Daya Pemaksa + Efek Jera = Kepatuhan Hukum (Hukum yang Rfektif)
Question: Mengapa bisa ada aturan hukum yang dalam praktiknya justru dianak-tirikan ataupun yang tidak diberlakukan secara efektif oleh negara, pemerintah, maupun aparatur penegak hukumnya?
Brief Answer: Terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab
dibalik tidak efektifnya keberlakuan suatu norma hukum berupa pasal-pasal suatu
peraturan perundang-undangan. Faktor pertama, ialah “political will” alias iktikad dibalik sikap pemerintah itu sendiri,
apakah pejabat pemerintah yang sedang berkuasa hanya mementingkan diri atau
kelompoknya sendiri ataukah benar-benar memikirkan kepentingan publik luas. Dapat
kita jumpai berbagai Peraturan Daerah, telah ternyata tidak ditegakkan secara
tegas oleh Pemerintah Daerah, karena “separuh hati” menegakkan paraturan yang
mereka buat sendiri.
Faktor kedua, ialah kurangnya pertimbangan regulator
pembentuk peraturan perundang-undangan. Untuk menyusun peraturan hukum yang tampak
ideal dan sempurna, tidaklah sukar. Namun pertanyaan utamanya ialah, apakah
aturan yang tampak ideal tersebut, adalah rasional untuk diterapkan di lapangan?
Beberapa sarjana hukum berpandangan bahwa norma hukum dibentuk untuk merekayasa
tertib sosial (law as a tool of social
engineering). Akan tetapi, memahami konteks atau situasi dan kondisi yang
ada, akan mendorong kita kepada pertanyaan berikutnya, yakni apakah realistis
ataukah “too good to be true”? Hukum yang
tidak efektif keberlakuannya, membuat wibawa dan reputasi hukum itu sendiri sebagai
pertaruhannya.
PEMBAHASAN:
Norma hukum yang tidak efektif dalam
keberlakuannya, menjelma “norma moral”, sebagaimana “hukum internasional” yang
sekadar “norma moral” karena tidak ada instrumen ataupun atribut daya pemaksa
eksternal dalam penegakannya. Norma hukum semacam demikian, cenderung mengecoh,
membuat tidak jarang warga yang patuh terhadapnya justru “merugi sendiri” dan “aneh
sendiri”. Jebakan mental kedua ialah, terkadang ia dapat diberlakukan secara efektif,
namun kemudian tidak diberlakukan, lalu pada suatu waktu tanpa peringatan
apapun kembali diberlakukan secara tegas dan tajam. Maupun ketika sejak sedari
semula tidak diberlakukan secara efektif, namun secara mendadak diberlakukan
secara tegas dan keras. Norma hukum yang politis demikian, sungguh menyerupai
spekulasi akan diberlakukan atau tidaknya, sehingga mencederai semangat “kepastian
hukum” yang selama ini menjadi maskot prinsip hukum modern yang beradab.
Yang dimaksud dengan “daya
paksa” eksternal diri warga, ialah adanya alat-alat pemaksa oleh badan-badan
atau institusi pemerintahan, sehingga kepatuhan tidak lagi sebatas bersifat kesadaran
pribadi masing-masing individu sebagaimana “norma sosial”. Kata kunci
pembentukan “daya paksa”, ialah instrumen dalam membangun “efek jera” (semisal aset-aset
dapat disita dan dilelang, maupun ditangkap dan ditahan oleh aparatur). Karenanya,
bila dirumuskan, kepatuhan hukum (ciri dari hukum yang efektif) ialah = “daya
paksa eksternal” + “efek jera”. Sekadar daya pemaksa dari eksternal lewat aparatur
penegak hukum maupun pemerintah, namun minus “efek jera”, tetap saja hukum yang
efektif akan gagal untuk dibangun. Untuk lebih menjelaskan, dapat kita analisa
dari perbandingan dua buah adagium berikut:
- Lex dura sed ita scripta. Undang-undang itu keras, tetapi ia telah
ditulis demikian.
- Lex neminem cigit ad impossibilta. Undang-undang tidak memaksakan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang mustahil.
Ilustrasi berikut dapat cukup
mencerminkan prinsip demikian. Saat kali pertama Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) didirikan di Republik Indonesia, berbagai pelaku
usaha “money changer” tidak bersedia
secara sukarela untuk patuh terhadap ketentuan pelaporan transaksi keuangan
yang mencurigakan ataupun yang beresiko tinggi. Namun, secara tegas pihak PPATK
memberlakukan sanksi bagi salah satu pelaku usaha penukaran uang tersebut, dengan
sanksi berupa denda yang sangat besar. Terjadi kegemparan diantara kalangan
pelaku usaha penukaran uang, mengakibatkan seluruh pelaku usaha tersebut mulai
tunduk dan patuh terhadap peraturan terkait transaksi keuangan dengan memberikan
laporan kepada PPATK.
Kini, kita akan membahas
fenomena sosial sebagai konteks yang melatar-belakangi efektif atau tidak
efektifnya suatu norma hukum. Ketika jumlah lapangan pekerjaan lebih banyak daripada
angkatan kerja, maka norma hukum terkait “upah minimum” (UMR/S) dapat
diberlakukan secara efektif. Apa yang terjadi selama ini, ketika konteksnya
ialah lapangan pekerjaan jauh lebih sempit daripada jumlah angkatan kerja? “Kamu bersedia, dipekerjakan akan tetapi
upahnya dibawah ‘upah minimum kota’?” tanya sang perekrut tenaga kerja. Dalam
hati, sang perekrut atau pelaku usaha akan membatin, “Jika kamu menjawab ‘tidak bersedia’, bersikukuh menuntut ‘upah minimum’
atau bahkan diatas itu, maka masih banyak pelamar kerja lain yang bersedia
diberupa upah dibawah ‘upah minimum’ mengantre di belakang sana.” Kita
dihadapkan pada “daya tawar”, “posisi dominan”, serta ketimpangan “relasi kuasa”—ketiga
unsur tersebutlah yang penulis sebut sebagai “supra hukum”.
Bila sekalipun pemerintah
menerbitkan peraturan, bahwa perusahaan atau pemberi pekerjaan dilarang meminta
dan menahan izasah pelamar kerja, tetap saja saat membuka lowongan pekerjaan
dan melakukan interview, sang pemberi kerja akan bertanya kepada para pelamar :
“Kamu keberatan, izasah kamu akan kami
tahan sampai selesainya masa kerja? Kamu keberatan, dipndah kerja secara sewaktu-waktu
ke perusahaan lain? Kamu keberatan, dimutasi ke divisi lain? Kamu bersedia,
bekerja overtime setiap harinya tanpa upah lembur? Kamu bersedia, dipekerjakan
untuk grup usaha yang terdiri dari puluhan perseroan namun hanya mendapatkan
satu gaji?” Berikut inilah, yang ada dibenak para pelamar kerja : “Yang penting kami dapat kerja!” Sejak
dahulu kala, sudah terdapat aturan hukum yang melarang jenis pekerjaan pokok
dialihkan kepada pekerja “outsource”.
Begitupula untuk pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat tetap, rutin, dan berkesinambungan, alias bukan bersifat musiman,
akan tetapi faktanya dapat kita jumpai begitu banyak pelanggaran terhadap norma
hukum demikian, berupa praktik PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu, alias
pekerja kontrak) secara berjemaah. Dalam praktik, pihak pengusaha akan “pasang
badan” ketika ditegur oleh pihak instansi pemerintahan terkait selaku otoritas
penegak hukum ketenagakerjaan, dengan menyatakan : “Perusahaan milik Anda melanggar, tidak takut kami beri sanksi?”
Berikut inilah jawaban sang pelaku usaha, “Silahkan
tutup pabrik kami yang berisi ribuan karyawan ini, lalu Anda yang berikan
mereka makan!” Dengan sangat dungu-nya, buruh berdemo “TUTUP PABRIK!” Pihak manajemen lalu betul-betul menutup pabrik
tersebut, dan sang buruh kembali berdemo “BUKA
KEMBALI PABRIK!”
Norma hukum, selalu berangkat
dari sebentuk “asumsi” yang menjadi latar-belakang fenomena saat peraturan
hukum tersebut dibentuk. Contohnya ialah Undang-Undang tentang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) yang diterbitkan para tahun 1960 saat era sosialisme berkembang,
mengakibatkan UUPA hingga kini disebut-sebut sebagai Undang-Undang yang paling
pro terhadap rakyat. Ketika peraturan hukum dibentuk dalam kondisi fenomena
ekonomi maupun sosial yang normal, maka aturan hukum tersebut tidak dapat diberlakukan
dalam situasi darurat—butuh pendekatan berbeda berupa aturan darurat untuk
menghadapi kondisi darurat yang dibentuk dengan prinsip-prinsip “hukum darurat”.
Sebaliknya, ketika aturan hukum dibentuk dalam konteks situasi yang “tidak
normal”, maka disaat situasi telah kembali normal, aturan hukum dimaksud perlu
segera direvisi atau diperbaharui atau dicabut keberlakuannya.
Contoh konkretnya ialah Undang-Undang
tentang Ketenagakerjaan yang diterbitkan pada tahun 2003, kondisi dunia
industri kita belum dikeruhkan oleh tenaga-tenaga robotik maupun kecerdasan
buatan (kondisi normal). Kini, ketika berbagai pabrik minim manusia, kesemuanya
tergantikan oleh otomatisasi robotik (kondisi anomali ketenagakerjaan yang
menjelma “new normal”), apakah masih relevan
diberlakukan paraturan yang dibentuk pada tahun 2003 tersebut? Ketika zaman
berubah, norma hukum pun kehilangan pijakan fondasinya yang bernama “asumsi”
yang melatar-belakangi pembentukannya. Sudah tidak pada tempatnya, pihak
regulator maupun kalangan buruh / pekerja untuk “mengawang-awang” alias “tidak
membumi”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.