JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ask for Mercy First, then Stealing

Ask for mercy first,
Then stealing.
The paradigm of deception is as dangerous as self-justification.
Convicted first, then we can say: "repentance", will not repeat it again.
Instead of repentance to ask for release from punishment.
Like someone who passes the ritual,
Each year always rely on a culture of forgiveness of sins,
The same means being justified for doing new bad deeds,
In hopes of returning to the ritual of abolition of sin in the coming year.
Like when we borrow money from the bank,
Recognizing that we borrow and owe,
Even delinquent,
Did not make the fact that the debt was abolished.
Debt must still be paid and can be billed by a creditor to us who is a debtor.
Despite the imminent death,
The debt is still carried by us to the afterlife.
It's not asking for forgiveness,
If we continue to do the same bad deeds,
Continuous with bad habits of stealing,
Wrinkle with deceptive hobbies,
Often and still manipulating other humans,
Fond and stick with environmental destructive activity,
And various other forms of defilement.
Which can truly be called a repentance,
Or really regretted wrongdoing,
It is when we seriously strive to practice self-control exercises,
When we really erode our own defilements,
Not exactly busy relying on the remission of sins.
Like when we hope to delete history records.
As much as we avoid,
Dodged,
Deny,
Or ask for forgiveness,
Historical records remain historical records.
Once created,
Forever recorded,
Without ever deleted.
Thus we need to instill a knight's attitude to each of our behaviors.

© HERY SHIETRA Copyright.

Minta ampun terlebih dahulu,
Baru mencuri.
Paradigma mengecoh yang sama berbahayanya dengan pembenaran diri.
Dihukum terlebih dahulu, barulah kita dapat berkata: “tobat”, tak akan mengulanginya lagi.
Bukannya tobat untuk minta dibebaskan dari hukuman.
Ibarat seseorang yang lewat ritual,
Setiap tahunnya selalu mengandalkan budaya pengampunan dosa,
Yang sama artinya menjadi justifikasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk baru,
Dengan harapan dapat kembali melakukan ritual penghapusan dosa di tahun yang akan datang.
Bagaikan ketika kita meminjam uang dari bank,
Mengakui bahwa kita meminjam dan berhutang, bahkan menunggak,
Tidak membuat kenyataan bahwa hutang itu menjadi hapus.
Hutang tetap harus dibayar dan dapat ditagih oleh seorang kreditor terhadap diri kita yang merupakan debitor.
Sekalipun ajal menjelang,
Hutang itu tetap terbawa oleh kita hingga ke alam baka.
Bukanlah meminta ampun,
Bila kita terus menerus melakukan perbuatan buruk yang sama,
Terus menerus dengan kebiasaan buruk mencuri,
Bergelut dengan hobi menipu,
Kerap dan masih tetap memanipulasi manusia lain,
Gemar dan tetap dengan aktivitas merusak lingkungan,
Dan berbagai bentuk kekotoran batin lainnya.
Yang betul-betul dapat disebut sebagai tobat,
Atau benar-benar menyesali perbuatan keliru,
Adalah ketika kita bersungguh-sungguh berjuang untuk melakukan praktik latihan pengendalian diri,
Ketika kita sungguh-sungguh mengikis kekotoran batin kita sendiri,
Bukan justru sibuk mengandalkan pengampunan dosa.
Bagaikan ketika kita berharap untuk menghapus catatan sejarah.
Sebanyak apapun kita menghindar,
Berkelit,
Memungkiri,
Ataupun meminta ampun,
Catatan sejarah tetaplah catatan sejarah.
Sekali dibuat,
Selamanya tercatat,
Tanpa pernah terhapuskan.
Demikianlah kita perlu menanamkan sikap ksatria atas setiap perilaku diri kita.


© Hak Cipta HERY SHIETRA.