Kiat Hidup Tegar dan Kuat secara Mental dan Psikis, Hidup di Dunia yang Tidak akan Pernah Berjalan secara Ideal, COMPASSION TOWARD OURSELVES

SENI PIKIR & TULIS

Tiada Jaminan Orang Baik akan Selamat, justru menjadi MANGSA EMPUK. Itulah mengapa menjadi Orang Baik Begitu Menakutkan dan Sepi Peminatnya

Jangan Bersikap Seolah-Olah hanya Anda yang dapat Merasakan Duka Kehidupan

Terdapat sebagian diantara kita, yang bersikap “kekanak-kanakan”. Betapa tidak, mereka dengan mengatas-namakan merasakan salah satu dari tiga corak umum kehidupan (tilakkhana), yakni “dukkha” (Bahasa Pali, yang bermakna tidak memuaskan, tersandera / tercengkeram, dan penuh kekecewaan), maka mereka merasa memiliki alasan pembenar untuk merampas hak-hak maupun kebahagiaan, jika perlu juga merenggut hidup orang lain. Penderitaan dan ketidakpuasan bukanlah alasan pembenar bagi kita atau siapapun untuk merenggut kebahagiaan dan hak-hak milik orang lain. Orang-orang yang kreatif tidak pernah merasa perlu merampas hak milik orang lain untuk membuat hidupnya lebih “berwarna”.

Tidak sedikit pula kita jumpai individu-individu yang memiliki kekeliru-tahuan, tahu namun keliru, dimana seolah dilahirkan maka dapat menikmati makanan enak adalah merupakan kenikmatan sehingga layak kita dilahirkan ke dunia ini—sekalipun kita selalu didera potensi kembali menjadi lapar / haus dan tersandera oleh kondisi tubuh yang harus diberi asupan makan maupun minum secara rutin dan mencari makan setiap harinya, belum lagi rasa bosan atas makanan-makanan yang monoton atau yang kita tidak sukai ataupun alergi terhadap alergen tertentu atau bahkan menderita akumulasi penyakit akibat mengonsumsi bahan makanan yang tidak sehat. Kita bahkan suka menyakiti diri kita sendiri dengan memakan makanan yang kita tahu tidak sehat. Ada yang menderita kelaparan, ada yang menderita kekenyangan. Ada yang meninggal dunia akibat kelaparan dan busung lapar, namun ada pula yang menderita obesitas bahkan meninggal dunia akibat “over consumption”.

Sebagai manusia dewasa, kita perlu menempatkan diri kita sebagai seorang dewasa yang berpikir secara dewasa dengan tidak lagi kekanak-kanakan baik dalam sikap maupun cara berpikir. Anak kecil, dicirikan dari gaya berpikir dan bersikap serta bertutur-kata yang “naif”. Ketika seseorang yang telah dewasa bahkan telah cukup umur dan lanjut usia (lansia), masih juga bersikap seolah-olah hanya orang lain yang hidupnya bahagia dan hanya dirinya sendiri seorang yang merasakan “dukkha”, maka itulah yang disebut oleh Sang Buddha sebagai seseorang yang rambutnya telah memutih namun isinya kosong-melompong dari kebijaksanaan.

Fakta realitanya, semua orang merasakan “dukkha”, apapun latar belakang tingkat ekonomi, pendidikan, ras, suku, maupun agamanya. Memahami bahwa setiap orang (akan) menderita usia tua, sakit, dan meninggal, membuat kita tidak lagi bersikap sombong ataupun arogan. Karenanya, bersikap iri hati terhadap “kebahagiaan” orang lain yang dengan jiwa tegar masih dapat tersenyum (tanpa berkeluh-kesah), adalah bentuk kekerdilan mental disamping tidak matangnya jiwa bersangkutan, alias masih kekanakan. Seperti kisah ketika seorang wanita menangisi anaknya yang meninggal dunia, memohon kepada Sang Buddha agar diberikan obat untuk menghidupkan kembali anaknya, dimana kemudian Sang Buddha meminta wanita tersebut untuk meminta biji-bijian dari keluarga yang belum pernah mengalami sanak-keluarganya meninggal dunia, telah ternyata semua keluarga yang dijumpai sang wanita telah pernah mengalami tragedi kematian. Sang wanita pun, kemudian tercerahkan oleh fakta tersebut.

Bagi para pembaca yang selama ini dirudung oleh kemuraman berpikir ataupun pikiran yang menjelma “benang kusut” akibat fenomena betapa tidak adilnya dan tidak idealnya dunia ini, maka pemikiran-pemikiran yang penulis kutip dari Ajahn Brahm berikut, dapat sangat membantu merubah paradigma berpikir kita sebagaimana sangat efektif menata ulang cara berpikir penulis secara pribadi. Ajahn Brahm yang merupakan murid dari Ajahn Chah, cucu murid dari Ajahn Mun (Acariya Man), merumuskan sebuah metode bagi kita ketika menjumpai hal-hal yang membuat kita merasa kecewa, yakni “self talk” dengan pola berikut : Acknowledge, forgive, dan learn. Akui kejadian tersebut, maafkan diri kita dengan penuh welas kasih, dan pelajari sesuatu dari kejadian tersebut agar tidak kembali terulang.

Ketika kita menjumpai ketidakpuasan atas hidup ini, ataupun kekewaan atas apa yang kita jumpai dan hadapi, Ajahn Brahm kembali membuat rumusan yang sangat efektif berikut, dengan pola “self talk” berupa : Lepaskan (hasrat, harapan, atau keinginan tersebut), bangkitkan kecukupan / keterpenuhan / keterpuasan hati (“sudah cukup”), serta “sudah lumayan”. Lepaskan, kecukupan hati, dan merasa sudah lumayan. Terdapat psikologi yang irasional bersemayam pada umat manusia, dimana seseorang merasa tidak puas bila hanya memiliki “separuh”, dan dibakar oleh kekewewaan mendapati dirinya tidak mendapatkan yang “penuh”—tanpa mampu menghargai kenyataan bahwa dirinya setidaknya telah mendapat dan memiliki “separuh” meski memang “tidak penuh”.

Ada pula kondisi dimana kita tidak dapat menolak derita berupa disakiti ataupun dilecehkan oleh orang lain ataupun oleh faktor alam seperti tertimpa bencana alam. Semua orang, Anda maupun penulis, dapat saja pada suatu waktu atau pernah menjadi korban “tabrak lari”. Karena itu, penulis secara pribadi menemukan serta menambahkan kredo kiat hidup secara “legowo” (letting go) dengan kalimat sebagai berikut yang dapat kita ucapkan kepada diri kita sendiri lewat “membatin” ketika menemukan kondisi atau keadaan yang tidak kita sukai, yakni : Lebih baik disakiti, daripada menyakiti diri sendiri. Lebih baik dilecehkan, daripada melecehkan diri sendiri—atau bila kita baca secara lebih lengkapnya, menjadi : Masih lebih baik disakiti (oleh orang lain), daripada kita menyakiti diri kita sendiri. Masih lebih baik dilecehkan (oleh orang lain), daripada kita melecehkan diri kita sendiri.

Dengan demikian, kita tidak lagi menjadi begitu dikuasai oleh ketakutan yang membekukan pikiran maupun obsesi melumpuhkan kaki kita ketika menghadapi hidup didalam maupun diluar rumah, yang tidak pernah ramah terhadap diri kita ini. Kelebihan yang paling utama kita dapatkan dari mempelajari perihal Hukum Karma dan memahami cara kerjanya, ialah membuat kita paham bahwa tiada yang benar-benar dapat kita ataupun mereka curangi dalam hidup ini, karenanya tiada yang benar-benar patut kita takutkan dari perilaku orang lain terhadap diri kita. Yang semestinya patut merasa takut, ialah sang pelaku pembuat kejahatan (seperti melukai, merugikan, ataupun menyakiti orang lain), bukanlah korban. Di dalam Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya, Sutta Pitaka, Sang Buddha membabarkan:

Semua makhluk adalah pemilik perbuatannya sendiri, pewaris dari perbuatannya sendiri, lahir dari perbuatannya sendiri, berkerabat dengan perbuatannya sendiri dan tergantung pada perbuatannya sendiri. Perbuatanlah yang menentukan apakah seseorang menjadi hina atau mulia.”

Itulah sebabnya dapat kita pahami mengapa, Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis kepada pelaku kejahatan dengan mengatakan kepada mereka bahwa diri-Nya tatut disakiti ataupun dijadikan korban. Sang Buddha pun tidak pernah merasa perlu untuk mengemis-ngemis kepada pelaku kejahatan tersebut agar tidak menyakiti diri-Nya. Pun, Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis agar pelakunya mempertanggung-jawabkan perbuatan jahatnya yang telah menyakiti Sang Buddha. Tiaga gentar, tiada takut menjadi ataupun dijadikan korban kejahatan, batin yang tidak tergoyahkan.

Itulah sebabnya, dalam perspektif Buddhisme, hanyalah penjahat yang selalu gagal melancarkan aksi kejahatannya yang tergolong sebagai penjahat yang beruntung—dan merupakan penjahat yang paling tidak beruntung bila sang penjahat selalu berhasil dengan lancar melancarkan aksi kejahatannya. Menjadi berbeda serta kontras, bila konteksnya ialah agama samawi dimana Tuhan digambarkan lebih PRO terhadap pendosa, dimana menjadi pelaku kejahatan justru diberikan “insentif” dan terhadap korban diberikan “dis-insentif”, lewat iming-iming janji-janji surgawi bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Sebagaimana kita ketahui, hanya seorang pendosa yang membutuhkan ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” yang jelas sangat tidak “victims friendly”.

Pernah terjadi pada satu siang, penulis hendak melajukan kendaraan bermotor roda dua keluar dari halaman parkir suatu kantor menuju jalan raya. Pihak satpam mencoba menyetop transportasi umum yang melintas di jalan raya berupa minibus yang dikenal kerap ugal-ugalan—seperti pengalaman penulis menjadi penumpangnya dimana supirnya ialah remaja, dimana penumpang yang hendak turun dipaksa melompat turun dalam kondisi bus masih melaju serta penumpang yang naik seketika bus ditancap gas sehingga penumpang terpelanting—dimana penulis memilih untuk tidak keluar ke jalan raya mengingat bahaya potensi resiko menghadapi supir minibus yang dikenal berbahaya dan tidak manusiawi, sehingga lebih baik menghindari daripada menantang maut.

Sang satpam memaki dan menyalahkan penulis, yang memilih untuk tidak mau melaju keluar dari halaman parkir kantor. Jika kita membiarkan diri kita menghadapi potensi resiko maut berhadapan dengan supir minibus yang ugal-ugalan dan kondisi bus yang tampak tidak terawat sehingga bisa jadi “rem blong”, (masih) lebih baik dilecehkan daripada menyakiti diri sendiri dengan menantang maut yang tidak perlu ditantang. Sekalipun sang supir dapat dipidana bila menabrak, tetap saja kondisi kita bisa jadi lumpuh atau cacat secara permanen. Sang satpam, bila “the worst case scenario” itu sampai benar-benar terjadi, akan bertanggung-jawab semacam apa selain semudah dan segampang “meminta maaf”?

Terkadang dan acapkali kita menghadapi kondisi-kondisi dilematis dimana kita harus memilih, suka atau tidak suka, antara “disakiti” atau “menyakiti diri sendiri”—dimana bila itu benar-benar terjadi, pilihan utama atau prioritasnya ialah memilh untuk tidak menyakiti diri kita sendiri. Silahkan, bila ada orang lain yang hendak menyakiti diri kita, itu akan menjadi Karma serta urusan Buah Karma mereka sendiri. Kita cukup mengambil tanggung-jawab atas hidup kita sendiri serta mengurus urusan diri kita sendiri.

Dengan menyadari dan memahami bahwa semua individu dan setiap bentukan yang berkondisi (makhluk hidup), bukan hanya diri kita seorang, dirudung oleh kekecewaan, duka, derita, “terbakar” oleh nafsu dan keinginan / kehendak yang tidak berkesudahan dan tiada habisnya, ketidakpuasan, kebosanan, kejemuan, keletihan, dan segala bentuk perasaan negatif lainnya yang menyakitkan, korosif, serta merusak, maka kita tidak lagi merasa perlu untuk merampas kebahagiaan ataupun hak-hak milik orang lain, yang juga mengalami hal serupa meski tidak ditampilkan pada raut wajah mereka.

Dengan mulai memahami dan menyadari bahwa kita semua merasakan dan dikuasai oleh “dukkha”, tanpa terkecuali, kita tidak lagi merasa ada yang salah dengan hidup dan diri kita ketika kita merasakan derita dan pahit-getirnya kehidupan. Ketika seseorang dipenjara oleh perspektif “hidup adalah nikmat”, maka dirinya merasa ada yang salah, ketika dirinya jatuh sakit, merasakan kekecewaan, bersedih, disakiti dan tersakiti, terluka, patah hati, pedih, perih, ketidakpuasan, putus asa, yang karenanya timbul niat untuk merampas kebahagiaan hidup orang lain semata karena merasa bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil oleh dunia ini seolah-olah hanya dirinya seorang yang merasakan “hidup tidak senikmat itu” atau “hidup yang tidak enak-enak amat”.

Seperti yang pernah disebutkan oleh Ajahn Brahm, ketika kita mendapati diri kita jatuh sakit, dan harus pergi ke dokter, maka bukanlah ini yang perlu kita katakan, “Dok, ada yang TIDAK BERES dengan diri dan tubuh saya, saya jatuh sakit!”; namun berkatalah secara antusias sembari memasang wajah berseri-seri penuh senyum, “Dok, ada yang BERES dengan diri dan tubuh saya, saya jatuh sakit!” Bila Anda diberi ruang kebebasan untuk memilih, apakah Anda akan tetap memilih untuk dilahirkan ke dunia ini?

Sedikit tambahan sebagai penutup dari penulis, menjadi putus asa atau patah semangat akibat kerap disakiti dan tersakiti, bahkan karena membenci kehidupan yang kita rasa tidak adil dan tidak patut terhadap diri kita, lantas menyiksa diri sendiri, tidak lagi merawat diri akibat kebaikan hati kita tidak dihargai, dimana bahkan menjadi orang baik justru tidak menjamin bahwa kita akan dilindungi dan tidak dilukai, berkecil hati serta pesimis terhadap kehidupan mengingat dunia ini berjalan secara tidak ideal dan seolah selalu menentang langkah kita, dimana yang benar belum tentu selamat, dimana pula yang jujur belum tentu akan menang, sejatinya kesemua perasaan negatif tersebut pun tergolong sebagai menyakiti / merugikan diri kita sendiri—dimana pelakunya yang telah menyakiti diri kita akan merasa senang serta gembira mendapati diri kita terpuruk atau bahkan tercekam oleh depresi dan terpenjara dalam trauma berkepanjangan sehingga hidup kita benar-benar dirampas dan terampas karenanya.

Cukup “merugi / sakit karena disakiti”, kita tidak perlu menambah duka yang kita alami dan hadapi dengan turut menyiksa maupun sakiti diri kita sendiri, sebagai fokus prioritas atau yang terutama dalam hidup kita. Karenanya, kita perlu belajar dan berlatih memancarkan cinta kasih serta welas asih, bukan hanya kepada segenap makhluk hidup di luar sana, namun juga terhadap diri kita sendiri, compassion toward ourselves.

Maka, ingatlah selalu, lebih baik “disakiti” daripada “menyakiti ataupun turut menyakiti diri kita sendiri”. Bila kita mengingat dan memahaminya dengan baik, maka kita tidak akan terlampau banyak memiliki penyesalan dalam hidup ini, apapun yang terjadi pada diri kita akibat perbuatan eksternal diri. Singkat kata, yang terpenting ialah kita tidak menyakiti ataupun turut menyakiti / merugikan diri kita sendiri.

Urusan kita ialah bersikap penuh welas asih terhadap diri kita. Selebihnya, urusan Karma dan buah Karma diri masing-masing sebagai konsekuensi perbuatan masing-masing baik ataupun buruknya. Silahkan saja bila seluruh orang di dunia ini bersikap jahat, tidak adil, maupun tidak patut terhadap diri kita. Yang terpenting ialah kita tidak turut mengkhianati diri kita, sehingga kita selalu memiliki seseorang tempat kita mendapatkan kehangatan dan cinta kasih, orang tersebut yaitu diri kita sendiri yang senantiasa siap hadir untuk diri kita secara lembut, baik, serta penuh pengertian. Barulah menjelma menjadi sebuah tragedi kemanusiaan, ketika diri kita sendiri pun bahkan menyakiti dan turut melukai diri kita, sehingga kita benar-benar tidak memiliki siapa pun di dunia ini.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.