Keyakinan Keagamaan Semestinya Tidak Mengajarkan Sikap CURANG Terlebih Mempromosikan KECURANGAN, Standar Moral yang Korup bagi Orang dengan Akal yang Sakit

ARTIKEL HUKUM

Sebenarnya, Bila Kita Mau dan Berani Bersikap Jujur, Jika Sudah Ada HUKUM KARMA (Dimana Segalanya Kita Sendiri yang Menanam dan Memetik) yang Lebih Adil daripada Ajaran “SEGALA SESUATUNYA JATUH DARI LANGIT”, Buat Apa Ada Dogma Agama Lain?

Dahulu kala, lama sebelum ini, saat sebelum zaman Agama Samawi (agama Tuhan) dikenal oleh umat manusia, orang-orang jahat (para penjahat) manakah yang ada yakin setelah kematian maka dirinya akan dapat memasuki alam surgawi sebagai dewa-dewi yang berbahagia di alam dewata? Berbahagia atas kejahatan, dimana kejahatan diganjar “reward” alih-alih diberikan “punishment”, sungguh preseden buruk yang tidak mendidik. Kini, seolah menjadi “kabar baik” bagi para kalangan penjahat di muka bumi, orang-orang jahat dijanjikan iming-iming masuk surga dengan cara meyakini dogma “penghapusan dosa” yang sifatnya “enak di kamu (pelaku kejahatan), namun tidak enak di saya (korban)”.

Karenanya, tidak pernah menjadi atau bukanlah tugas maupun perkara sukar, untuk dapat menjadi agen-marketing ajaran keyakinan yang menyerupai komoditas jual-beli “tiket masuk surga” bagi para penjahat yang ingin bersikap curang dan mencurangi “Karma Buruk”, semata karena peminatnya yang sangat tersebar luas, dimana pada Republik Indonesia ini orang-orang jujur dan baik jauh lebih sukar dijumpai dan sudah menjadi manusia langka daripada orang-orang jahat yang penuh dosa (“berdosa” dan “pendosa”). Penjahat manakah yang tidak akan senang, mendengarkan “kabar gembira” (too good to be true) demikian?

Adalah suatu zaman suram dan kelam bagi para kalangan penjahat, tatkala tidak ada peluang bagi pelaku kejahatan untuk memasuki alam surgawi, dimana para penjahat tersebut harus membayar mahal atas setiap perbuatan buruknya, baik perbuatan besar maupun perbuatan kecil, menjadi zaman keemasan bagi para korban dan orang-orang baik—yang mana kerap diistilahkan sebagai zaman “jahiliah”.

Sebaliknya, ketika bandul moralitas zaman bergerak ke arah sebaliknya, seiring dengan kian meroketnya “demand” angan-angan “kelewat curang” oleh para kalangan penjahat untuk mencurangi kehidupan, memungkiri fakta, serta hendak melarikan diri dari Hukum Karma, serta untuk merenggut keadilan bagi para korban-korbannya, kontras dengan kondisi semula, bagai dunia yang terjungkir-balik yang benar menjadi disalahkan dan yang salah menjadi dibenarkan, maka ditawarkanlah “supply” dogma baru dimana menjadi zaman keemasan yang baru (the new golden era) bagi kalangan penjahat dimana mereka tidak perlu “membayar” terlebih mendapat vonis hukuman sebagai konsekuensi akibat perbuatan buruk mereka, korban tidak akan diberikan hak berupa keadilan, bahkan digelar “karpet merah” bagi para penjahat tersebut untuk memasuki alam surgawi—sehingga menjadi zaman gelap dan suram bagi para kalangan korban, yang mana artinya adalah zaman dimana adalah kerugian menjadi seorang korban dan disaat bersamaan merupakan era emas bagi para pelaku kejahatan (too good to be true).

Ajaran mengenai “segala sesuatunya jatuh dari langit” yang sering disebut sebagai “pemberian”, “diberi”, “memohon”, “permintaan”, “cobaan”, “kuasa”, “anugerah”, “azab”, “meminta”, “nikmat”, “rahmat”, “karunia”, merupakan doktrin ataupun dogma ideologi “curang” untuk orang-orang berwatak “curang”, bukan untuk mereka yang selalu mengandalkan diri serta tangannya sendiri untuk menanam serta menabung Karma Baik disamping bertanggung-jawab memikul segala konsekuensi pilihan serta aksi perbuatan dan Karma Buruk mereka sendiri.

Karena sifatnya ialah “segala sesuatunya jatuh dari langit” alias “pemberian” dan “diberikan”, tanpa adanya suatu sebab yang mendahului, bukan prinsip “sebab-akibat” maupun “aksi-reaksi”, semata dogma “tangan menengadah ke atas” (meminta dan pemberian), maka semuanya menjadi serba subjektif serta disamping itu sarat spekulasi seolah yang mendapat banyak karena diberikan banyak hal baik, seolah adalah “anak emas” sang “pemberi dari langit”—sementara itu pihak-pihak yang hanya “mendapatkan” sedikit atau bahkan tidak sama sekali, menjadi patut pula untuk menyalahkan dan mengutuk sang “langit” atas pemberiannya yang tidak adil dan tidak merata, dimana tidak jarang orang-orang jahat justru lebih makmur dari segi ekonomi maupun pangkat, kekuasaan, dan kedudukan sosial.

Mengingat ajaran “segala sesuatunya bukan sebagai konsekuensi serta tiada konsekuensi yang harus dibayarkan dibalik suatu aksi terlebih bahaya dibaliknya, namun semata sebagai pemberian dari langit”, maka orang-orang jahat tidak akan lagi mampu mengendalikan diri sebab tiada rambu-rambu moralitas ataupun hukum keadilan yang memberi ancaman ataupun vonis hukuman sebagai sanksi bagi pelaku kejahatan yang menyakiti serta merugikan orang lain—menjelma keadaan dimana tiada empati sama sekali, bahkan menjelma paradigma semacam “berbuat dosa, kami tidak takut, dan siapa yang takut (berbuat dosa)?!” Tiada lagi rambu-rambu moralitas semacam “malu” dan “takut” untuk berbuat jahat yang merugikan, merugikan, dan melukai orang lain. Yang tercipta kemudian ialah sikap-sikap yang bahkan jauh lebih buruk daripada “zaman biadab”, zaman dimana belum beradabnya umat manusia. Sikap-sikap yang yang mencerminkan watak “hewanis”, alih-alih “manusiawi” ataupun “Tuhanis”.

Kontras dengan pemandangan “curang” demikian, para “praktisi Hukum Karma” memilih untuk repot-repot menyingsingkan lengan baju dan celana, untuk terjun langsung ke “sawah” dan “ladang” untuk menanam serta memetik sendiri apa yang sebelumnya telah mereka tanam. Para “praktisi Hukum Karma” bukanlah orang-orang “pemalas” yang terlebih adalah bersikap penuh “kecurangan”, mereka adalah seorang pengendali diri yang baik dengan tidak menanam benih Karma Buruk sekecil apapun, senantiasa mewaspadai perbuatannya sendiri agar tidak merugikan dan tidak menyakiti orang lain, serta disaat bersamaan merupakan orang-orang dengan sifat rajin yang rela serta siap untuk bersusah-payah menanam beragam benih Karma Baik—begitu berdaya, mandiri, independen, mulia, beradab, manusiawi ksatria, serta soliter.

Sehingga, baik atau buruk hal yang kemudian mereka petik, mereka sendiri yang mengambil tanggung-jawab atas kesemua itu, tidak lagi dapat mengajukan protes ataupun makian dan kutukan terhadap “langit” yang tidak ada sangkut-pautnya dengan nasib sang “praktisi Hukum Karma”. Itulah sebabnya, menjadi demikian indah serta penuh harga diri para “praktisi Hukum Karma”, seorang pemenang kehidupan dimana bahagia dan derita hidup dirinya sendiri ditentukan oleh tangan yang bersangkutan, sehingga garis-tangan hidup seseorang individu sejatinya ialah ciptaan mereka sendiri, yang karenanya tidak dapat lagi menyalahkan pihak “langit” atas kondisi hidup seseorang saat kini.

Menanam kebajikan maka berbuah kebajikan, maka menanam kejahatan karenanya akan berbuah kejahatan, pada sang pelakunya itu sendiri, itulah tepatnya cara kerja dibalik keberlakuan Hukum Karma yang mengatur segala kehidupan, sifatnya netral dan objektif saja. Namun demikian menjadi pertanyaan besar, menanam puja-puji dan sembah-sujud, apakah buahnya yang dapat berbuah? Jika memang segala puja-puji dan sembah-sujud demikian memiliki buah untuk berbuah, maka sifatnya ialah subjektif belaka, seolah-olah “langit” membutuhkan segala puja-puji dari para “hipokrit” demikian. Memuliakan “langit”, sejatinya bukanlah dan tidaklah pernah dalam wujud puja-puji ataupun sembah-sujud (lip service), namun cukup dengan menjadi manusia yang bersih, jujur, adil, serta humanis (karakter-karakter unggul yang sifatnya “mulia”). Umpama seorang Kepala Negara, yang dibutuhkan olehnya ialah “Kabinet KERJA”, bukan “Kabinet ‘Penjilat’ Asalkan Bapak Senang”—maka terlebih sosok yang “Tuhanis” di Langit.

Sekalipun, juga sebagaimana telah kita ketahui, dimanakah letaknya kerepotannya dalam melakukan ritual sembah-sujud serta puja-puji, yang sementara itu justru tidak berani bersikap “merepotkan diri” dengan bersusah-payah dan berkorban tenaga, energi, hingga harta-materi dalam rangka menanam benih-benih Karma Baik ketimbang sekadar permintaan, doa, ataupun permohonan agar “segala sesuatunya jatuh dari langit”, disamping sikap penuh pengendalian diri untuk tidak menyakiti dan merugikan makhluk hidup ataupun warga lainnya, untuk senantiasa hidup jujur, adil, serta lurus adanya, disamping bersikap ksatria dengan berani untuk menanggung segala buah dari perbuatan diri mereka sendiri alih-alih melarikan diri dan “lempar batu sembunyi tangan”. Bilamana segala sesuatunya memang dijatuhkan dari langit, maka mengapa ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, demikian timpang serta berat sebelah tanpa keadilan?

Meritokrasi merupakan prinsip dimana mereka yang baik maka akan mendapatkan kebaikan yang setimpal, yang jahat dan buruk mendapatkan kejahatan dan keburukan yang setimpal—bukan sebaliknya. Demikian halnya prinsip resiprositas dan resiprokal, dimana berbuat jahat akan menjadikan buah kejahatan yang akan matang berbuah pada pelaku kejahatan itu sendiri, sementara perbuatan baik akan mendapatkan buah kebaikan. Itulah cerminan prinsip-prinsip berkeadilan (fairness) yang adil serta beradab disamping Tuhanis, dimana sebuah keyakinan keagamaan tidak semestinya bersikap curang terlebih mempromosikan sikap-sikap penuh kecurangan.

Keyakinan keagamaan yang suci, murni, bersih, luhur, dan lurus, semestinya tidak mentolerir dan tidak membuka ruang kompromi bagi kejahatan sekecil apapun, dimana ajaran kesucian hanya akan mempromosikan kebaikan dan kebenaran sebagai jalan satu-satunya untuk menempuh kesucian dalam rangka bersatu dengan telah suci di alam surgawi dan menjadi “Tuhanis” dalam rangka bersatu dengan Langit—dimana kita ketahui, “Tuhanis” lebih tinggi derajatnya daripada sekadar “Humanis”, maka apa jadinya bila umat manusia justru lebih banyak menampilkan sikap-sikap “Hewanis”? Jauh panggang daripada api, jangankan hendak bersatu dengan Langit, “Humanis” pun belum direalisasi oleh para “manusia hewan”, bertubuh manusia namun bermental dan bersikap layaknya sedangkal dan serendah seekor hewan.

Merasa senang dapat berbuat kejahatan ataupun perilaku buruk lainnya yang patut dicela karena merugikan dan menyakiti individu dan makhluk hidup lainnya, tanpa memiliki “rasa malu” (hiri) ataupun “rasa takut” (otapa) berbuat jahat, semata cukup mengandalkan permintaan dan permohonan yang tidak simpatik dan miskin empati terhadap para korbannya, yakni iming-iming dogma mengenai “penghapusan dosa” yang sifatnya “too good to be true” disamping tumpul dalam “sense of justice”. Bila seorang hakim akan berpihak kepada pihak korban dan memberikannya keadilan dalam mengadili, maka mengapa Tuhan yang semestinya lebih “Tuhanis” daripada sekadar seorang “Humanis”, justru lebih kompromistis dan lebih memfavoritisasi para pelaku kejahatan yang “berdosa” bernama “pendosa”?

Bila memang benar bahwa “segala sesuatunya jatuh dari langit”, maka apa yang jatuh dari langit pada akhirnya akan masuk hingga ke dalam perut bumi, bernama api magma lahar yang panas dan mendidih-memanggang sebagai titik pemberhentian terakhirnya. Bagaikan falsafah air yang naturaliahnya mengalir ke bawah, bukan ke atas, karenanya hidup adalah perihal perjuangan, bukan perihal memohon dan menerima “pemberian dari langit”, menanam benih Karma Baik alih-alih mengemis-ngemis, dan menghindari perbuatan seperti menanam benih Karma Buruk alih-alih mengharapkan “penghapusan dosa” yang “kelewat melukai perasaan korban yang telah terluka”.

Menjadi bertanggung-jawab dan dapat dipertanggung-jawabkan, itulah yang membuat seseorang pribadi manusia menjadi berbeda dengan “manusia hewan”, namun manusia yang “Humanis”, atau bahkan beralih pada tingkatan keluhuran, kesucian, dan kemurnian yang lebih tinggi, yang kita sebut sebagai watak atau ciri-ciri seorang “Tuhanis”. Adalah mustahil, seseorang yang kotor “penuh dosa” dan rusak “penuh mental korup” disamping pemalas “mengemis-ngemis” dapat bersatu dengan yang bersih, luhur, suci, murni, bernama Langit dan alam surgawi. Namun, banyak umat manusia yang lebih memilih untuk tetap “bermimpi” dan hidup dalam delusi, tanpa pernah mau bersikap rasional ataupun realistis.

Manusia-manusia yang realistis dan rasional, menyadari bahwa hutang haruslah dibayar, karena hutang adalah hutang, tiada pernah dapat dibenarkan bila realita dan fakta perihal hutang—baik hutang uang pinjaman maupun hutang dosa—hendak dihapuskan, yang merupakan cerminan sikap “korup” yang penuh kecurangan. Seperti yang telah dan pernah disabdakan oleh Sang Buddha, bahwa praktik ritual tidak pernah dapat mensucikan diri pelaku ritual, hanyalah perbuatan suci dan bajik yang dapat mensucikan diri pelakunya. Bagi orang-orang jahat, fakta (bahwa mereka adalah jahat dan penjahat) adalah terlampau pahit untuk berani mereka hadapi, yang karenanya akan memilih untuk tetap terlelap tidur dalam buaian mimpi, sekalipun segunung dosa telah hampir menimbun dan menenggelamkan dirinya hidup-hidup.

Ulasan tersebut tidak merujuk kepada nama satu keyakinan tertentu, karenanya menjadi “DISCLAIMER” dimana penulis tidak dapat diganggu-gugat, dimana ketersinggungan menjadi urusan pribadi para pembaca, yang disaat bersamaan artinya telah “mengena” pada sasaran. Silahkan bagi Anda untuk membuat kontra-narasi bila memiliki pendapat berbeda atau bertolak-belakang dengan ulasan demikian, pada medium karya tulis milik masing-masing para pembaca, sebagai bentuk atau simbol demokrasi independensi dalam penyampaian pemikiran serta pendapat yang merupakan hak asasi manusia sebagaimana diakui serta dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.