Bangsa yang Baik, Belajar dari Pengalaman Sejarah Bangsanya Sendiri Sebelum Banyak Bicara

SERI SENI HIDUP

Sudah Sepatutnya Penjahat mendapatkan Kejahatan, Bukan Masalah untuk Dipermasalahkan

Sebagaimana kata pepatah yang menyebutkan, bahwa orang bodoh yang dungu agar tidak bermulut besar dan seyogianya menutup mulutnya rapat-rapat (agar seekor lalat tidak terbang masuk ke dalam mulutnya yang besar dan terbuka menganga). LBH Jakarta, sebagai contoh, tidak jelas sedang membela “korban” ataukah “pelaku kejahatan”, ketika beberapa tahun lampau membuat release penuh kehebohan berjudul “Indonesia, Selamatkan Pengungsi Rohingya!”, sebagaimana dipublikasikan dalam https:// bantuanhukum .or.id/indonesia-selamatkan-pengungsi-rohingya/, dengan uraian sebagai berikut:

Press Release: Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Pencari Suaka dan Pengungsi

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Pencari Suaka dan Pengungsi mengapresiasi tindakan Pemerintah Daerah Nangroe Aceh Darussalam yang telah menerima memfasilitasi kedatangan para pengungsi tak berkewarnegaraan Rohingya di wilayahnya. Menurut Koalisi, apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat menjadi contoh yang baik dengan membuka pintu, menerima para pengungsi dan memberikan bantuan kemanusiaan.

Koalisi berharap agar pemerintah pusat melakukan hal yang sama, yaitu menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam menangani pengungsi ketimbang pendekatan keamanan. ‘Hal ini sangat penting mengingat kondisi kritis dari para pengungsi tak berkewarganegaraan (Rohingya) yang dihadapi selama terus terombang ambing di laut,’ lanjut  Febi Yonesta, Chair dari SUAKA.

Ketiadaan hukum dalam penanganan pengungsi di Indonesia juga menjadi sorotan bagi Koalisi. ‘Kami menghimbau agar pemerintah segera mengesahkan Peraturan Presiden Penanganan Pengungsi. Jangan sampai terjadi adanya  kekosongan hukum yang berlarut-larut.,’ tegas Yunita Purnama, Pengacara Publik LBH Jakarta.

‘Meskipun Indonesia bukan Negara pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, bukan berarti Indonesia dapat mengabaikan prinsip non-refoulment atau pengusiran terhadap para pengungsi,’ imbuh Yunita.

Koalisi juga mendorong pemerintah Indonesia dan negara lain di kawasan ASEAN untuk segera melakukan tindakan penyelamatan dan memberikan bantuan kepada pada pengungsi dan imigran yang terombang-ambing di laut. Semakin lama para pria, wanita, dan anak-anak ini di laut, nyawa mereka semakin terancam.

‘Segera lakukan pencarian dan penyelamatan kapal pengungsi yang terombang-ambing di laut Andaman dan selat Malaka untuk mencegah timbulnya korban!’ tukas Tatak Ujiyati, Direktur Advokasi Save the Children.

Memerhatikan hal tersebut, Koalisi juga mendesak agar pemerintahan Jokowi segera mengeluarkan peraturan penanganan pencari suaka dan pengungsi yang sesuai dengan hak asasi manusia.

’Seharusnya, Pemerintah saat ini telah bisa mengeluarkan protokol tetap penangangan pengungsi yang telah digagas sejak lama agar masalah ini tidak berlarut-larut’, tutup Muhammad Hafiz, co-Chair SUAKA.

Mereka, tokoh-tokoh di atas, tergolong orang-orang yang “over estimated” bangsanya sendiri. Meski Rohingya adalah seagama dengan mayoritas penduduk Indonesia, mereka menolak menetap di Indonesia, kerap berdemo sebagai menderita tinggal dan menetap di Indonesia, dan lebih menghendaki mengungsi ke negara-negara “kafir” semacam Australia hingga Amerika Serikat, sebagaimana para pengungsi Suriah lebih menghendaki Eropa ketimbang mengungsi ke kawasan Timur Tengah lainnya.

Mereka, para pengungsi dari etnik Rohingya, bukan mencari suaka untuk keselamatan hidup, namun untuk sesuatu yang lain, sensasi. Bila mereka mencari keselamatan, semestinya mereka patut bersyukur dapat diizinkan tinggal dan menetap di Indonesia, negeri yang “ala kadarnya” dari segi apapun. Janganlah menuntut terlampau mewah, toh rakyat lokalnya sendiri hidup serba kurang berkecukupan dan serba “pas-pas-an”.

Kini, yang menjadi pertanyaan terbesarnya, patutkah bila umat dari “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA” (alih-alih “Agama SUCI” yang bersumber dari “Kitab DOSA”), diselamatkan seolah-olah negara kita sendiri becus dan mampu mengurus serta memberi makan dengan cukup layak ke dalam mulut rakyatnya sendiri alih-alih mengurusi bangsa asing? Konflik laten berkepanjangan “Sunni Vs. Syiah” di Indonesia, tidak kunjung usai dan selalu menjadi momok berkepanjangan yang tidak jarang mengakibatkan pertumpahan darah, hendak mengurusi Rohingya? Bagaimana bila Rohingya bergenre “Syiah” sebagai kiblat keyakinan mereka, apakah akan Anda bela dan perjuangkan?

Berikut inilah, apa yang dibawa serta para pengungsi Rohingya, yang membuat mereka tidak dapat hidup damai di negeri mana pun, dan selalu berbuat ulah secara demikian primitif, yang kita sebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari sebuah “Kitab DOSA”:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Umat dari “Agama DOSA”, adalah sudah sewajarnya bila memetik dan mendapati buah Karma Buruk akibat perbuatan serta paham radikal mereka sendiri. Barulah menjadi tidak sepatutnya, ketika umat dari “Agama DOSA” justru menikmati keindahan dan kebaikan serta kemuliaan hidup yang tersedia di dunia ini. Memerangi, wajar diperangi, itulah Karma yang berbuah pada pelaku dan pembuatnya sendiri. Membunuh, maka akan dibunuh, sudah adil serta setimpal dicicipi sendiri oleh pelakunya. Membenci, maka akan dibenci sebagai pantulannya. Semangat permusuhan, maka akan dimusuhi sebagai reaksinya secara bertimbal-balik. Memenggal dan memancung, maka akan dipenggal dan dipancung, tiada yang salah disini, sehingga dimana lagi letak masalahnya untuk dipermasalahkan?

Ketika kita berbicara perihal keadilan, maka kita berbicara dalam konteks perspektif korban, bukan perspektif dari pelaku kejahatan, mengingat keadilan adalah semata hak prerogatif dari korban, sementara pelaku kejahatan hanya patut untuk mendapat ganjaran hukuman atas perbuatannya sendiri secara setimpal. Keadilan bagi pelaku kejahatan, ialah berupa hukuman. Keadilan bagi korban, adalah dihukumnya sang pelaku. Karenanya, tiada masalah karena memang tiada yang bermasalah pada kasus-kasus yang memang tidak perlu dipermasalahkan.

Para Lembaga Swadaya Masyarakat kita di dalam negeri sudah dikenal hanya gemar memperkeruh keadaan yang sudah keruh, membuat kian gaduh semata demi agenda tersembunyi “memancing di air keruh”, berupa menjual borok wajah bangsa sendiri kepada asing demi mendapat gelontoran dana segar dari sponsor negara asing untuk membuat kondisi dalam negeri kian gaduh dan kian memanas sehingga stabilitas politik terganggu sedikit atau banyaknya dan timbul “distrust” oleh publik kepada pemerintahnya sendii sehingga bangsa menjadi lemah karena tidak solid namun terpecah belah. Terbukti, ketika tragedi kembali terulang, Junta Militer Myanmar melakukan represif berdarah dan bersenjata kepada rakyat lokalnya sendiri, tiada satupun dari berbagai LSM kita di Indonesia yang bersuara selantang “Save Rohingya” menjadi “Save Myanmar People”. Apakah ada, “Koin untuk Masyarakat Myanmar”?

Selama ini yang dipamerkan ialah sentimen keagamaan belaka, dikemas dengan isu kemanusiaan sehingga seolah-olah kaumnya adalah kaum yang selama ini “terzolimi” oleh agama lain. Ketika yang lebih mengemuka ialah sentimen berbau keagamaan, maka kita pastilah mencium “bau amis”, sehingga senyatanya yang kita jumpai ialah isu politis, bukan isu hukum terlebih isu perihal hak asasi manusia. Yang kemudian dibenturkan ialah “agama yang satu Vs. agama yang lain”, namun dikemas dengan balutan kemanusiaan serta pelanggaran hak asasi manusia, lengkap dengan tedeng aling-aling etnik agama minoritas—sekalipun senyatanya etnik agama minoritas lain hidup rukun berdampingan di Myanmar. Begitupula biksu gadungan, banyak berkeliaran di jalan-jalan di Indonesia meminta-minta sumbangan yang tidak jelas legalitasnya. Mengapa gajah di depan mata, seolah tidak tampak, namun semut di seberang lautan sana, ditunjuk-tunjuk?

Tidaklah mengherankan bila mereka kemudian menjadi minoritas separatis garis keras yang radikal dan intoleran seperti dapat kita jumpai secara laten di Thailand Selatan, Filipina Selatan, China Uighur, dimana mereka ingin memberangus kemajemukan dengan alasan hendak mendirikan kerajaan Tuhan yang mereka sembah. Belajar dari kasus di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-15, Buddhisme tumbuh sebagai agama bangsa yang menyuburkan dan memakmurkan rakyatnya, bahkan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Buddhistik yang saat itu menjadi kerajaan terbesar dan terkuat, memberikan toleransi penuh bagi agama asing bagi pendakwah dari Timur Tengah untuk masuk dan berkembang di Bumi Pertiwi.

Namun apa yang kemudian terjadi beberapa waktu kemudian, mereka yang merupakan umat agama minoritas kemudian dapat bertumbuh pesat tanpa represi apapun dari agama mayoritas warga setempat maupun oleh otoritas kerajaan Buddhistik, menjelma mayoritas, berkat jualan iming-iming “penghapusan dosa” bagi (para pendosa, tentunya), sebelum kemudian ingin menghancurkan dan merusak sendi-sendi toleransi antar umat beragama yang diletakkan oleh berbagai generasi umat Buddhisme lokal di Tanah Air, dengan mencoba menihilkan serta mengkudeta kemajemukan beragama di Nusantara.

Bangsa yang baik, ialah bangsa yang belajar dari sejarah bangsanya sendiri. Myanmar, bahkan lebih jauh dari itu, mereka belajar sejarah Nusantara yang menjadi cikal-bakal Negara Indonesia, dan mendapati agar peristiwa dan sejarah yang sama tidak menimpa bangsa mereka, dimana toleransi diganjar dengan gerakan pemberangusan terhadap kemajemukan. Tiada yang lebih kelam daripada sejarah Nusantara pada akhir abad ke-15, dimana kemajemukan memasuki era kegelapan dan runtuh berganti era represi dibawah bayang-bayang ancaman pedang. Bagaikan air susu dan budi baik dibalas dengan diperangi, dijarah, dan dipenggal hingga dibunuh—yang di mata masyarakat beradab merupakan cerminan sikap yang condong disebut sebagai “penyakit sosial”, bila tidak dapat kita sebut sebagai “toxic”, alias beracun.

Dengan mengatas-namakan “dizolimi”, meski jelas-jelas mereka yang memulai perkara dengan hendak mengancam akan membunuh bila kemajemukan tidak di-“haram”-kan, dimana pembelaan diri warga atau umat lokal dipandang atau di-“re-framing” sebagai suatu “penzoliman”, lalu berkat “teriak-teriak dizolimi”, memberikan mereka (seolah-olah) legitimasi untuk membuka perang kontak bersenjata dalam rangka semata-mata untuk menjarah dan membunuh agar menjadi kaum yang mendominasi, dari minoritas menjadi mayoritas—suatu ajang “putar balik logika moril” secara kolosal yang ternyata mencetak sukses gemilang luar biasa, dimana tampaknya kaum mereka di negara lain kini hendak mencetak prestasi serupa dengan langkah strategi serupa, dimulai dari menggalang simpati “telah dizolimi” sebagai legitimasi mereka mengangkat senjata, dengan satu tujuan, memberangus kemajemukan, yang karenanya mereka sejatinya tidak pernah patut mendapatkan kemajemukan yang sangat mahal dan istimewa bagi mereka.

Sebagai penutup, Anda pikir siapa itu “Indonesia”? Mari, untuk lebih objektif menilai, ketimbang berasumsi dan berspekulasi, kita perlu meminjam sudut pandang kaum Rohingya itu sendiri, agar tidak terjadi debat kusir, terlebih “Indonesia hendak menjadi ‘pahlawan kesiangan’”, sebagaimana dirilis dalam judul berita “Pengungsi Rohingya Sebut Indonesia Miskin di Wawancara Live, Warganet Geram”, dipublikasikan dalam https:// manado.tribunnews .com/2017/12/01/pengungsi-rohingya-sebut-indonesia-miskin-di-wawancara-live-warganet-geram?page=all, dengan uraian yang cukup menggugah sebagai berikut:

Kecaman pun dilayangkan kepada militer, Pemerintah Myanmar, hingga kepada biksu Wirathu.

Tak terkecuali dari Indonesia.

Digelarnya aksi solidaritas Rohingya di berbagai wilayah di Indonesia, penggalangan dana, kiritik hingga solusi berupa Formula 4+1 untuk Rakhine.

Semua itu atas dasar kemanusiaan.

Namun, baru-baru ini beredar sebuah video yang sangat kontras.

Sebuah video yang mungkin membuat kita sedikit terenyuh dengan statement dari pengungsi rohingya di Bireun, Aceh Timur, Indonesia.

Video yang diunggah di Facebook oleh akun bernama Stefanus Robby Cahyadi G membuat heboh warganet.

Pasalnya seorang pengungsi yang diwawancarai oleh reporter salah satu media Indonesia, mengungkapkan bahwa, ia lebih memilih untuk mengungsi ke Amerika Serikat, karena Indonesia uangnya kecil (Miskin), dan Amerika lebih sejahtera.

Sontak video tersebut mengundang banyak respon warganet.

Seperti yang dikatakan dalam beberapa komentar yang menanggapi video tersebut:

@Nars Yamashaki: Jujur gw sangat perihatin sama rohingnya,sedih melihat kekerasan yg mereka alami, sigitu banyak saudara kita di indonesia yg mmberi bantuan kepada rohingnya, baik muslim & nonmuslim. tapi sungguh biadap juga ngk tau malu pula tuh,, pulangkan ajalah itu kenegaranya, jangan sampai gara2 mereka kedaulatan RI jadi rusak ,tak tw bertrima kasih.. gw aja seorang kristen sangat prhatin, tp gara2 omongannya, nak muntah aku jdnya...

 

@Gmwijaya Dadek: Udah diterima dgn baik oleh pemerintah indonesia dan dibantu warga rohingya... Heee... kok malah indonesia dibilang miskin, kurang sejahtera dan malah mau ke amerika lebih sejahtera... !!!

Apa patut kita bantu...???? Wong masyarakat indonesia masih banyak yg miskin....!!!!

Yg perlu dibantuan pemerintah.

Coba lihat dan dengerin omongannya pengungsi rohingya... Kok nyinyir kayak gitu... Dan demo demo lagi... Pantesanlah digituin... Gak tau diri....!!!!

 

@Amella Simanjuntak : Jangan terima mreka di Indonesia

Video yang diunggah melalui media sosial Facebook oleh pengguna bernama Stefanus Robby Cahyadi G itu menjadi viral seketika.

Berikut postingannya:

Pengungsi Rohingya Salim Menertawakan Indonesia Miskin! Video, komentar TKI di Malaysia & berita 4 Pengungsi wanita Rohingya di Aceh yg berbohong telah diperkosa membuka mata kita.

Perhatikan ngomongnya pengungsi Rohingya ini dg gaya belagunya sambil nyengir ketawa & tangan dilipat  :v

Katenye die ga mau di Indonesia tapi pengen ke Amerika krn Indonesia negara miskin / kurang sejahtera.

Nah loh masih bela Pengungsi Rohingya, hadeh pantes aja di mana2x ga diterima krn tidak tahu balas budi.

Padahal pengungsi Rohingya ini sudah diterima dg baik & dibantu secara moril & dlm bentuk dana oleh pemerintah & masyarakat Indonesia.

Kita harus telusuri kenapa pengungsi rohingya diusir dari Myanmar.

Ada karakter kurang baik Pengungsi Rohingya yg tidak bisa berintegrasi dg masyarakat Myanmar setempat.

Di mana warga pendatang kalau mau diterima dg baik oleh warga lokal / setempat harus bisa menjunjung tinggi & mempraktekkan prinsip di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung yg artinya Haruslah mengikuti / menghormati adat istiadat di tempat tinggal kita.

Bagaimana pun juga, karena terjadi tragedi kemanusiaan di Myanmar sana kita turut PRIHATIN. Yang penting konflik di Myanmar jangan ditarik ke Indonesia, apalagi sampai dikaitkan dengan konflik agama di Indonesia & dibawa ke urusan politik dalam negeri yang tujuannnya untuk medelegimitasi & mendiskreditkan Presiden Jokowi.

Mari kita dukung Pemerintah & Presiden Jokowi sudah membantu langsung pengungsi Rohingya yang ada di Myanmar & Bangladesh.

Bahkan Pemerintah Indonesia yg dapat apresiasi dari dunia internasional karena paling cepat merespon bantuan untuk pengungsi rohingya.

Indonesia mau menolong pengungsi Rohingya.... tapi maukah pengungsi Rohingya sedikit saja menolong Indonesia dengan tidak membuat onar dan kriminal di Indonesia.

Para LSM tersebut, sudah waktunya dilempar ke laut bersama para pengungsi Rohingya, agar tidak bersama-sama dan berjemaah membuat gaduh yang sudah keruh keadaan sosial dan politik di Indonesia. Apakah tidak ada pekerjaan lain, bagi para tokoh LSM tersebut selain hanya besar mulut, banyak bicara, dan tidak pernah mau belajar dari pengalaman sejarah bangsanya sendiri? Anda pikir, siapa diri Anda dan apa itu negara Anda? Anda pikir, siapa itu Rohingya?

Bandar besar pengedar obat terlarang pun, yang hendak dieksekusi hukuman mati, masih juga dibela oleh KontraS, salah satu LSM pembuat onar yang didanai oleh sumber pendanaan asing, dengan pernyataan Haris Azhar bahwa “Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia (tetapi, ribuan korban sang bandar obat-obatan terlarang, tidak perlu punya hak untuk hidup.” Bung, bukan sang bandar yang akan dibunuh mati oleh negara, tetapi sang bandar yang meminta dihukum mati dengan cara sengaja melanggar hukum.

Apakah karena memakan nikmatnya dana asing untuk membuat gaduh di Indonesia, membuat otak Anda tidak lagi dapat berpikir secara waras dan sehat? Sungguh ironis, anak bangsa menjual bangsanya sendiri ke negara asing. Maaf Bung, Anda telah desersi dari negeri Anda sendiri, silahkan “OUT dari Indonesia!” Seburuk-buruknya kritikus lokal, lebih buruk lagi anak bangsa yang tangannya digunakan oleh pihak asing untuk membuat gaduh bangsa sendiri. Kita patut menyebutnya sebagai, DURHAKA. Apakah betul, Indonesia dan generasi penerus kita, butuh orang-orang “kurang kerjaan” semacam itu? Bila sekalipun mereka dideportasi ke negeri antah-berantah, adakah diantara kita yang akan bersedih hati?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.