Anak adalah Masa Depan Bangsa dan Generasi Penerus Cita-Cita Bangsa
Daya Tahan Psikis seorang Anak, Belum Sekuat Orang
Dewasa
Question: Mengapa jika korbannya adalah anak, pelakunya dihukum lebih berat, apakah hanya karena ada undang-undang perlindungan anak?
Brief Answer: Anak-anak merupakan kaum yang tergolong rentan
dalam dua dimensi. Pertama, rentan menjadi korban karena tidak berdaya untuk
melawan ataupun melindungi dirinya sendiri. Kedua, rentan trauma dalam jangka
panjang alias pengalaman buruk yang dialami akan tertanam dalam alam bawah
sadarnya dan terbawa hingga ia tumbuh besar. Korban anak mungkin juga akan
merasakan “rasa benci terhadap dirinya sendiri” karena tidak berdaya.
Mengapa kejahatan terhadap seorang anak, tergolong kejahatan yang berat? Karena
korbannya tidak berdaya untuk melawan ataupun untuk membela diri. Begitupula ketika
seorang wanita menganiaya seorang pria, seorang pria dilarang “norma sosial”
untuk membalas menganiaya seorang wanita, maka itulah yang disebut sebagai “perfect crime”—yakni korbannya tidak
dapat melawan atau dilarang untuk melawan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, terdapat
sebuah ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan
lewat putusan Pengadilan Negeri Masamba perkara pidana register Nomor 174
/Pid.Sus/2016/PN.Msb tanggal 09 Februari 2017, dimana terhadap dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa yang dimaksud
dengan perbuatan cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang
sosial yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara
yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan;
“Menimbang, bahwa secara khusus
(lex specialis) yang dimaksud dengan sub unsur ‘anak’ sebagaimana ketentuan
Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas maka unsur Dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak
melakukan perbuatan cabul telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa oleh karena
semua unsur dari Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76E UU RI Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
tunggal tersebut;
“Menimbang, bahwa pemidanaan
merupakan ultimum remedium atau penyelesaian terakhir atas suatu masalah, maka
dalam menentukan pemidanaan menurut Memorie van Toelichting harus diperhatikan
keadaan obyektif dari tindak pidana yang dilakukan, sehingga pemidanaan tidak
hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman terhadap pelaku (rechtguterverletzung),
tetapi juga merupakan treatment komprehensif yang melihat aspek pembinaan bagi Terdakwa
sendiri untuk dapat sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali dan
juga harus melihat implikasi sosial kemasyarakatannya dalam kerangka tujuan
pemidanaan yang preventif, edukatif dan korektif, sehingga mampu memenuhi rasa
keadilan masyarakat;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan
politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan
masyarakat dari kejahatan (social defence) serta keseimbangan dan
keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
masyarakat, negara, korban dan pelaku, atas dasar tujuan tersebut maka
pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat Kemanusiaan, dalam arti
bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang,
Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya
atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif
dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan, Keadilan, dalam arti bahwa
pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban
ataupun oleh masyarakat;
“Menimbang, bahwa dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, secara
expressis verbis atau tegas menyatakan, ‘anak merupakan amanah sekaligus
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan
sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
(delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh, dan komprehensif;
“Menimbang, bahwa menurut
Bagong Suyanto mengatakan, ‘anak-anak korban perkosaan (chield rape) adalah
kelompok yang paling sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma akut.
Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan
satu-satunya akan bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar dan kejadian yang
biadab itu akan terus menerus menghantui korban, sehingga tidak jarang mereka
memilih menempuh jalan pintas untuk melupakan serta mengakhiri semua penderitaannya’
(vide Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso, Wanita Dari Subordinasi dan
Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, Surabaya Airlangga University Press. 1996
hal 10);
“Menimbang, bahwa terhadap
lamanya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, pertimbangan sendiri
setelah melihat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan jika dikaitkan
dengan tujuan dari pemidanaan yang semata-mata bukanlah untuk pembalasan
melainkan bertujuan untuk mendidik dan membina agar Terdakwa menyadari
kesalahannya sehingga diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik
dikemudian hari serta dikaitkan dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal
yang meringankan yang akan dipertimbangkan nanti, serta dalam hal Terdakwa
dalam melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar, terdakwa seharusnya mendidik
dan menjaga saksi korban Firna yang merupakan masih keponakannya dan akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan Terdakwa tersebut menimbulkan trauma yang mendalam
terhadap saksi korban Firna maka Majelis Hakim memandang cukup tepat dan
adil apabila kepada Terdakwa dijatuhi pidana seperti yang akan disebutkan dalam
amar putusan dibawah ini;
“Menimbang, bahwa karena
Terdakwa telah ditahan dan penahanan terhadap diri Terdakwa dilandasi alasan
yang sah dan cukup, dimana pemidanaan yang dijatuhkan lebih lama dari masa
penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, maka berdasarkan ketentuan Pasal
193 ayat (2) sub b KUHAP perlu ditetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam
tahanan;
“Menimbang, bahwa untuk
menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
Keadaan yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan trauma yang mendalam pada diri saksi
korban;
- Perbuatan Terdakwa selain bertentangan dengan norma-norma hukum adalah
juga bertentangan dengan norma-norma agama dan kesusilaan yang hidup di
masyarakat;
Keadaan yang meringankan:
- Terdakwa memiliki tanggungan keluarga;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa MAHMUD Als MAMMU Bin SAEDI tersebut diatas, terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan kekerasan
memaksa Anak Untuk dilakukan Perbuatan Cabul;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) Tahun denda sejumlah Rp 60 (enam puluh) Juta dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana Penjara selama 1
(satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap di tahan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.