JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Norma Hukum yang Tidak Realistis Menjelma Aturan Hukum yang Tidak Efektif Berlakunya

Daya Pemaksa + Efek Jera = Kepatuhan Hukum (Hukum yang Rfektif)

Question: Mengapa bisa ada aturan hukum yang dalam praktiknya justru dianak-tirikan ataupun yang tidak diberlakukan secara efektif oleh negara, pemerintah, maupun aparatur penegak hukumnya?

Brief Answer: Terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab dibalik tidak efektifnya keberlakuan suatu norma hukum berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan. Faktor pertama, ialah “political will” alias iktikad dibalik sikap pemerintah itu sendiri, apakah pejabat pemerintah yang sedang berkuasa hanya mementingkan diri atau kelompoknya sendiri ataukah benar-benar memikirkan kepentingan publik luas. Dapat kita jumpai berbagai Peraturan Daerah, telah ternyata tidak ditegakkan secara tegas oleh Pemerintah Daerah, karena “separuh hati” menegakkan paraturan yang mereka buat sendiri.

Faktor kedua, ialah kurangnya pertimbangan regulator pembentuk peraturan perundang-undangan. Untuk menyusun peraturan hukum yang tampak ideal dan sempurna, tidaklah sukar. Namun pertanyaan utamanya ialah, apakah aturan yang tampak ideal tersebut, adalah rasional untuk diterapkan di lapangan? Beberapa sarjana hukum berpandangan bahwa norma hukum dibentuk untuk merekayasa tertib sosial (law as a tool of social engineering). Akan tetapi, memahami konteks atau situasi dan kondisi yang ada, akan mendorong kita kepada pertanyaan berikutnya, yakni apakah realistis ataukah “too good to be true”? Hukum yang tidak efektif keberlakuannya, membuat wibawa dan reputasi hukum itu sendiri sebagai pertaruhannya.

PEMBAHASAN:

Norma hukum yang tidak efektif dalam keberlakuannya, menjelma “norma moral”, sebagaimana “hukum internasional” yang sekadar “norma moral” karena tidak ada instrumen ataupun atribut daya pemaksa eksternal dalam penegakannya. Norma hukum semacam demikian, cenderung mengecoh, membuat tidak jarang warga yang patuh terhadapnya justru “merugi sendiri” dan “aneh sendiri”. Jebakan mental kedua ialah, terkadang ia dapat diberlakukan secara efektif, namun kemudian tidak diberlakukan, lalu pada suatu waktu tanpa peringatan apapun kembali diberlakukan secara tegas dan tajam. Maupun ketika sejak sedari semula tidak diberlakukan secara efektif, namun secara mendadak diberlakukan secara tegas dan keras. Norma hukum yang politis demikian, sungguh menyerupai spekulasi akan diberlakukan atau tidaknya, sehingga mencederai semangat “kepastian hukum” yang selama ini menjadi maskot prinsip hukum modern yang beradab.

Yang dimaksud dengan “daya paksa” eksternal diri warga, ialah adanya alat-alat pemaksa oleh badan-badan atau institusi pemerintahan, sehingga kepatuhan tidak lagi sebatas bersifat kesadaran pribadi masing-masing individu sebagaimana “norma sosial”. Kata kunci pembentukan “daya paksa”, ialah instrumen dalam membangun “efek jera” (semisal aset-aset dapat disita dan dilelang, maupun ditangkap dan ditahan oleh aparatur). Karenanya, bila dirumuskan, kepatuhan hukum (ciri dari hukum yang efektif) ialah = “daya paksa eksternal” + “efek jera”. Sekadar daya pemaksa dari eksternal lewat aparatur penegak hukum maupun pemerintah, namun minus “efek jera”, tetap saja hukum yang efektif akan gagal untuk dibangun. Untuk lebih menjelaskan, dapat kita analisa dari perbandingan dua buah adagium berikut:

- Lex dura sed ita scripta. Undang-undang itu keras, tetapi ia telah ditulis demikian.

- Lex neminem cigit ad impossibilta. Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mustahil.

Ilustrasi berikut dapat cukup mencerminkan prinsip demikian. Saat kali pertama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) didirikan di Republik Indonesia, berbagai pelaku usaha “money changer” tidak bersedia secara sukarela untuk patuh terhadap ketentuan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan ataupun yang beresiko tinggi. Namun, secara tegas pihak PPATK memberlakukan sanksi bagi salah satu pelaku usaha penukaran uang tersebut, dengan sanksi berupa denda yang sangat besar. Terjadi kegemparan diantara kalangan pelaku usaha penukaran uang, mengakibatkan seluruh pelaku usaha tersebut mulai tunduk dan patuh terhadap peraturan terkait transaksi keuangan dengan memberikan laporan kepada PPATK.

Kini, kita akan membahas fenomena sosial sebagai konteks yang melatar-belakangi efektif atau tidak efektifnya suatu norma hukum. Ketika jumlah lapangan pekerjaan lebih banyak daripada angkatan kerja, maka norma hukum terkait “upah minimum” (UMR/S) dapat diberlakukan secara efektif. Apa yang terjadi selama ini, ketika konteksnya ialah lapangan pekerjaan jauh lebih sempit daripada jumlah angkatan kerja? “Kamu bersedia, dipekerjakan akan tetapi upahnya dibawah ‘upah minimum kota’?” tanya sang perekrut tenaga kerja. Dalam hati, sang perekrut atau pelaku usaha akan membatin, “Jika kamu menjawab ‘tidak bersedia’, bersikukuh menuntut ‘upah minimum’ atau bahkan diatas itu, maka masih banyak pelamar kerja lain yang bersedia diberupa upah dibawah ‘upah minimum’ mengantre di belakang sana.” Kita dihadapkan pada “daya tawar”, “posisi dominan”, serta ketimpangan “relasi kuasa”—ketiga unsur tersebutlah yang penulis sebut sebagai “supra hukum”.

Bila sekalipun pemerintah menerbitkan peraturan, bahwa perusahaan atau pemberi pekerjaan dilarang meminta dan menahan izasah pelamar kerja, tetap saja saat membuka lowongan pekerjaan dan melakukan interview, sang pemberi kerja akan bertanya kepada para pelamar : “Kamu keberatan, izasah kamu akan kami tahan sampai selesainya masa kerja? Kamu keberatan, dipndah kerja secara sewaktu-waktu ke perusahaan lain? Kamu keberatan, dimutasi ke divisi lain? Kamu bersedia, bekerja overtime setiap harinya tanpa upah lembur? Kamu bersedia, dipekerjakan untuk grup usaha yang terdiri dari puluhan perseroan namun hanya mendapatkan satu gaji?” Berikut inilah, yang ada dibenak para pelamar kerja : “Yang penting kami dapat kerja!” Sejak dahulu kala, sudah terdapat aturan hukum yang melarang jenis pekerjaan pokok dialihkan kepada pekerja “outsource”.

Begitupula untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap, rutin, dan berkesinambungan, alias bukan bersifat musiman, akan tetapi faktanya dapat kita jumpai begitu banyak pelanggaran terhadap norma hukum demikian, berupa praktik PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu, alias pekerja kontrak) secara berjemaah. Dalam praktik, pihak pengusaha akan “pasang badan” ketika ditegur oleh pihak instansi pemerintahan terkait selaku otoritas penegak hukum ketenagakerjaan, dengan menyatakan : “Perusahaan milik Anda melanggar, tidak takut kami beri sanksi?” Berikut inilah jawaban sang pelaku usaha, “Silahkan tutup pabrik kami yang berisi ribuan karyawan ini, lalu Anda yang berikan mereka makan!” Dengan sangat dungu-nya, buruh berdemo “TUTUP PABRIK!” Pihak manajemen lalu betul-betul menutup pabrik tersebut, dan sang buruh kembali berdemo “BUKA KEMBALI PABRIK!

Norma hukum, selalu berangkat dari sebentuk “asumsi” yang menjadi latar-belakang fenomena saat peraturan hukum tersebut dibentuk. Contohnya ialah Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan para tahun 1960 saat era sosialisme berkembang, mengakibatkan UUPA hingga kini disebut-sebut sebagai Undang-Undang yang paling pro terhadap rakyat. Ketika peraturan hukum dibentuk dalam kondisi fenomena ekonomi maupun sosial yang normal, maka aturan hukum tersebut tidak dapat diberlakukan dalam situasi darurat—butuh pendekatan berbeda berupa aturan darurat untuk menghadapi kondisi darurat yang dibentuk dengan prinsip-prinsip “hukum darurat”. Sebaliknya, ketika aturan hukum dibentuk dalam konteks situasi yang “tidak normal”, maka disaat situasi telah kembali normal, aturan hukum dimaksud perlu segera direvisi atau diperbaharui atau dicabut keberlakuannya.

Contoh konkretnya ialah Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan yang diterbitkan pada tahun 2003, kondisi dunia industri kita belum dikeruhkan oleh tenaga-tenaga robotik maupun kecerdasan buatan (kondisi normal). Kini, ketika berbagai pabrik minim manusia, kesemuanya tergantikan oleh otomatisasi robotik (kondisi anomali ketenagakerjaan yang menjelma “new normal”), apakah masih relevan diberlakukan paraturan yang dibentuk pada tahun 2003 tersebut? Ketika zaman berubah, norma hukum pun kehilangan pijakan fondasinya yang bernama “asumsi” yang melatar-belakangi pembentukannya. Sudah tidak pada tempatnya, pihak regulator maupun kalangan buruh / pekerja untuk “mengawang-awang” alias “tidak membumi”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.