JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pemeras dan Aksi Pemerasan, bagai Orang Mabuk yang Memprihatinkan Cara Hidupnya

Agamais juga Pemabuk, Mabuk AGAMA DOSA yang Mempromosikan PENGHAPUSAN DOSA

Question: Mengapa ada orang, semisal aparatur sipil negara atau pejabat pemerintahan, yang sudah digaji dan terjamin kepastian gaji bulannya dari pajak yang dibayar masyarakat, namun masih juga tega memeras rakyatnya sesama anak bangsa sendiri dengan menyalahgunakan wewenang monopolistiknya di berbagai lembaga pemerintahan sekalipun tugas dan fungsi mereka ialah “civil servant” alias “hamba masyarakat” di kantor-kantor pelayanan publik?

Brief Answer: Karena perilaku pemerasan oleh orang-orang yang memeras orang lain, adalah cerminan “kemabukan” alias sedang “mabuk” orangnya. Jadi, tidak butuh mabuk oleh minum-minuman keras ataupun konsumsi barang madat seperti obat-obatan terlarang, orang-orang yang memeras atau bahkan terbiasa maupun hidup dari memeras orang lain, sejatinya ialah orang-orang yang sudah atau sedang “mabuk”, sehingga akalnya ialah “akal sakit milik orang sakit” alih-alih mencerminkan “akal sehat milik orang sehat”.

PEMBAHASAN:

Lucunya gaya hidup orang “mabuk”, dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

II. Cāpāla

61 (1) Keinginan

“Para bhikkhu, ada delapan jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah delapan ini?

(1) “Di sini, ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia gagal memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan [294] yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

[Kitab Komentar menerangkan, “keuntungan” di atas maknanya ialah “untuk memperoleh empat kebutuhan”, yaitu jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.]

(2) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(3) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Karena tidak memperoleh keuntungan, ia berduka, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan tidak mendapatkannya: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(4) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Karena keuntungan itu, ia menjadi mabuk, memunculkan kelengahan, dan hanyut dalam kelengahan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan ia mendapatkannya, menjadi mabuk dan lengah: ia telah jatuh dari Dhamma sejati.

(5) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, [295] ia gagal memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak memperoleh keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan walaupun tidak mendapatkannya, ia tidak bersedih atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(6) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang bangkit, berusaha, dan berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(7) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Ia tidak memperoleh keuntungan. Ia tidak berduka, tidak merana, dan tidak meratap karena tidak mendapat keuntungan; ia tidak menangis dengan memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah tidak mendapatkannya, ia tidak berduka atau meratap: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

(8) “Tetapi ketika seorang bhikkhu sedang berdiam dalam kesendirian, hidup dengan tidak bergantung, suatu keinginan muncul padanya untuk mendapatkan keuntungan. Ia tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan itu. Namun demikian, ia memperoleh keuntungan. Ia tidak menjadi mabuk, tidak memunculkan kelengahan, dan tidak hanyut dalam kelengahan karena keuntungan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang menginginkan keuntungan yang tidak bangkit, tidak berusaha, dan tidak berupaya untuk memperoleh keuntungan, dan setelah ia mendapatkannya, ia tidak menjadi mabuk atau lengah: ia tidak jatuh dari Dhamma sejati.

“Ini adalah kedelapan jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [296]

Akan tetapi, melampaui segala jenis maupun bentuk kasar kemabukan di atas, tidak ada yang lebih “mabuk” daripada ajaran “mabuk” hingga taraf “kecanduan” berikut, membuktikan bahwa kaum “agamais” juga adalah kaum “pemabuk tulen”—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”, lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para pemabuk berikut—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]