(DROP DOWN MENU)

Tidak ada Penjahat yang Mengaku Memiliki Niat Jahat, dan Tidak ada Penipu yang Mengaku Hendak Menipu, justru selalu Sebaliknya

Kejujuran adalah Barang Langka, adalah Tuntutan yang Berlebihan Meminta Orang Lain untuk Berbaik Sangka kepada setiap Orang Asing

Terdapat seorang tokoh, yang mengemukakan bahwa jika kita memiliki sebuah kendaraan bermotor dan hendak memperbaikinya di bengkel reparasi, sekalipun itu bengkel langganan, kita sebagai pemilik kendaraan sebaiknya sedikit-banyak mengetahui hal-hal terkait kendaraan bermotor milik kita, agar tidak mudah dibodohi serta diperdaya oleh pihak montir ataupun pihak bengkel. Apakah itu artinya, sang tokoh telah melakukan “stigma negatif” kepada semua bengkel dan semua profesi montir? Justru, kita memaklumi nasehat demikian, dan mengakuinya sebagai nasehat yang bijak, agar kita selaku pengguna jasa dan pembayar tarif jasa service kendaraan menjadi lebih waspada dan mampu menjaga diri dengan baik dari segala jenis modus tipu-daya dan ketidakjujuran yang terselubung.

Menjadi tidak etis, ketika yang mencoba melarang “stigma negatif” kepada masyarakat pengguna jasa, justru ialah kalangan profesi montir itu sendiri—tentulah itu adalah larangan yang tidak patut, mengingat sifatnya “conflict of interest” dengan kepentingan profesinya sendiri selaku montir. Ber-“negative thinking”, adalah hak asasi setiap warga, tiada siapapun yang berhak melarang warga lainnya untuk menjaga diri baik-baik dengan memakai haknya untuk “negative thinking”. Seperti kata anekdot, “isi hati orang, siapa yang tahu?” Kenal puluhan tahun dengan teman dekat sekalipun, tidak menjamin kita mengetahui isi hati dan wajah asli yang bersangkutan. Manusia ialah makhluk “persona” (“persona” artinya “topeng”), dimana langka dapat kita jumpai manusia yang “otentik”.

Sang montir hanya bisa membuktikan bahwa dirinya adalah montir maupun pihak pemilik bengkel yang berintegritas, lewat bukti konkret bekerja dengan etika bisnis dan etika profesi yang konsisten—namun, sang montir maupun pihak pemilik bengkel tidak berhak untuk melarang siapapun, terlebih calon konsumen barunya, untuk ber-“negative thinking” terhadap diri mereka, terlebih bagi kalangan pemilik kendaraan yang telah pernah memiliki banyak pengalaman buruk memakai jasa montir maupun bengkel yang tidak jujur dan tidak bertanggung-jawab terhadap konsumennya.

Tidaklah dapat dibenarkan bila suatu kalangan profesi “belum apa-apa sudah menuntut dipercaya” oleh calon pengguna barang / jasa. Terlagipula, kembali pada contoh ilustrasi di atas, pemilik kendaraan mendatangi montir atau bengkel dimaksud untuk reparasi kendaraannya, sejatinya sudah merupakan sebentuk “positive thinking” itu sendiri, sehingga tidaklah para proporsinya bila sang montir atau pemilik bengkel menuntut secara berlebihan. Yang disebut dengan “negative thinking” sepenuhnya ialah, ketika sang pemilik kendaraan tidak pernah lagi mau menghubungi ataupun berhubungan dengan bengkel maupun montir manapun.

Terdapat seorang agen properti yang bersikap arogan, mewajibkan penulis selaku calon pembeli properti yang ia pasarkan dan tawarkan lewat iklan di internet, untuk ber-“positive thinking” terhadap profesi dirinya maupun SELURUH profesi agen properti, dan melarang penulis untuk sekadar memakai hak menjaga diri dan berwaspada diri dengan ber-“negative thinking”, semata karena adanya “conflict on interest” terhadap kepentingan sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti” yang baru akan mendapatkan komisi jual-beli bila ada yang membeli properti yang ia pasarkan, dimana bila terdapat masalah dikemudian hari, maka konsumen yang akan menderita kerugian ratusan juta hingga miliaran Rupiah dimana penjual yang akan dituntut oleh pembeli dan sang agen semata “meminta maaf”, tetap saja menikmati komisi, lalu “hit and run”.

Sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti” menuntut penulis untuk “survei kucing dalam karung”, dengan tidak mau menjawab pertanyaan penulis seperti apakah objek properti yang dipasarkan pihak developer telah dibangun, uang tanda jadi dan jual-beli apakah dibayar langsung kepada pemilik tanah, tanda-tangan akta jual-beli antara pembeli dan pihak siapa (dijawab “bukan dengan saya-lah, tapi dengan notaris”, sekalipun dirinya pastilah mengetahui bahwa banyak kasus sengketa produk properti, telah ternyata pemilik tanah dan pihak developer yang membangun dan memasarkan produk properti adalah dua pihak yang berbeda), dalam tawaran ia menyatakan “uang tanda jadi” tidak dapat dikembalikan namun dalam komunikasi via telepon ia menyatakan “uang tanda jadi” dapat dikembalikan kepada konsumen yang tidak jadi membeli, dan segala arogansi lainnya, tanpa mau menyadari ataupun menaruh hormat dan menghargai terhadap kecemasan ataupun kekhawatiran calon pembeli terkait uang jual-beli yang tidak menyerupai harga jual-beli kacang goreng maupun jual-beli bahan bangunan, namun jual-beli produk properti senilai ratusan juta hingga miliaran Rupiah hasil jirih-payah bekerja banting-tulang mencari nafkah serta mengumpulkannya selama puluhan tahun.

Terlebih, kita hidup ditengah-tengah bangsa yang moralitasnya amat sangat sakit serta rusak, dimana berbuat dosa maupun maksiat seolah bukan hal tabu serta dapat dikompromikan—sementara itu terhadap kaum “NON” bersikap intoleran dan radikal—lewat dogma “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”, seolah-olah “rugi bila tidak berbuat dosa” agar iming-iming “too good to be true” tersebut tidak mubazir, sekalipun kita ketahui, bahwa hanyalah seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan / penghapusan dosa. Perhatikanlah, bagaimana mungkin kita hidup berbaik sangka berdampingan dengan para kalangan pendosa berikut:

“Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

“Kabar baik” bagi pendosa yang tidak takut berbuat dosa, adalah “kabar buruk” bagi korban. “Kabar baik berupa penghapusan dosa” bagi pelaku usaha nakal, kerupakan “kabar buruk” bagi konsumen pengguna jasa maupun barang. Jadilah, umat manusia yang memeluk ideologi korup semacam penghapusan / pengampunan dosa demikian, alih-alih “humanis”, justru menjelma “premanis”, “hewanis”, “predatoris”, dan “setanis”—penulis menyebutnya sebagai “Agama DOSA”, semata karena mempromosikan dan meng-kampanyekan ajaran yang memandang remeh bahaya dibalik dosa bagi pelaku maupun menyepelekan dampak dari kejahatan terhadap para korban sekaligus menyepelekan perasaan korban.

Dahulu kala, sebelum “agama samawi” lahir, tiada penjahat maupun kriminil ataupun kalangan penipu yang yakin akan masuk alam surgawi setelah ajal tiba menjemputnya. Kini, iming-iming ideologi korup yang “too good to be true” justru membuat para pendosa berbondong-bondong dan berlomba-lomba memproduksi dosa secara demikian produktif. Alam surgawi pun menyerupai tong sampah bagi para pendosa, bangga mengoleksi segudang dosa alih-alih merasa takut ataupun malu. Itu bertolak-belakang dengan “Agama KSATRIA”, yang mengajarkan pada para umatnya sekalipun telah pernah atau bisa jadi akan berbuat keliru dan salah, alih-alih melarikan diri, para ksatria akan memilih untuk bertanggung-jawab terhadap para korbannya.

Sebaliknya, para umat “Agama DOSA”, setiap hari beribadah setiap harinya pula berdoa memohon penghapusan dosa, tiap hari raya pun mengumbar serta mengobral iming-iming “janji surgawi” pengampunan dosa, bahkan ketika sanak-keluarganya meninggal dunia pun tetap mengumbar doa penghapusan dosa bagi almarhum. Lantas, bagaimana dengan nasib para korban dari para “pendosa penjilat penuh dosa” tersebut? Mengapa “agama samawi” justru miskin keadilan bagi kalangan korban, seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap “pendosa penjilat penuh dosa”?

Sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti” justru memaksa, memanipulasi, serta menuntut penulis untuk berbaik sangka terhadap semua “manusia predator tidak takut dosa” (homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya) tersebut? Sang “agen arogan bernama Puput Fudrianti” sendiri merupakan umat pengikut “agama hapus dosa” (pemakai jilbab), yang tentunya menu ibadah sehari-harinya ialah memohon penghapusan dosa, dosa akibat merugikan warga lain tentunya. Bagaimana mungkin, yang bersangkutan mengharap dan menuntut agar orang lain berbaik sangka terhadap sang “pendosa penjilat penuh dosa”? Ingat, hanya pendosa yang butuh penghapusan / pengampunan dosa.

Ini adalah negara hukum, bukan negara “berbaik sangka”, seolah-olah dunia ini kekurangan penipu, dan seolah-olah berbagai penjara kita di Indonesia selalu sepi oleh penghuni dimana fakta selalu berakta sebaliknya, sepanjang tahun “over capacity” para narapidana. JIka “berbaik sangka” adalah kewajiban asasi, maka tidak perlu para pengusaha bersepakat dengan tanda-tangan kontrak “hitam diatas putih”, tidak perlu juga calon pembeli diwajibkan membayar uang tanda jadi—artinya “agen arogan bernama Puput Fudrianti” telah ber-melakukan standar ganda dengan ber-“negative thinking” terhadap setiap calon pembeli dengan mewajibkan mereka membayar uang tanda-jadi atau uang DP (down payment) bila hendak membeli dan memesan.

Berbekal “negative thinking”, akhirnya terkuak modus kejahatan dibalik topeng “malaikat”—semua penipu selalu berkedok sebagai “malaikat” yang baik hati. Sejak bulan Juli 2022 tagar #JanganPercayaACT trending di Twitter setelah seorang netizen mengunggah cuitan mengenai pemberitaan majalah Tempo yang mengungkap dugaan penyelewengan di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT, merupakan organisasi “nirlaba” yang bergerak dibidang sosial-kemanusiaan dan kebencanaan, didirikan tahun 2005.

Mengenai uang, kita harus berhati-hati, bahkan sekalipun itu untuk tujuan berdana / berdonasi, sebagaimana pemberitaan tertangga 4 Juli 2022 dengan tajuk “Waduh! Lembaga ACT Aksi Cepat Tanggap Jadi Aksi Cepat Tilep, Diduga Alirkan Dana Donasi ke Teroris dan Perkaya Para Petingginya”, sumber https:// www. tvonenews .com /berita/nasional/51430-waduh-lembaga-act-aksi-cepat-tanggap-jadi-aksi-cepat-tilep-diduga-alirkan-dana-donasi-ke-teroris-dan-perkaya-para-petingginya, netizen pun berburuk sangka:

Melalui akun Twitter @ayang_utriza, seorang netizen membagikan cuitan yang mendesak Polri, Kemenkumham dan Kemendagri untuk segera bertindak dengan tegas terkait penyelewengan dana donasi yang dilakukan Lembaga ACT.

Bukan hanya calon pembeli produk properti yang harus bersikap cerdas, menjadi donatur pun harus pula cerdas. Dalam berita bertajuk “4 Pengurus Yayasan ACT Ditetapkan Tersangka Kasus Penggelapan Donasi CSR: Gajinya Ratusan Juta”, sumber : https:// sumsel.suara .com /read/2022/07/26/082145/4-pengurus-yayasan-act-ditetapkan-tersangka-kasus-penggelapan-donasi-csr-gajinya-ratusan-juta, diakses tanggal 04 Agustus 2022, diberitakan:

Bareskrim Polri menetapkan empat pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai tersangka tindak pidana dugaan penggelapan dana donasi umat dan dana CSR Boeing untuk ahli waris korban kecelakaan Pesawat Lion Air JT-610.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Wadireksus) Bareskrim Polri Kombes Pol. Helfi Assegaf menjelaskan total dana yang diterima ACT dari Boeing kurang lebih Rp138 miliar kemudian digunakan untuk program yang telah dibuat kurang lebih Rp103 miliar, sisanya Rp34 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya.

“Yang digunakan tidak sesuai peruntukannya adalah pengadaan armada truk, kurang lebih Rp2 miliar, program 'big food bus' Rp2,8 miliar, pembangunan Pesantren Peradaban Tasikmalaya Rp8,7 miliar,” kata Helfie.

Peruntukan lainnya yang tidak sesuai, yakni untuk Koperasi Syariah 212 kurang lebih Rp10 miliar, dana talangan CV CUN Rp3 miliar, dan dana talangan PT MBGS Rp7,8 miliar sehingga totalnya Rp 34,6 miliar (pembulatan dari Rp34.573.069.200).

Selain itu, kata Helfie, para pengurus menyalahgunakan dana Boeing untuk gaji para pengurus.

Helfie mengatakan saat ini penyidik masih berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPAT) untuk selanjutnya melakukan pelacakan aset atas dana-dana yang diselewengkan pengurus.

Keempat pengurus ACT yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Ahyudin saat tindak pidana terjadi menjabat sebagai Pendiri, Ketua Pengurus / Presiden Yayasan ACT Periode 2005-2019, kemudian sebagai Ketua Pembina Tahun 2019- 2022.

Tersangka kedua, Ibnu Khajar sebagai Ketua Pengurus Yayasan ACT 2019 hingga saat ini. Hariyana Hermain sebagai Pengawas yayasan ACT Tahun 2019, kemudian sebagai Anggota Pembina 2020 sampai saat ini, dan Novariadi Imam Akbari sebagai Anggota Pembina Yayasan ACT Tahun 2019 - 2021, kemudian sebagai Ketua Pembina Periode Januari 2022 - saat ini.

Selain dana CSR Boeing, pengurus melakukan pemotongan donasi dana umat yang dikelolanya sebesar 20 sampai 23 persen. Nilai ini menyalahi aturan Kementerian Sosial yang mengatur besaran potongan sebagai lembaga pengumpul uang dan barang sebesar 10 persen.

Besaran gaji yang diterima pengurus ACT untuk Ahyudin sebesar Rp400 juta, Ibnu Khajar Rp150 juta, Hariyana Hermain Rp50 juta, dan Novariadi Rp100 juta.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan menyebutkan keempat tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yakni pasal tindak pidana dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan tindak pidana informasi dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau tindak pidana pencucian uang sebagai mana dimaksud dalam pertama dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal 374 KUHP dan Pasal 45 a ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Para tersangka juga dijerat Pasal 170 juncto Pasal Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 3,4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.

“Ancaman penjara untuk TPPU 20 tahun dan penggelapan 4 tahun,” kata Ramadhan.

Berita senada dilansir Media Indonesia dalam https:// mediaindonesia .com /opini/505510/act-penyelewengan-donasi-dan-terorisme, diakses tanggal 04 Agustus 2022, mengungkapkan:

Aksi Cepat Tanggap atau lebih dikenal dengan ACT tengah menjadi sorotan. Bermula dari Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022 mengambil tema kantong bocor dana umat, lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap limbung karena dugaan penyelewengan.

Pendiri dan pengelolanya ditengarai memakai donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi. Sontak, laporan tersebut menjadi topik banyak dibicarakan di media sosial. Dari situ, muncul tagar #janganpercayaACT yang perbincangannya lantas terus bergulir di linimasa.

Ketidakpercayaan bisa akan membesar dan tergeneralisasi terhadap lembaga lainnya. Yang mungkin pada puncaknya akan menggiring masyarakat tidak lagi percaya kepada lembaga pengumpul donasi dan kemanusiaan.

Padahal orang Indonesia yang pemurah mendapat pengakuan pula dari World Giving Index (WGI). Laporan WGI pada 2021 yang dirilis oleh Charities Aid Foundation menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Dari hasil penelitian, 8 dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada 2021.

Dalam laporan Tempo, diduga saat Ahyudin menjadi petinggi ACT memperoleh gaji sebesar Rp250 juta setiap bulan, sementara posisi di bawahnya seperti Senior Vice President digaji Rp200 juta per bulan, Vice President Rp80 juta, dan Direktur Eksekutif Rp50 juta.

Ahyudin saat menjabat sebagai petinggi difasilitasi tiga kendaraan mewah, seperti Toyota Alphard, Misubishi Pajero Sport, dan Honda CR-V. Majalah Tempo juga menemukan dugaan dana ACT yang digunakan untuk kepentingan pribadi Ahyudin berupa keperluan rumah.

Pusat Analisis dari Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkuat dugaan penyelewengan di tubuh ACT. Ketua PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan pihak sudah menganalisa aliran dana dari ACT. PPATK mengungkap terjadi perputaran dana atau keluar masuk uang sekitar Rp1 triliun setiap tahun di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

PPATK menduga bahwa pengalangan dana yang dilakukan ACT tidak secara langsung disalurkan melainkan dikelola dulu di dalam bisnis tertentu. Dan di situ tentunya ada revenue ada keuntungan. Bahkan PPATK menemukan dana ke sebuah perusahaan yang diduga dimiliki langsung salah satu pendiri ACT.

Bahkan diungkap Ivan, ditemukan transaksi yang masif. Salah satu temuan PPATK, terdapat transaksi ke salah satu perusahaan sekitar Rp30 miliar yang diduga dimiliki salah satu pendiri ACT.

Sangat wajar, ketika publik menduga bahwa ACT mengelola donasi dari masyarakat tidak semata untuk kepentingan kemanusiaan. Apalagi laporan-laporan PPATK ada yang terkait dengan tindak pidana terorisme. Aksi terorisme tentu jauh dari kategori kegiatan kemanusiaan.

Selama ini mendengar pejabat korupsi, kita sudah risih. Ini uang umat yang diselewengkan. ACT sendiri tidak membantah gaji selangit para petingginya. Bahkan, gaji tinggi dianggap layak karena ACT sudah level internasional.

Terkait dugaan penyalahgunaan, Presiden ACT Ibnu Khajar mengklaim laporan keuangan lembaga amalnya selalu mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor. Ibnu mengaku, ACT disiplin melakukan audit keuangan sejak 2005. Audit tersebut, kata dia, dilakukan setiap tahunnya sampai 2020.

Untuk itulah, perlu pemerintah untuk turun tangan untuk membenahi polemik penyalahgunaan di tubuh lembaga amal dan donasi. Kementerian Sosial telah mencabut izin ACT terkait kegiatan pengumpulan uang dan barang. Ini menegaskan bahwa memang ada persoalan di tubuh ACT. Upaya luar biasa PPATK juga telah memblokir ratusan rekening milik ACT untuk sementara di 33 jasa penyedia keuangan karena dugaan penyalahgunaan dana itu.

Namun hal itu jelas belum cukup. Perlu upaya luar biasa. Karena audit saja ternyata dinilai tidak bisa mendeteksi penyelewengan jika berkaca pada ACT yang setiap tahun laporan keuangannya selalu WTP. Kalau memang ada unsur pidana, baik itu terkait dengan penyelewenangan dana maupun dugaan pidana terorisme, perlu rasanya pembuktian hingga ke meja hijau.

Karena contoh penggunaan dana amal untuk terorisme pernah terjadi di negeri ini. Untuk membuat terang benderang, tentu kasus ini harus diusut tuntas. Tidak hanya ACT, kalau memungkinkan semua lembaga sosial-kemanusiaan diaudit. Apalagi ACT juga mengaku selalu bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya.

Bikin regulasi yang mampu membuat dana-dana umat tersebut digunakan digunakan semaksimal-maksimalnya untuk kepentingan yang memerlukan. Jika dibiarkan semakin berlarut-larut, spekulasi masyarakat juga semakin berkembang. Hal ini bisa memengaruhi minat masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan.

Simak juga berita berjudul “Dana ACT Disebut-sebut Ngalir ke Jaringan Terorisme, Ini Kesaksian Eks Teroris Pendiri Negara Islam Indonesia”, 6 Juli 2022, sumber : Pojoksatu. Id, diakses tanggal 04 Agustus 2022, diungkapkan pula:

Tokoh atau pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Ken Setiawan memberikan kesaksian terkait dana Aksi Cepat Tanggap (ACT ) disebut-sebut mengalir ke jaringan terorisme.

Mantan teroris itu mengatakan jika dana ACT mengalir ke jaringan terorisme, maka hal tersebut merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh petinggi ACT.

Ini tindakan kejahatan atas nama manusia dan agama, dana donasi untuk mendukung kegiatan teroris,” kata Ken dihubungi Pojoksatu.id mengomentari aliran dana ACT mengalir ke terorisme ini, Rabu (6/7/2022).

Ken menilai, penyelewengan donasi dari masyarakat yang disalurkan oleh donatur kepada ACT kejahatan luar biasa.

Bahkan, Ken menyebutkan, bahwa apa yang dilakukan petinggi ACT menyelewengkan dana sama halnya meninstakan agama. Pasalnya, petinggi ACT melakukan hal tersebut atas nama kemanusiaan dan agama.

“Penyelewengan ACT Adalah penistaan agama yang sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang ACT,” tutur pendiri Negara Islam Indonesia (NII) ini.

Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi dana Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diduga mengarah ke jaringan teroris Al Qaeda.

Dugaan ini disimpulkan PPTAK setelah mengkaji data ACT dan menemukan nama 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena diduga terkait dengan Al Qaeda.

“Berdasarkan hasil koordinasi dan hasil kajian dari database yang PPATK miliki itu ada yang terkait dengan pihak, ini masih diduga ya, terkait Al Qaeda,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Untuk memastikannya, Ivan mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji lebih dalam terkait dengan aliran dana yang digalang ACT tersebut.

Lebih lanjut, selain aliran dana yang mengarah ke orang-orang yang diduga terlibat jaringan teroris, PPATK juga menemukan beberapa transaksi dilakukan per individu oleh petinggi dari ACT ke beberapa negara seperti Turki, Bosnia, Albania, dan India.

“Jadi beberapa transaksi dilakukan secara individual oleh para pengurus,” ucapnya.

“Kemudian ada juga salah satu karyawan yang melakukan transaksi selama periode 2 tahun ke negara-negara berisiko tinggi terkait terorisme,” sambung Ivan soal dana ACT disebut mengalir ke jaringan terorisme ini.

Apakah pengajalan belum cukup mengajarkan kita untuk baik-baik menjaga diri dan waspada terhadap sesama manusia, terlebih terhadap orang asing, terkait uang, terlebih-lebih uang senilai ratusan juta hingga miliaran Rupiah? Simak berita bertajuk “Kasus Penyelewengan Dana ACT, Mahfud MD Merasa Tertipu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merasa tertipu dengan ulah Aksi Cepat Tanggap ketika lembaga tersebut dilaporkan telah menyelewengkan donasi masyarakat”, https:// kabar24.bisnis .com /read/20220705/15/1551729/kasus-penyelewengan-dana-act-mahfud-md-merasa-tertipu, diakses tanggal 04 Agustus 2022, telah ternyata:

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta Kepolisian dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) segera mengusut dugaan penyelewengan dana masyarakat yang dilakukan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Lebih lanjut, ia pun merasa tertipu dengan ACT yang sempat dianggapnya sebagai organisasi yang aktif menghimpun dana untuk kepentingan kemanusiaan.

Mahfud MD menulis dalam akun Twitternya @mohmahfudmd, Selasa (5/7/2022), bahwa dirinya pernah memberikan endorsement kepada ACT pada 2016/2017.

“Pd 2016/2017 sy prnh memberi endorsement pd kegiatan ACT krn alasan pengabdian bg kemanusiaan di Palestina, korban ISIS di Syria, dan bencana alam di Papua. Tp jika ternyata dana2 yg dihimpun itu diselewengkan maka ACT bkn hny hrs dikutuk tp juga hrs diproses sr hukum pidana,” tulisnya.

Saat meminta endorsement, ia menceritakan, pihak ACT tiba-tiba datang ke kantornya dan menodongnya untuk memberikan sepatah dua kata untuk lembaga tersebut. Tak hanya itu saja, endorsement juga pernah ia berikan ketika pihak ACT menemuinya ketika dirinya baru selesai memberi khotbah Jum'at di sebuah masjid di Sumatra.

Sebelumnya, ACT menjadi perbincangan karena kasus penyelewengan dana umat yang terbongkar oleh majalah Tempo. Dengan adanya dugaan tersebut Bareskrim Polri mengatakan tahapan untuk kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) terkait masalah penyelewengan dana umat baru masuk tahap penyelidikan.

Tempo juga memuat soal gaji petinggi ACT yang mencapai Rp250 juta hingga deretan fasilitas mobil mewah. Bahkan ada dugaan dana umat tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi pendiri dan pemilik ACT. Selain itu, PPATK menemukan dugaan aliran dana mencurigakan ACT.

Lembaga kemanusiaan ini ramai jadi perbincangan lantaran diduga menyelewengkan dana umat. Banyak muncul tagar #AksiCepatTilap hingga #JanganPercayaACT.

"Iya ada (transaksi mencurigakan) bahkan sudah ada Hasil Analisisnya juga sejak lama," kata Ivan saat dihubungi, Selasa (5/7/2022).

Ivan mengungkapkan terdapat dugaan aktivitas terlarang yang mengarah kepada aksi terorisme. “Transaksi mengindikasikan demikian (terorisme) namun perlu pendalaman oleh penegak hukum terkait,” ujarnya.