Ask for mercy first,
Then stealing.
The paradigm of deception is as dangerous as self-justification.
Convicted first, then we can say: "repentance", will not repeat
it again.
Instead of repentance to ask for release from punishment.
Like someone who passes the ritual,
Each year always rely on a culture of forgiveness of sins,
The same means being justified for doing new bad deeds,
In hopes of returning to the ritual of abolition of sin in the coming year.
Like when we borrow money from the bank,
Recognizing that we borrow and owe,
Even delinquent,
Did not make the fact that the debt was abolished.
Debt must still be paid and can be billed by a creditor to us who is a
debtor.
Despite the imminent death,
The debt is still carried by us to the afterlife.
It's not asking for forgiveness,
If we continue to do the same bad deeds,
Continuous with bad habits of stealing,
Wrinkle with deceptive hobbies,
Often and still manipulating other humans,
Fond and stick with environmental destructive activity,
And various other forms of defilement.
Which can truly be called a repentance,
Or really regretted wrongdoing,
It is when we seriously strive to practice self-control exercises,
When we really erode our own defilements,
Not exactly busy relying on the remission of sins.
Like when we hope to delete history records.
As much as we avoid,
Dodged,
Deny,
Or ask for forgiveness,
Historical records remain historical records.
Once created,
Forever recorded,
Without ever deleted.
Thus we need to instill a knight's attitude to each of our behaviors.
©
HERY SHIETRA Copyright.
Minta ampun terlebih dahulu,
Baru mencuri.
Paradigma mengecoh yang sama
berbahayanya dengan pembenaran diri.
Dihukum terlebih dahulu, barulah
kita dapat berkata: “tobat”, tak akan mengulanginya lagi.
Bukannya tobat untuk minta
dibebaskan dari hukuman.
Ibarat seseorang yang lewat
ritual,
Setiap tahunnya selalu
mengandalkan budaya pengampunan dosa,
Yang sama artinya menjadi
justifikasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk baru,
Dengan harapan dapat kembali
melakukan ritual penghapusan dosa di tahun yang akan datang.
Bagaikan ketika kita meminjam
uang dari bank,
Mengakui bahwa kita meminjam
dan berhutang, bahkan menunggak,
Tidak membuat kenyataan bahwa
hutang itu menjadi hapus.
Hutang tetap harus dibayar
dan dapat ditagih oleh seorang kreditor terhadap diri kita yang merupakan
debitor.
Sekalipun ajal menjelang,
Hutang itu tetap terbawa oleh
kita hingga ke alam baka.
Bukanlah meminta ampun,
Bila kita terus menerus
melakukan perbuatan buruk yang sama,
Terus menerus dengan
kebiasaan buruk mencuri,
Bergelut dengan hobi menipu,
Kerap dan masih tetap
memanipulasi manusia lain,
Gemar dan tetap dengan
aktivitas merusak lingkungan,
Dan berbagai bentuk kekotoran
batin lainnya.
Yang betul-betul dapat
disebut sebagai tobat,
Atau benar-benar menyesali
perbuatan keliru,
Adalah ketika kita bersungguh-sungguh
berjuang untuk melakukan praktik latihan pengendalian diri,
Ketika kita sungguh-sungguh mengikis
kekotoran batin kita sendiri,
Bukan justru sibuk
mengandalkan pengampunan dosa.
Bagaikan ketika kita berharap
untuk menghapus catatan sejarah.
Sebanyak apapun kita
menghindar,
Berkelit,
Memungkiri,
Ataupun meminta ampun,
Catatan sejarah tetaplah
catatan sejarah.
Sekali dibuat,
Selamanya tercatat,
Tanpa pernah terhapuskan.
Demikianlah kita perlu
menanamkan sikap ksatria atas setiap perilaku diri kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.