Hubungan antara Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)

ARTIKEL HUKUM

Emotional Quotient atau Kecerdasan Emosional, apakah Identik dengan Bersosialisasi Banyak Teman dan Banyak Bicara? Itu adalah ASUMSI dan DELUSI

Apakah yang dimaksud dengan “Kecerdasan Emosional”, atau yang kerap diistilahkan secara lebih populer sebagai “Emotional Quotient” (EQ) atau “Emotional Intelligence”, selalu dimaknai sebagai tidak memiliki atau tidak menampilkan emosi (menyerupai robot yang tidak dapat merasa ataupun meluapkan emosi atau amarah dan sejenisnya) serta identik dengan memiliki banyak teman atau kawan bersosialisasi secara luas? Jika memang demikian pemaknaannya, maka semua individu dengan karakteristik “constitutional traits” berupa “introvert”, berarti seketika itu juga divonis sebagai ber-EQ dangkal?

Ulasan ini akan kita buka dengan penggalan kutipan dialog dalam salah satu animasi populer Jepang beberapa dekade lampau yang diadaptasi dari sebuah manga yang termasyur, berjudul “DEATH NOTE”, dimana pada sebuah adegan seorang “jenius introvert” bernama Ryuk, mendapati salah seorang anggota kepolisian yang berada dalam tim-nya telah berminggu-minggu bekerja di kantor mencari keberadaan “penjahat psikopat”, anggota polisi yang penuh tanggung-jawab, tekun, dan serius dalam bekerja, namun artinya juga ia telah berminggu-minggu tidak punya waktu untuk keluarganya di rumah.

Ryuk : “Kau pulanglah.”

Anggota Polisi : “Tugas masih belum selesai. Psikopat itu masih berkeliaran di luar sana.”

Ryuk : “Kalau begitu, kau di-SKORS tiga hari dari tugas. Pulang dan pergilah. Jangan menentang perintah.”

Anggota Polisi : “...” Merasa tidak paham, mengapa kerja-kerasnya berbuah skorsing dan dirumahkan? Setelah itu sang anggota kepolisian pergi dari kantornya, duduk di bangku tanam ditemani sinar matahari sore. Melamun, letih, sekaligus tidak mengerti. Mendadak istri dan anaknya yang masih kecil muncul di taman, satu keluarga saling bertemu kembali. Mendadak muncul rasa haru dalam diri sang anggota kepolisian, sudah lama ternyata dirinya tidak bertemu dan berkumpul bersama istri dan anaknya, terlampau tenggelam dalam pekerjaan dan tanggung-jawabnya sebagai anggota polisi. Air mata hampir metetes dari sepasang mata, kemudian segera merangkul istri dan anaknya. Setelah beberapa hari beristirahat di rumah, sang anggota kepolisian kembali bertugas berangkat ke kantor, berjumpa kembali dengan rekan-rekan dan Ryuk.

Ryuk : “Kau sudah kembali, ayo cepat, banyak pekerjaan menunggu untuk kau selesaikan.”

Anggota Polisi : “... Oh, SIAP!” Lama setelah peristiwa demikian, dirinya terus mengingat momen-momen itu, betapa ia pernah di-skors dari tugasnya oleh Ryuk, dirumahkan, dan kembali bertugas dengan penuh semangat dan kesegaran baru. Ia pula yang kemudian berhasil membongkar topeng sang “penjahat psikopat” yang pada kisah selanjutnya berhasil menewaskan Ryuk.

Hanya mereka yang memiliki “Emotional Quotient” cukup memadai yang memiliki sensitifitas atau kepekaan terhadap makna implisit dialog sarat pesan tersebut di atas. Fakta realita lapangan pun menunjukkan, “kecerdasan” bersifat multi-faset, dalam artian seorang “introvert” sekalipun tidak bermakna tidak memiliki kemampuan dari segi “Emotional Quotient”. Para “pemikir mendalam” (deep thinker) adalah ideal dalam menjabat sebagai penyusun kebijakan (regulator), yang mengatur kehidupan banyak orang, sekalipun para “deep thinker” dikenal dimonopoli oleh kaum “intovert tulen”. Jangan pernah menyerahkan kekuasaan menyusun kebijakan yang berlaku bagi umum ke tangan seorang “ekstrovert”, sekalipun mereka terampil dalam bersosialisasi dan “orang lapangan” yang memiliki jejaring sosial yang luas.

Sikap-sikap seperti mengamati karakter lawan bicara ataupun orang lain, memahami dan mencoba mengerti, aspek-aspek batiniah, kesemua itu bukanlah monopoli kaum “ekstrovert” yang memang lebih aktif dalam bersuara akan tetapi bisa jadi tumpul dalam kemampuan mengamati dan memahami makna implisit. Karenanya, menjadi tidak mengherankan bilamana yang paling banyak melukai perasaan orang lain ialah perkataan-perkataan yang terlontar dari mulut kaum “ekstrovert”, ketimbang orang-orang yang tergolong “introvert” yang memang tidak banyak bicara namun lebih bekerja keras dalam tataran mencermati dan analisa.

Jika EQ dimaknai sebagai sikap lahiriah berupa gelagat kalem, hanya diam bungkam seribu bahasa bagaikan seonggok kayu membisu sekalipun disakiti dan dilukai, maka bisa jadi mereka dengan asumsi atau pendapat “kelewat meleset” demikian tampaknya akan menyatakan bahwa seekor anjing yang memekik dan menggonggong keras ketika ekornya terinjak oleh kaki seseorang adalah anjing yang “tidak sopan” serta ber-EQ yang buruk.

Faktanya, Justice Bao pada era klasik di Tiongkok, dikenal karena keadilannya dalam memutus perkara dan memberikan keadilan bagi pihak korban yang tertindas dan menderita, lengkap dengan sikapnya yang “galak”, “ketus”, “keras”, “tidak ramah”, serta “pemarah” terhadap pelaku kejahatan yang akan diadili tanpa kenal kompromi serta tanpa perlu beramah-tamah (namun akan bersikap lembut terhadap pihak korban). Sense of justice”, adalah cerminan tingginya EQ seseorang, dimana kian tinggi “rasa keadilan” seseorang maka adalah wajar saja bila dirinya akan kian “meledak-ledak” ketika menjumpai ketidak-adilan, sehingga menjadi aneh bila seseorang hendak menyebut atau memberi stigma kepada Hakim Bao sebagai hakim dengan EQ yang buruk.

Apakah untuk dapat disebut sebagai memiliki “Kecerdasan Emosional” alias “Emotional Quotient”, maka seseorang harus memaksakan diri menghabiskan waktu bersosialisasi sepanjang hari dan mengoleksi lusinan hingga segudang teman? Jika demikian halnya, maka menjadi nasib buruk bagi kalangan pribadi yang tergolong jenius, karena seluruh kaum jenius dimonopoli oleh mereka yang bergolongan “introvert” yang berkebalikan secara kontras terhadap mereka yang berhaluan watak “ekstrovert”.

Secara pribadi, penulis yang notabene merupakan seorang “introvert tulen”, lewat berbagai pertimbangan merasa “tidak worthed” membuang banyak waktu untuk “hang out” dan bersosialisasi layaknya seperti kaum “ekstrovert” yang menikmati “buang-buang waktu” untuk bicara omong-kosong hingga mendengarkan berbagai lelucon bodoh-jorok yang tidak mencerdaskan ataupun rumor-rumor yang tanpa bukti (bergosip tentang politik ataupun tentang si anu dan si anu). Namun, kalangan “ekstrovert” manakah yang mampu menulis ribuan artikel dan berbagai karya tulis lainnya yang menjadi wadah komunikasi dari penulis terhadap dunia luas yang lebih serius, lebih intelek, lebih luas, serta lebih “worthed” seperti yang selama ini penulis tekuni?

Alhasil, banyak orang dan masyarakat pembaca diluar sana yang mengenal nama penulis, sekalipun penulis tidak pernah mengenal ataupun berkenalan dengan mereka semua. Masyarakat yang memiliki masalah hukum dan membutuhkan penanganan khusus pun, akan memilih untuk menghubungi penulis selaku profesional dibidang layanan jasa konsultasi seputar hukum, ketimbang mereka yang hanya pandai berbicara namun belum tentu menguasai suatu bidang keilmuan dan keilmiahan secara mendalam.

Daniel Goleman, pencetus sekaligus penulis buku berjudul “Emotional Intelligence” yang hingga kini dicetak ulang hingga tidak terhitung jumlahnya serta dijadikan buku referensi berbagai disiplin ilmu di berbagai belahan dunia, bahkan tidak pernah menuliskan bahwa anak-anak atau orang-orang yang disebut memiliki “Emotional Quotient” ialah mereka yang berlatar-belakang karakteristik “ekstrovert”, serta tidak dimaknai sebagai “mudah bergaul”, memiliki banyak teman, populer, banyak yang mengantri untuk menjadi pacar, senantiasa “hang out” bersama teman-teman sepanjang waktu dan sepanjang hari, disukai banyak orang, banyak bicara, tidak pernah berjalan seorang diri, tidak independen, tidak mandiri, tidak soliter, dan segala stigma negatif lainnya yang salah alamat (tudingan yang sifatnya menghakimi).

Persepsi “salah kaprah” yang entah bersumber dari demikian, kontras dan justru bertolak-belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Sang Buddha yang menyebutkan : “JIka tidak memiliki teman sepadan dari segi etika dan moralitas, maka berjalanlah seorang diri.” Seseorang, dapat menjadi rusak ataupun baik perilakunya, seringkali karena faktor lingkungan pergaulan. Mereka yang tidak mampu berdiri secara soliter, akan cenderung terbawa arus pergaulan dan zaman yang penuh oleh nuansa negatif seperti kebiasaan menghisap bakaran produk tembakau, mengonsumsi obat-obatan terlarang yang melemahkan kesadaran, diperkenalkan pada “dunia gelap” dan “dunia malam” yang berisiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan, bicara “omong kosong”, mengikuti aksi tawuran dan kerusuhan hingga aksi-aksi vandalisme, permainan berbahaya seperti balapan motor liar, kegiatan “buang-buang waktu” dan kenakalan “kurang kerjaan” lainnya.

Sang Buddha saat masih merupakan seorang pangeran, memilih melepaskan diri dari kebiasaan dan lingkungan pergaulan dari kelima guru meditasinya, dan mulai berjalan serta bermeditasi seorang diri, sebelum akhirnya menemukan dan merealisasi pencerahan berupa penerangan sempurna “atas usaha-Nya sendiri”, dimana pada gilirannya menjadi guru dari kelima gurunya tersebut yang berbalik menjadi murid pengikut dari Sang Buddha. Jika saja Sang Buddha tetap memaksakan diri terkungkung dalam lingkungan pergaulan para gurunya tersebut tanpa mulai independen “berjalan seorang diri”, maka mungkin hingga saat kini tidak akan ada dikenal “Guru Agung para dewa dan para manusia” bernama Buddha Sidharta Gotama.

Jika memang parameter penentu tinggi atau “tiarap”-nya sebuah “Emotional Quotient”, ditentukan oleh seberapa banyak atau sedikitnya telah mengoleksi teman-teman pergaulan, dunia pertemanan yang luas, menyita banyak waktu hidup diri untuk banyak bicara dengan berbagai teman (sekalipun lebih banyak “omong kosong” yang tidak berfaedah atau untuk “nongkrong-nongkrong” yang tidak produktif terlebih-lebih terpengaruh dunia pergaulan yang menyeret ke kebiasaan negatif tanpa memiliki pendirian pribadi yang menjadi prinsip hidup diri), maka semua koruptor patut diberi label serta predikat sebagai ber-“Emotional Quotient” yang sangat tinggi, mengingat jejaring pertemanannya sangat luas, pergaulannya tidak diragukan lagi mampu menjaring banyak relasi dan rekan-rekan, memiliki banyak pengikut, bahkan hingga mampu mempengaruhi banyak orang dan menduduki jabatan penting di partai politik hingga kursi kekuasaan di pemerintahan dan di masyarakat.

Contoh, Anas Nurbaningrum, koruptor yang menjadi petinggi Partai Politik Demokrat di Indonesia, ketika tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena aksi korupsi, menyatakan bahwa dirinya “akan gantung diri di Monumen Nasional bila saya terbukti korupsi”, ternyata sesaat sebelum ditangkap karena kasus korupsi yang dilakukan olehnya, Anas Nurbaningrum menggelar “open house” untuk bersilahturami dengan para teman-temannya dan ternyata memang dihadiri oleh demikian banyak rekan serta sahabat hingga insan pers yang hadir dan bersosialisasi secara intens dengan sang koruptor.

Setya Novanto, Ketua Umum Partai Politik Golkar, yang dikenal karena mega korupsi e-KTP, memiliki jejaring pertemanan dan relasi yang sudah tidak diragukan lagi kehebatannya, mampu memasuki setiap sendi-sendi kekuasaan politik, pergaulan yang sangat luas dan dikenal luas, kedekatan dengan sejumlah besar pejabat negara, jumlah rekan-rekan pendukung yang tidak terhitung jumlahnya, namun ternyata melakukan aksi korupsi yang merugikan hak-hak rakyat banyak yang jauh lebih miskin daripada sang koruptor.

Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, dimana Akil Mochtar terpilih sebagai Ketua MK RI, yang artinya disukai para Hakim Konstitusi lainnya, serta Patrialis Akbar yang sebelumnya menjabat Menteri Hukum sebelum kemudian diusung oleh Presiden RI yang saat itu merupakan Ketua Umum Partai Demokrat untuk menjadi Hakim Konstitusi, ternyata memiliki jejaring relasi bisnis dan politik yang lebih “gaul” ketimbang rata-rata masyarakat kita. Mengapa yang demikian “gaul”, justru tertangkap-tangan melakukan aksi kolusi? Siapakah kalangan politikus yang tidak mengenal sosok Akil Mochtar yang demikian populer? Siapa juga kalangan pengusaha yang tidak pernah berkenalan dengan Patrialis Akbar di lapangan golf? “Gaul”, namun tanpa hati-nurani, berani meng-korupsi hak-hak rakyat banyak, disebut ber-EQ tinggi?

Menteri Kelautan yang pernah menjadi anggota parlemen, Edhy Prabowo, menjadi orang penting di Partai Politik Gerindra, memiliki istri yang juga merupakan anggota parlemen yang pernah berkampanye “akan memperjuangkan hak-hak kaum wanita”, mengaku-ngaku mengubah kebijakan Menteri Kelautan sebelumnya yang melarang importasi benih lobster, menjadi dibuka lebar demi keuntungan pengusaha budidaya lobster di Vietnam, dengan alasan mensejahterakan nelayan kecil di Indonesia, kemudian ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena berkolusi menyalah-gunakan kekuasaannya untuk menjual perizinan impor serta disaat bersamaan ekonomi rakyat sedang menderita akibat pandemik yang diakibatkan wabah virus menular mematikan justru bermewah-mewah ke luar negeri untuk membeli jam tangan mewah dan tas mewah dengan uang hasil kolusi.

Hingga kasus yang paling menyayat hati, dengan EQ yang mungkin “kelewat tinggi selangit” sampai-sampai mengkorupsi hak-hak rakyat miskin atas bantuan sosial disaat terjadi pandemik Virus Corona Tipe-2 (Corona Virus Disease 2019), Menteri Sosial (identik dengan kepandaian bersosialisasi), ternyata disebut pandai dari segi “Emotional Quotient” semata karena keterampilan “banyak bicara”, “bersilat lidah”, “berkata-kata penuh pencitraan”, dan “bermulut manis”. Menteri Sosial yang menjadi anggota Kabinet Menteri dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Juliari Peter Batubara, pada akhir tahun 2020 ditetapkan sebagai tersangka kasus kolusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus kolusi pengadaan barang berupa bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak pandemik yang diakibatkan oleh wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang membuat rakyat miskin kian termiskinkan dan kembali dimiskinkan akibat hak-haknya atas bantuan sosial di-“sunat”.

Sang Menteri Sosial (simbolisasi pandai bersosialisasi, bersosialisasi bersama dengan kalangan koruptor dan sekalipun melontarkan komunikasi politik berisi jargon-jargon yang sekadar membohongi rakyat), disinyalir menerima dana kolusi senilai Rp. 10.000 untuk setiap paket bansos sembako yang dikucurkan pemerintah senilai Rp. 300.000. Total dari dua periode proyek pengadaan barang untuk tujuan bansos, sang menteri dikalkulasi menerima uang “suap” senilai Rp. 17.000.000.000.

Ternyata pula, sang Menteri Sosial, Juliari Batubara, sebelum tersandung kasus kolusi, cukup vokal mempromosikan gerakan antikorupsi. Tepat satu tahun sebelum tertangkap tangan karena aksi kolusi, tepatnya pada 9 Desember 2019, Juliari dikabarkan oleh sejumlah media ternyata pernah memberikan pandangan “suci” terkait pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama dalam menyambut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. Sang Mensos menyebut korupsi bakal tetap ada jika mental tetap bobrok.

Saya kira pemberantasan korupsi itu harus dimulai dari mental. Jadi mau sebagus apa sistem, seketat apa sistem, kalau mentalnya sudah bobrok ya tetep aja korup, ya,” demikian sebagaimana penuturan Juliari, saat itu, vokal dalam memberantas korupsi serta mengutuk perilaku para pelakunya. Namun, ucapan bukanlah sebuah teladan, dimana akan lebih fatal bilamana ternyata antara ucapan di mulut, isi pikiran di hati, serta tindakan nyata secara konkret di lapangan, ternyata saling bertolak-belakang. “EQ negatif” semacam demikian, menjadi menjelma menyerupai kepandaian dalam “menipu” khalayak umum.

Sebagaimana kita ketahui, ciri utama kalangan penipu ialah selalu menampilkan wajah atau citra penuh perhatian, baik hati, manis, pemurah, dalam rangka memenangkan hati serta untuk memperlemah kewaspadaan para calon korbannya terhadap modus-modus sang penipu. Semakin mendadak tampak penuh perhatian, baik hati, pemurah, serta penuh kata-kata bijaksana, maka semakin patut diwaspadai masyarakat—mengingat seluruh modus penipuan selalu menampilkan corak pola yang seragam dan serupa, yakni : manis di muka, melenakan, akan tetapi selalu pahit di belakang dan dikemudian hari. Karenanya, seorang “introvert” paling tidak cenderung untuk menipu, karena mereka minim berbicara. Kita justru paling harus bersikap waspada terhadap mereka yang pandai berbicara.

Sang Mensos, Juliari, menuding korupsi dilatar-belakangi oleh sifat keserakahan, sifat mana harus diwaspadai betul-betul. Mereka yang tak pernah merasa cukup akan terdorong untuk melakukan perbuatan tercela semacam korupsi. “Karena ya itu tadi. Itu kan menurut saya antara lain karena sifat keserakahan. Jadi orang yang tidak merasa selalu cukup gitu loh, masih merasa kekurangan. Punya mobil dua, ingin punya tiga. Punya mobil tiga, ingin empat. Punya rumah satu, ingin dua. Punya rumah dua, ingin .... Ya ini kalo mentalnya seperti itu ya mau kapan, dibuat sistem seketat seperti apa yang akan ada korupsi terus. Jadi mulainya dari mental,” tambah sang Mensos.

Juliari menyebut sistem yang ada saat ini sudah cukup bagus. Dia menilai yang perlu diperbaiki saat ini adalah mental. “Kalau sistemnya sih udah cukup bagus ya, baik di internal kementerian, BUMN, BPK, ada juga KPK, kepolisian, kejaksaan, udah lengkap semua. Tinggal yang dibenahi itu mentalnya,” imbuh Juliari, yang entah apa yang kini disuarakan dalam benaknya ketika telah menjadi tersangka dan pesakitan di persidangan.

Dalam ilmu psikologi perilaku, seorang “psikopat” dikenal memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni, dimana dirinya tampak sebagai “manusia normal” yang pandai menutupi sifat-sifat “psikopat” dan kegilaannya, mudah berbaur dengan masyarakat, dan segala kepandaian bersosialisasi lainnya. Antara kepandaian menutupi sifat jahat, “bermulut manis”, penuh siasat, bersikap diplomatis, koruptif, tidak pernah sejalan dengan sifat-sifat “asli—genuine” yang murni bersifat “Emotional Quotient”.

Suatu “Kecerdasan Emosional”, hanya bisa dinilai dari dalam diri pribadi seseorang secara intrinsik dan implisit (batiniah), tidak pernah dari segi lahiriah seperti banyak bergaul, banyak teman, banyak bicara, dsb. Orang-orang yang “introvert”, namun tidak pernah korupsi karena mampu menaruh simpati pada rakyat jelata, adalah cerminan orang dengan EQ yang tinggi—berkebalikan dari persepsi masyarakat banyak selama ini. Tidak saling berbicara dalam banyak kata-kata, minim bersuara, namun mampu saling memahami dan saling mengerti, itulah rahasia dibalik keutuhan rumah-tangga. Sama seperti janji-janji boleh dilontarkan, namun orang-orang yang lebih memilih komitmen menjaga kepercayaan tidak pernah butuh banyak kata-kata untuk membuktikan integritas dirinya sebagai mampu menepati janji atau sebagai seorang pekerja keras yang bertanggung-jawab.

“Kecerdasan Emosional” atau “Emotional Quotient”, singkatnya cukup diwakili oleh satu kata, yakni kemampuan ber-“EMPATI” dan ber-“SIMPATI. Sering kita jumpai, dikala kita hidup senang, banyak teman menghampiri, mewarnai, dan mengisi hidup kita, untuk bergembira dan bersenang-senang bersama. Namun ketika kita sedang mengalami kesulitan dikemudian hari, tidak satu pun “teman” tersebut “hadir” ataupun bersedia “tampil” dan “muncul” bagi kita. Apakah itu makna “teman” dan “pertemanan”?

Karenanya, istilah “teman” dan “pertemanan”, perlu didefinisikan ulang. Kerap terjadi, seseorang menjelma seorang pecandu obat-obatan terlarang, bukan karena ulah bandar ataupun pengedar obat-obatan terlarang, namun justru akibat faktor “pertemanan”, dimana sang “teman” yang mengajarkan dan mengajak untuk menjadi pemakai sebelum akhirnya turut terseret masuk dalam lingkaran komunitas pecandu menjadi pecandu baru—apakah layak, disebut sebagai “teman”, membuat hancur serta melihat kehancuran “sahabat” sendiri? Iblis dikenal pandai menghasut, menggoda, merayu, dengan banyak kata-kata, itukah yang disebut sebagai “teman ber-EQ” tinggi karena daya persuasinya yang sangat “friendly” sehingga siapapun akan tergoda oleh sang iblis?

Banyak lingkungan pergaulan yang justru mendorong anggota kelompoknya terjerumus dalam aksi-aksi kejahatan maupun aksi-aksi negatif lainnya seperti pemalakan, penganiayaan, aksi begal, geng motor, minum-minuman keras dan membuat onar, aksi premanisme berkelompok, dimana “teman” justru menjerusmuskan sesama “teman” untuk melakukan perbuatan jahat yang sekadar “menanam benih Karma Buruk” bagi diri dan teman-temannya? “Teman” semacam apakah itu? Disebut sebagai “teman” yang baik, dalam Buddhisme, ialah mereka yang ada dan hadir dalam suka dan dukkha, serta mereka yang akan menegur kita ketika kita melakukan hal yang buruk, dan mereka yang akan mengajak kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang positif dan bermanfaat.

Itulah sebabnya, mencoba menghimpun banyak “teman” adalah suatu “omong kosong” itu sendiri, mengingat “teman sejati” adalah langka serta sukar dicari—setidaknya di Indonesia, adalah demikian adanya. Satu juta “teman benalu”, “teman kejahatan” (baca : iblis pembisik dan penggoda untuk berbuat jahat), “rekan berbuat jahat” (baca : komplotan persekongkolan), “teman munafik” (lain di mulut, lain di hati), “teman palsu”, hingga “teman semu”, masih tetap saja semua koleksi “teman” demikian ialah kalah kualitasnya dengan kualitas pertemanan dengan satu orang sahabat karib yang dapat dipercaya serta saling berbagi suka dan dukkha bersama. Memiliki ribuan teman, namun gagal berteman dengan diri sendiri, ironis.

Pepatah klasik berikut selalu relevan hingga masa kontemporer ini, menyebutkan, “Adalah sebuah kegagalan terbesar, ketika seseorang mencoba memuaskan dan membuat senang semua orang.” Itulah juga sebabnya, Sang Buddha pernah bersabda : “Memiliki sahabat yang baik, adalah berkah utama.”—yang dapat pula kita tambahkan menjadi : “Memiliki seribu atau bahkan sejuta teman yang tidak baik, adalah petaka utama, karena satu orang ‘teman celaka’ sudah terlampau banyak telah ataupun akan membawa celaka bagi kita.”

Lebih celaka lagi, bila kita pun gagal untuk berteman dengan diri kita sendiri, tidak mampu menjadikan diri kita sebagai teman bagi diri kita sendiri (sehingga merasa bosan bila hanya seorang diri di rumah seperti saat “isolasi diri di kala wabah pandemik virus menular merebak”, sebagai contoh), serta tidak hadir saat kita benar-benar membutuhkan diri kita sendiri, atau bahkan berkhianat pada diri kita sendiri dengan menyakiti diri sendiri ataupun tidak berani menjadi “pengacara” yang siap membela serta memperjuangkan hak-hak diri kita sendiri. Dokter yang terbaik, adalah diri kita sendiri. Teman terbaik, pun adalah diri kita sendiri. Apa jadinya bila kita bermusuhan terhadap diri kita sendiri akibat kerap membangkang dan mengkhianati diri kita sendiri? Mampu menjalin pertemanan dengan diri kita sendiri, adalah berkah utama, bukan memiliki jutaan teman atau penggemar dan pengikut. Bermeditasi, artinya kita sedang menjalin pertemanan dan mencoba lebih mengenal diri kita sendiri. Mungkin, hanya orang-orang “introvert” yang akan berhasil dalam bermeditasi.

Karenanya, seseorang mustahil diharapkan dan dituntut untuk mampu ber- Emotional Quotient” bila masih gagal untuk ber- Emotional Quotient” terhadap dirinya sendiri. Yang menarik, menurut tataran teoretis perihal “kecerdasan”, sebuah “kecerdasan intrapersonal dan interpersonal” tergolong sebagai “Kecerdasan Intelektual” alias “Intelligence Quotient” (IQ). Karenanya, EQ tidak dapat dilepaskan dari IQ. Semakin tinggi IQ, maka semakin tinggi pula EQ. Sebaliknya berlaku prinsip yang sama, semakin rendah IQ maka semakin rendah pula EQ. Uniknya, IQ yang tinggi hanya dimonopoli oleh kalangan orang-orang berlatar-belakang “introvert”. Karenanya pula, seseorang disebut sebagai “jenius” bukan semata identik dengan IQ semata, mengingat tingkat IQ selalu memiliki relevansi dengan tinggi ataupun rendahnya tingkat EQ secara linear setara.

Sebagai penutup, pengalaman nyata pribadi penulis beberapa dekade lampau saat penulis masih berstatus sebagai seorang pelajar pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia, dapat menjadi ilustrasi konkret untuk memudahkan pemahaman para pembaca mengenai apa itu “Emotional Quotient”. Penulis yang merupakan seorang “introvert” tulen (“introvert” bukanlah gangguan terlebih kelainan mental, semata karena minoritas di Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah “eksternal”), saat itu tidak punya banyak kawan bermain. Pada suatu hari, seseorang teman satu kelas yang sedang bermain bola di lapangan sekolah bersama teman-temannya, mengalami kecelakaan, terjatuh dan tulang tangannya patah.

Yang unik, sekalipun mengetahui temannya terjatuh mengalami kecelakaan fatal berupa patah tulang tangan, nyatanya teman-teman bermainnya acuh tidak acuh dan tetap asyik menyibukkan diri dengan aktivitas bermain bola, dimana simpati hanya sebatas “gimmick” di mulut dengan berkata “turut prihatin”, namun tiada satupun dari mereka yang mengaku dan selama ini menjadi teman sepermainan, yang benar-benar tulus prihatin semisal dengan menemani serta mendampinginya menuju klinik sekolah. Alhasil, penulis yang selama ini tidak didekati olehnya sebagai teman sekelas yang dekat, yang justru mengamati kondisi dirinya dari kejauhan, mendekati, lalu menemani dan membawanya ke ruang klinik sekolah dalam kondisi pucat lemah dengan tangan yang bengkok patah.

Pada momen itulah, peristiwa tragis yang dialami teman sekelas penulis tersebut menjadi pengalaman menggugah, untuk memaksa penulis mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan “teman”, “rekan”, “sahabat”, atau istilah sejenis lainnya yang berkonotasi persahabatan, pertemanan, sosialiasi, pergaulan, dan lain sebagainya, dimana selama ini dirinya menghabiskan banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya, akan tetapi tiada satupun dari mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai “teman”, benar-benar hadir dan tampil ketika sahabatnya mengalami petaka besar seperti kecelakaan yang cukup maut : patah tangan. Mereka semua tetap dengan asyik pada kesibukannya bermain bola (seolah lebih penting dan lebih urgen daripada segera menyelamatkan teman sepermainannya yang tertimpa musibah fatal), tidak punya empati ataupun simpati terhadap seseorang yang mereka sebut sebagai “teman”—sekalipun adalah fakta bahwa lingkungan pergaulan dan sepermainan mereka adalah luas dan gemar bersosialisasi.

Kemampuan-kemampuan untuk mendengarkan, memahami, saling mengerti, bersikap baik, dan sikap-sikap kebajikan itu sendiri, merupakan cerminan dari “Emotional Quotient” yang tinggi. Bila kita sungguh-sungguh mencintai dan mengasihi sahabat kita, maka kita akan mendorong serta mengajak mereka hanya untuk melakukan perbuatan baik yang tidak menyakiti orang lain juga tidak menyaktii dirinya sendiri.

Sikap-sikap baik dan bajik disaat bersamaan merupakan cerminan pula “Spiritual Quotient” (SQ) yang tinggi. Dengan kata lain, dapat kita simpulkan pula, seseorang dengan IQ yang tinggi, maka memiliki pula EQ dan sekaligus SQ yang tinggi sebagai satu paket kesatuan “kecerdasan”. Seseorang dengan IQ yang rendah, otomatis cerminan EQ sekaligus SQ yang rendah. Hipotesis yang penulis kemukakan di atas, selalu menemukan afirmasinya di lapangan, sebanyak apapun orang-orang mencoba mendiskreditkan pentingnya level IQ seorang individu. IQ mungkin bukan segalanya, namun segalanya membutuhkan IQ.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.