JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kiat Menghadapi Calon Pemberi Kerja yang Manipulatif dan Eksploitatif

LEGAL OPINION

Contoh Kasus Manipulator Tenaga Kerja bernama Eddy Santoso Tjahja yang Dipecat secara TIDAK HORMAT sebelum kemudian Mengeksploitasi Tenaga Manusia

Question: Apa yang harus saya jawab dan tanggapi, bila dalam wawancara kerja, pihak perusahaan bertanya apakah saya bersedia dimutasi ke PT (Perseroan Terbatas) atau perusahaan lain yang katanya mereka masih satu grub usaha dengan perusahaan, lalu juga mereka bertanya apakah saya keberatan bila harus bekerja untuk kepentingan berbagai anak usaha PT-PT yang merupakan satu grub usaha dengan perusahaan?

Sejujurnya saya sebagai pelamar kerja, keberatan, karena tahu itu modus eksploitasi. Adakah cara menjawab yang dapat menggunakan dalih-dalih aturan hukum sebagai alibi untuk tidak terjebak pada pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang saya sadari pastinya akan saya sesali sendiri di kemudian hari bilamana saya sanggupi dan setujui tanpa berpikir panjang? Pihak pewawancara tampaknya lebih menitik-tekankan pada kelemahan dan kekurangan-kekurangan pihak pelamar kerja, apakah itu indikasi yang baik atau buruk bila dipaksakan untuk melamar kerja di tempat seperti itu?

Brief Answer: Sudah bukan zamannya pihak pemberi kerja yang lebih modern berfokus pada kelemahan ataupun kekurangan pihak pekerja / pegawai, namun berfokus memberdayakan, mengoptimalkan, dan menjadikan keunikan tersendiri berbagai kelebihan-kelebihan sang pegawai untuk dapat dieksplorasi agar dapat berkembang seiring bersama pertumbuhan perusahaan milik pihak pemberi kerja.

Pemberi kerja yang masih mengenakan perspektif “hanya mampu melihat kekurangan pegawai”, sudah ketinggalan zaman dan dapat dipastikan akan tergusur dari persaingan usaha yang kian kompetitif—seolah-olah sang pemberi kerja sudah sempurna tanpa cacat cela, dan dapat kita prediktif bahwa ciri khas paling utama dari pola berpikir yang cukup terbelakang dari kalangan pemberi kerja demikian ialah, tingginya angka atau tingkat keluar dan masuknya tenaga kerja pada satu periode waktu, semata karena sang karyawan tidak merasa dihargai bakat dan talentanya yang karenanya tidak dapat berkembang, cenderung stagnan, atau bahkan mengalami kemunduran.

Para pekerja yang lebih modern dewasa ini, mencari tempat dimana potensi dan bakat mereka dapat diakomodir, diwadahi, dihargai, dioptimalkan, serta diberdayakan. Era sudah lama berubah, dimana bakat menjadi keunikan tersendiri yang membedakan seorang pekerja dari para pencari kerja lain yang kian deras membanjiri bursa tenaga kerja dewasa ini. Dalam suatu organisasi kerja, keseragaman dari segi talenta serta bakat, hampir mustahil terjadi, bahkan dihindari, karena kemajemukan tugas pokok dan fungsi antar divisi kerja perlu dibuat diferensiasi yang tegas dan jelas.

Terhadap pertanyaan klise seperti “apakah bersedia dimutasi ke perusahaan lain atau tidaknya”, atau seperti “apakah bersedia dipekerjakan dan bekerja untuk kepentingan seluruh perusahaan dibawah payung grub usaha (namun hanya diberi upah / gaji oleh satu perusahaan saja), maka cara menjawabnya dapat secara diplomatis sembari menyentil secara cerdas agar sang penanya merasa “tersentil” atas pertanyaannya sendiri.

Mungkin adalah kurang bijak bila menjawab secara normatif berdasarkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan, karena dipastikan akan mengundang antipati serta sikap defensif pihak pemberi kerja, alih-alih simpatik, sementara secara politis dan sosiologis daya tawar seorang calon pelamar / pencari kerja adalah selalu lebih rendah—kecuali memiliki faktor bakat pembeda terdiferensiasi yang memang “lain daripada yang lain”, barulah akan lain ceritanya karena memiliki faktor pengungkit daya tawar.

Untuk jawaban atas pertanyaan pertama, inilah solusi jawabannya, agar tidak terjebak masuk dalam pertanyaan penuh perangkap yang dapat kontraproduktif terhadap posisi hukum pihak calon pemberi kerja ketika telah diterima sebagai karyawan di kemudian hari. “Boleh saja, dan saya tidak keberatan untuk saat kini bila memang ada kesesuaian dan kecocokan dari masing-masing pihak, alias saling menguntungkan, simbiosis mutualisme. Namun, berhubung lain badan hukum Perseroan Terbatas, maka itu tergolong sebagai PHK (pemutusan hubungan kerja), sehingga berlaku ketentuan perihal hak pesangon sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum dimutasi.”

Adapun perangkap yang dipasang oleh pihak calon pemberi kerja sebagai perangkap “maut”, ilustrasi sederhana berikut ini dapat memberikan gambaran secara ringkas namun lugas, dengan harapan dapat memudahkan pemahaman setiap kalangan calon pencari kerja. Seorang pegawai telah bekerja selama sepuluh tahun pada satu perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), sebelum kemudian dimutasi ke PT lain dengan dalil klasik dari pihak manajemen : “Masih satu GRUB usaha.”

Berjalan satu tahun bekerja pada PT kedua, sang pegawai dipecat, dan hanya diberikan pesangon dengan perhitungan masa kerja sebatas satu tahun, bukan sebelas tahun. Ketika sang karyawan menggugat PT kedua untuk menuntut pesangon untuk masa kerja sebelas tahun, hakim di Pengadilan Hubungan Industrial hanya akan menilainya sebagai memiliki masa kerja satu tahun, karena “GRUB usaha” BUKANLAH badan hukum juga bukan subjek hukum—hanya PT yang merupakan badan hukum serta subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Modus mengamputasi masa kerja terkait hak atas pesangon, dengan modus operandi “mutasi antar badan hukum”, sudah kerap terjadi dalam praktik, sehingga setiap calon pencari kerja perlu belajar dari pengalaman pahit para pendahulu mereka dengan tidak jatuh pada “lubang” serupa.

Terhadap pertanyaan kedua, “dipekerjakan bagi serta untuk kepentingan berbagai badan hukum dengan kedok, lagi-lagi, GRUB USAHA”, jawablah dengan balik mengajukan pertanyaan kepada sang pewawancara yang bertanya, “JIka saya boleh tahu, saya dipekerjakan oleh siapa dan yang tanda-tangan kontrak kerja dengan pegawai ialah oleh PT yang mana, PT. A, PT. B, PT. C, atau PT yang mana? Yang membayar upah atau gaji bulanan saya, PT yang mana?”

JIka pihak pewawancara mencoba berkelit, “Semua PT ini adalah satu GRUB USAHA”, maka jawablah dengan tidak kalah cerdiknya, “Jika GRUB USAHA ini punya seribu PT, artinya saya harus kerja untuk keseribu PT tersebut, namun hanya diberi upah oleh satu buah PT? Jangan-jangan nanti semua PT di Indonesia dari Sabang hingga Merauke, bahkan PT milik orang lain, diklaim sebagai satu GRUB USAHA, lantas pegawai masih juga berwajib mengerjakan dan bekerja untuk kepentingan seluruh PT-PT tersebut?

PEMBAHASAN:

Memang menjadi cukup ironis, melihat fakta realita bahwa pihak pewawancara bisa berlatar-belakang sang pengusaha itu sendiri, atau bahkan pihak pegawai yang memawancarai sang calon pegawai—dimana sang pegawai selaku pewawancara tidak menyadari bahwa dirinya bisa sewaktu-waktu dikorbankan oleh sang pelaku usaha dengan “kekejaman” serupa dengan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh pegawai lainnya yang mana hak-haknya “dizolimi” oleh sang pengusaha dengan dimutasi ke badan hukum lain atau dieksploitasi tenaganya untuk berbagai PT dengan semudah melontarkan alibi atau kedok “satu GRUB USAHA”.

Upah yang diberikan kepada sang pegawai pewawancara, adalah tidak seberapa dibanding dengan keterlibatan dosa atau kejahatan eksploitasi tenaga manusia serta perampasan hak-hak buruh demikian, bahkan tidak jarang menjadi “bumper” atau tangan dari sang pelaku usaha, meski kesemua itu ialah untuk kepentingan sang pengusaha. Mengotori tangan sendiri demi kepentingan dan keuntungan pihak pemilik usaha semata, dengan “menzolimi” hak-hak sesama karyawan, hanya persoalan waktu hingga tiba saatnya dirinya tidak lolos untuk turut mencicipi pengalaman serupa (Hukum Karma).

Bila yang penuh manipulasi dan eksploitatif pada saat wawancara kerja ialah langsung dari mulut sang pemilik usaha, maka adalah wajar saja bersikap tidak etis karena memang mengikuti prinsip bisnis ala liberalisme “keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya”, dimana sang karyawan dapat memberi “punishment” dengan sewaktu-waktu hengkang alias “angkat kaki” sehingga pihak perusahaan akan lebih sibuk merekrut pegawai baru ketimbang mempekerjakan pegawai. Secara politis dan sosiologis, sangatlah menguntungkan membuka usaha di Indonesia, mengingat daya tawar calon pegawai dan pencari kerja, selalu sangat rendah di mata kalangan pelaku usaha, dimana antrean pelamar dan pencari kerja dari angkatan kerja yang ada, tidak pernah habis-habisnya dan tiada pernah ada kata sepi pelamar.

Dalam dunia tenaga kerja, rekruitmen pegawai, maupun pelaku usaha, rasanya tidak lengkap menyitir perihal seorang figur yang menjadi ikonik dibidang perburuhan dan perusahaan, sesosok mantan direktur bernama Eddy Santoso Tjahja yang pernah dipecat secara tidak hormat dari kursi jabatan direksi oleh PT. JobsDB Indonesia karena kedapatan menyalah-gunakan data rahasia perusahaan serta melakukan praktik eksploitasi tenaga karyawan perusahaan demi kepentingan usaha pribadi milik sang direktur.

Ironisnya, meski Eddy Santoso Tjahja telah memiliki rekam jejak hitam pada dunia ketenagakerjaan, yakni dipecat secara tidak hormat sebagai direktur perusahaan, sehingga dapat dipastikan dirinya tidak akan diterima sebagai pekerja ataupun direksi pada berbagai perusahaan lainnya, Eddy Santoso Tjahja mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang rekruitmen untuk menjadi tenaga “outsourcing”. Dirinya sendiri telah memiliki sejarah noda hitam dipecat secara tidak hormat karena tersangkut kasus penyalah-gunaan posisi dan statusnya sebagai seorang direksi dengan mengeksploitasi tenaga karyawan internal perusahaan hingga menguasai data milik perusahaan untuk kepentingan usaha pribadi Eddy Santoso Tjahja, namun dirinya justru kemudian membuka bidang usaha dibidang rekruitmen.

Bagai telah mendarah-daging, Eddy Santoso Tjahja kembali melakukan eksploitasi tenaga manusia selama membuka usaha dibidang rekruitmen. Salah satu kasus yang terkenal dari Eddy Santoso Tjahja, ialah ketika dirinya memeras darah dan keringat seorang “pekerja lepas” selama hampir dua ratus jam kerja dengan modal pribadi sang pekerja, namun tarif jasa yang menjadi hak dari sang “pekerja lepas” yang telah bekerja untuk kepentingan pribadi Eddy Santoso Tjahja, tidak diberikan sepeser pun alias cidera janji atas apa yang sebelumnya telah dijanjikan sendiri oleh Eddy Santoso Tjahja—sebentuk penyalah-gunaan kepercayaan disamping wujud konkret modus penipuan disamping eksploitasi tenaga manusia itu sendiri.

Eddy Santoso Tjahja juga kemudian dikenal sebagai sosok yang kerap berkomunikasi secara manipulatif-eksploitatif, salah satunya ialah gaya atau sikap “mau menang sendiri”, yang terjadi dengan dialog sebagai berikut saat Eddy Santoso Tjahja merekrut seorang pekerja : “Kamu minta gaji berapa?”, “Tujuh juta rupiah.”, “Mengapa hanya minta tujuh juta rupiah? Mengapa tidak meminta delapan juta rupiah?”, “Benar juga, mengapa tidak meminta delapan juta rupiah.”, “Mengapa hanya delapan, mengapa tidak meminta sembilan juta rupiah?”, “Benar juga, mengapa hanya delapan, mengapa tidak sembilan.”, “Mengapa hanya sembilan, mengapa tidak minta sepuluh?”, “Benar juga, ...”, dan demikian seterusnya, sampai pada akhirnya Eddy Santoso Tjahja berkata dengan nada tudingan yang salah alamat, “Anda tidak konsisten, semula minta tujuh, lalu dipancing meminta lebih, lalu berubah pendapat.

Sang calon penerima kerja menyahut, “Yang tidak konsisten adalah Anda sendiri, semula bertanya ini lalu bertanya lain lagi. Anda dari semula dapat cukup menjawab, DEAL atau TIDAK, titik. Selebihnya ialah ‘take it or leave it’. Ada tawaran dari Anda, maka saya sambut, tawar-menawar. Ini bukan lelang tender, namun NEGOSIASI gaji. Sejak kapan, seseorang yang bernegosiasi bisnis maupun negosiasi gaji, disebut sebagai tidak konsisten? Yang disebut tidak konsisten ialah ketika pemberi kerja dan pekerja setuju dan sepakat pada satu harga, lalu realisasinya kemudian meminta atau memberikan kurang dari itu (wanprestasi). Jangan-jangan meminta kenaikan gaji pun, Anda sebut sebagai ‘tidak konsisten’? Enak di Anda, rugi di pegawai.

Eddy Santoso Tjahja pun dikenal karena kerap menjadikan anak buahnya sebagai “bumper” untuk melakukan tugas-tugas penuh resiko, demi kepentingan pribadi Eddy Santoso Tjahja. Eddy Santoso Tjahja yang masih menyimpan konflik pribadi terhadap PT. JobsDB Indonesia karena dipecat secara tidak hormat, mendorong pekerjanya untuk membuat karya tulis dengan maksud dan tujuan untuk menyerang nama baik PT. JobsDB Indonesia yang melakukan praktik korup semacam “transfer pricing” sehingga membawa kerugian pajak sumber pendapatan negara, namun Eddy Santoso Tjahja tidak bersedia menerbitkan publikasi karya tulis yang menyerang nama baik PT. JobsDB Indonesia tersebut dengan memakai nama pribadinya, namun menggunakan nama karyawannya meski data-data dan segala klaim bersumber dari Eddy Santoso Tjahja. Sang pegawai melakukan konfrontasi terhadap Eddy Santoso Tjahja yang lebih banyak menjadikan karyawannya sebagai objek manipulasi ketimbang diposisikan sebagai seorang manusia:

“Mengapa Bapak tidak berani mencantumkan nama Bapak sendiri, sebagai penulis artikel yang mendiskreditkan pihak lawan Bapak, sementara ini bukan kepentingan saya dan saya tidak memiliki permusuhan pribadi juga tidak berminat untuk membuat konflik pribadi apapun terhadap lawan Bapak atau terhadap siapapun, sehingga juga bukan urusan saya untuk menantang pihak tersebut, dan mengapa harus saya yang menjadi ‘bumper’ serta kambing-hitamnya bila ternyata data-data dan klaim dari pihak Bapak baru ternyata dikemudian hari adalah invalid adanya?”

Bila dinilai masih belum cukup manipulatif-eksploitatif, Eddy Santoso Tjahja bahkan tidak segan-segan memperbudak pegawainya untuk bekerja di rumah, namun jam kerja untuk melakukan proses pengetikan hingga riset dengan biaya pribadi sang karyawan untuk kepentingan pribadi usaha Eddy Santoso Tjahja, sama sekali tidak dihitung dan tidak diupah SEPERAK PUN sesuai janji yang sebelumnya telah dibuat oleh Eddy Santoso Tjahja.

Ketika sang karyawan mengajukan komplain, “JIka begitu, mengapa tidak Bapak saja yang mengetik dan riset untuk kepentingan pribadi saya, dengan modal pribadi Bapak, namun tidak saya hitung jam kerja Bapak dan tidak saya bayar SEPESER PUN?” Tiada jawaban maupun tanggapan, dan tiada tanggung-jawab apapun dari Eddy Santoso Tjahja, alias cidera dan ingkar janji, yang kini telah menjadi maskot ikonik tipikal pengusaha yang dikenal karena kegagalan-totalnya dari segi karir maupun usaha pribadinya dibidang rekruitmen di Indonesia dan telah dicatat sebagai salah satu sejarah kelam yang patut dijadikan pelajaran tanpa perlu mengalaminya sendiri pahit-getir manipulasi penuh eksploitasi terhadap tenaga kerja.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.