JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Sengketa yang Layak Dimediasi dan Sengketa yang Akan Percuma (Sia-Sia) Bila Dimediasi

Mediasi dan “Win-Win Solution” Mensyaratkan Itikad Baik Kedua Belah Pihak yang Saling Bersengketa—Tidak Bisa “Bertepuk Sebelah Tangan” alias Hanya Satu Pihak yang Ber-itikad Baik

Question: Kapan suatu sengketa perdata, layak dimediasi dengan dipertemukan kedua belah pihak yang saling bersengketa, dan kapankah suatu sengketa hukum sama sekali tidak perlu dilakukan mediasi?

Brief Answer: Dalam realita, pengadilan mewajibkan pihak penggugat melakukan mediasi dengan pihak tergugat, dan itu dibakukan lewat norma hukum acara perdata yang bersifat imperatif, sekalipun sebagian besar diantaranya menemui kegagalan dalam menghasilkan kesepakatan damai alias “deadlock”. Kecenderungan terbaru saat kini pada Pengadilan Negeri di Indonesia, sekalipun terdapat “mediator dari kalangan internal hakim pengadilan” sehingga proses mediasi oleh “mediator hakim” tidak dipungut biaya, para hakim pemeriksa perkara akan beralibi bahwa “hakim mediator” sedang tidak tersedia (tidak available), sehingga pihak penggugat dan tergugat digiring alias secara terselubung dipaksa untuk memakai “mediator swasta” berbayar yang tidak murah tarifnya, mengakibatkan “ekonomi berbiaya tinggi” sekalipun dari segi statistik, itu hanya menggemukkan pundi-pundi kantung pribadi kalangan “mediator swasta” yang “berkolusi” dengan pihak institusi Pengadilan Negeri, mengingat tingkat keberhasilan mediasi perkara perdata sangat-amat rendah.

Kita analogikan kebijakan pemerintah Indonesia saat kini mewajibkan para warganya mengikuti program wajib berbayar bernama asuransi bagi pengemudi pemilik surat izin mengemudi maupun surat tanda nomor kendaraan, sekalipun faktanya berdasarkan data (basisnya data, bukan spekulasi), pada tahun 2021, total premi asuransi di Indonesia mencapai Rp174 triliun, sementara klaim yang dibayarkan sekitar Rp21 triliun. Kewajiban menyertakan masyarakat luas kedalam program asuransi berbayar, sejatinya hanya menguntungkan pihak perusahaan asuransi, dimana perusahaan asuransi tidak mungkin menderita kerugian mengingat persentase klaim-nya yang sangat amat rendah.

PEMBAHASAN:

Terdapat seorang penulis, yang tampaknya berlatar-belakang “mediator swasta”, membangun narasi yang tampak “ideal” akan tetapi “too good to be true” dengan kutipan sebagai berikut : “Kalau para pihak sudah mencapai kesepakatan damai, maka proses dihentikan, karena itu jauh lebih baik ketimbang harus diputus yang akhirnya ada yang suka ada yang tidak suka. Perdamaian itu kan para pihak terlibat langsung tidak ada yang merasa dipermalukan, tidak ada yang merasa dikalahkan, kehormatannya terjaga dan berhubungan bisnis berkelanjutan. Itu yang penting.” Yang bersangkutan lupa, bersengketa di arbitase pun sifatnya adalah tertutup. Mediasi memiliki syarat utama : itikad baik kedua belah pihak. Ketika salah satu pihak tidak memiliki itikad baik, itikad baik pihak kedua menjelma “bertepuk sebelah tangan”.

Ada konteks peristiwa yang “tidak lagi butuh mediasi”, karena sudah pasti menemui kegagalan untuk bersepakat-damai karena amicable solution-nya dapat dipastikan tidak adil, yakni dengan ilustrasi sederhana sebagai berikut. Pihak pertama, adalah korban yang menderita 100% (seratus persen menderita kerugian) kerugian. Pihak kedua, ialah pihak yang berlaku curang sehingga untung 100% (merugikan pihak pertama sebanyak 100%) alias “take ALL or NOTHING”. Mediasi, sejatinya hanya mampu sejauh menghasilkan “win win solution” berupa masing-masing pihak mundur atau mengalah “satu langkah”—jangan mengharap ataupun menuntut lebih dari “satu langkah’. Pihak pertama, tidak akan menerima “tawaran damai” bila “berat timbangannya” masih berupa perbandingan 10 : 90 (sepuluh banding sembilan puluh), 20 : 80, ataupun 30 : 70.

Konteksnya akan berbeda, bila sengketa dibuka dengan fakta ketimpangan yang hanya berupa 60 : 40, lalu disepakati perdamaian dengan komposisi 45 : 55. Bisa juga berupa ketimpangan posisi untung dan rugi 30 : 70, lalu disepakati perdamaian 40 : 60. Secara kalkulasi bisnis, itu masih rasional ataupun realistis untuk disepakati dan diterima, alias potensi terciptanya “kesepakatan damai” masih masuk dalam “angka psikologis” untuk dapat diterima oleh kalangan pencari keadilan—sekalipun tidak mencapai keadaan ideal seimbang 50 : 50. Namun, bila ketimpangannya berdisparitas lebar semacam “tawaran damai” dengan komposisi 30 : 70, itu sama artinya seperti hendak “melecehkan” pihak yang diposisikan seperti seorang “pengemis”.

Seringkali terjadi, gugatan perdata ialah “ultimum remedium” itu sendiri, semisal buntut dari sikap tergugat yang tidak kooperatif, menutup pintu komunikasi, “mau menang sendiri”, tidak transparan dan tidak akuntabel, “pasang badan” alias menantang, memiliki itikad tidak baik, serta melecehkan pihak penggugat lewat sikap-sikap semacam “lempar batu, sembunyi tangan”, “lebih galak yang bersalah daripada korban”, ataupun memungkiri kewajiban maupun perbuatannya yang merugikan pihak penggugat. Menggugat, karenanya, secara psikologis, adalah sebentuk “komunikasi” itu sendiri, dimana pihak tergugat harus mau menanggapinya, dimana majelis hakim yang akan menjadi hakim dan pemutusnya.

Pernah terjadi, penulis dimintakan jasanya untuk menjadi mediator sengketa warisan. Pihak kesatu, sama sekali tidak mendapatkan hak warisnya, dimana keseluruh isi “budel warisan” dirampas oleh salah satu ahli waris lainnya. Tendensi keserakahan telah terlihat jelas dan nyata dari sikap ahli waris yang ingin menguasai seluruh bidang tanah objek warisan yang ditinggalkan oleh almarhum orangtua para ahli waris. Apa yang penulis prediksi, kemudian menjadi kenyataan, pihak ahli waris yang serakah tersebut, tidak kooperatif selama sesi mediasi, cenderung monolog, tidak dialogis alias hanya mau membuka mulut namun menutup telinga rapat-rapat, dan serta “mau menang sendiri” dengan kerap membuat penafsiran serta ngotot membuta terhadap pandangan versinya sendiri secara sepihak—sekalipun nyata-nyata menyimpang dari ketentuan hukum waris yang berlaku.

Bila pihak yang beritikad buruk tersebut sejak semula memang dikuasai oleh keserakahan, ia tidak akan malu sekalipun “ditertawakan” oleh pihak yang menjadi mediator, mengingat mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memutus sengketa hukum. Hanyalah hakim, yang berkuasa untuk “menghukum”, barulah pihak tersebut akan “berpikir matang-matang sebelum bicara”. Dalam kasus-kasus semacam itu, satu-satunya solusi ialah menggugat secara perdata, baik itu ke Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan Agama bagi warga yang beragama islam, tanpa lagi berharap pada proses mediasi apapun, cukup berfokus pada “apa kata hakim nanti dalam putusannya”, tanpa lagi perlu dipusingkan segala klaim sepihak pihak ahli waris yang serakah dan ingin menguasai semuanya seorang diri.

Seorang mediator yang berpengalaman, sejak semula akan mampu memprediksi apakah suatu sengketa hukum adalah layak atau tidaknya dimediasi, dengan membuat pemetaan posisi para pihak yang bersengketa tersebut, apakah 0 : 100 ataukah 40 : 60—dimana para pembaca pun dapat membuat perkiraan akurat dalam konteks peristiwa sengketa hukum manakah yang akan berpotensi membuahkan hasil. Sering penulis sebutkan : “Kami tidak perduli apa kata Anda, kami hanya perduli terhadap apa kata hakim nantinya yang akan memutus perkara antara kami dan pihak Anda!” Pada saat itulah, ego dan segala klaim sepihak diri lawan bicara akan mulai lebih “rasional”, karena hakim-lah yang akan menilai, memeriksa, dan memutus sengketa dengan menyetujui gugatan penggugat ataukah membenarkan klaim sepihak pihak tergugat.

Tawaran damai dengan posisi 30 : 70, atau bahkan dibawah itu, bukanlah “win win solution”, itu “melecehkan” alias “menampar wajah”. Sementara 50 : 50, artinya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, semisal dalam konteks warisan ialah “legitieme portie” alias hak paling minimum yang wajib diserahkan kepada masing-masing ahli waris dari “budel warisan”. Angka psikologis toleransi, daya lentingnya ialah maksimum 60 : 40, sehingga Akta Hibah Wasiat yang keluar dari angka perbandingan demikian, berpotensi tinggi digugat oleh salah satu ahli waris yang tidak mendapatkan “legitieme portie”-nya. Itulah sebabnya, sejatinya seluruh Akta Wasiat berpotensi / dapat digugat pembatalan oleh gugatan salah satu atau lebih ahli waris. Akta Wasiat yang cenderung bebas dari gugatan, ialah Akta Wasiat yang masih dalam angka psikologis 51 : 49 sampai 60 : 40.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.