(DROP DOWN MENU)

PERMISI Bukanlah Mantra Sakti Alasan Pembenar ataupun Pemaaf untuk MELANGGAR

Permisi, Bolehkah Saya Melanggar? (Mentalitas Tukang Langgar)

Question: Apakah alasan seperti sudah minta “permisi”, maka itu diartikan sebagai boleh melanggar seenaknya?

Brief Answer: Kata “permisi”, bukanlah “alasan pembenar” juga bukan merupakan “alasan pemaaf” untuk melanggar apa yang sudah dilarang baik oleh peraturan perundang-undangan suatu negara maupun oleh norma otonom (autonomic legislation) semisal aturan milik tuan rumah atau aturan di dalam suatu organisasi. Dalam Bahasa Inggris, frasa “permisi” ialah “excuse me”, sementara itu disaat bersamaan Bahasa Inggris juga mengenal frasa penyeimbangnya bernama “no excuse”—dimana bahkan ada sebuah buku berjudul “No Excuses! : The Power of Self-Discipline” oleh seorang penulis bernama Brian Tracy.

Orang-orang yang kerap meminta pengecualian, menuntut diberi tolerir, atau minta diistimewakan, adalah orang-orang dengan tipikal tidak punya “disiplin diri”, terlebih memiliki budaya malu dan patuh terhadap hukum. Untuk menghormati tuan rumah, sebagai seorang tamu kita tidak dapat dibenarkan untuk melanggar aturan milik tuan rumah, alias bersikap patuh dengan menghargai aturan yang berlaku di tempat dimana kita bertamu—jika tidak suka, maka jangan bertamu.

Sebagaimana kata pepatah, dimana langit dijunjung (maka) disanalah bumi dipijak. Tidak ada tuan rumah yang merasa senang ketika aturan di rumahnya dilanggar secara seenaknya oleh pihak tamu yang bertamu, kecuali di mata orang-orang yang dangkal tingkat EQ-nya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, itulah cerminan “manner” dan “attitude” seseorang warga terhadap warga lainnya, etika bersosialisasi.

PEMBAHASAN:

Merupakan sikap yang kekanakan, ketika seseorang yang telah dewasa (namun mentalitasnya “kekanak-kanakan”), berdelusi bahwa dengan telah mengucap “Permisi, saya mau memetik buah di pohon pada pekarangan rumah Anda!”, dan tidak ada tanggapan ataupun sahutan apapun dari pihak pemilik rumah berupa persetujuan ataupun keberatan, maka yang bersangkutan merasa dibenarkan untuk mencuri buah-buahan milik orang lain yang tidak diberikan kepadanya. Sang “mental kerdil” berdalih, “Saya sudah meminta izin dengan berkata ‘permisi’, dan tidak ada jawaban berupa penolakan, maka itu sama artinya saya dibolehkan untuk mengambil.”

Hak untuk diam dan tidak menjawab, adalah hak tuan rumah—lebih tepatnya ialah, hak untuk tidak diusik ataupun diganggu, hak untuk beristirahat, dan hak untuk tidak diganggu propertinya. Bahkan, seorang tersangka sekalipun diberi haknya untuk tetap diam (the right to remain silent, Miranda Rule) ketika “diamankan” oleh pihak berwajib. Tuan rumah tidak perlu dan tidak punya kewajiban untuk direpotkan dengan menanggapi orang asing yang hanya mengganggu ketenangan hidup tuan rumah, juga tidak diharuskan secara hukum maupun secara moralitas untuk menjawab, “TIDAK BOLEH! KALAU KAMU TETAP MENGAMBIL, ITU ARTINYA MENCURI!” Tiada tuan rumah yang akan merasa senang ketika buah-buahan miliknya diambil suatu pihak tanpa seizin dari pemiliknya.

Mengambil apa yang tidak diberikan, merupakan norma moralitas yang paling mendasar, sekalipun itu berupa aturan tidak tertulis, alias norma sosial dan norma moral. Terlebih-lebih bila berupa larangan yang sifatnya eksplisit alias tersurat dalam bentuk pasal-pasal peraturan perundang-undangan ataupun norma otonom “syarat dan ketentuan” layanan suatu penyedia jasa atau barang, maka kata “permisi” bukanlah alasan pembenar ataupun alasan pemaaf untuk disalah-gunakan dalam rangka melanggar berbagai larangan tertulis maupun larang tidak tertulis demikian. Singkatnya, tidak lagi perlu ditanyakan terhadap apa yang telah tegas-tegas dilarang dan terlarang. Kita bahkan, dapat menilai watak seseorang dari tabiatnya yang gemar “menyelundupkan” dan “menyalah-gunakan” kata “permisi” lewat akrobatik kata dan kalimat—tabiat “pembangkang” yang kerap merongrong ketenangan hidup warga lainnya.

Beberapa tahun lampau, penulis pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan berupa “belum apa-apa sudah didikte oleh penyalahgunaan kata ‘permisi’”, suatu cerminan itikad buruk yang sangat tidak etis, tidak bertanggung-jawab, tidak bermoral, serta tercela, oleh seorang pengacara “tukang langgar” hukum bernama Naga suyanto—pengacara spesialis manipulasi bergelar “Sarjana (Tukang Langgar) Hukum”. Sekalipun “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” mengetahui bahwa penulis berprofesi dan mencari nafkah dari menjual jasa konseling ilmu pengetahuan seputar hukum dan pengguna jasa membayar tarif jasa sebagai kompensasinya—sekalipun juga Undang-Undang Dasar / Konstitusi RI telah tegas menyatakan bahwa memungut imbalan adalah hak asasi manusia—“sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” mengirim pesan dengan kalimat tidak etis yang ditujukan kepada kalangan yang profesi utamanya adalah Konsultan Hukum, “Saya mau belajar dari Anda.”

Belajar? Modus tendensi hendak “memperkosa” profesi pihak kompetitor dengan akrobatik kata “belajar”, adalah bentuk nyata itikad tidak baik “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” yang tidak dapat penulis tolerir, mengingat nafkah adalah urusan hidup dan mati kalangan penyedia jasa. Silahkan Anda cari babysitter untuk menggantikan “pokok bau” milik “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto”. Berbagai publikasi ilmiah hukum dalam website ini, dibangun penulis dengan pengorbanan tidak terhitung lagi dari segi energi, waktu, biaya—namun alih-alih berterimakasih, justru membalas budi baik penulis dengan sikap “merongrong”.

Tidak cukup sampai disitu, belum apa-apa “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” sudah melanggar “term and condition” pemesanan buku digital yang penulis tulis serta terbitkan dan pasarkan, bahwa buku digital yang dibeli pembeli tidak boleh untuk peruntukkan perpustakaan. Namun, “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” mendalilkan, “Saya sudah bilang permisi!” Tidak pernah penulis berikan izin, bahkan sudah dilarang dalam “syarat dan ketentuan pemesanan”, sehingga apakah masih butuh dan apakah masih dapat dibenarkan mengucap kata “Permisi, bolehkah saya melanggar?”—Itu adalah cerminan watak khas “tukang langgar”, sudah tegas dilarang, masih juga melanggar.

Jangan bersikap seolah-olah tidak punya mata untuk membaca larangan “tersurat” demikian, sikap mana sejatinya mempertontonkan sikap tidak hormat terhadap lawan bicara ataupun tuan rumah. Ibarat terhadap Peraturan Daerah tentang larangan membuang sampah sembarangan, “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” hendak membuang sampah sembarangan dengan menyalah-gunakan kata “permisi”. “Permisi, saya mau buang sampah sembarangan. Tidak ada yang protes, artinya saya boleh buang sampah sembarangan tanpa resiko ataupun hukuman apapun.”—itulah tepatnya yang disebut sebagai “justifikasi diri”, pembenaran diri, tidak lain tidak bukan ialah sikap “kekanakan” yang sangat membuat risih lawan bicara.

Ibarat “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” berjumpa gadis cantik di tengah jalan, dirinya merasa memiliki legitimasi untuk melakukan pelecehan seksuil terhadap setiap gadis yang dijumpai olehnya, semudah dan segampang menyalah-gunakan kata “permisi”. “Permisi gadis manis, bolehkah saya memperkosa Anda?” Sang gadis tidak menjawab, sekadar memberi tatapan sinis. Itu adalah pertanyaan yang tidak perlu ditanyakan, dan jawaban yang tidak perlu dijawab, karena sudah sangat jelas jawabannya. Ada pertanyaan “bodoh”, juga ada yang pertanyaan yang “menjijikkan”. Namun sikap diam sang gadis dimaknai sebagai persetujuan dan kebolehan oleh “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto”, yang seketika itu juga melakukan pemerkosaan terhadap sang gadis.

Sang gadis meronta dan melawan, lalu melapor kepada pihak berwajib. Lantas, “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto” dipanggil untuk menghadap penyidik, dan berkelit dengan dalih klise yang sama, “Saya sudah bilang ‘permisi’, artinya boleh memperkosa gadis yang menjadi pelapor.” Gadis mana, yang senang diperkosa? Hanya orang-orang dengan mental dan moral yang rusak, yang mempunyai ide “brilian” semacam “sang pengacara tukang langgar bernama Naga suyanto”, yang berasumsi dan berdelusi bahwa kata “permisi” merupakan mantra sakti untuk melanggar dan merugikan pihak lainnya.

Ibarat seorang pencuri, hendak mencuri harta milik tuan rumah, melakukan kebohongan moralitas (menipu diri sendiri) dengan berkata, “Sebelum mencuri dan masuk ke dalam rumah korban, saya sudah bilang permisi dahulu (dengan nada seperti hendak bersiul), namun tidak ada jawaban, sehingga artinya saya boleh masuk dan mengambil barang apapun yang saya inginkan dan sukai, bukanlah dosa dan tidak tercela.” Atau ketika seorang koruptor hendak melakukan aksi korupsi, membuat kebohongan moralitas dengan semudah dan segampang berkata, “Sebelum korupsi, saya sudah minta izin untuk korupsi dengan berkata ‘permisi’ (namun di dalam hati, dan kepada Tuhan yang memberi izin dengan lancarnya aksi korupsi dilakukan).” Orang-orang bermotal, tahu malu. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bermoral, tidak tahu malu dan tidak takut akan konsekuensi yuridis maupun konsekuensi karma dibalik sikap buruknya.

Si dungu tersebut akibat EQ yang “tiarap”, berdelusi (akibat keserakahan) bahwa orang lain akan senang dirugikan, disakiti, ataupun dilukai, ketika si dungu mengucap kata “permisi” sebelum merugikan, menyakiti, maupun melukai orang lain—itu namanya cerminan sikap tidak “respek” terhadap lawan bicara. Sikap hormat terhadap orang lain, ditandai dengan sikap menghargai harkat dan martabat lawan bicara. Itu menjadi prinsip paling mendasar hidup sebagai bagian dari bangsa beradab dan sebagai makhluk sosial. Orang-orang yang “tahu malu” dan masih “punya malu”, dicerminkan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

246. Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong, mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,

247. juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di dunia ini.

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

257. Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.

258. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

259. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma, melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang dhamma’.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

262. Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,

263. melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan, mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut ‘budiman’.

264. Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin, bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’. Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan loba sebagai petapa.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

308. Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi penduduk.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

331. Ketika timbul suatu pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.

331. Ketika timbul suatu pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.

407. Nafsu ragawi, kebencian, pembandingan diri, dan pelecehan orang telah seseorang tanggalkan, laksana biji sawi yang jatuh dari ujung jarum. Aku menyebutnya ‘brâhmana’.

408. Ia yang bertutur kata tidak kasar, jelas, benar, dan tidak mengundang kemarahan siapa pun itu Aku sebut ‘brâhmana’.

409. Ia yang di dunia ini tidak mengambil barang yang tidak diberikan, baik yang panjang ataupun pendek, yang kecil ataupun besar, yang indah ataupun jelek itu Aku sebut ‘brâhmana’.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.