JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Anak sebagai Kelompok Rentan, Rentan Dicabuli dan Rentan Traumatik

Anak adalah Masa Depan Bangsa dan Generasi Penerus Cita-Cita Bangsa

Daya Tahan Psikis seorang Anak, Belum Sekuat Orang Dewasa

Question: Mengapa jika korbannya adalah anak, pelakunya dihukum lebih berat, apakah hanya karena ada undang-undang perlindungan anak?

Brief Answer: Anak-anak merupakan kaum yang tergolong rentan dalam dua dimensi. Pertama, rentan menjadi korban karena tidak berdaya untuk melawan ataupun melindungi dirinya sendiri. Kedua, rentan trauma dalam jangka panjang alias pengalaman buruk yang dialami akan tertanam dalam alam bawah sadarnya dan terbawa hingga ia tumbuh besar. Korban anak mungkin juga akan merasakan “rasa benci terhadap dirinya sendiri” karena tidak berdaya.

Mengapa kejahatan terhadap seorang anak, tergolong kejahatan yang berat? Karena korbannya tidak berdaya untuk melawan ataupun untuk membela diri. Begitupula ketika seorang wanita menganiaya seorang pria, seorang pria dilarang “norma sosial” untuk membalas menganiaya seorang wanita, maka itulah yang disebut sebagai “perfect crime”—yakni korbannya tidak dapat melawan atau dilarang untuk melawan.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat sebuah ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Masamba perkara pidana register Nomor 174 /Pid.Sus/2016/PN.Msb tanggal 09 Februari 2017, dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang sosial yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan;

“Menimbang, bahwa secara khusus (lex specialis) yang dimaksud dengan sub unsur ‘anak’ sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka unsur Dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan cabul telah terpenuhi;

“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76E UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal tersebut;

“Menimbang, bahwa pemidanaan merupakan ultimum remedium atau penyelesaian terakhir atas suatu masalah, maka dalam menentukan pemidanaan menurut Memorie van Toelichting harus diperhatikan keadaan obyektif dari tindak pidana yang dilakukan, sehingga pemidanaan tidak hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman terhadap pelaku (rechtguterverletzung), tetapi juga merupakan treatment komprehensif yang melihat aspek pembinaan bagi Terdakwa sendiri untuk dapat sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali dan juga harus melihat implikasi sosial kemasyarakatannya dalam kerangka tujuan pemidanaan yang preventif, edukatif dan korektif, sehingga mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat;

“Menimbang, bahwa sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan (social defence) serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, negara, korban dan pelaku, atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang, Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan, Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat;

“Menimbang, bahwa dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, secara expressis verbis atau tegas menyatakan, ‘anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif;

“Menimbang, bahwa menurut Bagong Suyanto mengatakan, ‘anak-anak korban perkosaan (chield rape) adalah kelompok yang paling sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma akut. Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan satu-satunya akan bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar dan kejadian yang biadab itu akan terus menerus menghantui korban, sehingga tidak jarang mereka memilih menempuh jalan pintas untuk melupakan serta mengakhiri semua penderitaannya’ (vide Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso, Wanita Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, Surabaya Airlangga University Press. 1996 hal 10);

“Menimbang, bahwa terhadap lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, pertimbangan sendiri setelah melihat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan jika dikaitkan dengan tujuan dari pemidanaan yang semata-mata bukanlah untuk pembalasan melainkan bertujuan untuk mendidik dan membina agar Terdakwa menyadari kesalahannya sehingga diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dikemudian hari serta dikaitkan dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang akan dipertimbangkan nanti, serta dalam hal Terdakwa dalam melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar, terdakwa seharusnya mendidik dan menjaga saksi korban Firna yang merupakan masih keponakannya dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan Terdakwa tersebut menimbulkan trauma yang mendalam terhadap saksi korban Firna maka Majelis Hakim memandang cukup tepat dan adil apabila kepada Terdakwa dijatuhi pidana seperti yang akan disebutkan dalam amar putusan dibawah ini;

“Menimbang, bahwa karena Terdakwa telah ditahan dan penahanan terhadap diri Terdakwa dilandasi alasan yang sah dan cukup, dimana pemidanaan yang dijatuhkan lebih lama dari masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, maka berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (2) sub b KUHAP perlu ditetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

“Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan trauma yang mendalam pada diri saksi korban;

- Perbuatan Terdakwa selain bertentangan dengan norma-norma hukum adalah juga bertentangan dengan norma-norma agama dan kesusilaan yang hidup di masyarakat;

Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa memiliki tanggungan keluarga;

- Terdakwa belum pernah dihukum;

M E N G A D I L I :

1. Menyatakan Terdakwa MAHMUD Als MAMMU Bin SAEDI tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan kekerasan memaksa Anak Untuk dilakukan Perbuatan Cabul;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) Tahun denda sejumlah Rp 60 (enam puluh) Juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana Penjara selama 1 (satu) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap di tahan;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.