Politik Hukum Umur Pensiun dan Pesangon Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION

Antara Progresif Besaran Hak atas Pesangon dan Batas Usia Pensiun Pekerja / Buruh

Question: DI Amerika Serikat, Singapura, dan Tiongkok, umur pensiun pekerja di negara-negara tersebut telah berada di atas umur enam puluh tahun, jauh di atas usia pensiun pekerja pada umumnya seperti yang kita ketahui pada praktik perburuhan di Indonesia. Bagaimana dengan pandangan hukum SHIETRA & PARTNERS, apakah yang namanya pensiun (ada kaitannya terhadap hak atas pesangon) adalah sebuah batasan ataukah sebuah hak untuk diambil oleh setiap pekerja yang telah memasuki usia pensiun?

Brief Answer: Berbicara perihal batas usia pensiun, maka mau tidak mau kita perlu menyentuh aspek konsekuensi yuridisnya, yakni hak atas pesangon. Terkait apakah pensiun merupakan “hak” ataukah “batasan”, yang jelas ialah ketika seorang pekerja / buruh telah memasuki usia pensiun sesuai peraturan terkait Pegawai Negeri Sipil maupun Peraturan Perusahaan yang mengatur mengenai usia pensiun masing-masing perusahaan, maka seketika itu juga pekerja yang bersangkutan memiliki hak untuk mendapatkan pesangon, sekalipun yang bersangkutan tetap dipekerjakan kembali oleh manajemen dengan masih melihat kemampuan dan daya tahan fisik sang pekerja atau berdasarkan kebutuhan pihak pemberi kerja—namun yang jelas ialah, secara yuridis hak atas pesangon terkait pensiun telah terbit dan menjadi kewajiban pihak pemberi kerja untuk memberikannya seketika itu juga saat usia pensiun pihak pekerjanya telah mencapai usia pensiun, terlepas apakah sang pekerja tetap bersedia dipekerjakan atau tidaknya.

Khusus untuk “pensiun dini”, sifatnya ialah dimohonkan oleh pihak pekerja yang belum memasuki usia pensiun—yang artinya, “pensiun dini” bukanlah “hak”, namun kebijakan internal pihak pemberi kerja untuk membuat keputusan “mengabulkan” ataukah “menolak” permohonan demikian. Ketika pihak manajemen menolak permohonan “pensiun dini”, maka sang pekerja tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan pesangon terkait pensiun, dan bila memaksakan diri untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak seperti “mengundurkan diri”, maka seluruh hak atas pesangonnya menjadi hapus serta gugur (demi hukum, kecuali terdapat intimidasi dari pihak pemberi kerja), semata karena umur sang pekerja belum mencapai “usia pensiun”.

PEMBAHASAN:

Berbicara perihal usia pensiun dan hak atas pesangon sebagai isu hukum pendampingnya (dua sisi dalam satu keping mata uang yang sama), maka kita berbicara serta menyentuh aspek apa yang kita sebut sebagai “politik hukum ketenagakerjaan”. Tidak selamanya kita menilai bahwa tingginya tingkat usia pensiun, berkorelasi lurus terhadap tingkat kemakmuran bagi kepentingan pihak pekerja / buruh, demikian SHIETRA & PARTNERS menegaskan, yang akan kita uraikan bersama dengan beberapa opsi skenario sebagaimana berbagai ilustrasi potensi kemungkinan dan peluang di bawah ini.

Ketika tingkat perolehan hak atas pesangon sebagaimana diatur oleh Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan maupun sebagaimana diatur dalam Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama antara pihak Serikat Pekerja dan pihak manajemen Perusahaan (tidak dapat lebih rendah dari besaran pesangon yang diatur dalam peraturan perundang-undangan), cukup memadai nilai perolehannya bagi pekerja yang memasuki usia pensiun sekalipun batas usia pensiun ialah berada dibawah usia enam puluh tahun, maka sang pekerja dapat menikmati masa pensiunnya tanpa harus tersiksa menjadi berstatus sebagai seorang pekerja hingga akhir hayatnya “tutup usia”—ibarat “hidup hanya untuk bekerja”, alih-alih “bekerja untuk hidup”.

Sebaliknya, ketika bandul politik hukum ketenagakerjaan bergeser, dengan mengubah batas usia pensiun menjadi berkisar pada umur atau usia diatas umur enam puluh tahun, bahkan hampir mencapai umur tujuh puluh tahun dari sang pekerja / buruh, dengan tingkat hak atas pesangon yang sama, maka dapat dipastikan sang pekerja telah tidak lagi memiliki gairah untuk produktif bekerja, disamping resiko kehilangan hak atas pesangon bila dirinya mengundurkan diri akibat faktor kesehatan yang menurun, hilangnya semangat kerja, disorientasi akibat usia, berkurangnya daya ketelitian terutama kreativitas, penglihatan, ingatan, maupun pendengaran sehingga kinerja menurun dan berpotensi mendapat surat teguran ataupun peringatan dari manajemen perusahaan, atau ditolaknya permohonan “pensiun dini”, akibatnya pekerja yang bersangkutan berpotensi kehilangan seluruh hak atas pesangon.

Terutama ketika akibat faktor usia yang telah tergolong lanjut usia (lansia) yang tentunya memiliki penyakit penyulit khas “lansia”, kecerobohan dan berbagai kelalaian yang sebelumnya tidak pernah sang pekerja lakukan saat masih muda ketika bekerja, atau tidak tercapainya target kerja sehingga prestasi menurun menurun secara gradual tahun demi tahun ketika semakin “menua” dan “uzur”, dapat berujung pada di-PHK-nya pihak pekerja, dimana pihak manajemen menjadikan kelalaian atau penurunan kinerja demikian sebagai alibi sempurna untuk memutus hubungan kerja (PHK) tanpa disertai pemberian hak atas pesangon (sebuah “manipulasi emosional” dimana sang pekerja menjadi merasa bersalah dan sungkan menggugat hak atas pesangon ketika di-PHK secara sepihak demikian ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial).

Dalam skenario ketiga, tingkat hak atas pesangon yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, ternyata sangat rendah bagi pekerja yang telah bekerja puluhan tahun dan telah memasuki usia pensiunnya. Akibatnya, ketika usia pensiun sangat rendah, dibawah usia enam puluh tahun, memberikan hak bagi pihak pemberi kerja untuk melakukan PHK sepihak terhadap pekerjanya yang telah mencapai usia pensiun, dengan sebatas kewajiban pembayaran kompensasi berupa pesangon yang rendah tersebut. Skenario demikian, menjadi mimpi buruk bagi kalangan pekerja / buruh.

Idealnya, ketika otoritas negara merubah ketentuan besaran hak atas pesangon menjadi lebih turun dari ketentuan sebelumnya (lihat kasus bagaimana Undang-Undang tentang Cipta Kerja mengakibatkan merosotnya tingkat besaran pesangon bagi pekerja yang memasuki usia pensiun, dibanding ketentuan besaran pesangon sebelumnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan), disaat bersamaan pemerintah merevisi pula batas usia pensiun dari dibawah enam puluh tahun menjadi diatas enam puluh tahun, agar sang pekerja tidak mengalami “masa kelam” ketika telah memasuki masa menjelang “lansia” namun hanya memperoleh kompensasi berupa pesangon yang tidak memadai besaran nominalnya sebagai jaminan hari tua sang pekerja—dan itulah yang menjadi skenario keempat, yang tampaknya abai atau lalai diperhatikan oleh pihak pemerintah, yang mengklaim memiliki staf ahli dibidangnya dan menerbitkan regulasi “pro investor” dengan menurunkan tingkat besaran pesangon, yang “konon” menurut klaim pemerintah, demi kepentingan pihak tenaga kerja.

Terdapat opsi kebijakan model lainnya, yakni ketika usia pensiun yang ditetapkan oleh pihak pemerintah maupun oleh Peraturan Perusahaan yang berlaku intenal pada perusahaan pemberi kerja, ialah diatas enam puluh tahun, namun pihak pekerja / buruh diberi kesempatan memohonkan “pensiun diri” dengan konsekuensi terdapat pemotongan atau penyusutan secara proporsional terhadap hak atas pesangonnya bila seandainya yang bersangkutan bekerja hingga mencapai usia pensiun diatas enam puluh tahunan.

Masalahnya, merujuk pada regulasi terkait hak atas pesangon di Indonesia, tingkat besaran progresif hak atas pesangon bagi kalangan pekerja / buruh di Tanah Air, sifatnya tidak benar-benar progresif, artinya bila seorang pekerja / buruh telah bekerja pada perusahaan yang sama selama seumur hidupnya sedari masih muda hingga menjelma “lansia”, dimana bahkan pemilik perusahaan telah beralih kepada ahli warisnya, terdapat ambang maksimum progresif tingkat pesangon, sekitar dua puluh tahun, sekalipun sang pekerja sejatinya telah bekerja, katakanlah sejak usia 20 tahun, dan kini telah mencapai usia 57 tahun, artinya efektif telah bekerja selama 27 tahun pada sang pemberi kerja, dimana bilamana usia pensiun oleh pemerintah ditetapkan bila usia sang pekerja telah mencapai umur 67 tahun, yang artinya sang pekerja harus bekerja selama 37 tahun, tetap saja sang pekerja mendapatkan besaran pesangon yang sama nilainya seandainya sang pekerja diberi “pensiun dini” pada usia 50 tahun, “pensiun dini” pada usia 57 tahun, atau “pensiun utuh” ketika telah memasuki usia pensiun yakni saat dirinya genap mencapai usia 57 tahu, besaran tingkat hak pesangon bagi pekerja bersangkutan tetaplah sama.

Pada titik itulah, kita kembali lagi kepada “politik hukum ketenagakerjaan” yang dimainkan oleh pihak pemerintah, pendulum hukum hendak diayunkan kepada pihak manakah. Usia pensiun yang tinggi, dalam beberapa kasus (meski tidak semua kasus, terutama bagi pekerja yang berpindah-pindah tempat kerja pada beragam pihak pemberi kerja) idealnya adalah cocok ialah ketika dipasangkan terhadap regulasi yang mengatur besaran tingkat progresivitas hak atas pesangon berjenjang tanpa suatu “tresshold” atau ambang batas maksimum yang minim, semisal diaturnya hingga masa kerja 25 tahun, 27 tahun, 29 tahun, dan kelipatannya hingga diatas atau mencapai masa kerja 37 tahun seperti pada contoh kasus di atas—sehingga terdapat motivasi bagi pihak pekerja untuk bertahan bekerja hingga mencapai usia diatas enam puluh tahun, agar memperoleh besaran tingkat pesangon yang lebih tinggi, sekalipun tidak bisa dipungkiri tenaga kerja terkait kekuatan fisik dan otak telah menurun kinerjanya sehingga tidak lagi produktif seperti dikala muda, yang mana dapat menjadi beban tersendiri bagi pundak pihak pemberi kerja yang seolah harus dan diwajibkan untuk menjadi “suster pengasuh bagi para lansia, kakek-kakek dan nenek-nenek” alih-alih dilayani oleh para pekerjanya.

“Politik hukum ketenagakerjaan” merupakan isu yang sensitif, dan sangat bergantung pada political will pihak pemerintah, dimana bila pemerintah selaku penyusun kebijakan dan regulasi begitu condong berpihak pada pihak investor lokal maupun investor asing agar berminat menanamkan modalnya di Indonesia, sekalipun menurut klaim pemerintah merupakan demi digiatkannya kegiatan usaha kalangan pengusaha mikro, kecil, dan menengah masyarakat lokal di Indonesia, dapat menjelma “kelesuan bursa kerja” akibat dis-insentif yang bermuara pada menurunnya tingkat produktivitas pekerja.

Kembali lagi, kita bertarung pada pertanyaan klise : Pilih mana, dan manakah yang lebih perlu didahulukan, “efektif-isme” ataukah “efisiensi-sme”? Efektif belum tentu efisien, dan sebaliknya, efisien belum tentu efektif, dimana kita tidak dapat selalu memaksakan keduanya berjalan secara paralel, dimana juga para pakar pernah menyebutkan, efektif lebih baik dan lebih unggul derajatnya daripada efisiensi. Lamanya waktu untuk bekerja, ataukah produktivitas yang akan dipilih kalangan pelaku usaha kita? Mari kita kita saksikan sendiri jalannya sejarah hubungan industrial dalam praktik lapangan di Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.