Mengembalikan Kerugian Negara lewat Mekanisme Gugatan Perdata, Kejaksaan sebagai Pengacara Negara, Tidak Harus Berupa Pidana

LEGAL OPINION

Kejaksaan adalah Pengacara Negara, namun Tidak Pernah Menggugat seorang Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Diamnya Tergugat, Diartikan Membenarkan Segala Dalil Penggugat?

Question: Bukankah katanya dalam sebuah gugatan, beban pembuktian ditumpukan oleh hakim di persidangan kepada pihak penggugat, dimana yang menggugat dan mengklaim-lah, yang wajib untuk dapat membuktikan segala dalil dan klaimnya tersebut dalam surat gugatan yang diajukan olehnya? Mengapa faktanya bisa sampai terjadi, bahkan tidak jarang terjadi, hakim di persidangan (perdata) dalam putusannya, membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa mengingat pihak Tergugat tidak membantah dalil Penggugat dalam butir ke-... surat gugatan, maka Tergugat dianggap (diasumsikan) membenarkan sehingga karenanya dalil Penggugat oleh Majelis Hakim dapat dianggap benar serta diasumsikan telah dapat dibuktikan kebenarannya.”

Bukankah itu sama artinya, hakim sedang bermain asumsi bahwa “diam artinya menyetujui, meng-iya-kan, dan membenarkan” segala klaim-klaim tidak berdasar pihak penggugat yang jelas-jelas sedang berusaha menjatuhkan dan menjungkalkan kita yang diposisikan sebagai tergugat? Bila dalam terminologi ilmu hukum pidana ada istilah semacam “non self incrimination”, maka mengapa diamnya pihak tergugat (dalam perkara perdata), dimaknai sebagai mengorbankan kepentingan dirinya sendiri? Bukankah praktik hukum, semestinya logis dan menggunakan akal sehat sebagai dasar berpijaknya?

Mengapa kesannya, hakim menjadi tidak netral dan cenderung memihak, jika praktiknya seperti itu? Bukankah akan lebih logis, bila tergugat tidak membenarkan klaim atau tuduhan ataupun dalil penggugat, maka diartikan tergugat menolak dan tidak membenarkan dalil-dalil pihak penggugat tersebut, karena memang itulah kepentingan pihak tergugat manapun dalam gugatan manapun? Mana ada maling yang mau mengaku, dan mana ada pula orang digugat lantas membenarkan segala klaim sepihak orang yang menggugat?

Brief Answer: Perlu diakui, tidak jarang Majelis Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri memang kerap membuat blunder penuh asumtif dan tendensius demikian, terutama dalam kasus putusan “verstek” (dimana pihak tergugat tidak pernah hadir untuk membantah ataupun membela diri dari segala tuduhan pihak penggugat), rona putusan dimana hakim seolah mengambil-alih seluruh dalil-dalil dan klaim pihak penggugat, secara “mentah-mentah” (bahkan secara prematur), semata karena tergugat tidak pernah hadir untuk membantah sehingga dianggap melepaskan haknya untuk membela diri dan menyanggah.

Sekalipun juga, dalam perkara pidana, seorang tersangka punya hak untuk diam (the right to remain silent), dimana diamnya pihak tersangka tidak dimaknai membenarkan segala tuduhan maupun tudingan yang dialamatkan oleh pihak pelapor (korban), penyidik Kepolisian, maupun pihak Jaksa Penuntut Umum—sehingga mengapa juga seorang tergugat dibebani kewajiban untuk “buka suara” (bersuara) dalam rangka membantah dan tidak membenarkan segala tudingan pihak penggugat.

Bahkan, lebih jauh lagi, dalam perkara persidangan pidana, Majelis Hakim wajib yakin seyakin-yakinnya, dalam rangka pembuktian secara “materiil”, bahwa betul sang terdakwa adalah tertuduh yang telah bersalah sepenuhnya dan seutuhnya, dan sekalipun di muka persidangan sang terdakwa memberikan keterangan yang berupa tidak membantah bahkan hingga pengakuan telah melakukan pelanggaran dan kesalahan sebagaimana tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Jika Majelis Hakim gagal untuk diyakinkan seyakin-yakinnya, dan sekalipun terdakwa mengaku bersalah, betul tentu hasil final putusannya ialah sang terdakwa dijatuhi vonis bersalah oleh pengadilan.

Fakta yuridisnya berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi, yakni konstitusi negara, tiada satu warga pun yang dibenarkan untuk diganggu ketenangan hidupnya. Digugat atau didudukkan sebagai pihak tergugat, jelas mengganggu ketenangan hidup, karenanya tidak ada kewajiban bagi seorang warga pun ketika ia digugat, harus merepotkan diri datang dan hadir ke persidangan sekadar untuk menyanggah segala klaim yang bisa jadi sangat berlebihan serta tanpa dasar apapun selain sekadar klaim sepihak.

Tidak hadir atau diam bungkamnya pihak terdakwa maupun pihak tergugat, tidak dapat dimaknai sebagai membiarkan dirugikannya kepentingan hukum pihak mereka, semata karena lembaga yang disimbolikkan sebagai penegakan keadilan, yakni pengadilan, bukanlah alat untuk dapat disalah-gunakan sebagai medium dalam rangka mengkriminaliasi seorang terdakwa ataupun untuk “merampok” pihak tergugat.

Orang-orang dengan ekonomi kuat, akan cenderung sanggup memberondong seorang rakyat yang lemah dengan berbagai gugatan secara bertubi-tubi, sementa yang digugat bisa jadi tidak mampu untuk hadir ke persidangan karena harus bekerja membajak ladang di sawah agar keluarganya bisa diberi makan pada hari itu. Ketika sang petani merasa tidak sanggup lagi meladeni gugatan yang bertubi-tubi dilakukan oleh sang berkuasa yang cukup menyewa dan membayar kuasa hukum untuk menjadi wakilnya mengajukan gugatan, para akhirnya sang petani memilih alasan dengan pertimbangan pragmatis, tidak hadir demi dapat terus bekerja di ladang. Apakah itu artinya, segala dalil dan klaim pihak penggugat, lantas diartikan dibenarkan oleh tidak hadirnya (diam-nya) pihak tergugat?

Untuk putusan berjenis “verztek”, masih terbuka upaya hukum “verset”, yakni perlawanan untuk menganulir putusan yang absurd dan berlebihan dalam hal asumtif serta kecenderungan pembenaran sepihak secara “sumir” demikian. Untuk putusan lainnya, dapat dilakukan upaya hukum banding serta kasasi agar dianulir, dengan harapan asas pembuktian hukum acara perdata dapat benar-benar ditegakkan dan dipulihkan, yakni barangsiapa mendalilkan suatu hak lewat gugatan sebagai seorang penggugat, maka ia yang harus mendalilkan segala dalilnya, yakni menjadi beban pembuktian di pundak pihak penggugat, bukan dibebankan atau menjadi beban pihak tergugat untuk membuktikan bahwa dalil penggugat adalah tidak benar—yang disebut terakhir, itulah tepatnya yang disebut sebagai “beban pembuktian terbalik”, yang hanya relevan dalam perkara pidana tindak pidana korupsi (Tipikor), namun tidak relevan dalam perkara gugat-menggugat secara perdata.

Ketika pihak penggugat mengajukan dalil atau klaim secara “sumir”, maka semestinya pihak tergugat pun diberikan hak untuk membantah cukup secara serupa, yakni secara “sumir” saja, semata agar tidak tercipta kesan “diskriminasi”. Logika berpikirnya sangat sederhana, bila pihak penggugat dapat dibenarkan untuk “asal klaim” atau “asal mendalilkan” tanpa dapat membuktikan kebenarannya (bilamana dibebani oleh Majelis Hakim berupa beban untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukan penggugat), maka pihak tergugat pun semestinya sama sekali tidak perlu hadir untuk membantah ataupun membela diri, juga setidaknya cukup menolak segala kebenaran dalil tersebut secara “sumir” saja tanpa perlu bersusah-payah dibebani beban pembuktian apapun dalam persidangan perkara gugatan perdata.

Biasanya, format baku surat jawaban / bantahan pihak tergugat, menyertakan kalimat pembuka dengan “jaring pengaman” (safety nett) sebagai berikut : “Segala dalil-dalil maupun klaim yang diajukan oleh pihak Penggugat, dengan ini Tergugat nyatakan menolak mengakuinya, kecuali diakui oleh Tergugat secara eksplisit dalam surat jawaban ini, sehingga tiada satu pun dari sikap diam Tergugat yang dapat dimaknai sebagai membenarkan dalil-dalil pihak Penggugat tersebut.

PEMBAHASAN:

Satu-satunya yang relevan serta rasional bilamana “beban pembuktian terbalik” (shifting the burden of prove), hendak diberlakukan dalam hukum acara perdata, ialah ketika Kejaksaan memilih untuk menggugat secara perdata pihak pelaku Tipikor, dalam rangka memulihkan kerugian negara. Konteksnya dalam hal ini, ialah “hukum acara perdata umum” hendaknya dibuat memiliki distingsi (pembeda) fungsional dan distingsi operasional terhadap “hukum acara perdata khusus Tipikor”—yang sampai saat kini, setidaknya hingga saat ulasan ini disusun, belum terdapat regulasi memadai yang memisahkan antara keduanya.

Salah satu keengganan terbesar kalangan Kejaksaan selaku “pengacara negara” untuk menggugat secara perdata pihak pelaku korupsi, ialah karena pihak sang “pengacara negara” harus tunduk terhadap aturan main (rule of game) dalam “hukum acara perdata umum” yang mewajibkan dirinya selaku penggugat untuk membuktikan segala dalil dan tuduhannya (sehingga beban pembuktian dipikul oleh pundak pihak Kejaksaan selaku penggugat). Sementara itu, bila Kejaksaan lebih memilih untuk menindak sang pelaku korupsi lewat ranah pemidanaan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, beban pembuktiannya bersifat “terbalik”, yakni pihak terdakwa harus mampu membuktikan bahwa segala harta kekayaan miliknya berbanding lurus dengan profil pendapatan bulannya.

Meski demikian, kecemasan pihak Kejaksaan selaku “pengacara negara”, sejatinya tidaklah memiliki dasar akal sehat yang cukup dapat diperdebatkan secara logika berpikir hukum yang sederhana dan mendasar sekalipun. Sebagaimana kita ketahui, stelsel pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia, yakni bersifat “formil”, dalam pengertian cukup sebatas “formalitas” semata dimana bukti-bukti yang bersifat “otentik” karena sifatnya atau karena bentuknya, seketika itu juga diasumsikan sebagai bukti yang sempurna dan terkuat dalam rangka menegakkan dalil-dalil dalam surat gugatan.

Berbeda halnya dengan sistem pembuktian dalam perkara pidana, dimana Majelis Hakim perlu diyakinkan seyakin-yakinnya, tanpa menyisakan keraguan sekecil apapun, sehingga pembuktian dalam perkara pidana menjadi bersifat “materiil”. Itulah sebabnya, sekalipun belum atau tanpa dibuat pengaturan secara “kodifikasi parsial terbuka” semacam “Hukum Acara Perdata Khusus Tipikor”, bukan menjadi alasan pembenar bagi pihak Kejaksaan untuk berkilah menjadikan opsi gugatan secara perdata terhadap pihak-pihak yang dinilai telah pernah merugikan keuangan negara (korupsi) sebagai langkah yang rasional dan layak untuk ditempuh atau setidaknya sebagai opsi paling pertama—mengingat sifat hukum pidana menurut teorinya, ditegakkan hanya dalam rangka “ultimum remedium”.

Kini, mari kita timbang berat-ringannya kedua mekanisme yang dapat ditempuh oleh Kejaksaan, baik sebagai “Penuntut Umum” (perkara pidana) maupun selaku “Pengacara Negara” (perkara perdata), manakah yang sekiranya lebih menguntungkan kepentingan pihak aparatur penegak hukum serta tentunya bagi kepentingan pemulihan kerugian negara? Sebelum itu, patut kita pahami, hampir kurang berfaedah, bila sang pelaku Tipikor dijebloskan ke dalam penjara namun kerugian negara berpotensi tidak dapat dipulihkan secara utuh dan penuh.

Pada satu sisi, penuntutan terhadap seorang koruptor, secara pidana, memungkinkan Penuntut Umum diuntungkan lewat pemberlakuan “beban pembuktian terbalik secara terbatas” di Pengadilan Khusus Tipikor—dalam pengertian, Penuntut Umum tetap diwajibkan untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil dalam surat dakwaan yang disusunnya, sementara itu pihak terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan asal-usul kepemilikan harta bendanya terutama ketika profil pendapatan atau penghasilannya melampaui secara tidak wajar harta benda miliknya.

Sementara itu di lain ranah, secara mekanisme gugatan perdata, sekalipun sang “Pengacara Negara” dibebani beban untuk membuktikan segala dalil dalam surat gugatannya—anggap saja sama seperti kewajiban Penuntut Umum untuk membuktikan dalil dalam surat dakwaannya—ketika menggugat seorang koruptor, namun pada sisi lain terdapat sebuah keuntungan tersendiri bagi kepentingan pihak aparatur penegak hukum, yakni berupa tidak terbebani oleh sistem pembuktian secara “materiil”, namun cukup berupa pembuktian secara “formil”, dimana alat bukti seperti rekaman suara hasil sadapan sudah tergolong sebagai alat pembuktian yang bersifat “otentik” sejak undang-undang terkait informasi dan transaksi elektronik diberlakukan di republik ini.

Karenanya, bukanlah perkara sukar untuk memenangkan gugatan perdata lewat pembuktian secara “formil” belaka, mengingat dapat dipastikan aparatur penegak hukum di pihak negara akan memiliki dan dibekali oleh berbagai kemudahan dalam menghimpun berbagai alat bukti, mulai dari derasnya arus data dari pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, koordinasi antar kementerian dan lembaga negara pemerintahan, kewenangan mengumpulkan alat bukti dari kekuasaan untuk menggeledah, menyita, menahan, kekuatan untuk memanggil dan menghimpun keterangan serta data dari masyarakat untuk dijadikan saksi, serta dukungan moril dari masyarakat umum.

Dapat dipastikan, posisi tergugat akan senantiasa terpojok serta tersudutkan, mengalami berbagai kendala serta kesukaran dalam menghimpun alat bukti karena keterbatasan sumber daya maupun akses, disamping “penghakiman publik” yang menguras energi mental, serta ketidakleluasaan lainnya selayaknya seorang warga sipil lainnya dalam mengakses berbagai hal yang merupakan hal lazim dimiliki aparatur penegak hukum, sekalipun dalam rangka pembelaan diri dalam perkara perdata. Karenanya, setidaknya menurut hemat penulis, sama sekali tidak terdapat urgensi untuk mengatur perihal “beban pembuktian terbalik” dalam suatu regulasi khusus secara tersendiri semacam “Hukum Acara Perdata Khusus Tipikor”, karena sistem pembuktian yang bersifat “formil” belaka dalam gugat-menggugat secara perdata, sudah lebih dari cukup menguntungkan pihak “Pengacara Negara”.

Singkat kata, para “Pengacara Negara” di Kejaksaan yang cukup kreatif serta terbuka wawasannya disamping lebih visioner, akan memandang bahwa sistem pembuktian pada Hukum Acara Perdata adalah lebih meringankan beban aparatur penegak hukum, karena cukup membuktikan kesalahan seorang koruptor (yang digugat secara perdata) sebatas “formil”, ketimbang menghadapi kenyataan diperlukannya pembuktian secara “materiil” sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana yang bisa jadi Majelis Hakim gagal diyakinkan seyakin-yakinnya dengan potensi terdakwa lolos dari jerat penghukuman pidana, sehingga perlu kerja ekstra waspada dan ekstra persiapan disamping kehati-hatian tingkat tinggi.

Ilustrasi berikut ini dapat cukup menjelaskan duduk persoalan yang relevan dalam praktik di lapangan, meski kurang cukup dielaborasi keberlakuannya oleh para aparatur Jaksa di Kejaksaan. Suatu waktu, diduga terjadi kerugian berupa hilangnya aset negara berupa hak atas tanah akibat diperjual-belikan oleh suatu oknum. Menghukum pidana sang oknum, lengkap dengan denda dan uang pengganti sekalipun, belumlah tentu dapat memulihkan kerugian negara bilamana denda tidak dibayarkan (dengan konsekeusni berupa hukuman pengganti seperti kurungan) atau bilamana aset harta kekayaan sang terpidana yang disita dan dilelang tidak cukup untuk memulihkan kerugian negara.

Dalam contoh ilustrasi konkret di atas, yang benar-benar terjadi dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi, langkah pemidanaan bisa jadi kontraproduktif terhadap maksud dan tujuan semula, yakni pemulihan kerugian negara sebagai tujuan utamanya, namun menjadi sebatas sekadar penghukuman secara fisik bagi sang pelaku yang mana sekadar memuaskan konsumsi publik. Perlu juga dipahami, bahwa setelah sang pelaku dijatuhi hukuman pidana, maka terhadap sang pelaku tidak dapat lagi digugat secara perdata untuk meminta ganti-kerugian sebagaimana diajukan oleh sang “Pengacara Negara”, mengingat bila sang pelaku telah dijatuhi vonis berupa pidana penjara disertai denda maupun hukuman untuk membayar uang pengganti, maka akan menjelma “double jeopardy” alias “penghukuman berganda” yang tidak dapat dibenarkan oleh asas-asas hukum umum—karena menyerupai sang pelaku justru “dirampok” oleh negara berupa dua kali nilai kerugian nengara, yaitu : uang pengganti sebagaimana vonis pidana dan penghukuman pembayaran ganti-kerugian dalam putusan perdata, dua persidangan terpisah atas pelaku dan perbuatan yang sama.

Dalam rangka menghindari “double sentencing” yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum negara beradab, maka untuk dapat memulihkan kerugian negara, opsi yang paling relevan serta rasional untuk konteks contoh kasus di atas, yakni berupa gugatan perdata pembatalan jual-beli hak atas tanah yang saat itu dilakukan oleh sang oknum yang kini didudukkan sebagai pihak tergugat pada persidangan perkara perdata. Ketika gugatan sang “Pengacara Negara” ternyata dimenangkan dan dikabulkan oleh Majelis Hakim persidangan perkara perdata, dimana kerugian negara dipulihkan dengan dibatalkannya jual-beli aset negara oleh pihak tergugat, artinya kerugian negara kini telah dapat dikembalikan sepenuhnya sehingga tidak lagi menyisakan kerugian negara apapun dalam hal ini.

Hanya saja, konsekuensi dari penerapan opsi gugatan secara perdata demikian ialah, berhubung serta mengingat telah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengubah ketentuan delik korupsi pada Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, dari semula berupa “delik formil” (dimana yang dilarang dan diancam penghukuman, ialah perbuatan yang melanggar dari sang pelaku, sehingga cukup berupa “dapat” berpotensi merugikan keuangan negara sudah cukup membuktikan telah terjadinya delik pidana korupsi) diubah menjadi sebatas “delik materiil” (dimana kerugian negara harus benar-benar terjadi, bukan sekadar potensi “dapat” merugikan keuangan negara).

Berhubung kerugian negara telah berhasil dipulihkan secara penuh dan utuh lewat mekanisme gugatan perdata, maka kejadian tindak pidana korupsi ini dari semula dapat dipidana, menjadi menjelma tidak lagi dapat dijerat pidana oleh Undang-Undang yang sama—semata karena “delik materiil” menjadi tertutup keberlakuannya disaat kerugian negara telah berhasil dipulihkan lewat makanisme gugatan perdata. Sementara itu frasa “dapat” sebagaimana semula dapat kita jumpai pada klausa “dapat merugikan keuangan negara” dalam Undang-Undang Tipikor, telah dihapus keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi RI, berakibat pada tertutupnya kesempatan mendakwa dan menuntut seorang pelaku korupsi dengan memakai acuan dasar hukum berupa “delik formil”.

Logika hukumnya sangat sederhana, bilamana sang pelaku telah digugat secara perdata dengan putusan berupa dibatalkannya jual-beli aset negara oleh pelaku selaku tergugat, yang diartikan kerugian negara telah berhasil dipulihkan, dari terdapat kerugian negara menjadi tidak ada lagi kerugian negara, maka bila sang pelaku kembali dihadapkan ke persidangan sebagai “pesakitan” (terdakwa), maka Majelis Hakim pengadilan khusus Tipikor akan bertanya kepada Jaksa Penuntut Umum, kerugian apakah yang saat kini dialami oleh negara akibat perbuatan terdakwa sehingga dituntut di depan persidangan pengadilan Tipikor—perhatikan konteks penyebutan waktu “saat kini” di atas, sebagai konsekuensi dari penerapan “delik materiil”, dimana implementasinya bukanlah lagi “dapat merugikan”, namun ada real atau tidaknya kerugian negara yang telah terjadi saat terdakwa dihadapkan ke persidangan perkara pidana ini.

Cerita akan menjadi lain, bilamana Mahkamah Konstitusi RI tidak pernah menghapus keberlakuan frasa “dapat” pada klausa “dapat merugian keuangan negara” pada Undang-Undang Tipikor, maka selain seorang pelaku aksi korupsi dapat digugat secara perdata untuk memulihkan kerugian negara, sang pelaku dapat tetap juga dijerat dan dituntut vonis penghukuman secara pidana atas perbuatannya yang “dapat” membawa potensi timbulnya kerugian negara, dimana berdasarkan paham “delik formil” demikian, sang pelaku dapat kembali dijerat vonis hukuman berupa penjara dan denda—meski tanpa lagi dapat dituntut uang pengganti mengingat kerugian negara telah berhasil dipulihkan sepenuhnya oleh putusan perkara perdata.

Betul bahwa terdapat pasal terkait ancaman hukuman bagi “percobaan korupsi” pada Undang-Undang bersangkutan tentang aksi Tipikor, namun delik “percobaan” merupakan bagian dari “delik formil” itu sendiri, dimana “percobaan” jelas-jelas berseberangan dengan ketentuan “delik materiil” yang mensyaratkan ada dan telah terjadinya kerugian negara hingga saat terdakwa dihadapkan ke persidangan. Sehingga, tidaklah dapat terjadi, antara delik “percobaan” dan “delik materiil” dapat eksis secara bersamaan pada satu ketentuan yang sama perihal larangan dan ancaman hukuman terhadap aksi korupsi. Antara “delik formil” dan “demil materiil”, bukanlah bersifat alternatif, namun selalu hanya berlaku satu buah diantara keduanya.

Itulah akibat atau dampak berantai, dari putusan yang kurang matang pertimbangan hukumnya sebagaimana saat para hakim Mahkamah Konstitusi RI secara gegabah dan fatalistik menjungkir-balik falsafah berpikir Undang-Undang Tipikor dari semula bersemangatkan nafas “delik formil”, dijungkir-balik menjadi sebatas “delik materiil” yang sangat sempit ruang geraknya dan terbatas cakupan pemberlakuannya, berimbas pada praktik wajah berhukum terutama terhadap kasus-kasus “percobaan”.

Aparatur penegak hukum pun memasuki zona dilematis “serba salah”, menggugat perdata dapat mengakibatkan pelakunya lolos dari jerat pidana pemenjaraan, sementara itu mempidana uang pengganti berakibat tidak lagi dapatnya pihak pelaku digugat secara perdata karena akan terbentur larangan praktik “double jeopardy”. Sebuah harga yang sangat mahal kita bayarkan, semata karena satu buah putusan Mahkamah Konstitusi RI yang terlampau kerdil dan sempit (picik) cara bernalar dan berpikirnya secara hukum, berimbas secara demikian masif dan mengubah peta wajah berhukum di republik kita.

Bagaimana menjelaskan, terhadap kasus-kasus dimana para sindikat korupsi yang saling bersekongkol, ternyata mengembalikan dana hasil korupsinya kepada negara, namun tetap juga didakwakan dan dipidana penjara? Mereka, para komplotan aksi korupsi, barulah mengembalikan dana hasil korupsi ketika status salah satu diantara mereka setidaknya telah dipanggil sebagai saksi atau setidaknya sebagai tersangka yang tersangkut kasus korupsi, atau bahkan ketika salah satu dari mereka ditingkatkan statusnya sebagai terdakwa di persidangan.

Permasalahan terakhir, bukankah dakwaan disusun dengan memakai “tempus delicti” berupa kejadiaan pada saat lampau dimana aksi korupsi terjadi, bukan “saat kini”? Untuk menjelaskan hal tersebut, berhubung menurut karakternya “delik materiil” bersifat penentuan terhadap “akibat” sebagai produk final, apakah yang menjadi akibatnya terjadi ataukah tidak, bukan perbuatannya, maka “tempus delicti” yang relevan ialah kurun waktu pada suatu waktu di masa lampau hingga saat surat dakwaan diajukan ke persidangan, yang artinya hingga saat kekinian. Berbeda halnya dengan “delik formil”, dimana perbuatan yang diatur larangannya bila terjadi di masa lampau, maka sudah merupakan suatu delik pelanggaran secara konkret, dimana rentang waktu “tempus delicti”-nya jelas hanya satu momen di masa lampau dimana perbuatan itu dilakukan dan terjadi.

Bila memang seandainya, memenangkan gugatan perdata untuk memulihkan kerugian negara, tidak menutup potensi tetap dipidanakannya pihak pelaku aksi korupsi, sehingga keduanya dapat tetap diberlakukan secara linear ataupun secara paralel, maka mengapa hingga detik ulasan ini disusun, tiada satupun pihak Kejaksaan yang menggugat secara perdata para pelaku aksi korupsi sebelum kemudian mempidana penjara mereka?

Justru, bila gugatan perdata “ditolak” oleh Majelis Hakim persidangan perdata, maka artinya kerugian negara telah benar-benar final terjadinya, yang artinya pula “delik materiil” telah benar-benar sempurna terjadi. Barulah pada saat itu melahirkan hak bagi pihak Kejaksaan untuk memproses lebih lanjut dengan mendakwa serta menuntut pihak pelaku secara pidana untuk dipidana penjara serta divonis membayar sejumlah denda dan uang pengganti agar kerugian negara dapat dipulihkan.

Konstruksi demikian menjadi menyerupai analogi dalam sistem peradilan tata usaha negara, dimana surat keputusan tata usaha negara belumlah dapat digugat bilamana belum bersifat final, semisal masih terdapat peluang keberatan dan banding administrasi untuk ditempuh. Bila kerugian negara dapat dipulihkan lewat mekanisme gugatan perdata, maka mengapa kita menyebutnya sebagai sudah final (meski secara prematur) sekalipun gugatan sama sekali tidak pernah diajukan oleh pihak Kejaksaan selaku “Pengacara Negara”?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.