Mediasi dan “Win-Win Solution” Mensyaratkan Itikad Baik Kedua Belah Pihak yang Saling Bersengketa—Tidak Bisa “Bertepuk Sebelah Tangan” alias Hanya Satu Pihak yang Ber-itikad Baik
Question: Kapan suatu sengketa perdata, layak dimediasi dengan dipertemukan kedua belah pihak yang saling bersengketa, dan kapankah suatu sengketa hukum sama sekali tidak perlu dilakukan mediasi?
Brief Answer: Dalam realita, pengadilan mewajibkan pihak
penggugat melakukan mediasi dengan pihak tergugat, dan itu dibakukan lewat
norma hukum acara perdata yang bersifat imperatif, sekalipun sebagian besar
diantaranya menemui kegagalan dalam menghasilkan kesepakatan damai alias “deadlock”. Kecenderungan terbaru saat
kini pada Pengadilan Negeri di Indonesia, sekalipun terdapat “mediator dari
kalangan internal hakim pengadilan” sehingga proses mediasi oleh “mediator
hakim” tidak dipungut biaya, para hakim pemeriksa perkara akan beralibi bahwa “hakim
mediator” sedang tidak tersedia (tidak available),
sehingga pihak penggugat dan tergugat digiring alias secara terselubung dipaksa
untuk memakai “mediator swasta” berbayar yang tidak murah tarifnya,
mengakibatkan “ekonomi berbiaya tinggi” sekalipun dari segi statistik, itu
hanya menggemukkan pundi-pundi kantung pribadi kalangan “mediator swasta” yang “berkolusi”
dengan pihak institusi Pengadilan Negeri, mengingat tingkat keberhasilan
mediasi perkara perdata sangat-amat rendah.
Kita analogikan kebijakan pemerintah Indonesia saat
kini mewajibkan para warganya mengikuti program wajib berbayar bernama asuransi
bagi pengemudi pemilik surat izin mengemudi maupun surat tanda nomor kendaraan,
sekalipun faktanya berdasarkan data (basisnya data, bukan spekulasi), pada
tahun 2021, total premi asuransi di Indonesia mencapai Rp174 triliun, sementara
klaim yang dibayarkan sekitar Rp21 triliun. Kewajiban menyertakan masyarakat luas
kedalam program asuransi berbayar, sejatinya hanya menguntungkan pihak
perusahaan asuransi, dimana perusahaan asuransi tidak mungkin menderita
kerugian mengingat persentase klaim-nya yang sangat amat rendah.
PEMBAHASAN:
Terdapat seorang penulis, yang
tampaknya berlatar-belakang “mediator swasta”, membangun narasi yang tampak “ideal”
akan tetapi “too good to be true” dengan
kutipan sebagai berikut : “Kalau para
pihak sudah mencapai kesepakatan damai, maka proses dihentikan, karena itu jauh
lebih baik ketimbang harus diputus yang akhirnya ada yang suka ada yang tidak
suka. Perdamaian itu kan para pihak terlibat langsung tidak ada yang merasa
dipermalukan, tidak ada yang merasa dikalahkan, kehormatannya terjaga dan
berhubungan bisnis berkelanjutan. Itu yang penting.” Yang bersangkutan
lupa, bersengketa di arbitase pun sifatnya adalah tertutup. Mediasi memiliki
syarat utama : itikad baik kedua belah pihak. Ketika salah satu pihak tidak
memiliki itikad baik, itikad baik pihak kedua menjelma “bertepuk sebelah tangan”.
Ada konteks peristiwa yang “tidak
lagi butuh mediasi”, karena sudah pasti menemui kegagalan untuk bersepakat-damai
karena amicable solution-nya dapat
dipastikan tidak adil, yakni dengan ilustrasi sederhana sebagai berikut. Pihak pertama,
adalah korban yang menderita 100% (seratus persen menderita kerugian) kerugian.
Pihak kedua, ialah pihak yang berlaku curang sehingga untung 100% (merugikan
pihak pertama sebanyak 100%) alias “take ALL
or NOTHING”. Mediasi, sejatinya hanya mampu sejauh menghasilkan “win win solution” berupa masing-masing pihak
mundur atau mengalah “satu langkah”—jangan mengharap ataupun menuntut lebih
dari “satu langkah’. Pihak pertama, tidak akan menerima “tawaran damai” bila “berat
timbangannya” masih berupa perbandingan 10 : 90 (sepuluh banding sembilan
puluh), 20 : 80, ataupun 30 : 70.
Konteksnya akan berbeda, bila
sengketa dibuka dengan fakta ketimpangan yang hanya berupa 60 : 40, lalu disepakati
perdamaian dengan komposisi 45 : 55. Bisa juga berupa ketimpangan posisi untung
dan rugi 30 : 70, lalu disepakati perdamaian 40 : 60. Secara kalkulasi bisnis,
itu masih rasional ataupun realistis untuk disepakati dan diterima, alias
potensi terciptanya “kesepakatan damai” masih masuk dalam “angka psikologis”
untuk dapat diterima oleh kalangan pencari keadilan—sekalipun tidak mencapai
keadaan ideal seimbang 50 : 50. Namun, bila ketimpangannya berdisparitas lebar
semacam “tawaran damai” dengan komposisi 30 : 70, itu sama artinya seperti
hendak “melecehkan” pihak yang diposisikan seperti seorang “pengemis”.
Seringkali terjadi, gugatan
perdata ialah “ultimum remedium” itu
sendiri, semisal buntut dari sikap tergugat yang tidak kooperatif, menutup
pintu komunikasi, “mau menang sendiri”, tidak transparan dan tidak akuntabel, “pasang
badan” alias menantang, memiliki itikad tidak baik, serta melecehkan pihak
penggugat lewat sikap-sikap semacam “lempar batu, sembunyi tangan”, “lebih
galak yang bersalah daripada korban”, ataupun memungkiri kewajiban maupun
perbuatannya yang merugikan pihak penggugat. Menggugat, karenanya, secara
psikologis, adalah sebentuk “komunikasi” itu sendiri, dimana pihak tergugat
harus mau menanggapinya, dimana majelis hakim yang akan menjadi hakim dan
pemutusnya.
Pernah terjadi, penulis
dimintakan jasanya untuk menjadi mediator sengketa warisan. Pihak kesatu, sama
sekali tidak mendapatkan hak warisnya, dimana keseluruh isi “budel warisan”
dirampas oleh salah satu ahli waris lainnya. Tendensi keserakahan telah
terlihat jelas dan nyata dari sikap ahli waris yang ingin menguasai seluruh
bidang tanah objek warisan yang ditinggalkan oleh almarhum orangtua para ahli
waris. Apa yang penulis prediksi, kemudian menjadi kenyataan, pihak ahli waris
yang serakah tersebut, tidak kooperatif selama sesi mediasi, cenderung monolog,
tidak dialogis alias hanya mau membuka mulut namun menutup telinga rapat-rapat,
dan serta “mau menang sendiri” dengan kerap membuat penafsiran serta ngotot
membuta terhadap pandangan versinya sendiri secara sepihak—sekalipun nyata-nyata
menyimpang dari ketentuan hukum waris yang berlaku.
Bila pihak yang beritikad buruk
tersebut sejak semula memang dikuasai oleh keserakahan, ia tidak akan malu
sekalipun “ditertawakan” oleh pihak yang menjadi mediator, mengingat mediator
tidak memiliki kekuasaan untuk memutus sengketa hukum. Hanyalah hakim, yang berkuasa
untuk “menghukum”, barulah pihak tersebut akan “berpikir matang-matang sebelum
bicara”. Dalam kasus-kasus semacam itu, satu-satunya solusi ialah menggugat
secara perdata, baik itu ke Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan Agama bagi
warga yang beragama islam, tanpa lagi berharap pada proses mediasi apapun,
cukup berfokus pada “apa kata hakim nanti dalam putusannya”, tanpa lagi perlu
dipusingkan segala klaim sepihak pihak ahli waris yang serakah dan ingin
menguasai semuanya seorang diri.
Seorang mediator yang
berpengalaman, sejak semula akan mampu memprediksi apakah suatu sengketa hukum
adalah layak atau tidaknya dimediasi, dengan membuat pemetaan posisi para pihak
yang bersengketa tersebut, apakah 0 : 100 ataukah 40 : 60—dimana para pembaca
pun dapat membuat perkiraan akurat dalam konteks peristiwa sengketa hukum
manakah yang akan berpotensi membuahkan hasil. Sering penulis sebutkan : “Kami tidak perduli apa kata Anda, kami hanya
perduli terhadap apa kata hakim nantinya yang akan memutus perkara antara kami
dan pihak Anda!” Pada saat itulah, ego dan segala klaim sepihak diri lawan
bicara akan mulai lebih “rasional”, karena hakim-lah yang akan menilai,
memeriksa, dan memutus sengketa dengan menyetujui gugatan penggugat ataukah
membenarkan klaim sepihak pihak tergugat.
Tawaran damai dengan posisi 30
: 70, atau bahkan dibawah itu, bukanlah “win
win solution”, itu “melecehkan” alias “menampar wajah”. Sementara 50 : 50, artinya
sesuai ketentuan hukum yang berlaku, semisal dalam konteks warisan ialah “legitieme portie” alias hak paling minimum
yang wajib diserahkan kepada masing-masing ahli waris dari “budel warisan”. Angka
psikologis toleransi, daya lentingnya ialah maksimum 60 : 40, sehingga Akta Hibah
Wasiat yang keluar dari angka perbandingan demikian, berpotensi tinggi digugat
oleh salah satu ahli waris yang tidak mendapatkan “legitieme portie”-nya. Itulah sebabnya, sejatinya seluruh Akta
Wasiat berpotensi / dapat digugat pembatalan oleh gugatan salah satu atau lebih
ahli waris. Akta Wasiat yang cenderung bebas dari gugatan, ialah Akta Wasiat
yang masih dalam angka psikologis 51 : 49 sampai 60 : 40.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.