Gelar Akademik Kesarjanaan, Membebaskan ataukah Membatasi dan Mengamputasi Dunia serta Potensi Seseorang?

SERI SENI HIDUP

Bahaya Dibalik Obsesi Mengejar Gelar Akademik yang Perlu Anda Ketahui dan Pahami, sebelum Benar-Benar Terjerumus Tanpa Titik untuk Kembali

Tanyakan kepada anak kecil yang masih bocah di bangku Taman Kanak-Kanak, hendak menjadi apakah mereka kelak? Mereka akan menjawab, mau menjadi apa saja yang mereka sukai, tanpa batasan. Jika sudah bosan menjadi petugas pemadam kebakaran, mereka bisa beralih profesi menjadi seorang presiden, lalu menjadi seorang pelaut, menjadi seorang pilot, seorang dokter, dan lain sebagainya. Kita, terkadang perlu memiliki semangat serta kepolosan seorang bocah yang masih duduk di taman kanak-kanak, yakni bebas dari segala label bernama “gelar kesarjanaan” agar dunia kita tetap terbuka lebar untuk segala peluang yang tidak terbatas—tidak terkungkung layaknya katak dalam tempurung.

Mengapa dapat terjadi, orang-orang yang “drop out” dari kampus, justru mencetak kesuksesan besar dalam karir dan usaha mereka? Mereka mengorbitkan diri, tanpa mengandalkan gelar kesarjanaan apapun. Mereka membangun branding diri, bahkan tanpa menyertakan gelar kesarjanaan apapun. Mengapa juga, orang-orang yang bahkan tidak punya gelar pendidikan formal, mampu menjadi maestro dan menjadi termasyur berkat keterampilan dibidang yang selama ini mereka geluti? Mengapa pula, tidak sedikit diantara masyarakat kita yang menyandang berbagai gelar akademik, namun berakhir pada kondisi memprihatinkan (kata yang lebih halus untuk “mengenaskan”) dan lebih banyak menyembunyikan gelar mereka tersebut ketika bermasyarakat sembari menyalahkan “nasib” yang seolah telah mempermainkan dan menyudutkan mereka, meski gelar kesarjanaan tersebut mereka sendiri yang memilihnya? Fakta, terdapat seorang bergelar Sarjana Hukum plus menyandang status sebagai seorang Pengacara (Advokat), ternyata kini telah “banting setir” menjadi seorang driver “ojek online”—namun tanpa menyertakan gelarnya tersebut, tentunya.

Yang kurang lazim dipahami oleh masyarakat yang dewasa ini demikian mengejar gelar akademik atau oleh orangtua mereka yang memaksakan dan mendorong putera-puteri mereka agar memperoleh berbagai dan jika perlu mengoleksi sederetan gelar kesarjanaan, ialah, dunia mereka dapat benar-benar menjadi sangat terbatas, yakni sesempit gelar kesarjanaan maupun berbagai gelar akademik yang mereka peroleh dan sandang dalam kartu nama mereka selama ini. Mungkin saja mereka benar-benar menjadi “expertise” alias pakar dibidang gelar akademik yang mereka sandang dan peroleh serta mengetahui segala seluk-beluk diseputarnya, namun konsekuensinya ialah dunia mereka berubah menjelma menjadi dunia yang demikian sempit. Bila fakta tersebut saja belum cukup fatal menurut Anda, maka lanjutkan bacaan Anda di bawah ini.

Bila Anda lebih menyukai dan mendambakan kebebasan—mengingat sebagian kecil dari suatu populasi manusia, amatlah sangat mengagungkan kebebasan hidup yang tidak terbatas ini—menggali bakat dan potensi secara tidak terbatas, bahkan memacu diri melampaui segala ketidak-mungkinan, tanpa sekat yang Anda ciptakan sendiri akibat “kutukan gengsi” yang disandang oleh gelar akademik Anda, maka sebaiknya Anda mengurungkan niat Anda atau setidaknya memikirkannya dua kali sebelum menghabiskan waktu, umur, tenaga, pikiran, serta biaya Anda untuk mengambil perkuliahan pada suatu perguruan tinggi. Jangan biarkan gelar akademik membatasi dunia dan potensi diri dalam diri Anda untuk digali dan eksplorasi.

Contoh paling klasik yang masih relevan hingga saat kini, ialah para penyandang gelar Sarjana Hukum, yang merasa gengsi bila berkecimpung dalam praktik usaha diluar bidang jasa hukum (sekalipun seringkali tiada seorang pun yang melarang mereka untuk alih profesi diluar jasa hukum), mengakibatkan mereka benar-benar menyerupai “katak dalam tempurung”, bahkan tidak jarang menjadi aib tersendiri bila mereka “putar haluan” menjadi seorang pedagang gadget, sebagai contoh, yang kita sebut sebagai “sindroma delusi” akibat menyandang gelar akademik. Itulah, ketika gelar kesarjanaan bisa menjadi dan menyerupai momok dan mimpi buruk—momok yang bahkan Anda beli dan bayar dengan harga yang sangat mahal.

Terlebih pertimbangkan kembali bila Anda hendak mengambil strata dua berupa gelar akademik semacam “magister” ataupun stata tiga dengan gelar akademik “doktoral” ataupun “PhD” pada negeri asing jauh disana, maka Anda akan menemui sebuah keadaan dilematis dengan harga yang sangat mahal untuk Anda bayarkan sebelum dan setelah memperoleh berbagai gelar akademik tersebut, yang disebut sebagai jebakan mental “point of no return”. Gelar akademik, dapat demikian mengekang cara berpikir dan cara Anda melihat dunia serta peluang usaha dalam mencari nafkah ataupun berkarir.

Sekadar sebagai ilustrasi, mereka yang hanya menyandang gelar “Sarjana Hukum”, memiliki beberapa puluh persen peluang minat untuk alih-haluan berkecimpung dalam bidang diluar jasa hukum. Sementara itu mereka yang telah menyandang gelar “Magister Hukum”, kian menipis potensi dan probabilitas bagi mereka untuk putar-haluan bidang usaha yang akan mereka geluti sampai akhir hayat. Terlebih bila mereka telah menyandang gelar akademik “Doktor Hukum”, maka peluangnya kian sempit dan terbatas : Bidang usaha hukum atau “tamat riwayat” sama sekali. Benar-benar pahami bahaya dibalik setiap opsi terkait gelar akademik, jangan sampai “penyesalan selalu datang terlambat”—dan terlebih memalukan, seorang Sarjana Hukum kalah terampil dan kalah pengetahuan dengan orang awam dalam hal disiplin ilmu hukum, atau bahkan seorang Doktor Hukum kalah tahu dan kalah terampil menghadapi “seorang tanpa gelar”.

Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi sederhana akan lebih tepat sasaran. Seseorang tanpa gelar akademik, berkat “drop out” ataupun berkat berkuliah pada “Universitas Kehidupan” (sebagai mahasiswa “abadi”, tentunya), akan merasa bebas untuk berpetualang dalam jagat rimba profesi dan bidang usaha yang tidak mengenal batas peluang untuk ditekuni, mulai dari membuka butik, restoran, kafe, salon, jasa rias pengantin, pembuatan kue, kuliner, jasa dekor semacam “event organiser”, membuka pabrik padat karya, jasa desain interior, jasa desain grafis dan animasi, jasa konstruksi, melakukan bisnis “trading”, dan lain sebagainya tanpa batasan maupun tanpa sekat bidang apapun yang dapat digeluti disaat bersamaan.

Mereka, para “tanpa gelar kesarjanaan”, merasa takut akan kegagalan sehingga memukul mereka untuk alih bidang usaha? Tidak sama sekali. Berbeda halnya dengan mereka yang bergelar akademik hukum, semisal, akan merasa terpukul serta terhina harga diri mereka bila gagal berkecimpung dalam dunia hukum, serta merasa “gengsi” (jebakan mental) bila mencoba membuka usaha diluar bidang hukum, semisal melamar pekerjaan sebagai seorang chef pada sebuah restoran atau menjadi juru masak maupun teknisi pada suatu hotel.

Karena itulah, para “tanpa gelar” bisa berpetualang sebagai profesi dan menjadi profesional dalam bidang apapun, dan seringkali diversifikasi usaha mereka demikian luas dimana bidang usaha yang dimiliki olehnya bisa jadi dan besar kemungkinan tidak saling relevan satu sama lainnya. Seseorang disebut sebagai profesional, bukanlah berkat gelar, namun berkat keterampilan yang memang telah teruji dalam dunia praktik, alih-alih dunia teoretis non-terapan. Bagi mereka, bidang usaha tertentu tidaklah penting, yang terpenting ialah berhasil mencetak profit alias laba usaha secara kreatif dan inovatif, dan terus mengembangkan usaha mereka hingga skala “auto pilot”.

Dalam ilmu ekonomi, itulah yang disebut sebagai “diversifikasi portofolio”, dimana usaha yang mereka tanamkan modal dan geluti, dapat menjadi “jaring pengaman” (safety nett) tatkala satu bidang usaha mengalami pukulan akibat adanya perubahan kebijakan pemerintah, pergeseran bandul minat konsumen, jenuhnya pasar, maupun munculnya kompetitor kuat, dimana sang pengusaha “tanpa gelar” akan tetap “survive” berkat strategi “tidak menaruh telur dalam satu keranjang”—suatu kebijakan yang tidak akan pernah terpikirkan oleh mereka yang selama ini memikul gelar kesarjanaan kemana pun mereka berada.

Para “tanpa gelar” tersebut adalah seorang “entrepreneur” sejati, karena dunia mereka demikian luas dan tidak membatasi diri pada sekat gelar akademik apapun, karenanya peluang mereka untuk sukses masih lebih terbuka lebar ketimbang mereka yang serba membatasi peluang diri dan karir pada bidang usaha tertentu sesuai gelar yang mereka pikul (baca : terbebani oleh gelar akademik). Ketika Anda merasa, gelar akademik Anda telah tidak lagi produktif, atau bahkan kontraproduktif terhadap faedah dan kemanfaatan yang bisa Anda petik kedepannya, karena hanya menjadi beban mental, maka janganlah segan-segan untuk menanggalkannya tanpa lagi berpaling ke belakang, dan mulai sepenuh hati memandang serta melangkah ke depan.

Sebaliknya, rata-rata para penyandang gelar akademik, adalah seorang “worker” ketimbang seorang “entrepreneur”. Ketika mereka merasa belum sanggup untuk membuka kantor usaha sendiri, mereka akan cenderung berorientasi menjadi seorang pegawai dengan terus-menerus mencari lowongan pekerjaan pada berbagai kantor yang telah ada dan beroperasi, dimana kata “hire” berarti dapat terus melangsungkan kehidupan, sementara “fired” artinya kiamat sudah dekat.

Karenanya, waktu dan hidup mereka habis bagi satu buah perusahaan atau pemberi kerja—yang mana ironisnya, sang pemilik usaha seringkali tidak memiliki gelar akademik apapun, namun sanggup mempekerjakan para sarjana untuk kepentingan usaha bisnisnya. Kita dapat menyebutkan sederet nama tokoh sukses dalam bisnis yang tidak menyandang gelar akademik apapun. Namun, dari ribuan penyandang gelar Doktor Hukum, sebagai contoh, berapa banyak atau berapa persen diantara mereka yang saat kini benar-benar dapat sukses dalam karir dan kehidupan bisnisnya dibidang hukum? Jangankan bermimpi menjadi Kurator ataupun seorang bergelar Arbiter, kesemua itu hanyalah komoditas yang semata menguntungkan lembaga penyedia jasa pendidikan dan kursus. Itulah mengapa serta sebabnya, perguruan tinggi selalu adalah bisnis yang paling menggiurkan, sekaligus yang paling tidak menjanjikan bagi para peserta didiknya yang telah membayar mahal serta membuang-buang waktunya.

Bila Anda merasa terpaksa perlu mengikuti arus, berupa perolehan gelar kesarjanaan, agar calon mertua Anda tidak berkeberatan Anda meminang buah hati Anda, maka pertimbangkanlah opsi berikut ini disamping resiko dibaliknya yang perlu Anda ketahui dan pahami sebelum menjatuhkan putusan, fakultas serta penjurusan apakah yang hendak Anda ambil serta tempuh, sebelum terlampau jauh salah melangkah dan dapat berujung pada mentalitas “sayang bila gelarnya disia-siakan” dan tetap melekatinya meski hanya menjadi beban yang tidak bermanfaat karena membatasi ruang gerak serta langkah kaki Anda ketika menyandangnya (tersandera gelar akademik).

Terdapat seseorang yang mulanya seangkatan dengan penulis, sebagai sesama mahasiswa pada fakultas hukum pada suatu universitas, belasan tahun lampau, yang demi meraih kesuksesan, rela melepas gelar akademik kesarjanaan dibidang hukum dengan memilih “drop out” secara sukarela tepat pada semester akhir menjelang kelulusan, dan dalam tempo singkat hanya beberapa tahun berselang, ia telah terbang lepas landas memiliki berbagai unit usaha dan bisnis yang cukup sukses, meninggalkan rekan-rekannya yang telah menyandang gelar Sarjana Hukum namun hanya berstatus sebagai seorang pegawai. Ia gagal dalam memperoleh gelar akademik dibidang hukum sampai akhir masa perkuliahan, namun sukses menjadi seorang usahawan sejati dengan mempekerjakan karyawan, meraih kebebasan secara finansial, yang menginspirasi dan menggugah kesadaran banyak rekannya yang semula masih orthodoks dalam memandang kesuksesan.

Fakultas ekonomi, teknologi dan informatika, maupun manajemen, masih bersifat lebih luas lingkup bidang usaha yang berpotensi Anda geluti serta tekuni dikemudian hari. Sementara itu fakultas seperti hukum, akuntansi, hubungan internasional, ilmu politik, dan sebagainya, jauh lebih sempit lingkup ruang bidang usaha yang dapat Anda geluti bersama kemelekatan gelar akademik yang Anda peroleh dengan susah-payah penuh pengorbanan dari segi biaya, waktu, maupun tenaga hingga tetesan air mata ataupun cucuran darah. Namun, keliru memilih sub-bidang disiplin ilmu, jauh lebih mencelakakan sang penyandang gelar.

Sebagai contoh, hukum bisnis masih lebih luas potensi bidang usaha yang terbuka bagi Anda, ketimbang seorang sarjana lulusan penjurusan hukum tata negara atau seperti hukum pidana, hukum agama, dsb. Namun yang paling “high risk”, ialah seperti Fakultas Kedokteran serta Farmasi, dimana perjuangan dan pengorbanan seorang mahasiswa menempuh pendidikan tinggi hingga kelulusan, memerlukan komitmen yang tinggi dari segi anggaran, ketekunan, keringat, disamping waktu. Tiada pilihan lain bagi lulusan kedua fakultas ini, selain menjadi seorang dokter maupun apoteker.

Investasi yang mereka investasikan untuk memperoleh gelar kesarjaan kedokteran maupun farmasi, membuat mereka tiada memiliki opsi lain selain memakai “kacamata kuda” : menjadi dokter / apoteker, atau tamat riwayat. Mereka tidak dapat “try and failure” pada satu bidang melompat pada bidang usaha lain secara buka-tutup layaknya pada “tanpa gelar”. Dunia mereka menjadi demikian terbatas peluangnya, kecuali kian terspesialisasi seperti spesialis penyakit dalam, spesialis saraf, spesialis gigi, spesialis mata, dsb.

Apa yang akan penulis tuturkan sebagai imbauan penutup ini, sangat jauh dari kesan klise, yakni kelola tujuan utama Anda ketika memutuskan untuk menempuh pendidikan formil hingga perguruan tinggi. Bila hanya sekadar mengejar gelar, maka Anda hanya buang-buang waktu Anda, kompetitor Anda yang punya gelar serupa, berderet-deret di luar sana dan dunia ini tidak pernah kekurangan para sarjana dengan gelar serupa. Tekuni apa yang bisa kita pelajari, dalami secara seoptimal mungkin, gali dan eksplorasi ilmu selama proses pembelajaran berlangsung, dan mengasah keterampilan, dan setelah dinyatakan lulus, maka lupakan gelar akademik itu, agar mentalitas kita tidak terjebak kesempitan dunia yang disandang gelar akademik suatu bidang tersebut.

Jika Anda merasa, ilmu dapat digali dan ditimba tanpa medium pendidikan formal yang boros dari segi waktu, anggaran, serta tenaga, maka belajarlah secara otodidak atau setidaknya lewat berbagai forum pendidikan informal, maka Anda akan merasa terbebaskan, yakni terbebas dari “kutukan gelar”, juga bebas untuk berpetualang dan mengeksplorasi kehidupan ini dalam berbagai bidang usaha yang Anda benar-benar sukai dan untuk putar-haluan sesuka hati Anda tanpa perlu membatasi diri oleh sekat-sekat yang di-ilusi-kan oleh gelar akademik apapun.

Dunia ini terlampau luas untuk kita belajar dari “try and failure” diri sendiri maupun belajar dari pengalaman orang lain, tidak selebar “gelar akademik yang setipis daun kelor”. Kita cukup membuka hati dan pikiran kita, maka peluang yang tidak terbatas itu sudah terhampar lebar di depan mata kita yang menunggu untuk dijangkau dan dikelola. Kubur dalam-dalam gelar akademik Anda, jika perlu. Harga diri bukan ditentukan oleh sumber gengsi semacam gelar, namun dari kesuksesan hidup secara mandiri dan bebas secara finansial, berdiri di atas kaki sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.