacara kini telah lebih asyik sibuk sendiri mengorek-ngorek kupingnya yang kebetulan sedang gatal sebelum kemudian menyibukkan diri menatap cermin dan merapihkan bulu alis matanya.

Memang,” sahut ringan pendek dari sang pengacara, masih sibuk dengan urusannya sendiri.

Daripada membayar polisi korup itu, lebih baik para korban kami membayar uang ‘keamanan’ kepada pihak kami,” sambung sang klien yang kini menegakkan punggungnya dan menyandarkan siku lengannya pada sisi meja. “Uang ‘keamanan’ agar tidak diganggu oleh kami, maksudnya, bukan untuk menjadi satpam mereka.

Sang klien kini menampilkan seulas senyum tipis dari wajahnya yang kaku dan penuh bekas-bekas khas yang ditinggalkan oleh berbagai pengalaman pertarungan jalanan. Ia seolah menikmati beberapa detik berlalu dalam keheningan, tenggelam dalam pikirannya sendiri, sebelum kemudian menambahkan, “Apakah artinya, kami harus berterimakasih kepada para polisi korup itu, karena mereka bekerja secara tidak profesional dalam melindungi masyarakat, sehingga masyarakat harus membayar mahal kepada kami? Masyarakat yang belajar ilmu hukum sekalipun, sekalipun sudah ada pasal-pasal semacam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun bila polisinya masih tetap korup melalaikan tugas dan tanggung jawab profesi mereka, sama artinya masyarakat tanpa perlindungan diri apapun, alias ‘masyarakat yang telanjang’, naked society. Hahaha.

Sang Godfather kemudian menoleh ke samping dan menyikut salah satu ajudannya, si Ancam Putarbalikfakta, “Bagaimana menurut pendapatmu, Ancam Putarbalikfakta? Jangan diam saja dari tadi, nanti kau dikira orang sebagai patung. Aku tak pernah memerintahkanmu untuk membisu.

Entahlah, Bos,” sahut Ancam Putarbalikfakta secara terbata-bata, yang memiliki suara parau seperti burung gagak, dan benar-benar bersuara sekaku sosoknya yang mematung tinggi dan tegap lengkap dengan potongan rambut cetak dan bibir yang tebal, tanpa bergerak sedikit pun sedari sejak tadi. “JIka saya sepintar itu dan punya otak yang cukup memadai, maka tidak akan berakhir sebagai pengawal dan anak buahmu. Jika otak di kepalaku ini bisa diandalkan, maka aku sudah jadi bos, bukan jadi anak buah yang hanya dibolehkan berdiri di samping seperti patung.” Ternyata dirinya tidak bodoh-bodoh sekali.

Benar juga. Jika begitu kau simpan saja otak-mu sampai beku. Sungguh membuat malas berdebat denganmu,” sang Godfather kembali menghadapkan wajahnya kepada sang pengacara yang kini ternyata telah kembali sibuk seorang diri berjongkok di sudut ruangan dengan beberapa pasang sepatu untuk pesta, kini disemir oleh sang pengacara hingga tidak mungkin lebih mengilap dari yang sekarang adanya.

Sang Godfather terkadang tidak dapat mengerti dengan perilaku aneh dari sang pengacara eksentrik. Konon, orang jenius memang senantiasa bersikap aneh yang tidak lazim perilakunya, bahkan cenderung “autis”, genetik yang sama menjadi sumber antara autis dan sumber kejeniusan seseorang. Ia berdeham untuk mendapatkan kembali perhatian dari sang pengacara yang cepat sekali teralihkan fokus perhatiannya yang mudah merasa bosan, jemu, dan terdistraksi oleh hal-hal lainnya. “Ehem...

Tanpa memalingkan wajah dari kesibukannya menyemir sepatu, sang pengacara menyahut seraya masih dari sudut ruangan seorang diri, “Obat batuk untuk batuk kering dan obat batuk untuk batuk berdahak, berbeda untuk masing-masing jenis batuknya. Di sini bukan apotek, tidak jual obat batuk.” Kini, bahkan sang pengacara berbicara seorang diri yang bahkan seolah sedang mengajak bicara sepatu-sepatu yang disemir olehnya.

Sang Godfather menengok kepada anak buahnya yang berdiri pada kedua sisinya di samping, merasa keheranan atas sikap sang pengacara, yang agak menyerupai kuda liar yang tidak dapat diam tenang di satu tempat dan terlampau hiperaktif. Namun ketika sang Godfather menghadap kembali ke meja kerja sang pengacara, si pengacara telah kembali duduk pada kursinya secepat kehilangan dirinya, tanpa meninggalkan bekas sapuan angin apapun.

Dengan wajah ditopang kedua tangan yang sikunya ditumpu pada bagian atas meja, sang pengacara berujar, “Lalu? Saya masih menyimak,” senyum manis yang sama dari sang pengacara bermata besar yang memantulkan pantulan sinar kekanakan itu, namun kali ini tanpa memperlihatan deretan giginya.

Dengan kata lain, bila dapat kita katakan,” sang klien memulai, “Tidak ada potensi resiko bagi bisnis triad dan mafia yang hendak kami tekuni secara profesional dan selama ini kami jalankan di Indonesia? Aman?

Aaaa-MAN! No problema.

Sang klien merasa puas telah mendapatkan wawasan dan pencerahan baru, mengenakan kembali kacamata hitamnya, pamit dan undur diri dari sang pengacara yang mengiringi kepergian sang klien dengan mengganti musik yang mengalun di latar belakang menjadi diputarkannya musik yang biasa diputar untuk sinema layar lebar film-film bergenre mafia ala triad-gengster, terutama ketika sang bos gengster tampil pada awal-awal film diputar.

Tidak lama berselang waktu setelah pamitnya sang klien “mafia” yang telah diberi “pencerahan” oleh sang pengacara yang memang sudah sangat terkenal mampu memberi “pencerahan” kepada segala lapisan kalangan masyarakat dengan berbagai latar-belakang profesi, telah muncul kembali klien baru lainnya, memasuki kantor sang pengacara yang dikenal jenius namun “eksentrik”, seseorang wanita dengan postur tubuh yang tinggi dan penampilannya terawat apik dengan busana yang terlampau ketat, tergopoh-gopoh memasuki ruang kerja milik sang pengacara, sembari bertanya : “Selamat siang, apakah betul ini kantor pengacara?”

Sang pengacara muda bangkit dari sofa tempatnya duduk bermanja-manja dengan boneka buaya berperawakan lucu miliknya, menyambut sang tamu, “Menurut Anda, tempat ini menyerupai Taman Kanak-Kanak? Oh sungguh, saya sangat mengapresiasi pujiannya.”

Sang tamu setelah dipersilahkan duduk, kini memperkenalkan dirinya yang bernama Panik Takbisatenang. Ia seorang ibu muda berusia empat puluhan tahun, yang tampaknya memang selalu diserang oleh perasaan panik dan penuh kecemasan berlebihan, atau mungkin juga semacam fobia, atau karena sedang diserang oleh sejenis psikosis oleh sebab tekanan batin akibat masalah hukum yang dialami olehnya.

Hello, selamat datang. Mau duduk di meja kerja saya yang membosankan itu, atau di sofa empuk yang lembut selembut beludru ini?” sang pengacara menawarkan dengan senyum hangatnya sembari menepuk-nepuk bantalan sofa di sampingnya mengundang sang tamu untuk duduk di dekatnya. “Kain sofanya boleh dibelai-belai sembari duduk-duduk, lembut dan menyenangkan. Mari dicoba sendiri, duduk di sebelah sini.

Tanpa menunggu respons dari sang tamu yang akan menjadi klien baru sang pengacara, sang pengacara dengan cepat menghampiri dan menarik lengannya untuk duduk bersama sang pengacara pada sofanya yang empuk nan lembut. Setelah saling berkenalan, mereka berdua pun langsung saja berbincang-bincang layaknya kawan akrab yang sudah lama saling mengenal satu sama lain.

Jadi begini loh, Ibu Devil, saya dituduh operasi payudara, padahal payudara saya ini asli, paten, otentik, original!” keluh sang klien, membuat sang pengacara mulai melirih buah dada sang klien dan mengukur besar volumenya secara prediksi, ukuran jumbo. “Orang yang menuduh saya membuat tuduhan sembarangan, semata karena mereka tahu saya pernah operasi hidung agar lebih mancung, lantas mereka buat fitnah kemana-mana, ke sosial media, ke orang-orang, ke tetangga, ke kenalan, bahwa payudara saya pun adalah hasil operasi! Padahal payudara saya ini bisa menjadi montok dan bulat besar adalah hasil olahraga payudara.

Olahraga apa, olahraga payudara?” tanya sang pengacara keheranan, sesama wanita yang penasaran, sembari mencoba meraba-raba buah dada miliknya sendiri. “Baru kali ini mendengar hal semacam itu. Bukankah isi payudara hanya ada minyak dan air? Dimana letaknya otot pada payudara? Bagaimana cara melatih olahraga payudara? Coba, saya pegang buah dada punya Anda, mungkin memang ada jaringan ototnya.

Tanpa menjelaskan pertanyaan sang pengacara, sang klien melanjutkan penuturannya sembari mulai terisak-isak sedih secara mendadak. “Punya tissue? ... Masalahnya, bagaimana saya bisa buktikan tuduhan itu adalah sebuah fitnah. Apakah saya harus tunjukkan ke orang-orang bahwa itu tuduhan palsu, dengan membiarkan setiap orang untuk meraba-raba, menyentuh-nyentuh, dan meremas-remas payudara saya? Itu tuduhan yang keterlaluan! Itu gila! Saya bisa sinting dituduh secara sewenang-wenang seperti itu. Itu pembunuhan karakter! Bagaimana saya bisa membuktikan betapa fitnah itu tuduhan terhadap tubuh saya? Sama seperti seseorang yang dituduh tidak perawan lagi, bagaimana cara membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar? Ngomong-ngomong, saya juga masih perawan loh! Sumpah!

Sang klien mulai benar-benar menangis, dan semakin lama semakin pecah tangisannya secara hebat, membuat sang pengacara bersikap hangat dengan mencoba menenangkan dan menghibur sang klien. Itulah sebabnya, sang pengacara menyebut sofa lembutnya itu sebagai kursi terapis bagi klien-klien yang terlihat rapuh dan memiliki masalah psikis.

Sang pengacara kemudian membacakan putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 2392 K/PID.SUS/2018 tanggal 31 Januari 2019, dimana sang klien menyimaknya dengan saksama setelah mulai mampu tenang dan lebih mengendalikan guncangan batin dirinya. Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung sebagaimana register Nomor 97/Pid.Sus/2016/PN.Blb tanggal 25 Agustus 2016, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan JENNY SIHOMBING binti ALFRED SIHOMBING (almarhum) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) subsidair selama 1 (satu) bulan kurungan;

3. Menyatakan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari ditetapkan lain dalam putusan hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan berakhir.”

Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 375/Pid.Sus/2016/PT.BDG tanggal 9 Januari 2017, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut;

- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 97/Pid.Sus/2016/PN.Blb tanggal 25 Agustus 2016, yang dimintakan banding tersebut.”

Pihak Jaksa Penuntut maupun pihak Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi I / Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II / Terdakwa pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi I / Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II / Terdakwa tidak dapat dibenarkan putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik”, tidak salah dan telah menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya serta cara mengadili telah dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang;

- Bahwa putusan Judex Facti juga telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu perbuatan yang dilakukan Terdakwa di account Facebook-nya yang berisi tuduhan bahwa bendahara gereja UNAI selama menjabat sebagai bendahara UNAI tahun 2012 telah melakukan penggelapan milik gereja UNAI. Postingan tersebut dilakukan sejak bulan Februari 2014 hingga tanggal 2 Desember 2014;

- Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut dapat disimpulkan agar tulisannya dalam acoount Facebook-nya tersebar dan dibaca / diakses orang yang berteman dengan Terdakwa di Facebook;

- Bahwa tulisan Terdakwa tersebut telah mencemarkan Saksi Korban / Dosma karena belum ada pihak pengadilan yang menyatakan Saksi Dosma menggelapkan uang;

- Bahwa perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi semua unsur tindak pidana Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 pada dakwaan tunggal;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung tersebut;

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa JENNY SIHOMBING binti ALFRED SIHOMBING tersebut.”

Sang klien mulai menunjukkan minat yang besar terhadap putusan pengadilan mengenai tuduhan demikian yang dibacakan oleh sang pengacara, dan mulai mengajukan pertanyaan kepada sang pengacara. “Apakah artinya, saya bisa pidanakan orang-orang yang telah menuduh payudara saya yang tidak bersalah dan montok menggoda ini?

Tentu saja,” sahut sang pengacara menyibak rambut panjangnya ke belakang pundak bagai tayangan sebuah “slow motion” dengan latar belakang sinar matahari yang menyeruak masuk dari jendela kaca yang bersinar terang, dan entah bagaimana ceritanya bisa ada muncul manik-manik berkilauan yang berjatuhan dari langit-langit menyemarakkan suasana, membuat wajah sang pengacara bak peragawati sedang “shooting” film drama. Senyum penuh kepercayaan diri sang “DEVIL ADVOKAT” pun merekah, menampilkan sedikit bagian gigi taring mungilnya yang menggemaskan.

Luar biasa, penuh inspirasi. Tidak pernah terpikirkan oleh saya hal semacam ini. Kini saya benar-benar telah tercerahkan. Akan saya berikan mereka tiket tol jalan bebas hambatan menuju penjara. Anda adalah seorang pengacara dari neraka yang benar-benar handal, Miss Devil.”

Panggil saya Angel.”

Bukankah tadi nama Anda adalah Devil?

Saya seorang double agent.”

Betapa bahagianya saya hari ini mendpatkan kabar baik dari Miss Angel. Bolehkah jika saya ber-foto selfie dengan Miss Angel?

Tidak, kecuali BAYAR biaya tambahan untuk berfoto dengan saya. Oh ya hampir lupa, sebagai informasi tambahan, terpaksa saat pembuktian di persidangan nanti, Ibu Panik Takbisatenang perlu membiarkan hakim yang memeriksa dan memutus perkara untuk meraba, meremas, dan menyentuh-nyentuh payudara Ibu untuk membuktikan tuduhan tersebut benar atau tidaknya. Dijamin Ibu akan dimenangkan oleh hakim sebagai hadiahnya. Begitu pula saat melapor ke ‘Polisi gendut yang lebih preman daripada preman’, tidak terkecuali saat di Kejaksaan. Semoga Ibu Panik Takbisatenang dapat cukup bersabar, seperti kata pepatah : Bersakit-sakit dahulu, berakit-rakit kemudian. itulah yang disebut sebagai ‘social cost’ dibalik upaya hukum.”

Itu GILA!

Memang. Atau, serahkan saja kepada Hukum Karma? Pilihan ada di tangan Ibu sendiri. Atau, Ibu Panik Takbisatenang membuat sertifikasi bagi kedua payudara Ibu, sertifikat keaslian payudara milik Ibu, agar tak ada lagi orang yang meragukan ataupun menggosipkan yang tidak-tidak. ... Saya masih penasaran soal olahraga payudara yang tadi Ibu Panik Takbisatenang ceritakan. Bagaimana caranya, minyak dilatih olahraga, diremas-remas, digoyang-goyang, atau digoncang-goncang?”

DEVIL ADVOCATE — ANGEL ADVOCATE

TAMAT

Tapi mungkin juga “to Be Continue”...

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.