Tetap Bertanggungjawab ditengah-tengah Keringnya Sikap Tanggung-Jawab Umat Manusia

Bertanggungjawab dan Memiliki Tanggung Jawab Moral, Itu Keren

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak dapat Hidup dengan Berkegiatan Usaha secara Jujur dan Adil, Itulah yang Disebut sebagai POSITIVE THINKING

Agama-agama samawi tumbuh subur, mendominasi umat manusia hingga menyerupai “hegemoni” yang menguasai umat manusia (bukan lagi agama untuk manusia, namun manusia untuk agama), namun disaat bersamaan sikap-sikap bertanggung-jawab umat manusia pemeluknya justru kian miskin, terkikis habis, dan gersang. Tanggung-jawab, ataupun sikap penuh tanggung-jawab, menjadi hal yang langka dalam kehidupan sosial kita sebagai sesama umat manusia dewasa ini. Itulah fenomena sosial, bukan sekadar anomali, yang setidaknya sejak kecil hingga tumbuh dewasa, melihat dan mengalami langsung, sebagai korban sikap-sikap tidak bertanggung-jawab teman sebaya, sesama anggota masyarakat di lingkungan pemukiman, organisasi, lembaga sekolah, tempat bekerja, menghadapi para Aparatur Sipil Negara, maupun sebagai sesama umat manusia kita hidup berdampingan sebagai sesama anak bangsa maupun sebagai sesama penghuni planet yang sama.

Ada sebuah produsen jamu tradisional yang diproduksi, dikemas, didistribusi, serta dipasarkan secara modern, yang mana uniknya ialah setiap sendi operasionalnya selalu mengedepankan tanggung-jawab moril sang pelaku sekaligus pemilik usaha, baik terhadap karyawan maupun terhadap konsumen tidak terkecuali terhadap negara, lewat kontribusi nyata. Sebagai contoh, produsen tersebut menguji secara berkala setiap batch produksi jamu mereka, memastikan tiada paparan logam berat, tiada racun akibat jamur pada rimpang, tiada kandungan berbahaya bagi kesehatan konsumennya, tidak mentolerir adanya pestisida, dimana juga keluarga sang pemilik usaha turut mengonsumsinya—sementara itu banyak produsen produk-produk obat maupun makanan / minuman lainnya yang justru melarang anggota keluarga sang pemilik untuk turut mengonsumsi produk-produk yang mereka produksi dan pasarkan karena mengetahui dampak buruknya bagi kesehatan secara jangka pendek maupun jangka panjang bila dikonsumsi—namun tetap juga mereka jual kepada masyarakat.

Begitupula sikap sang produsen terhadap karyawannya, selalu diusahakan lebih dari “standar minimum” yang ditetapkan pemerintah, seperti diberikan upah melampaui standar upah minimum kota. Tidak terkecuali terkait aspek perpajakan dan retribusi daerah, perusahaan sang produsen patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahkan memasang meteran air tanah dalam rangka turut-serta membayar retribusi daerah pemakaian air tanah. “Sebagai tanggung jawab moril kami terhadap konsumen, karyawan, dan negara,” demikian penuturan sang produsen, yang menjadikan sikap bertanggung-jawab sebagai “life-style”.

Sikap sang pemilik usaha produsen jamu nasional demikian, tampak seperti “oase” ditengah-tengah tandus dan kering-kerontannya “gurun pasir”—bernama lautan masyarakat luas kita yang menyerupai butir-butir pasir tidak bermakna, pengisi wadah bernama berbangsa dan bernegara—yang minim serta miskin sikap-sikap bertanggung-jawab. Namun, timbul pertanyaan pada benak pribadi penulis, apakah langkah ekstra serius, ekstra respek, ekstra upaya, ekstra peduli (care), dan ekstra “prudent” sang pelaku usaha produsen jamu tersebut, benar-benar signifikan membangun dan menjaga kesehatan masyarakat di negeri serba “agamais” bernama Indonesia ini—negeri dimana tidak pernah kekurangan manusia-manusia “agamais”, namun miskin perihal manusia yang bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatannya?

Perilaku etis sang pelaku usaha produsen jamu nasional dimaksud, yang sangat mengedepankan “etika berbisnis”, bagai perbandingan “langit dan bumi” terhadap perilaku ataupun kelakuan pelaku usaha lainnya di republik ini. Sebagai contoh, saat kini penulis tidak pernah lagi mengonsumsi cabai ataupun membeli cabai segar di pasar, tidak juga meminta sambal ketika membeli makanan di rumah makan, semata karena pertimbangan logis mengingat kalangan petani kita sudah menjadi rahasia umum “jor-jor”-an menyemprotkan pestisida kimiawi terhadap komoditas pangan pertanian, terutama saat akan memasuki masa panen. Akibatnya, berbagai komoditas pangan kita terpapar cemaran polutan pestisida kimiawi di atas ambang batas yang mana dapat menjadi karsinogenik ketika dikonsumsi masyarakat untuk jangka pendek maupun jangka panjang (keracunan makanan, food poisoned).

Lihatlah pedagang kecil kita yang sering menjajakan makanan olahan atau cemilan-ringan di sekolahan, pedagang buah atau sayur di pasar tradisional, ataupun yang bersifat gerobakan melintasi perumahan dan jalan umum lainnya, kerap mencampurkan berbagai bahan kimiawi yang berbahaya berupa pewarna hingga pengawet, untuk dijual, dibeli, sebelum kemudian dikonsumsi masyarakat luas selaku para konsumennya. Bahkan sempat diberitakan, pedagang daging ayam potong di pasar tradisional merendam daging ayam potong yang mereka jual ke dalam larutan pewarna tekstil agar bewarna kuning seolah-olah berlemak, tidak pucat putih—sekalipun para pedagang tersebut bisa saja membeli pewarna untuk makanan alih-alih menggunakan pewarna tekstil yang membahayakan keselamatan konsumennya—dimana keserakahan membutakan mata hati maupun batin dan nurani mereka, menjelma “agamais” yang bersemboyan-ria secara berjemaah : “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT? ADA PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA!”.

Sudah tidak terhitung lagi banyaknya, kejadian dimana kesehatan dan keselamatan penulis maupun anggota keluarga penulis, menjadi korban praktik tidak jujur dan tidak etis bahkan dapat disebut jahat para pelaku usaha kita, baik pelaku usaha kecil maupun pelaku usaha korporasi raksasa. Kejahatan mereka bersifat terselubung, seseorang yang menganiaya fisik luar kita hingga berdarah atau tewas dapat diproses dengan dipidana penjara, namun melukai dan mencelakai ataupun merugikan kesehatan masyarakat luas, belum secara serius oleh aparatur penegak hukum kita dipandang sebagai kejahatan yang menyerupai kejahatan penganiayaan fisik ataupun pembunuhan secara terakumulasi (secara jangka panjang).

Banyak masyarakat luas kita, yang kerap mengutuk dan memperbincangkan kekotoran para pejabat negara kita, sebagai korup, jahat, kriminil, kotor, harus dihukum mati, dan lain sebagainya. Faktanya, perilaku masyarakat kita sendiri dalam keseharian tidaklah lebih baik dan tidaklah juga lebih bersih daripada pihak-pihak yang mereka kutuk dan kritisi. Ajahn Chah, seorang bhikkhu “tradisi hutan” di Thailand, pernah berpesan agar kita semestinya lebih melihat kedalam diri kita sendiri alih-alih lebih sibuk memerhatikan, mengawasi, mengendalikan, dan mengkritisi pihak-pihak eksternal diri kita. Kebusukan sifat maupun kekotoran sikap pribadi mereka seolah tidak kasat mata, namun mereka demikian fasih mengkritisi dan mencela perbuatan-perbuatan para pejabat negara kita—ibarat pepatah berkata, gajah di depan mata tidak tampak namun semut di seberang samudera ditunjuk-tunjuk.

Jika aspirasi masyarakat luas kita benar-benar diakomodasi oleh pemerintah, dengan bersikap tegas menghukum mati para koruptor tanpa kompromi, maka banyak diantara anggota masyarakat kita itu sendiri yang kerap korupsi uang konsumennya, korupsi waktu para pekerja di perkantoran, korupsi kepercayaan dengan ingkat janji, korupsi kewenangan pengurus rukun warga maupun rukun tetangga tidak terkecuali warga yang berkolusi dengan mereka, korupsi dengan alih fungsi pemukiman menjelma tempat usaha bahkan dijadikan perkantoran sehingga menimbulkan “dampak sosial” yang merugikan warga setempat, korupsi kesehatan konsumennya, serta korupsi-korupsi lainnya semisal merampas hak pejalan kaki oleh para pengendara kendaraan bermotor, merampas hak jalan milik umum dengan menutup jalan dan menggelar hajatan di atasnya, merampas hak pejalan kaki dengan menggelar lapak di trotoar, parkir liar dengan mengatas-namakan beribadah, membuat atau turut menyebarkan informasi berisi konten “hoax” maupun “prank”, berdusta / berbohong, mencuri, menganiaya, memeras dengan modus tebar “ranjau paku”, dan lain sebagainya—yang artinya sebagian besar anggota masyarakat kita itu pun harus dihukum mati, sehingga tidaklah dapat bersikap “standar ganda” seolah-olah hanya pejabat yang dapat korupsi dan layak untuk dieksekusi hukuman mati.

Pernah terjadi, pada suatu rumah makan rumahan, bukan gerobakan, penulis bertanya terlebih dahulu sebelum membeli dengan nada sesopan yang penulis sanggup, mengingat pula harga jual makanan yang dijual oleh sang pelaku usaha tergolong tidak murah sehingga konsumen berhak mengharap selamat, “Apakah sayurnya untuk gado-gado dan keredok ini, sudah dicuci terlebih dahulu?” Respons yang penulis dapatkan sungguh mengejutkan, sang pelaku usaha rumah makan tersebut terhadap pertanyaan dari calon konsumen yang wajar dan patut saja sifatnya, bahkan harus dikemukakan karena terkait apa yang masuk ke mulut dan ke dalam perut, makanan, menanggapinya dengan murka, memaki-maki penulis dan mencemooh penulis sebagai “Pertanyaan yang aneh! Ini sayur ada berkarung-karung, bagaimana saya dapat mencucinya (sebelum dijual)?!” Sang pelaku usaha tidak bersedia membayar karyawan untuk mencuci sayur, ingin “untung besar”, selama belasan atau puluhan tahun mencelakai perut dan kesehatan konsumennya dengan racun pestisida, cemaran logam berat, jamur beracun, larva cacing, polutan cemaran kotoran binatang liar, dan sebagainya.

Bagi sang pelaku usaha rumah makan di atas, berbuat dosa dengan merusak hingga mencelakai kesehatan dan keselamatan konsumennya tidaklah menakutkan, laba usaha diatas segala-galanya alias menghalalkan segala cara meski sang pelaku usaha mengenakan busana agamais dan memakan hanya makanan yang “halal”—namun lihatlah ucapan serta perilakunya. Boleh saja sang pelaku usaha bersikap demikian, namun harus jujur di muka, semisal secara otentik memasang spanduk besar-besar bertuliskan : “Sayur di sini TIDAK DICUCI, BUMBUNYA PESTISIDA DAN KENCING TIKUS! Beli, artinya resiko ditanggung sendiri oleh konsumen.” Tidak menuliskan spanduk demikian, maka memberi hak calon konsumen untuk bertanya terlebih dahulu sebelum membelinya. Banyak masyarakat setempat yang terkecoh, rumah makan di rumahan, seakan ada fasilitas cuci yang layak dan patut untuk mencuci sayur, terlebih harga jualnya yang mahal untuk ukuran makanan serupa, sehingga mereka membeli tanpa terlebih dahulu bertanya perihal kebersihan apakah higienis atau tidaknya. Lebih baik dimarahi dan dicaci-maki (meski secara tidak patut), daripada membiarkan perut penulis dicelakai racun pestisida.

Kembali pada ilustrasi perihal produsen jamu modern dalam kemasan nasional yang penulis ulas di muka, sang pelaku usaha telah ternyata tidak memilih untuk “mengikuti arus”, bahkan dapat disebut sebagai “melawan arus” sikap mayoritas pelaku usaha kita yang tidak pernah menaruh hormat ataupun menghargai kesehatan, keselamatan, maupun hak-hak konsumennya, sehingga patut kita apresiasi, meski tampak tidak signifikan mengingat masyarakat kita kerap dipapar konsumsi pangan maupun makanan beracun yang kian terakumulasi setiap harinya, sepanjang tahun, sebelum kemudian “meledak” dengan gejala-gejala keluhan fisik hingga gagal fungsi organ tubuh. Apakah para pelaku usaha tidak etis demikian, akan bertanggungjawab? Pada pendosa—lebih tepatnya para pelanggan ideologi penghapusan dosa—mana yang akan bersedia dengan jantan tampil untuk bertanggung-jawab dan dimintai pertanggung-jawaban? Yang ada ialah, kian “agamais” maka kian tidak bertanggung-jawab.

Akibatnya, meski negeri Indonesia melimpah rempah-rempah dan herbal yang berkhasiat tinggi untuk kesehatan, lihatlah betapa rumah sakit dan fasilitas layanan kesehatan kita di Indonesia tidak pernah sepi dari pasien pengunjung yang mengidab penyakit-penyakit yang tidak semestinya ada di negeri yang kaya herbal ini. Sekalipun sang pelaku usaha produsen jamu yang bersikap etis dengan benar-benar secara teliti memastikan keselamatan konsumen yang mengonsumsi produknya, tampak tidak signifikan terhadap praktik tidak etis pelaku usaha lainnya, namun itulah sikap paling tepat untuk kita miliki dan budayakan kedalam diri kita sendiri—internalisasi diri berupa kebijakan hidup penuh tanggung-jawab—yakni tetap bertanggungjawab ditengah-tengah bangsa yang penuh sikap-sikap tidak bertanggungjawab. Pastikan rumah kita bebas dari jentik nyamuk, sekalipun kita mungkin bisa tergigit nyamuk yang hidup di rumah tetangga yang abai untuk urusan kesehatan.

Sama halnya sejak semula hingga saat kini berpraktik sebagai konsultan hukum, tidak jarang mendapati klien pengguna jasa yang bertanya apakah ada “celah hukum” untuk masalah hukum yang mereka hadapi, ataupun cara untuk menjadikan norma hukum yang ada sebagai “law as a tool of crime”. Ditengah-tengah perilaku penyedia jasa hukum yang tidak etis di Indonesia, serta ditengah-tengah kompetisi usaha yang ketat, bisa saja penulis memilih sikap pragmatis dengan “mengikuti arus” seperti membuat promo bombastis : “Bagi masyarakat yang butuh jasa konsultasi untuk mengetahui CELAH HUKUM, hubungi kami.

Namun mengapa penulis tetap memilih untuk bersikap idealis dalam berprofesi dan mencari nafkah untuk menyambung hidup? Sikap penuh tanggung-jawab, dipandu oleh “etika berbisnis”, sejatinya ialah demi serta untuk kepentingan dan kebaikan diri kita sendiri. Bayangkanlah, demi keuntungan / laba usaha berupa uang tidak seberapa, bila kesehatan ratusan bahkan ribuan konsumennya menjadi celaka, bahkan hingga menderita permanen bertahun-tahun atau tewas, apakah layak? Jangan bersikap seolah-olah tidak dapat hidup dengan berkegiatan usaha secara jujur dan adil, itulah yang disebut sebagai berpikiran positif.

Sebaliknya, ketika kita bersikap seolah-olah tidak dapat hidup tanpa bersikap jujur, tanpa merampas hak-hak orang lain, dan tanpa mencelakai kesehatan masyarakat selaku konsumennya, maka itulah yang disebut sebagai “negative thinking”. Sangatlah konyol juga tidaklah logis, bilamana keuntungan yang tidak seberapa, kita menanam Karma Buruk atas kerugian maupun derita yang diderita oleh pihak-pihak lainnya yang dirugikan. Tidak ada yang dapat benar-benar kita curangi dalam kehidupan ini, itulah pesan yang paling menonjol kita memelajari perihal cara kerja Hukum Karma.

Sebagai contoh, bila demi tarif konsultasi beberapa jam yang tidak seberapa nilai nominalnya, penulis memberikan informasi perihal “celah hukum” yang dapat berpotensi menimbulkan kerugian bagi lawan dari sang klien yang hendak berbuat nakal “mengakali hukum” dan “memancing di air keruh”, kerugian mana dapat mencapai senilai miliaran atau puluhan miliar rupiah, maka apakah sebanding, tarif jasa yang hanya senilai jutaan rupiah namun akibatnya penulis harus menanggung beban tanggung-jawab Karma senilai miliaran rupiah? Tiada jenius yang sebodoh itu hendak “menggali lubang kubur” untuk dirinya sendiri secara demikian dalamnya. Orang-orang jenius adalah orang-orang yang berpikiran positif, dengan tetap melanjutkan hidup meskipun tidak “mengikuti arus” yang ada. Hanyalah seorang “dungu tulen” yang memilih untuk bersikap egois terhadap dirinya sendiri—dengan bersikap “masak bodoh” terhadap konsekuensi Karma yang akan ia tanggung dikehidupannya yang mendatang.

Masyarakat “agamais” kita di Indonesia bukan hanya lagi sekadar terbiasa “berkurban ternak sembelihan”, namun juga mengorbankan manusia-manusia lainnya, berupa uang maupun kesehatan dan keselamatan hidup orang-orang lainnya, semata demi keuntungan, kesenangan, maupun kelangsungan hidup sang “agamais”. Ketika seorang pelaku usaha menipu uang konsumennya, mencelakai kesehatan konsumennya, bahkan hingga mematikan lewat mencelakai keselamatan konsumennya, maka itulah yang disebut “menyembelih / meng-kurban-kan manusia lainnya”, praktik yang tidak lagi sekadar berkorban hewan ternak untuk disembelih dan ditumpahkan darahnya sebagai korban “egoisme” diri sang penyembelih—kini bukan lagi “haus darah”, namun juga “haus uang”, “haus nyawa”, maupun “haus dosa”.

Seorang koruptor mengorbankan rakyat kecil dengan merampas nasi dari piring milik orang-orang yang lebih miskin dari sang koruptor. Pedagang yang tidak jujur mengorbankan konsumennya dengan merampas uang juga kesehatan / keselamatan konsumennya—manusia-manusia tercela semacam itu, men-Tuhan-kan uang, menghamba pada sikap serakah dan egois dalam dirinya, dimana menumbalkan hak-hak, kesehatan, maupun keselamatan manusia lainnya sebagai ritual harian-nya. Karena menjadikan uang sebagai “Tuhan”, maka merampas hak-hak, uang, kesehatan, bahkan kehidupan milik orang lain pun bukanlah hal yang di-“haram”-kan, semata demi mendekatkan diri mereka pada “uang”, dan dibutakan oleh “uang” yang sama. Cara mereka dalam “menyembelih” (kekejaman hati), sangatlah terselubung, semisal dengan korupsi-korupsi yang telah pernah kita singgung di awal.

Umat Buddhist di Tanah Air, lewat kesempatan ini penulis hendak meng-imbau, untuk tidak meniru terlebih “mengikuti arus” kebodohan batin yang kerap dipertontonkan secar vulgar oleh masyarakat “agamais” kita di Indonesia, akan tetapi merujuk pada sikap hidup “sehat” sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dimana Sang Buddha telah pernah menyinggung perihal praktik “pengorbanan manusia”, dengan kutipan sebagai berikut:

Brahmaa Ujjaya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Apakah Guru Gotama memuji pengorbanan?”

“Aku tidak memuji segala pengorbanan, Brahmana, Aku juga tidak menolak pujian pada segala pengorbanan. (1) Aku tidak memuji pengorbanan kejam di mana ternak, kambing-kambing, domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi dibunuh, di mana berbagai makhluk digiring untuk disembelih. (2) Karena alasan apakah? Karena para Arahant dan mereka yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan tidak melakukan pengorbanan kejam.

(3) “Tetapi Aku memuji pengorbanan tanpa kekejaman di mana ternak-ternak, kambing-kambing, domba-domba, ayam-ayam, dan babi-babi tidak dibunuh, di mana berbagai makhluk tidak disembelih, yaitu, pemberian biasa, pengorbanan yang dipersembahkan melalui kebiasaan keluarga. (4) Karena alasan apakah? Karena para Arahant dan mereka yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan melakukan pengorbanan tanpa kekejaman.”

Pengorbanan kuda, pengorbanan manusia, sammāpāsa, vājapeyya, [43] niraggaa: pengorbanan besar ini, penuh dengan kekejaman, tidak berbuah besar.

Para bijaksana agung berperilaku benar tidak melakukan pengorbanan di mana kambing-kambing, domba-domba, ternak, dan berbagai makhluk dibunuh.

Tetapi ketika mereka secara rutin mempersembahkan melalui kebiasaan keluarga pengorbanan yang bebas dari kekejaman, tidak ada kambing, domba, dan ternak atau berbagai makhluk yang dibunuh. Itu adalah pengorbanan yang dilakukan para bijaksana agung berperilaku benar. Orang bijaksana harus mempersembahkan ini; pengorbanan ini sangat berbuah. Bagi seseorang yang melakukan pengorbanan demikian sesungguhnya adalah lebih baik, tidak pernah lebih buruk. Pengorbanan demikian sungguh luas dan para dewata juga bergembira.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.