Kuda Liar Sukar Dijinakkan, namun Manusia Bisa Lebih Sukar untuk Dijinakkan EGO-nya dan Kedangkalan Berpikirnya
Otak, adanya Terletak di Kepala, Bukan di Otot. Sayangnya,
sebagian Masyarakat Premanis di Indonesia Tidak Mengetahui bahwa Otot Mereka
Sebenarnya Tidak Berotak—Menyelesaikan Setiap Masalah dengan Kekerasan Fisik
Terdapat satu perbedaan esensial antara Hukum Pidana dan Hukum Karma, yakni MOTIF sang pelaku. Menurut Hukum Pidana, eksekutor yang menembak mati seorang terpidana mati, adalah sah dan merupakan “alasan pembenar” sehingga tidak dapat dipidana, karena memang sudah ditugaskan atau bertugas untuk itu, yakni menjadi anggota regu tembak, atau bahkan memang suka menembak mati manusia dan menikmatinya. Sebaliknya, menurut Hukum Karma, penentu dapat dicela atau tidaknya sang pelaku, ialah bergantung pada “variabel bebas” yang bernama MOTIF. Bila motif sang eksekutor ialah menembak mati sang terpidana mati dalam rangka menyelamatkan banyak manusia agar tidak menjadi korban-korban dari sang terpidana mati, maka Karma Buruk yang ia tanam karena membunuh sang terpidana mati (membunuh tetap merampas nyawa makhluk hidup) adalah minim adanya, dan disaat bersamaan menanam benih Karma Baik berkat welas-asihnya kepada banyak warga yang berpotensi menjadi korban bila sang tereksekusi tidak kunjung dilenyapkan dari dunia ini.
Dalam ruang persidangan, motif dapat menjadi terabaikan
ketika hakim dihadapkan kepada keputusan sulit untuk segera membuat keputusan :
memvonis pidana ataukah membebaskan pihak terdakwa. Sepanjang perbuatan yang
sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan terbukti, maka
itulah vonisnya, tidak perduli apakah pihak Terdakwa membuat babak-belur pihak
korban pelapor akibat masuk dalam kondisi “sensitif waktu” dimana ia harus
membuat keputusan secara cepat pada saat kejadian, yakni : saya yang babak-belur
atau ia yang babak-belur.
Bagi Hukum Pidana, mencuri adalah mencuri, sekalipun
motif seorang Robin Hood ialah untuk memberi makan kaum miskin dan kelaparan,
sehingga dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum berupa sanksi pemidanaan.
Namun, Hukum Karma memilahnya, Robin Hood tetaplah bersalah karena mencuri, alih-alih
bekerja keras mencari penghasilan lalu menyisihkan pendapatan usahanya untuk
berderma kepada kaum terlantar. Akan tetapi, disaat bersamaan, ia berbuat kebaikan
dengan menjadi pahlawan bagi mereka yang “the not have”. Sang Buddha
mengibaratkan, meminum segelas garam, asin rasanya. Namun ketika garam tersebut
dituang ke sebuah danau air tawar, rasa asinnya menjadi dapat tertahankan
ketika diminum. Bagaimana dengan koruptor yang suka berderma? Tentu saja lebih
banyak yang masuk ke kantong saku pribadinya dana-dana hasil korupsi sang koruptor,
untuk “membersihkan harta” (money / sins laundring) cukup menyisihkan
recehan 2,5% dari “penghasilan kotor”—tidak lain tidak bukan ialah SELFISH
MOTIVE.
Karenanya, logika hukum negara ialah berpijak pada apa
yang disebut sebagai “logika biner”, gradasinya ialah bila tidak hitam, maka
putih, tidak ada gradasi abu-abu. Karena itulah, ketika Anda ditegur, janganlah
semata berfokus pada teguran tersebut, namun pada motif dibalik teguran
tersebut, apakah tulus ataukah tidaknya. Suatu hari, penulis menumpang
kendaraan umum yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, dimana sang pengemudi
sepanjang perjalanan mengomel dan marah-marah karena pernah diadukan oleh
penumpang. Sang pengemudi berbicara sendiri dengan nada keras dari balik
pengemudi sehingga dapat didengar oleh penumpang yang hanya bisa diam membisu
dan duduk mematung, bahwa dirinya masih ingat wajah pihak yang mengadukan
dirinya dan masih mencari serta menunggu-nunggu kemunculan wajah penumpang yang
telah melaporkan dirinya kepada pihak manajemen pengelola kendaraan umum.
Bila reaksi atau respon terhadap laporan / aduan
adalah seperti contoh pengemudi / pramudi di atas, maka masyarakat ataupun
korban akan takut untuk melapor, agar tidak dua kali menjadi korban. Penulis pun
beberapa kali membuat laporan terhadap kalangan pengemudi demikian, karena
pihak pengemudi sengaja bersikap abai terhadap keselamatan penumpang :
penumpang baru naik namun pengemudi sudah “tancap gas” sehingga penumpang terpelanting
bak hewan ternak, serta belum benar-benar turun meminjak bumi namun pengemudi
tidak benar-benar menghentikan laju kendaraannya. Semestinya sang terlapor
merasa bersyukur dan berterimakasih karena telah ditegur, dalam rangka
memperbaiki diri, agar tidak mengakumulasi Karma-Karma Buruk di keseharian untuk
sepanjang hidupnya yang bisa jadi akan menggunung. Bukankah dungu, dengan
bangga mengoleksi segudang dosa, memproduksi segunung dosa, serta berkubang
dalam samudera dosa?
Adapun penumpang membuat laporan / aduan, ialah dalam
rangka menolong dan menyelamatkan para calon penumpang lainnya agar tidak menjadi
“korban potensial” di kemudian hari, sekaligus menyadarkan sang pelaku atas
perilakunya yang membahayakan keselamatan penumpang (manusia, bukan ternak). Setidaknya,
itulah motif dibalik laporan / aduan yang penulis ajukan. Disayangkan, masyarakat
di Indonesia sangat menyerupai “kuda liar” yang sukar dijinakkan. Mereka akan cenderung—bila
tidak dapat disebut “selalu”—lebih galak daripada korbannya ketika ditegur. Baru
sekadar ditegur, ganasnya menyerupai “manusia hewan”. Terlebih ketika korban
menagih pertanggung-jawaban dari sang pelaku, bisa dipastikan sang pelaku
menjelma “manusia dinosaurus” yang lebih “purba” daripada nenek-moyangnya,
manusia purbakala. Sudah puluhan ribu atau ratusan ribu tahun manusia berevolusi,
tampaknya otak limbik (otak reptil) Bangsa Indonesia belum banyak berkembang. Dalam
seluruh kasus penulis menjadi pejalan kaki, pengendara yang melawan arus dan
merampas hak pejalan kaki selalu lebih galak ketika ditegur (menggunakan
kendaraan, namun masih juga merampas hak pejalan kaki, keserakahan yang tidak
terkontrol).
Derajat dan harkat umat manusia, terbagi menjadi
tiga tingkatan, yakni hewanis atau predatoris, premanis alias barbariknis, dan
humanis maupun dewanis / Tuhanis. Terdapat perumpamaan yang cukup akurat menyimbolkan
watak mayoritas masyarakat di Indonesia, sebagaimana dapat kita simak lewat khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:
14 (4) Anak Kuda Liar
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang delapan jenis
anak kuda liar dan delapan cacat seekor kuda, dan Aku akan mengajarkan kepada
kalian tentang delapan jenis orang yang serupa dengan anak kuda liar dan
delapan cacat seseorang. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.”
“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai
berikut:
“Dan apakah, para bhikkhu, delapan jenis anak kuda liar dan delapan cacat
seekor kuda?
(1) “Di sini, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur [191] dan memutar kereta ke
sekeliling di belakangnya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini
adalah cacat pertama seekor kuda.
[Kitab Komentar : Mendorong kuk ke atas dengan
bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi belakangnya.]
(2) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan [karenanya] merusak
palang dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini.
Ini adalah cacat ke dua seekor kuda.
[Kitab Komentar : Ia menendang dengan kedua kaki
belakangnya, menghantam palang kereta, dan merusak palang. Ia mematahkan
tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta.]
(3) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya dari tiang kereta
dan menabrak tiang kereta. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini
adalah cacat ke tiga seekor kuda.
[Kitab Komentar : Setelah menurunkan kepalanya, ia
menjatuhkan kuk ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya dan mematahkan
tiang kereta dengan kedua kaki depannya.]
(4) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik
kereta itu keluar dari jalurnya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini
adalah cacat ke empat seekor kuda.
(5) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian depan tubuhnya
dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada jenis anak kuda liar demikian
di sini. Ini adalah cacat ke lima seekor kuda.
(6) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat
kendali 211 melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya [192] dan
pergi ke manapun yang ia suka. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini
adalah cacat ke enam seekor kuda.
(7) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau berbalik
melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. Ada jenis anak kuda liar demikian
di sini. Ini adalah cacat ke tujuh seekor kuda.
(8) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan
dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya
dan duduk di sana di atas keempat kakinya. Ada jenis anak kuda liar demikian di
sini. Ini adalah cacat ke delapan seekor kuda.
“Ini adalah kedelapan jenis anak kuda liar itu dan kedelapan cacat seekor
kuda itu.
Dan apakah, para bhikkhu, delapan
jenis orang yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat seseorang?
(1) “Di sini, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia berdalih dengan alasan tidak ingat, dengan mengatakan:
‘Aku tidak ingat [telah melakukan pelanggaran demikian].’ Aku katakan orang ini
serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu
dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur dan memutar kereta ke sekeliling di belakangnya.
Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini
adalah cacat pertama seseorang.
(2) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, [193] ia balik memarahi si pengecam: ‘Hak apa yang engkau,
seorang dungu yang tidak kompeten, miliki untuk berbicara? Apakah engkau
benar-benar berpikir bahwa engkau boleh mengatakan sesuatu?’ Aku katakan orang
ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu
dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan [karenanya] merusak palang
dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa
dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke dua seseorang.
(3) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia membalikkan pelanggaran itu pada si pengecam, dengan
mengatakan: ‘Engkau telah melakukan pelanggaran itu. Perbaikilah itu terlebih
dulu.’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh:
‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya
dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta. Ada jenis orang demikian di sini
yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke tiga seseorang.
(4) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada
topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika
disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil
jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. Ada jenis orang
demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke
empat seseorang.
(5) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia berbicara sambil melambai-lambaikan tangannya di
tengah-tengah Saṅgha. Aku katakan orang ini serupa dengan [194] anak kuda liar yang, ketika
disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat
dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada
jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini
adalah cacat ke lima seseorang.
(6) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia tidak mematuhi Saṅgha atau pengecamnya melainkan pergi ke manapun yang
ia suka sambil masih membawa pelanggarannya. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar
yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya,
ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali melainkan menghancurkan
kekang mulutnya dengan giginya dan pergi ke manapun yang ia suka. Ada jenis
orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah
cacat ke enam seseorang.
(7) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia tidak mengatakan, ‘aku melakukan pelanggaran,’ ia juga tidak
mengatakan, ‘aku tidak melakukan pelanggaran,’ melainkan ia menjengkelkan Saṅgha dengan berdiam diri. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar
yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya,
ia tidak berjalan maju atau berbalik melainkan berdiri diam bagaikan sebuah
tiang. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda
liar. Ini adalah cacat ke tujuh seseorang.
(8) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu
pelanggaran, ia mengatakan: [195] ‘Mengapa engkau begitu cerewet tentang
aku? Sekarang aku akan menolak latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’
Kemudian ia menolak latihan, kembali kepada kehidupan rendah, dan mengatakan:
‘Sekarang kalian boleh puas!’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda
liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh
pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya dan duduk di sana di
atas keempat kakinya. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan
seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke delapan seseorang.
“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan jenis orang itu yang serupa dengan
anak kuda liar dan kedelapan cacat seseorang itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan
menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.