Pilih Mana, Belajar Bisnis ke Harvard dan Oxford atau ke China?

ARTIKEL HUKUM

Bonus Demografi ataukah BEBAN DEMOGRAFI?

Banyak dijumpai jargon “klise” bahwa universitas terbaik di dunia ialah Universitas Harvard di Amerika Serikat, Universitas Cambridge, dan Universitas Oxford di Inggris; namun mengapa realitanya berkata lain saat kini. Beberapa dekade lampau, mitos tersebut mungkin benar adanya, Harvard dan Oxford bersaing ketat untuk menduduki kursi kehormatan sebagai universitas terbaik nomor kesatu dunia serta menjadi tempat idaman para pelajar untuk belajar dan menimba ilmu. Bagaimana bila sekarang?

Namun, dinamika dunia selalu bergerak dinamis, dimana bandul intelektual tampaknya kini bergeser ke arah Negara China yang juga lebih akrab disebut dengan panggilan Negeri Tiongkok—meski, tampaknya China memilih “low profile” agar ilmunya tidak diminati oleh mahasiswa asing. Sejarah dunia pendidikan di China, sudah sangat panjang warisan budaya pembelajaran, bahkan jauh sebelum era Confusius, dimana para anak-anak muda mereka menempuh perjalanan jauh melewati gunung serta hutan untuk menjadi seorang Sarjana serta untuk dapat mengikuti ujian negara, agar dapat menduduki jabatan-jabatan stategis pemerintahan seperti menjadi gubernur ataupun hakim di pengadilan. Begitupula teknologi percetakan buku dalam jumlah masif pertama di dunia, dimulai dari Negeri Tiongkok yang dunia literasinya sudah sangat tua.

Terbukti, ketika pandemik SARS melanda Tiongkok, cukup selama satu semester bagi Tiongkok untuk mengatasi wabah akibat virus menular mematikan ini. Terbukti kembali, sejarah keberhasilan demi keberhasilan yang dapat dikenang serta dibanggakan oleh generasi muda di Tiongkok, ketika wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau yang juga dikenal dengan sebutan “Corona Virus Tipe-2” yang merupakan mutasi SARS kembali melanda daratan China, hanya dalam tempo satu semester Tiongkok kembali pula mampu mengatasi dan menanggulanginya secara efektif serta efisien. Sejarah keberhasilan demi keberhasilan, memupuk kepercayaan diri Bangsa China dan penduduknya yang benar-benar menjadi berdaya tanpa sebaliknya menjadi beban yang harus ditanggung bagi negaranya.

Di Indonesia, jumlah populasi penduduk yang sangat besar kerap menjadi beban tanggungan tersendiri bagi negara, bagai kerbau tua yang tergopoh-gopoh mengangkut banyak manusia-manusia yang membebani punggungnya, alias “beban demografi” alih-alih sebagai “bonus demografi”. Di China, anak-anak muda mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga karena memang negerinya terbukti berharga dan memiliki harga. Di Indonesia, tiada yang dapat dibanggakan, selain mencetak sejarah kegagalan demi kegagalan, bahkan untuk urusan disiplin dan penertiban agar warganya mengenakan masker dikala wabah merebak, pemerintah maupun rakyatnya “gagal total”—mewariskan sejarah kegagalan demi kegagalan, mental “tidak berdaya”, “mental cengeng” yang kerap merengek secara kekanak-kanakan, mental “tidak tahan banting”, sekaligus mental atau budaya “pecundang”, yang tidak mengenal semangat juang, anti “kebijakan puasa makan dan ekonomi”, sekalipun rakyat negara-negara tetangga kita seperti China, Vietnam, Malaysia, serta Thailand menerapkan “LOCK DOWN murni” dimana rakyatnya berani untuk menghadapinya tanpa kenal gentar berperang melawan penjajah yang “tidak kasat mata”.

Bila menghadapi penjajah “tidak kasat mata”, Bangsa Indonesia seketika itu juga menyerah kalah dan bertekuk lutut, maka bagaimana bila penjajah yang “kasat mata” benar-benar menjajah republik ini? Negeri bernama Indonesia ini, tidak pernah kekurangan warga-warga yang gemar dan kerap melanggar hukum maupun melanggar hak-hak warga lainnya, bahkan hingga aksi-aksi irasional semacam sikap “kebal wabah”, “kebal dosa”, “kebal karma”—benar-benar “BEBAN DEMOGRAFI”, bukan sesuatu yang patut dibanggakan, namun menyerupai perumpamaan “duri dalam daging”, dimana durinya terlampau banyak. Sama halnya, mengapa etnik Rohingya ditolak bahkan di negara asalnya, Bangladesh, serta ditolak oleh Malaysia, India, Australia, tidak terkecuali otoritas di Myanmar bahkan juga di Indonesia? Karena Rohingya ialah “beban demografi”.

Sebaliknya, etnik Tionghua dan Jepang selalu diterima di negara manapun sebagai warga negara “naturalisasi”, semata karena mampu turut mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan serta berkontribusi secara nyata dalam pembangunan ekonomi modern. Uniknya, kaum Rohingya bahkan tidak berminat tinggal dan menetap di Indonesia, dimana menurut penuturan kaum Rohingya yang pernah diterima di Indonesia, “Indonesia adalah negara miskin, transit sementara tidak apa-apa, tapi kami ingin pergi ke Australia.” Masyarakat Indonesia pun, “patah hati”, bukan karena “ditolak mentah-mentah” oleh Rohingya meski telah disambut dengan tangan dan pintu terbuka oleh masyarakat Indonesia yang “agamais”, namun karena fakta bahwa Rohingya menganggap Bangsa Indonesia lebih miskin daripada mereka. “Pahlawan kesiangan” yang “patah hati”.

Namun Indonesia maupun warganya tidak perlu berkecil hati, karena tidak seorang diri tercatat sebagai negeri serta bangsa yang mengalami kegagalan. Sebagai contoh, saat sebelum wabah COVID-19 melanda dunia global, Amerika Serikat telah mengalami kelesuan ekonomi akibat terpukul “perang dagang” yang dimainkan dengan sangat apik oleh pengusaha dan pemerintah China yang bermain secara “rapih” dan “cantik”. Saat pandemik COVID-19 merebak, dan memasuki negeri “Paman Sam”, Amerika Serikat “porak-poranda” dan luluh-lantak dari segi ekonomi maupun kesehatan penduduknya. Apakah masih kurang, jumlah orang-orang cerdas, ilmuan tersohor, universitas ternama, profesor terkemuka, di Amerika Serikat maupun di Inggris?

Saat wabah COVID-19 untuk pertama kalinya melanda Kota Wuhan Provinsi Wubei di China, “lock down” yang sangat cepat dan cekatan penuh percaya diri oleh pemerintah China, mengakibatkan China menyetop keran ekspor produk-produk produksi dalam negeri mereka ke negara-negara lain akibat tiada aktivitas produksi di negerinya. Alhasil, Indonesia baik dari segi pasar konsumen maupun pelaku usaha yang bahan bakunya bersumber impor dari China, menjerit akibat tiadanya pasokan produk-produk dari China “Made in China”, mengingat 80 persen produk impor yang beredar di Indonesia, bersumber dari China.

Ketika wabah merebak di Eropa maupun Amerika Serikat, tidak terlampau membawa dampak baik dari segi ekonomi maupun pembangunan di Indonesia, karena indonesia memang relatif cukup mandiri dari segi ekonomi terhadap negara-negara yang disebut terakhir. Sebaliknya, ketergantungan ekonomi pelaku usaha mikro hingga pelaku usaha besar terhadap produk-produk produksi China, tergolong sangat tinggi di Indonesia, bahkan konsumen pun bergantung pada produk-produk bermutu dan berkualitas tinggi namun berharga terjangkau yang berasal dari China, baik produk elektronik, peralatan rumah-tangga, hingga kebutuhan akan pangan seperti herbal dan buah-buahan. Pembangunan berbagai pembangkit listrik di Indonesia, mulai mangkrak ketika China dilanda pandemik COVID-19, mengingat kontraktornya bersumber dari tenaga kerja dan kontraktor asal China.

Tanpa adanya intervensi wabah COVID-19 terhadap “perang dingin” yang serupa antara China Vs. United State of America, yang demikian seru melampaui kedaruratan perang militer bersenjata, dapat kita pastikan serta prediksi bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbang akibat pukulan China berupa kekuatan ekonomi yang tersistematis dan menjadi penguasa pasaran dunia lewat “hegemoni produk”-nya. Amerika Serikat, selama ini hanya mengandalkan kekuatan militer bersenjata canggih dan pesawat tempurnya yang mematikan. Namun, itu hanya menguntungkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya dalam hal perang militer pada abad lampau dimana Perang Dunia melanda dunia.

China menyadari betul, bahwa “perang dagang” dapat dimenangkan olehnya, dan dengan cara itulah China akan mampu mendominasi dunia, dengan terlebih dahulu menumbangkan negeri raksasa bernama Amerika Serikat sebagai “simbolisasi”-nya. Jika Amerika Serikat dapat ditaklukkan dan tunduk pada China, menaklukkan negara-negara lain di kawasan pasifik maupun negara-negara di Asia, hanya perihal waktu, dimana negara-negara lainnya tidak akan melakukan perlawanan berarti terlebih menantang, agar tidak bernasib sama seperti Amerika Serikat.

Sama halnya seperti negara Jepang kini menguasai sendi ekonomi maupun budaya di Indonesia, lewat bombardir budaya, bahasa, hingga produk-produk buatan merek Jepang. Penjajahan modern selalu bertumpu pada kekuatan ekonomi, dimana hanya negara-negara dengan “mind set” yang ketinggalan zaman seperti Korea Utara yang masih mengandalkan faktor kekuatan bersenjata untuk meningkatkan daya tawarnya di kancah global. Rusia, yang memiliki luas daratan menyaingi China, ternyata tidak mampu menyaingi ekonomi China, semata karena negara bekas Uni Soviet ini masih juga mewarisi paradigma “kekuatan bersenjata” sebagai daya tawar politiknya ketimbang memakai pendekatan baru seperti kekuatan daya tawar ekonomi untuk “menguasai dunia”.

Saat kini, sudah bukan zamannya lagi untuk menjadi adidaya dari segi kekuatan bersenjata dan perlengkapan militeristiknya bagi suatu negara—lihat Amerika Serikat, kecanggihan peralatan tempur pembunuhnya berbanding terbalik dan kontras terhadap realita menyerah dan bertekuk-lututnya pasukan mereka pada wabah yang disebabkan oleh virus menular. Pada sisi lain, berbagai peralatan tempur tersebut menjadi beban bagi ekonomi Amerika Serikat dimana harus ditanggung oleh para warga pembayar pajaknya, sementara lebih banyak berakhir sebagai besi “karatan”.

Negara yang dipandang sebagai sukses dan gemilang, adalah negara yang tingkat ekonomi kerakyatannya dipandang berhasil dan mampu mencetak prestasi kesuksesan dengan mendominasi pasaran global lewat produk-produk yang diekspor ke berbagai negara, lengkap dengan keterangan “Made in ...”. Ketika produk-produk lokal serupa diedarkan ke pasar domestik, dan disandingkan dengan produk lain dengan keterangan “Made in China” atau “Made in Japan”, dimana kemudian konsumen kita di dalam negeri ternyata memilih produk-produk impor, sama artinya “penjajahan” dari segi ekonomi tengah berlangsung—secara sukarela menyerahkan diri dan takluk (volunteering subsmission).

Kini kita kembali pada pokok pikiran dalam bahasan singkat ini, yakni bilamana Anda memiliki putera atau puteri yang hendak belajar ke luar negeri, baik untuk belajar teknologi maupun ilmu bisnis, universitas atau negara manakah yang akan menjadi rujukan utama Anda untuk direkomendasikan kepada putera dan puteri Anda? Jika ada di antara pembaca yang masih selalu mengidentikkan Oxford dan Harvard sebagai segalanya, maka itu adalah relevan dan benar untuk dua dekade lampau, dimana kondisi kontemporernya telah jauh berubah. Sama seperti kedia dua dekade lampau para dokter-dokter dikirim dari Malaysia untuk belajar kedokteran di Indonesia, namun kini terjadi sebaliknya, ilmu pengetahuan medik di Negeri “Jiran” Malaysia telah berada diatas meninggalkan Indonesia.

Amerika Serikat memiliki Harvard dan Negara Inggris memiliki Oxford, namun tetap saja realitanya mereka dilanda krisis hebat, akibat “perang dagang” dengan susah-payah mencoba untuk bertahan masih berdiri melawan kedigdayaan China, dan kembali terpukul ketika gagal mengatasi wabah. Bayangkan, apa jadinya bila Amerika Serikat kemudian “mengemis-ngemis” pada China agar diberikan izin membeli vaksin dari China? Saat ulasan ini disusun, pada medio Oktober 2020, tingkat pertumbuhan ekonomi China telah kembali menanjak ke angka positif, sementara negara-negara kompetitor utamanya tersebut mencetak resesi hebat. Artinya, profesor di Harvard maupun lulusan Oxford, bukanlah “saingan” level profesor maupun lulusan akademi di Negeri Tirai Bambu, China.

Artinya pula, tatkala negara-negara lain berjibaku untuk mampu tetap berdiri dan bertahan (sekalipun “babak belur” akibat gempuran bertubi-tubi wabah yang disebabkan COVID-19), Negara China justru lepas-landas meninggalkan negara-negara lainnya dengan melanjutkan kembali berbagai rencana pembangunan mereka yang sempat tertunda selama satu semester akibat wabah. Artinya pula, untuk belajar sistem organisasi pemerintahan yang efektif, tingkat intelektual dan intelejensi para intelek China adalah tidak lagi dapat diragukan pencapaian serta keberhasilannya.

Momentum yang diciptakan oleh wabah yang disebabkan oleh COVID-19, menjadi “ajang pamer” untuk memamerkan kedigdayaan Tiongkok dalam menghadapi musuh-musuh tidak terlihat seperti pandemik virus menular mematikan, hingga keadidayaannya dalam faktor kompetisi global yang bernama “perang dagang” dan ekonomi. Dapat dipastikan, satu dari perangkat elektronik kita di rumah, adalah “Made in China”. Begitupula berbagai drama serial televisi asal China, mendominasi dunia per-film-an dunia, dimana bahwa dunia Hollywood tidak lagi se-menarik beberapa dekade lampau ditengah kecanggihan sinematografi dan animasi digital per-film-an asal China yang “go international” terutama kisah mengenai budaya klasiknya yang berbusana apik dan penuh keindahan.

Produk-produk China mendominasi pasaran dunia, ketergantungan negara-negara di berbagai belahan dunia terhadap produk-produk buatan China, menciptakan sebuah efek psikologis bernama “perasaan tidak aman” (insecure feeling) bila seandainya China terancam kolaps—karena bilamana China kolaps akibat wabah maupun akibat gempuran bisnis negara lain, sama artinya rantai ekonomi di negara-negara yang selama ini bergantung pada produk yang disuplai dari China (supply chain), akan turut bertumbangan satu per satu, contohnya Indonesia yang selama ini begitu bergantung pada produk-produk asal China—suka atau tidak suka, itulah faktanya.

Jepang adalah negara yang kecil, dengan populasi penduduk yang minim, namun berhasil menciptakan efek hegemoni lewat budaya, seni gambar, bahasa, serta produk-produk bernilai ekonomi yang mereka perkenalkan dan tawarkan kepada pasar konsumen global. Jepang mulai menyadari betul, mereka tidak dapat mendominasi dunia lewat penjajahan militer, karenanya “banting setir” dengan memutar haluan menjadi adidaya secara ekonomi. Berbagai “francise” atau waralaba asal Jepang, kini mulai merambah ke berbagai negara, dan mulai menyaingi tingkat kesuksesan dan kepopuleran “francise” asal Negeri Paman Sam, sebagaimana fenomena yang terjadi di Indonesia mulai didominasi oleh toko-toko waralaba asal Jepang. Sekali lagi, Indonesia hanya menjadi penonton sekaligus konsumen belaka, dan tampaknya cukup berpuas diri untuk itu.

Negara-negara maju dan kaya seperti Australia, Uni Eropa, Hongkong, ataupun Singapura, bila mereka tumbang, tiada imbas hampir sama sekali bagi Indonesia. Sebaliknya, ketika Wuhan-China untuk pertama kalinya diserang wabah COVID-19, pada triwulan pertama pandemik di China, sekalipun kasus positif terjangkit di Indonesia belum dilaporkan keberadaannya, telah terbukti menciptakan efek domino berupa terpukulnya pelaku ekonomi di Indonesia maupun bagi konsumen di Indonesia yang selama ini bergantung pada produk-produk asal China. Eropa silahkan kolaps, Amerika Serikat silahkan kolaps, namun Indonesia akan turut kolaps ketika China benar-benar kolaps termasuk para konsumennya yang kehilangan pilihan untuk menjangkau produk bermutu namun terjangkau yang selama ini dapat dijumpai dengan mudah—meski, disaat bersamaan entah bagaimana Bangsa Indonesia begitu membenci Bangsa China.

Produk-produk ekonomi China, mulai dari alat tulis dan perkantoran, perkakas rumah tangga, busana, asesoris besar hingga asesoris kecil, herbal, hingga berbagai pernak-pernik kebutuhan sehari-hari rumah-tangga maupun untuk keperluan pekerjaan, disediakan oleh pihak pabrikan dan manufaktur asal China, dengan harga terjangkau namun dengan kualitas bermutu tinggi. Kini, China mulai menggeser dominasi produk elektronik bermerek, atau bahkan merek elektronik asal Jepang dan Amerika Serikat justru membuka pabrik manufaktur produk elektronik mereka di China. Merek Jepang ataupun Amerika Serikat, namun “Made in China”. Ekonomi lewat pelaku usahanya, tidak mengenal loyalitas, namun hanya memandang profit dan laba bisnis semata. Sama halnya, konsumen tidak mengenal nasionalisme, hanya memandang kepraktisan dan manfaat produk tersebut ketika digunakan.

Sudah bukan zamannya lagi, mengatakan bahwa anak kita belajar bisnis ke Amerika Serikat ataupun ke Harvard dan Oxford, namun kita perlu berbangga diri bila pernah mengeyam pendidikan di China, yang kini terbukti tampil sebagai negara paling adidaya dari segi ekonomi dan kemampuan mengelola negara disamping keterampilan mengatasi bencana alam sekaliber pandemik COVID-19 yang meluluh-lantakkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat tanpa terkecuali. Harvard dan Oxford tutup karena bangkrut atau karena tiada mahasiswa, tidak masalah, tawaran belajar di China masih jauh lebih “reasonable”. Belajarlah pada negara yang telah terbukti berhasil secara efektif menangani wabah ataupun kendala ekonomi, bukan mencontoh negara-negara yang terbukti bertumbangan satu per satu ketika wabah melanda.

Sebaliknya, bila ada diantara para pembaca yang hendak melakukan studi antropologi, kriminologi, viktimologi, tidak terkecuali sosiologi, Indonesia merupakan negeri dengan bangsa yang paling menarik untuk diteliti sebagai “laboratorium manusia barbarik yang mengaku-ngaku sebagai beradab”, mulai dari sikap semacam “tidak malu melanggar”, “tidak takut ancaman sanksi”, hingga bangga “mempertontonkan kebodohan”, semua ada di Indonesia. Sungguh melimpah-ruah pemandangan-pemandangan “aroganisme” semacam “lebih galak yang ditegur ketimbang yang menegur” alih-alih merasa bersyukur mendapat teguran ketika melakukan kekeliruan ataupun ketika kita merugikan dan menyakiti pihak lain sehingga kita dapat menyadari kesalahan yang telah kita lakukan serta terhindar dari kondisi “tertimbun dalam dosa”—rasa bangga yang tidak sehat sekaligus mencerminkan “kedangkalan” berpikir.

Betapa hebat dan berdayanya Negara Tiongkok, menjadikan petaka sebagai berkah. Mulanya terpukul akibat wabah yang diakibatkan oleh pandemik COVID-19, bahkan masih pula dikutuk (baca : “penghakiman”) sebagai “azab dari Tuhan” oleh kaum agamawan di Indonesia, namun kini menjadi produsen yang mengekspor vaksin komersiel buatannya ke pasar Indonesia, dimana rakyat Indonesia menjadi konsumennya yang harus membayar mahal jutaan vaksin produksi “Made in China”.

Hubungan antara Indonesia dan China, bagaikan “benci tapi rindu” (mungkin akibat “gengsi”, mungkin), menyatakan “anti China”, dan tampak sangat benci terhadap orang-orang China maupun etnik “keturunan”, namun disaat bersamaan “selalu bergantung dan menjadi konsumen setia produk-produk China” mulai dari bangun tidur hingga sampai kembali tertidur di ranjang lengkap dengan selimut, daster, serta Air Conditioner “Made in China”—ke-cina-cina-an sekali.

Rupanya, kita melupakan, hubungan diplomatik bukan hanya dibangun oleh seorang Diplomat dan Duta Besar, namun lewat produk-produk yang dalam keseharian menemani kita, bahkan ke dalam mimpi kita dikala terlelap, bagaikan sebuah “hipnotis”, cara-cara penjajahan yang lebih “halus”, “terselubung”, serta lebih “mencengkeram” ketimbang penjajahan secara militeristik.

Mengapa otoritas Indonesia, tidak pernah berani melawan dan menantang berperang angkatan pasukan bersenjata China yang kerap mengklaim sepihak teritori kepulauan dan kelautan di Indonesia? Jawabannya karena, “Kami, Bangsa Indonesia, tidak dapat hidup tanpa engkau, wahai China. Istri saya di rumah setiap harinya masak dengan bawang impor dari China, memakai kompor buatan China, panci produksi China, dan buah-buahan asal China. Mana bisa kami hidup tanpa engkau, wahai China.”

Kata siapa, konsumen selalu adalah Raja? Terbukti, konsumen produk asal China dibuat benar-benar “menghamba” kepada China, bukan sebaliknya, dan itu jugalah kecanggihan “otak” dibalik ekspansi ekonomi China dalam misinya menguasai dunia. Bukanlah konsumen di Indonesia yang akan memboikot produk-produk asal China, namun China dapat sewaktu-waktu memboikot produknya untuk diekspor dan dijual ke Indonesia—karena sebagaimana kita ketahui, Indonesia bukan satu-satunya pasar tempat China menjual produk-produk manufakturnya, sehingga pada sudut pandang itulah, daya tawar konsumen dan pelaku usaha di Indonesia selalu lebih lemah ketika berhadapan menghadapi hegemoni ekonomi China, kecuali, secara perlahan-lahan kita mulai menjadikan negara-negara tetangga kita lainnya di ASEAN sebagai penggganti produk asal China bila memang konsumen asal Indonesia masih membutuhkan produk-produk impor karena belum mampu dipenuhi produsen dalam negeri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.