Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Bukan Individu yang Bebas, Mandiri, Merdeka, dan Independen

ARTIKEL SOSIOLOGI

Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Butuh Komentar Orang Lain serta Jangan Bersikap Seolah-Olah Kita Meminta Izin dari Orang Lain untuk Berbuat ataupun untuk Tidak Berbuat Sesuatu

Sepanjang Kita Tidak Merugikan ataupun Melukai Kepentingan Orang Lain, maka Kita Tidak Pernah Butuh Komentar juga Tidak Meminta Izin dari Orang Lain atas Hidup Kita Sendiri. Bersikaplah sebagai Individu yang Mandiri, Bebas, Merdeka, serta Independen

Bagaikan orang-orang yang menyebutkan bahwa hidup haruslah “positive thinking”, jangan ber-“negative thinking”. Cobalah praktikkan itu di Indonesia, di tengah-tengah bangsa “agamais” yang tidak takut berbuat jahat serta curang terhadap orang lain namun masih juga yakin dan mengharap masuk surga, beranikah Anda ber-“positive thinking”? Justru, kita perlu bejalar dan meniru perilaku orang-orang dengan “negative thinking”. Itulah, paradoks kehidupan. Tidak percaya? Cobalah dan buktikan sendiri, dimana penulis dapat bertaruh bahwa Anda akan mulai berpikir untuk menyewa seseorang asisten yang dapat membantu memberikan bisikan “negative thinking” bagi Anda—dan itulah peran profesi hukum, “prepare for the worst case scenario”.

Mereka yang tergolong “ekstrovert”, kerap menghakimi serta mem-bully kaum berbeda yang disebut berbeda semata karena “introvert”. Namun fakta-fakta ilmiah telah membuktikan, bahwa orang-orang yang tergolong jenius serta memiliki kemampuan “deep thinking” adalah mereka yang tergolong “introvert”, sehingga kita perlu meniru sikap independen serta kemandirian karakter yang selama ini dimiliki para “introvert” yang lebih mampu menikmati kesoliteran pribadinya.

Sama halnya, orang-orang yang memandang dirinya sebagai “normal”, menghardik dan memandang remeh serta rendah terhadap orang-orang dengan gejala “sindrom autistik”. Faktanya, kita sebagai orang “normal” justru perlu belajar dari orang-orang dengan kondisi “autis”, sebagaimana akan kita bahas dalam kesempatan yang berharga ini. Senada dengan pesan pepatah yang pernah penulis buktikan sendiri, “Berusaha menyenangkan semua orang merupakan kegagalan terbesar dalam hidup seorang manusia.” itulah juga, yang kita sebut sebagai seni hidup dalam sebuah paradoks.

Pada satu sisi, kita mengklaim dan memperjuangkan diri sebagai manusia yang dilahirkan secara bebas, mandiri, serta merdeka. Setiap individu dilahirkan sebagai makhluk yang bebas, setara, serta merdeka, demikian piagam hak asasi manusia memproklamirkan. Begitupula slogan-slogan seperti anti penjajahan manusia satu atas manusia lainnya. Akan tetapi pada sisi lainnya, sebagian besar diantara kita begitu takut-nya dan begitu anti-nya terhadap komentar pedas ataupun kritik dan olok-olok oleh orang lain yang membuat mereka mampu dengan mudahnya menyetir dan mendikte kita lewat ucapan mereka—alias bergantung pada pemikiran orang lain, begitu terobsesi karenanya. Fakta dibalik delusi demikian, pikiran orang lain adalah urusan milik mereka sendiri dan urusan kita ialah mengurusi pikiran kita pribadi, inilah yang baru benar-benar disebut sebagai bebas dan merdeka, yang memang menjadi maskot gaya berpikir dan bersikap kalangan “autis” maupun “introvert”. Lihat, para “introvert” yang harus merasa iri hati terhadap para “ekstrovert”, ataukah sebaliknya?

Bagaikan sebuah “mantra”, seseorang mampu mengatur orang lain sebatas lewat ucapan. Sebagai contoh, olok-olok-lah seseorang dengan kata-kata atau kalimat yang melecehkan, penuh hinaan, hingga menjadikan mereka sebagai objek lelucon, maka orang tersebut akan “tersentil” serta menjadi marah sebelum kemudian balas menghardik, atau bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap mereka yang telah mengolok dan menghina dirinya. Artinya, baik si pelaku maupun korbannya (siapa juga “pelaku” dan siapa pula “korban” dalam konteks konstruksi kasus semacam demikian?), atau baik si pengolok maupun si terolok, sama-sama tidak benar-benar mandiri, tidak juga independen, serta tidak pula pribadi manusia yang bebas-merdeka.

Si pengolok, tidak memahami serta tidak menyadari bahwa orang lain tidaklah membutuhkan izin dari diri si pengolok untuk melakukan segala sesuatu terkait dirinya sendiri (sepanjang tidak menyakiti ataupun merugikan orang lain). Si pengolok juga tidak memahami terlebih menyadari, bahwa orang lain tidak meminta komentar dari si pengolok. Ia pun tidak mampu mengerti bahwa dirinya tidak berhak menghakimi ataupun mendiskreditkan martabat pribadi lainnya, seolah-olah dengan merendahkan harkat warga lain maka dirinya akan terangkat harkatnya (lagi-lagi “delusi”).

Sebaliknya, disaat bersamaan, si terolok yang merasa tersinggung dan menjadi “naik pitam”, bahkan menjadi takut ataupun trauma karenanya terhadap olok-olok, terjadi semata karena diri yang bersangkutan tidak memahami terlebih menyadari, bahwa dirinya adalah individu yang bebas dan merdeka ataukah tidak? Lantas, apakah konsekuensi dibalik gaya berpikir yang murni merdeka dan bebas tanpa dikotori oleh anasir semacam rasa takut ataupun harapan semu?

Suatu individu, ketika benar-benar memahami sepenuhnya bahwa dirinya memiliki kemerdekaan sebagai manusia yang hidup secara merdeka, bebas dimana kebebasan dari segala jenis penjajahan fisik maupun secara mentalitas, independen karenanya bukan sebagai individu yang terjajah statusnya dan tiada status warga lain yang lebih tinggi martabatnya di mata hukum oleh karenanya, serta mandiri yang mana kemandirian dari segi pikiran serta nasib untuk dan dalam rangka “menentukan nasib sendiri”—bukankah, itu sangat menyerupai seseorang yang kita sebut sebagai memiliki kondisi “autistik” atau setidaknya mereka yang kerap diberi stigma sebagai “introvert si tidak normal”? Mengapa juga, kaum “ekstrovert” yang menganggap dan berasumsi dirinya sebagai “normal” semata karena mayoritas penduduk dunia diisi oleh para “ekstrovert”? Justru, karena “introvert” adalah makhluk yang langka, ia menjadi sangat berharga serta bernilai tinggi nilainya.

Hanya lewat pintu gerbang penyadaran serta penghayatan terhadap kemerdekaan diri, kebabsan diri, independensi diri, serta kemandirian diri, kita barulah dapat benar-benar memahami serta menginternalisasi pemahaman bahwasannya kita tidak pernah membutuhkan izin dari orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas diri, tubuh, serta pikiran kita sendiri—yang mana karenanya juga kita tidak pernah meminta komentar dari pihak mana pun, yang mana bilamana orang lain merasa memiliki hak untuk memberikan ataupun menolak izin atas hidup dan kehidupan pribadi kita sendiri, ataupun untuk merasa memiliki hak untuk memaksakan orang lain untuk meminta serta memiliki kebutuhan terhadap setiap komentar dari diri kita ataupun dari orang lain lainnya,

Bukankah seseorang yang selama ini disebut sebagai “autis”, dijuluki dan digolongkan sebagai demikian, semata karena mereka, para penyandang sindrome “autis” tersebut, tidak pernah meminta izin dari orang lain untuk bertindak atau tidak bertindak atas hidup mereka sendiri serta tidak pernah membutuhkan komentar orang lain atas tindakan atau tidak bertindaknya diri mereka atas hidup mereka sendiri, sehingga patut menjadi maskot dari manusia yang benar-benar sepenuhnya dan seutuhnya merdeka, bebas, independen, serta mandiri? Mereka, adalah raja dan pemilik dari dunia mereka sendiri, serta sebagai pemenang “free will” alias “kehendak bebas”. Mereka yang mengusung konsep kemerdekaan serta pribadi yang bebas, perlu belajar dari para kaum “autis” atau setidaknya dari para “introvert” yang dikenal khas sangat independen karakternya.

Apa yang disebut sebagai pribadi yang bebas, merdeka, independen, serta mandiri, serta bagaimana untuk dapat berlatih menjadi pribadi dengan empat karakteristik unggul demikian, tampaknya dapat merujuk pada teladan hidup serta ajaran atau khotbah Sang Buddha dalam Sayutta Nikāya (sutta pitaka, Tripitaka), berisi ajaran sebagai berikut, yang membuat kita dapat memahami mengapa Sang Buddha mendapat julukan sebagai “Guru Agung bagi para manusia dan para dewata”:

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.”

Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahanta, namun Guru Gotama masih bisa marah.”

(NOTE Redaksi : Kitab Komentar menyebutkan, Ia telah mendengar bahwa para petapa menjatuhkan kutukan ketika mereka marah, jadi ketika Sang Buddha berkata, “Itu masih tetap milikmu, Brahmana!” Ia menjadi takut, berpikir, “Petapa Gotama sepertinya menjatuhkan kutukan kepadaku.” Oleh karena itu, ia berkata demikian.)

[Sang Bhagavā:]

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar, dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, dalam diri seorang yang seimbang yang berdiam dalam kedamaian?

(NOTE Redaksi : Bhikkhu Bodhi menerjemahkan tādi sebagai “Yang Stabil” sesuai dengan kemasan dalam komentar, tādilakkhaa pattassa, yang menyinggung penjelasan tādi pada Nidd I 114-16: “Arahanta adalah tādi karena Beliau ‘stabil’ (tādi) dalam hal untung dan rugi, dan sebagainya; Beliau adalah tādi karena Beliau telah melepaskan segala kekotoran; Beliau adalah tādi karena Beliau telah menyeberangi empat banjir, dan seterusnya, Beliau adalah tādi karena batin-Nya telah terbebas dari segala kekotoran; dan Beliau adalah tādi sebagai penggambaran diri-Nya dalam hal kualitas-kualitas-Nya.”)

Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak—Dirinya dan orang lain—Orang-orang yang menganggapnya dungu, adalah tidak terampil dalam Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Sagha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, sudilah memberikan penahbisan yang lebih tinggi kepadaku.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, dengan tekun berlatih dalam Dhamma, menyadari pembebasan, kemudian Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu dari para Arahanta.

Mari kita simak kembali sabda dari Sang Buddha yang sarat kandungan esensi “seni kehidupan”, dalam dua buah poin yang menjadi satu-kesatuan berikut:

- “Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—(karenanya menjadi memiliki hak untuk) menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

- “Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.”

Bukankah itu sangat terdengar khas tipikal seorang “autistik” maupun kaum “introvert”? Namun siapa juga yang berani menyatakan bahwa Sang Buddha adalah seorang “autis” mengingat Beliau memiliki ribuan Siswa serta jutaan umat perumah tangga bahkan juga jutaan para dewa yang berguru kepada Sang Buddha? Meski demikian, lepas dari polemik demikian, yang pasti syarat mutlak untuk menjadi pribadi yang independen, merdeka, bebas, serta mandiri, ialah tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun, karena itulah seseorang baru memiliki hak untuk menolak menerima dari siapapun cacian dan kemarahan dan semburan yang mereka lepaskan kepada kita.

Sebagaimana kata pepatah lainnya bila suatu konflik telah menjurus sebagai kekerasan fisik bukan lagi kekerasan verbal, “jika ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk berperang”. Bagaimana mungkin, frasa “damai” bersanding dengan “berperang”—yang mana seolah keduanya saling bertolak-belakang serta saling menegasikan? Itulah paradoks. Hidup seringkali tidak menerapkan “logika biner” ala “hitam atau putih”, namun selalu terdapat zona berskala “abu-abu”.

Semisal, sebuah negara yang memerangi (menjajah) bangsa lain, tidak berhak menolak bila kemudian negaranya sendiri yang menjadi korban penjajahan oleh kolonialisasi negara lain. Berperang dalam rangka bela diri, hanya menjadi hak prerogatif sebuah bangsa yang selama ini memang “cinta damai” dengan menjaga keharmonisan dengan negara lain, yang karenanya melahirkan hak bagi negara tersebut untuk menolak untuk dijajah maupun segala jenis penjajahan. Sama halnya, orang-orang baik yang tidak pernah menipu, menyakiti, ataupun merugikan warga lainnya, memiliki hak untuk menolak ditipu, disakiti, ataupun dirugikan oleh warga lainnya. Itulah yang disebut sebagai prinsip resiprositas, yang mana keberlakuannya bersifat resiprositas, alias bertimbal-balik. Dalam derajat tertentu, itulah salah satu aspek keadilan dalam kehidupan di dunia manusia.

Seorang penipu, tidak berhak untuk menolak terlebih melakukan komplain dan protes ketika tertipu oleh penipu lainnya. Penipu layak dan sudah sepatutnya tertipu (Hukum Karma). Sang Buddha tidak pernah mengolok ataupun menghina pribadi lainnya, karenanya memiliki hak untuk menolak segala jenis olokan maupun hinaan dari pihak lain. Para “ekstrovert” yang kerap tidak mampu menjaga ucapan dan kata-katanya, sebaliknya, hidup dari lidah dan mulut mereka yang “tajam” (sekaligus disaat bersamaan “tidak bertulang”), karenanya akan mati juga karena lidah dan mulut milik mereka sendiri. Seorang “introvert” (terlebih “autis”), tidak tertarik untuk menghakimi individu lainnya, dan mereka tidak hidup dari itu, karenanya mereka berhak untuk menolak segala jenis komentar yang dilontarkan ataupun disematkan oleh orang lain terkait dirinya, dan disaat bersamaan berhak untuk hidup secara bebas, merdeka, independen, serta mandiri seutuhnya dan sepenuhnya.

Sebagaimana pula kata pepatah, orang-orang “kerdil” dan “dangkal” membincangkan dan menjadikan orang lain sebagai objek lelucon maupun kritik. Namun, orang-orang “besar” selalu memiliki satu ciri khas yang tidak dipunyai oleh orang-orang “kerdil”, yakni mereka hanya sibuk membicarakan hal-hal besar berupa ide dan gagasan, bukan perihal mengomentari ataupun melecehkan tentang pribadi orang lain. Hanya orang-orang dengan mental yang “besar”, yang memiliki hak istimewa untuk menolak segala jenis tudingan, komentar, olok-olok, penghinaan, ataupun segala diskredit lainnya dari orang lain—mereka terlampau besar untuk sebuah komentar yang dangkal dari orang-orang “kerdil” yang tidak memiliki kesibukan lain untuk disibuki selain mengomentari perihal orang lain (sepele, namun menyepelekan orang lain).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.