Tiada Kompromi terhadap Kejahatan, namun Escape Clause Terbuka Lebar, Kontraproduktif

SENI PIKIR & TULIS

Marketing Gimmick Keyakinan Keagamaan, “Penghapusan Dosa” maupun “Pengampunan Dosa” bagi Para Pendosa yang Berdosa Penuh Dosa, Pesta Dosa

Tiket Masuk Surga bagi Para Pendosa, Nasib Korban Dikemanakan?

Pada mulanya penulis menaruh rasa kagum, pada suatu norma keyakinan keagamaan tertentu yang menetapkan bahwa seseorang yang mencuri, dihukum “putuskan jari tangan” hingga “potong tangan” sang pelaku pencurian, demi terciptanya efek jera (deterrent effect) dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat agar tidak jatuh korban serupa dan para calon pencuri berpikir ulang ribuan kali sebelum melancarkan niat dan aksi buruknya yang tercela demikian. Begitupula seperti aksi perzinahan, disebutkan bahwa rajam menjadi sanksi hukuman bagi pelakunya. Telah ternyata, informasi yang bersifat parsial dan tidak utuh, cenderung menyesatkan.

Setelah penulis melakukan penelusuran literasi yang lebih lengkap dan lebih utuh, barulah penulis mengetahui betapa rancu, absurd, serta terdapat bahaya dibalik penerapan norma keagamaan demikian dalam realita sosial kemasyarakatan. Pertama, pada satu sisi, “maksiat” semacam mencuri dan berzinah, seolah (atau dicitrakan) sebagai dilarang, terlarang, tabu, serta terkandung sanksi tegas yang keras tanpa kompromi serta tanpa kenal toleransi bagi pelakunya. Namun pada sisi lain, terdapat “escape clause” bernama “cuci dosa” (sin laundring) bernama iming-iming “penghapusan dosa” atau “pengampunan dosa”, yang digembar-gemborkan serta di-obral demikian murahnya setiap terjadi momen hari besar keagamaan, hingga setiap harinya beribadah (beritual)—yang artinya, “penghapusan dosa” atau “pengampunan dosa” telah menegasikan larangan berbuat dosa dan maksiat. Alam surgawi, sebagai akibatnya, diibaratkan “tong sampah” raksasa murahan untuk menampung para pendosa (para manusia sampah).

Kedua, melanggar prinsip “due process of law” dimana tidak terdapat “fair trial” dimana tersangka maupun terdakwa diberi kesempatan untuk membela diri dan melakukan pembelaan dari suatu tuduhan yang bisa jadi merupakan tuduhan tanpa dasar dan tanpa bukti, bahkan sekadar menjadikan keterangan pelapor sebagai satu-satunya alat bukti untuk menjatuhkan hukuman tanpa konfirmasi maupun verifikasi kebenarannya. Ketiga, “penghakiman” tanpa terlebih dahulu membuat aturan memuat ancaman sanksi bagi pelaku pelanggarnya (alias melanggar “asas legalitas”)—ibarat “mulut raja adalah hukum itu sendiri”, sehingga terbuka lebarlah potensi kediktatoran.

Keempat, regulator tidak semestinya merangkap jabatan sebagai seorang hakim terlebih sebagai seorang eksekutor, demi penerapan prinsip “check and balancing system” yang menjadi sendi paling esensial dari negara hukum berperadaban tinggi. Kelima, tuduhan dialamatkan oleh pengikut dari sang “nabi”, dimana hanya berdasarkan keterangan “saksi de auditu” yang tidak melihat langsung, tidak juga mendengar langsung, serta tidak juga tidak mengalami sendiri. Sehingga, penjatuhan vonis hanya berdasarkan “katanya, katanya, dan katanya”.

Hanya karena berdasarkan adanya laporan, yang bisa jadi pihak pelapor memiliki itikad tidak baik seperti memfitnah atau upaya kriminalisasi, atau setidaknya hanya karena kesalah-pahaman yang dapat diklarifikasi, namun sang tersangka tidak berikan hak-haknya untuk membela diri, tiada pula peradilan yang adil dan terbuka (prinsip peradilan yang akuntabel serta transparan) disamping hak menuduh dan membela diri secara berimbang, pada akibatnya tersangka mengalami “penghakiman” secara prematur dimana ketika ternyata dikemudian hari dijumpai kebenaran yang baru terungkap secara terlambat, sementara itu tangan atau jari tangan sang tersangka telah terlanjur “diamputasi” oleh yang bahkan eksekutornya bukan seorang dokter yang dapat memastikan tubuh teramputasi sang tereksekusi tidak mengalami infeksi pasca pemenggalan, maka apakah bentuk rahabilitasi bagi sang salah tangkap dan salah tertuduh hingga salah tereksekusi?

Ketika seorang pendosa yang berdosa, justru dimasukkan ke alam surgawi tanpa terdapat keadilan bagi pihak korban kejahatan dari sang pelaku kejahatan, maka kita dapat menyebutnya sebagai pengikut atau penyembah “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”, alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”, sebagaimana dapat kita jumpai dalam kutipan ayat-ayat berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Pada “Kitab DOSA” yang sama, terdapat puluhan hingga ratusan ayat yang mengumandangkan iming-iming janji-janji surgawi “too good to be true” bernama “penghapusan dosa” atau “pengampunan dosa”, yang di-obral sedemikian murahnya setiap tahun saat hari raya keagamaan ataupun setiap harinya sang umat “Agama DOSA” melakukan ritual ibadah keagamaan. Pengecualian dari penghukuman demikian, lebih dikenal dengan julukan sebagai “escape clause”, mengakibatkan para umat pemeluknya menjadi meremehkan perbuatan jahat yang dilakukan olehnya dan disaat bersamaan menyepelekan perasaan maupun derita atau kerugian yang diderita oleh korban-korban perbuatan jahat mereka. Mencuri, penggal tangan, namun merampok dan menjarah hingga merampas hidup kaum yang berbeda keyakinan, di-halal-kan?

Ketika terhadap maksiat maupun perbuatan dosa, mereka demikian kompromistis, akan tetapi mengapa terhadap kaum yang berlainan keyakinan keagamaan, mereka menjadi tampak demikian tidak toleran serta tidak membuka ruang kompromi sedikit pun? Ketika mencuri, berzinah, merampok, membunuh (merampas hak hidup orang lain), menjadi suatu kebolehan, maka apa jadinya terhadap degradasi “standar moril” umat manusia pemeluknya? Bahkan, peperangan dan pembunuhan menjadi bagian dari perintah atau bagian dari ibadah itu sendiri bagi pemeluknya untuk dijalankan—sifatnya ialah “wajib”, untuk dijalankan oleh para umat pengikutnya).

Ketika suatu keyakinan keagamaan justru mempromosikan maksiat, dosa, dan berbagai kejahatan lainnya yang pada pokoknya ialah melukai, menyakiti, maupun merugikan orang lain, maka menjadi kontraproduktif menyerupai “marketing gimmick” seolah-olah anti dan menjadikan tabu perbuatan maksiat ataupun perbuatan dosa yang jahat, menjelma sangat kompromistis terhadap dosa dan maksiat, mengakibatkan para umat pengikutnya berlomba-lomba dan berbondong-bondong melakukan beragam maksiat, menimbun diri dengan dosa yang menggunung, mengoleksi segudang dosa, berkubang dalam dosa, tanpa rasa takut terhadap konsekuensi maupun bahaya dibaliknya semata karena (merasa) telah terjamin oleh “tiket masuk surga”.

Pada gilirannya, sama sekali tidak terdapat jaminan keamanan bagi korban, terlebih keadilan bagi pihak korban. Hanya seorang pendosa yang berdosa, yang membutuhkan “penghapusan dosa” atau “pengampunan dosa”, bukan korban. Korban hanya membutuhkan keadilan dari “Tuhan” yang adil serta objektif, bernama “Hukum Karma”. Biarlah, para pendosa tersebut saling bunuh, saling tikam, saling mencuri, saling berzinah, saling merampok, dan saling menjarah satu sama lainnya antar pendosa di alam surgawi. Korban tidak butuh masuk ke alam yang sama untuk hidup berdampingan dengan para pendosa tersebut untuk kedua kalinya, dimana alam surgawi menjelma “dunia manusia jilid kedua” dimana penghuninya ialah para manusia-manusia yang jahat dan berdosa.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.