JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

MOTIF si Pelaku sebagai Elemen Pembeda Paling Utama antara Hukum Pidana dan Hukum Karma

Kuda Liar Sukar Dijinakkan, namun Manusia Bisa Lebih Sukar untuk Dijinakkan EGO-nya dan Kedangkalan Berpikirnya

Otak, adanya Terletak di Kepala, Bukan di Otot. Sayangnya, sebagian Masyarakat Premanis di Indonesia Tidak Mengetahui bahwa Otot Mereka Sebenarnya Tidak Berotak—Menyelesaikan Setiap Masalah dengan Kekerasan Fisik

Terdapat satu perbedaan esensial antara Hukum Pidana dan Hukum Karma, yakni MOTIF sang pelaku. Menurut Hukum Pidana, eksekutor yang menembak mati seorang terpidana mati, adalah sah dan merupakan “alasan pembenar” sehingga tidak dapat dipidana, karena memang sudah ditugaskan atau bertugas untuk itu, yakni menjadi anggota regu tembak, atau bahkan memang suka menembak mati manusia dan menikmatinya. Sebaliknya, menurut Hukum Karma, penentu dapat dicela atau tidaknya sang pelaku, ialah bergantung pada “variabel bebas” yang bernama MOTIF. Bila motif sang eksekutor ialah menembak mati sang terpidana mati dalam rangka menyelamatkan banyak manusia agar tidak menjadi korban-korban dari sang terpidana mati, maka Karma Buruk yang ia tanam karena membunuh sang terpidana mati (membunuh tetap merampas nyawa makhluk hidup) adalah minim adanya, dan disaat bersamaan menanam benih Karma Baik berkat welas-asihnya kepada banyak warga yang berpotensi menjadi korban bila sang tereksekusi tidak kunjung dilenyapkan dari dunia ini.

Dalam ruang persidangan, motif dapat menjadi terabaikan ketika hakim dihadapkan kepada keputusan sulit untuk segera membuat keputusan : memvonis pidana ataukah membebaskan pihak terdakwa. Sepanjang perbuatan yang sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinyatakan terbukti, maka itulah vonisnya, tidak perduli apakah pihak Terdakwa membuat babak-belur pihak korban pelapor akibat masuk dalam kondisi “sensitif waktu” dimana ia harus membuat keputusan secara cepat pada saat kejadian, yakni : saya yang babak-belur atau ia yang babak-belur.

Bagi Hukum Pidana, mencuri adalah mencuri, sekalipun motif seorang Robin Hood ialah untuk memberi makan kaum miskin dan kelaparan, sehingga dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum berupa sanksi pemidanaan. Namun, Hukum Karma memilahnya, Robin Hood tetaplah bersalah karena mencuri, alih-alih bekerja keras mencari penghasilan lalu menyisihkan pendapatan usahanya untuk berderma kepada kaum terlantar. Akan tetapi, disaat bersamaan, ia berbuat kebaikan dengan menjadi pahlawan bagi mereka yang “the not have”. Sang Buddha mengibaratkan, meminum segelas garam, asin rasanya. Namun ketika garam tersebut dituang ke sebuah danau air tawar, rasa asinnya menjadi dapat tertahankan ketika diminum. Bagaimana dengan koruptor yang suka berderma? Tentu saja lebih banyak yang masuk ke kantong saku pribadinya dana-dana hasil korupsi sang koruptor, untuk “membersihkan harta” (money / sins laundring) cukup menyisihkan recehan 2,5% dari “penghasilan kotor”—tidak lain tidak bukan ialah SELFISH MOTIVE.

Karenanya, logika hukum negara ialah berpijak pada apa yang disebut sebagai “logika biner”, gradasinya ialah bila tidak hitam, maka putih, tidak ada gradasi abu-abu. Karena itulah, ketika Anda ditegur, janganlah semata berfokus pada teguran tersebut, namun pada motif dibalik teguran tersebut, apakah tulus ataukah tidaknya. Suatu hari, penulis menumpang kendaraan umum yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, dimana sang pengemudi sepanjang perjalanan mengomel dan marah-marah karena pernah diadukan oleh penumpang. Sang pengemudi berbicara sendiri dengan nada keras dari balik pengemudi sehingga dapat didengar oleh penumpang yang hanya bisa diam membisu dan duduk mematung, bahwa dirinya masih ingat wajah pihak yang mengadukan dirinya dan masih mencari serta menunggu-nunggu kemunculan wajah penumpang yang telah melaporkan dirinya kepada pihak manajemen pengelola kendaraan umum.

Bila reaksi atau respon terhadap laporan / aduan adalah seperti contoh pengemudi / pramudi di atas, maka masyarakat ataupun korban akan takut untuk melapor, agar tidak dua kali menjadi korban. Penulis pun beberapa kali membuat laporan terhadap kalangan pengemudi demikian, karena pihak pengemudi sengaja bersikap abai terhadap keselamatan penumpang : penumpang baru naik namun pengemudi sudah “tancap gas” sehingga penumpang terpelanting bak hewan ternak, serta belum benar-benar turun meminjak bumi namun pengemudi tidak benar-benar menghentikan laju kendaraannya. Semestinya sang terlapor merasa bersyukur dan berterimakasih karena telah ditegur, dalam rangka memperbaiki diri, agar tidak mengakumulasi Karma-Karma Buruk di keseharian untuk sepanjang hidupnya yang bisa jadi akan menggunung. Bukankah dungu, dengan bangga mengoleksi segudang dosa, memproduksi segunung dosa, serta berkubang dalam samudera dosa?

Adapun penumpang membuat laporan / aduan, ialah dalam rangka menolong dan menyelamatkan para calon penumpang lainnya agar tidak menjadi “korban potensial” di kemudian hari, sekaligus menyadarkan sang pelaku atas perilakunya yang membahayakan keselamatan penumpang (manusia, bukan ternak). Setidaknya, itulah motif dibalik laporan / aduan yang penulis ajukan. Disayangkan, masyarakat di Indonesia sangat menyerupai “kuda liar” yang sukar dijinakkan. Mereka akan cenderung—bila tidak dapat disebut “selalu”—lebih galak daripada korbannya ketika ditegur. Baru sekadar ditegur, ganasnya menyerupai “manusia hewan”. Terlebih ketika korban menagih pertanggung-jawaban dari sang pelaku, bisa dipastikan sang pelaku menjelma “manusia dinosaurus” yang lebih “purba” daripada nenek-moyangnya, manusia purbakala. Sudah puluhan ribu atau ratusan ribu tahun manusia berevolusi, tampaknya otak limbik (otak reptil) Bangsa Indonesia belum banyak berkembang. Dalam seluruh kasus penulis menjadi pejalan kaki, pengendara yang melawan arus dan merampas hak pejalan kaki selalu lebih galak ketika ditegur (menggunakan kendaraan, namun masih juga merampas hak pejalan kaki, keserakahan yang tidak terkontrol).

Derajat dan harkat umat manusia, terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni hewanis atau predatoris, premanis alias barbariknis, dan humanis maupun dewanis / Tuhanis. Terdapat perumpamaan yang cukup akurat menyimbolkan watak mayoritas masyarakat di Indonesia, sebagaimana dapat kita simak lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

14 (4) Anak Kuda Liar

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang delapan jenis anak kuda liar dan delapan cacat seekor kuda, dan Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang delapan jenis orang yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat seseorang. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, delapan jenis anak kuda liar dan delapan cacat seekor kuda?

(1) “Di sini, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur [191] dan memutar kereta ke sekeliling di belakangnya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat pertama seekor kuda.

[Kitab Komentar : Mendorong kuk ke atas dengan bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi belakangnya.]

(2) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan [karenanya] merusak palang dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke dua seekor kuda.

[Kitab Komentar : Ia menendang dengan kedua kaki belakangnya, menghantam palang kereta, dan merusak palang. Ia mematahkan tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta.]

(3) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke tiga seekor kuda.

[Kitab Komentar : Setelah menurunkan kepalanya, ia menjatuhkan kuk ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya dan mematahkan tiang kereta dengan kedua kaki depannya.]

(4) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke empat seekor kuda.

(5) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke lima seekor kuda.

(6) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali 211 melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya [192] dan pergi ke manapun yang ia suka. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke enam seekor kuda.

(7) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau berbalik melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke tujuh seekor kuda.

(8) “Kemudian, ketika seekor anak kuda liar disuruh: ‘Maju!’ dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya dan duduk di sana di atas keempat kakinya. Ada jenis anak kuda liar demikian di sini. Ini adalah cacat ke delapan seekor kuda.

“Ini adalah kedelapan jenis anak kuda liar itu dan kedelapan cacat seekor kuda itu.

Dan apakah, para bhikkhu, delapan jenis orang yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat seseorang?

(1) “Di sini, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia berdalih dengan alasan tidak ingat, dengan mengatakan: ‘Aku tidak ingat [telah melakukan pelanggaran demikian].’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur dan memutar kereta ke sekeliling di belakangnya. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat pertama seseorang.

(2) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, [193] ia balik memarahi si pengecam: ‘Hak apa yang engkau, seorang dungu yang tidak kompeten, miliki untuk berbicara? Apakah engkau benar-benar berpikir bahwa engkau boleh mengatakan sesuatu?’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur dan [karenanya] merusak palang dan mematahkan tongkat tiga. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke dua seseorang.

(3) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia membalikkan pelanggaran itu pada si pengecam, dengan mengatakan: ‘Engkau telah melakukan pelanggaran itu. Perbaikilah itu terlebih dulu.’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke tiga seseorang.

(4) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke empat seseorang.

(5) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia berbicara sambil melambai-lambaikan tangannya di tengah-tengah Sagha. Aku katakan orang ini serupa dengan [194] anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki depannya. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke lima seseorang.

(6) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia tidak mematuhi Sagha atau pengecamnya melainkan pergi ke manapun yang ia suka sambil masih membawa pelanggarannya. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya dan pergi ke manapun yang ia suka. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke enam seseorang.

(7) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia tidak mengatakan, ‘aku melakukan pelanggaran,’ ia juga tidak mengatakan, ‘aku tidak melakukan pelanggaran,’ melainkan ia menjengkelkan Sagha dengan berdiam diri. Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau berbalik melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke tujuh seseorang.

(8) “Kemudian, ketika para bhikkhu mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran, ia mengatakan: [195] ‘Mengapa engkau begitu cerewet tentang aku? Sekarang aku akan menolak latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Kemudian ia menolak latihan, kembali kepada kehidupan rendah, dan mengatakan: ‘Sekarang kalian boleh puas!’ Aku katakan orang ini serupa dengan anak kuda liar yang, ketika disuruh: ‘Maju!’ dan ketika dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya dan duduk di sana di atas keempat kakinya. Ada jenis orang demikian di sini yang serupa dengan seekor anak kuda liar. Ini adalah cacat ke delapan seseorang.

“Ini, para bhikkhu, adalah kedelapan jenis orang itu yang serupa dengan anak kuda liar dan kedelapan cacat seseorang itu.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.