PHK sebagai Lonceng Vonis Kematian yang Dini bagi seorang Pegawai / Buruh, Dengan Disertai maupun Tanpa Pesangon
Question: Dahulu kala, ketika persaingan sesama angkatan kerja manusia belum sesengit saat kini, belum lagi persaingan yang tidak setara antara tenaga kerja manusia menghadapi penetrasi tenaga kerja robotik, ancaman dibalik teknologi kecerdasan buatan yang menggantikan banyak fungsi pekerjaan menuju otomatisasi proses produksi, PHK bukanlah akhir dari segalanya. Dewasa ini, kecenderungannya PHK benar-benar menjadi akhir dari segalanya bagi yang terkena PHK. Namun, apabila tawarannya agar mau di-PHK ataupun dikenakan efisiensi usaha, ialah 2 kali ketentuan normal pesangon, apakah para pegawai atau buruh, berpotensi akan tetap menolaknya?
Brief Answer: Tidak selalu pihak pegawai / buruh akan bersedia
di-putus hubungan kerja (PHK)-nya oleh pihak pemberi kerja, sekalipun diberikan
kompensasi pesangon sebesar dua kali ketentuan pesangon normal pada umumnya, sehingga
pihak manajemen seyogianya tidak terlampau percaya diri berlebihan terhadap rencananya
untuk melakukan efisiensi usaha dengan PHK secara sepihak yang (sekalipun) disertai
tawaran pesangon sebagai kompensasinya. Baik faktor harga-diri pegawai yang
di-PHK secara sepihak, tidak bisa menerima kenyataan terkena PHK, merasa
terancam atas masa depan yang tidak pasti, ditambah fenomena minimnya lapangan
pekerjaan yang tersedia, hingga sempitnya lowongan pekerjaan bagi calon pekerja
dengan usia di atas 40 tahun dimana fresh graduate yang lebih condong diutamakan
untuk direkrut, membuat PHK—yang sekalipun disertai pesangon sebesar apapun—tampak
begitu menyerupai “kiamat” bagi yang bersangkutan yang harus dihindari sebisa
mungkin.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan cerminan
konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register
Nomor 188 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 28 Maret 2011, perkara antara:
- 17 orang karyawan, sebagai Para
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI, selaku
Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Pihak perusahaan melakukan
efisiensi usaha, akibatnya belasan karyawan di-putus hubungan kerjanya (PHK)
lewat gugatan ini yang diajukan oleh pihak perusahaan, disertai sejumlah
pesangon. Terhadap gugatan pihak perusahaan, yang kemudian menjadi putusan
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat No. 114/PHI.G/2010/PN.Jkt.Pst
tanggal 5 Oktober 2010, dengan amarnya sebagai berikut:
“MENGADILI
:
DALAM KONPENSI:
DALAM EKSEPSI
- Menolak Eksepsi Tergugat
untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan
Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hubungan kerja
antara Penggugat dan Para Tergugat putus dan berlaku terhitung sejak tanggal dibacakan
putusan atas perkara ini;
3. Menghukum Penggugat sebagai
Pengusaha untuk membayar hak-hak Para Tergugat sebagai Pekerja sebagai
kompensasi akibat tindakan pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi dengan
perincian sebagai berikut : ...;
DALAM REKONPENSI:
DALAM PROVISI
- Menolak tuntutan provisi Penggugat dalam Rekonpensi;
DALAM POKOK PERKARA
- Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk seluruhnya;”
Pihak karyawan / pegawai berkeberatan
terkena PHK yang menimpa mereka, sekalipun diberikan pesangon oleh putusan di
atas, sehingga mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung
RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang,
bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“mengenai
alasan-alasan Dalam Pokok Perkara: bahwa alasan-alasan ini tidak dapat
dibenarkan, karena Judex Facti telah benar menerapkan hukum dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan bukti P-6 yang merupakan Risalah
Perundingan antara Pengusaha dengan Para Ketua 2 (dua) Serikat Pekerja / Serikat
Buruh di Perusahaan telah tercapai kesepahaman untuk menyetujui tindakan efisiensi,
telah sesuai dengan isi ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 yang menentukan apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan dengan Serikat Pekerja
/ Serikat Buruh;
2. Bahwa pemutusan hubungan kerja yang dijatuhkan
Judex Facti juga berdasarkan alasan efisiensi sebagaimana ditentukan Pasal 164
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, berupa 2 x Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian
Hak yang jumlahnya telah dihitung dengan benar oleh Judex Facti; lagi pula alasan-alasan kasasi tersebut mengenai penilaian
hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi,
“Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara
ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi : PANJI ATMONO, dkk. tersebut
harus ditolak;
“M
E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon
Kasasi : 1. PANJI ATMONO, 2. NGATEMAN, 3. C.P. YUDY MARTONO, 4. DEDDY S.A. , 5.
ARMAN RAMLI, 6. ALAMSYARI, 7. SUDHARMONO, 8. DICKY IRAWAN, 9. ABDUL HALIM, 10. YANRI
SYAWAL SILITONGA, 11. RIDWAN SUJANA, 12. PARMIN, 13. AJI RAMADHI, 14. CUCU
SUTRISNO, 15. JUNETTA MANULANG, 16. REZA BARUNO WARDHONO MANULANG, 17. BASUKI
BERTIAPATI tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.