Agamais juga Pemabuk, Mabuk AGAMA DOSA yang Mempromosikan PENGHAPUSAN DOSA
Question: Mengapa ada orang, semisal aparatur sipil negara atau pejabat pemerintahan, yang sudah digaji dan terjamin kepastian gaji bulannya dari pajak yang dibayar masyarakat, namun masih juga tega memeras rakyatnya sesama anak bangsa sendiri dengan menyalahgunakan wewenang monopolistiknya di berbagai lembaga pemerintahan sekalipun tugas dan fungsi mereka ialah “civil servant” alias “hamba masyarakat” di kantor-kantor pelayanan publik?
Brief Answer: Karena perilaku pemerasan oleh orang-orang yang
memeras orang lain, adalah cerminan “kemabukan” alias sedang “mabuk” orangnya. Jadi,
tidak butuh mabuk oleh minum-minuman keras ataupun konsumsi barang madat
seperti obat-obatan terlarang, orang-orang yang memeras atau bahkan terbiasa
maupun hidup dari memeras orang lain, sejatinya ialah orang-orang yang sudah
atau sedang “mabuk”, sehingga akalnya ialah “akal sakit milik orang sakit” alih-alih
mencerminkan “akal sehat milik orang sehat”.
PEMBAHASAN:
Lucunya
gaya hidup orang “mabuk”, dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan
sebagai berikut:
II. Cāpāla
61 (1) Keinginan
“Para bhikkhu, ada delapan
jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?
(1) “Di sini, ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia gagal
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka,
merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan.
Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit,
berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
[Kitab Komentar menerangkan,
“keuntungan” di atas maknanya ialah “untuk memperoleh empat kebutuhan”, yaitu
jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.]
(2) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan.
Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut
dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan
yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(3) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana,
dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini
disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan tidak
mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(4) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan
kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang
menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya
untuk memperoleh keuntungan, dan ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah:
ia telah jatuh dari Dhamma sejati.
(5) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan
keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan,
dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak
jatuh dari Dhamma sejati.
(6) “Tetapi ketika seorang bhikkhu
sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha,
dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia
tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam
kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang
menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh
keuntungan, dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia
tidak jatuh dari Dhamma sejati.
(7) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak
memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena
tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak
menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan
yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh
keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia
tidak jatuh dari Dhamma sejati.
(8) “Tetapi ketika seorang
bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu
keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak
berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian,
ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan,
dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang
bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan
tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia
tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.
“Ini adalah kedelapan jenis
orang itu yang terdapat di dunia.” [296]
Akan tetapi, melampaui segala jenis maupun bentuk
kasar kemabukan di atas, tidak ada yang lebih “mabuk” daripada ajaran “mabuk” hingga
taraf “kecanduan” berikut, membuktikan bahwa kaum “agamais” juga adalah kaum “pemabuk
tulen”—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Mabuk “DOSA-DOSA
UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”, lewat
teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para pemabuk berikut—juga
masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]