Perbedaan antara ORANG BAIK dan ORANG BODOH, Serupa Namun Tidak Sama

SERI SENI HIDUP

Be a Good Person, but don’t waste time to prove it.” (Unknown)Jadilah orang baik, namun kita tidak perlu membuang waktu untuk membuktikannya.” (Anonim)

Menjadi Orang JAHAT, Siapa Takut? Menjadi Orang BAIK, Siapa Berani?

Menjadi orang baik, sejatinya lebih kuat, lebih tegar, dan lebih pemberani ketimbang para preman berbadan sebesar Gorila yang kerap melakukan aksi kejahatan maupun premanisme, bahkan juga lebih kuat dan lebih pemberani daripada para kriminil yang kerap langganan keluar-masuk penjara, disamping tidak kalah tegarnya dengan mereka yang terbaring di rumah sakit. Itulah fakta terdalam, yang jarang diketahui oleh masyarakat kita, bahkan juga kerap tidak disadari oleh orang-orang baik yang merasa dirinya diliputi mental inferioritas akibat kerap merasa tidak berdaya ketika disakiti dan terluka oleh perlakuan tidak patut oleh orang lain.

Ada pula yang mencoba menghibur (menipu) dirinya dengan menyatakan bahwa besi baja yang kuat ditempa dalam rangka agar menjadi kuat. Realitanya, kehidupan ini sudah cukup berat dan sukar sekalipun tanpa diganggu oleh orang-orang jahat. Buktinya, tidak ada seorang pun yang berdoa untuk ditimpa bencana dan musibah, justru yang ada ialah harapan yang sebaliknya. Seperti yang dikatakan oleh semboyan pada sebuah iklan obat cacing beberapa dekade lampau saat penulis masih seorang bocah di bangku sekolah, “Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?” Sebuah sindiran cerdik yang masih teringat jelas di benak penulis, yang entah sedang menyinggung perihal Tuhan ataukah sebagai sesama umat manusia yang kerap “cari-cari penyakit dan masalah sendiri”.

Beban yang dipikul oleh orang-orang baik, sudah jauh lebih berat daripada beban yang dipikul oleh orang kebanyakan. Orang-orang baik adalah orang yang berjiwa penuh tanggung-jawab, karena itulah mereka kerap memikul beban jauh lebih banyak daripada orang rata-rata pada umumnya. Namun pertanyaan terbesarnya ialah, apakah menjadi orang baik harus hidup sengsara dan tersiksa seperti zaman penjajahan ala kerja rodi tempo dulu saat masih dibawah era kolonial? Menjadi orang baik “tanpa syarat”, siapakah yang sejatinya paling diuntungkan, sang terjajah ataukah sang penjajah? Bukankah penjajahan atas sesama manusia, harus dimusnahkan dari muka bumi? Apakah menjadi orang baik, artinya harus melestarikan praktik serta budaya penjajahan semacam itu?

Itulah pertanyaan-pertanyaan, yang lebih ditujukan kepada orang-orang baik yang “buta”, yang selama ini berbuat baik secara membuta, tanpa syarat, seolah-olah dirinya sama sekali tidak berharga sehingga layak untuk dikorbankan dan ditumbalkan. Sebuah nasehat bijak pernah menyebutkan, tolong diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mencoba menolong orang lain. Sembuhkan diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum mencoba berbuat baik kepada orang lain. Ketika Anda menjadi penumpang sebuah pesawat, saat terjadi musibah, maka terlebih dahulu pasang masker oksigen kepada diri Anda sendiri sebelum memasangkannya kepada buah hati Anda. Jika tidak, Anda berdua-lah yang akan menjadi korban jiwa yang sia-sia. Itulah, seni paradoks kehidupan.

Apakah salah, menjadi orang baik? Jika tidak salah, mengapa orang-orang baik lebih cenderung hidup secara tertindas oleh orang lain bahkan tidak jarang tersisih dan teralienasi? Berarti ada yang salah di sini, dan perlu evaluasi paradigma berpikir yang baru : orang baik seperti apa yang tergolong sehat dan yang tidak sehat? Menjadi orang baik memang bukanlah sebuah kesalahan, juga bukan perkara mudah, namun bisa menjadi salah bila kebaikan hati maupun kemurnian jiwa tidak dipandu oleh kebijaksanaan diri si pemberi kebaikan hati. Menjadi si baik hati yang “bodoh”, ibarat sang kelinci menawarkan dirinya kepasa sang tuan serigala untuk diterkam dan dimangsa “hidup-hidup”—itu namanya “sudah bosan hidup”.

Menjadi orang baik secara cerdas, jika bisa menjadi “orang baik yang cerdas”, mengapa juga kita membiarkan diri kita menjadi si “baik hati yang bodoh” atau si “bodoh yang baik hati”? Untuk itu, perlu kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita tergolong orang baik, ataukah mungkin orang bodoh sehingga dapat ditipu dan tertipu oleh perbuatan jahat orang lain terhadap kita? Korban eksploitasi, tentu akan dianggap sebagai “orang baik” di mata orang-orang yang hendak mengambil keuntungan dari kita. Jika sudah demikian, apa bedanya antara si “baik hati” dan “sapi perahan”? Orang bodoh, tidak memiliki keberanian untuk menegur kesalahan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu, orang baik wajib hukumnya untuk bersikap cerdik disamping berani untuk menjaga diri serta melakukan konfrontasi verbal bila diperlukan—dalam rangka menjunjung martabat diri.

Mengapa juga, perbuatan baik harus identik dengan berbuat baik kepada orang lain? Apakah untuk mampu berbuat baik, kita harus mengabaikan kondisi dan kesehatan ataupun keselamatan diri kita sendiri? Merawat diri kita sendiri secara baik dan telaten, apakah bukan merupakan perbuatan baik itu sendiri? Berbuat baik terhadap diri kita sendiri, tanpa merugikan orang lain, bukanlah merupakan perbuatan egoistik, namun adalah wujud cinta kasih yang dipancarkan serta bentuk kepedulian terhadap diri kita sendiri. Tidaklah mungkin kita dapat mencintai orang lain bila kita gagal mencintai dan merawat, serta memastikan kondisi baik diri kita sendiri. Kita tidak perlu berbuat baik kepada orang lain atau agar disebut sebagai orang baik oleh pihak eksternal diri, dengan cara menyiksa diri dan mengabaikan perawatan diri kita sendiri.

Orang bodoh, akan berdiam diri saja dirugikan, disakiti, maupun dilukai, dengan dalih “berbaik sangka” bahwa pelakunya akan bertanggung-jawab ataupun alasan lainnya yang bisa jadi logis maupun tidak rasional. Tidak sedikit pula orang-orang yang penakut berkedok sebagai orang baik, untuk menutupi ketakutan yang menguasai diri mereka. Para pelaku kejahatan, mengetahui betul watak si orang bodoh, karenanya mengambil keuntungan dan memanfaatkan (take advantage) dari kebodohan milik si orang bodoh (baca : memanfaatkan ketakutan sang “orang baik”). Pankit Shah membuat uraian yang cukup relevan dalam Quora (dikutip dari https:// id.quora .com/Mengapa-orang-baik-selalu-ketipu), dengan uraian yang menarik untuk disimak sebagai berikut:

Why do people take advantage of good and kind people?

Because they lack a spine. The kind of people who can’t raise voice against anything wrong happening.

- You constantly feel that you’re being taken for a ride by your boss, friends, girlfriend / boyfriend, and basically most of the people in your life. Is it their fault or yours? The answer is—yours. There are some reasons why people take you for granted.

- You are non-confrontational. You hate conflict. They know you will never address an issue even if it bothers you.

- You cannot refuse people. You just cannot say “No”. It kills you to decline requests. They know they can keep asking you for undue favours and you will always oblige.

- You’re usually the one with no opinion. If you’re always ‘okay’ with any plan, if you rarely voice your wishes or dislikes, it is understandable why people take you for granted.

- You are always seeking approval for your actions. You send out a message that you cannot function without people’s opinions and that’s exactly when people start to feel that they can control you.

- You’re indecisive. You can never make up your mind about anything. And the moment you show the world you don’t know what you want, they start taking you for a ride.

- You’re never the one to raise his voice against things you don’t approve of. People know you’re too shy (read : “too scared”) to stand up even for yourself and that gives them the liberty to wrong you every time. If you don’t raise your voice against being taken for granted once, it will happen again. Always.

- You give people too much importance too soon. You go out of your way to help them when they don’t even need it; you give away exclusivity at the drop of a hat.

- You’re always trying to please people and truth be told, nobody respects a people pleaser. Even when someone does take you for granted, you let it pass instead of putting your foot down and talking about it because you always want to be in everybody’s good books. Stop fearing disapproval.

- You have low self-confidence. It looks like you’re keeping shut about it because you’re not sure about it.

- You’re too easy a person. While it is a great trait to be adjusting, you make yourself look like a doormat. Know how to be adjusting and yet firm.

Give importance to yourself. Appreciate your existence. Appreciate your identity. If you don’t give importance to yourself, how can you expect others to do so? And the most important thing here is—Learn to say “No”.

[Terjemahan bebas : Mengapa orang baik sering dimanfaatkan?]

- Karena engkau tidak memiliki keberanian. Anda adalah orang-orang yang tidak bisa “bersuara” saat berhadapan dengan perbuatan salah orang lain terhadap mereka, apa pun yang terjadi. Terobsesi menjadi “the good guy” atau “menyenangkan semua orang”, sebagai akar kebaikan yang menjelma bumerang bagi diri Anda sendiri.

- Kau terus-menerus merasa bahwa kau dimanfaatkan oleh bos, teman, pacar / pacar Anda, dan pada dasarnya sebagian besar orang dalam hidup Anda. Apakah itu kesalahan mereka atau kesalahan dirimu sendiri? Jawabannya adalah, dirimu sendiri. Ada beberapa alasan mengapa orang menganggapmu hanya tahu memberi tak mengharap pamrih.

- Kau tidak berani mengatakan langsung, kalau kau benci konflik, mereka tahu betul kau akan membiarkan orang melakukan sesuatu bahkan jika itu menganggumu, dan mereka memanfaatkannya sebagai yang dapat mereka eksploitasi darimu yang tampaknya “dengan senang hati membantu dan menolong”.

- Kau tidak bisa menolak orang, kau tidak bisa mengatakan tidak. sehingga orang akan terus meminta bantuanmu dan tahu kau akan selalu menurutinya.

- Kau biasanya tidak berpendapat, dan akan cenderung untuk berpendapat “oke” terhadap rencana apa pun. Jika Anda jarang menyuarakan keinginan atau ketidaksukaanmu, dapat dimengerti mengapa orang menganggapmu sesuai yang mereka mau dan dapat diperalat.

- Kau selalu meminta persetujuan untuk tindakanmu. Kau mengirim pesan bahwa kau tidak dapat mengambil sikap secara mandiri tanpa bergantung pada opini orang lain dan saat itulah orang-orang mulai merasa bahwa mereka dapat mengendalikanmu untuk dimanfaatkan.

- Kau selalu ragu-ragu. Kau tidak pernah bisa memutuskan apa pun. Dan saat kau menunjukkan kepada dunia bahwa kau tidak tahu apa yang kau inginkan, mereka mulai mengajakmu untuk melakukan apa yang mereka mau sesuai kepentingan pribadi mereka.

- Kau tidak pernah bersuara menentang hal-hal yang tidak kau setujui. Orang-orang tahu kau terlalu malu (baca : “terlampau penakut:) untuk berdiri mengambil sikap otonom bahkan untuk menyuarakan opini dirimu sendiri dan itu memberi mereka kebebasan untuk menyalahkanmu setiap saat. Jika kau tidak meninggikan suaramu untuk menyatakan penolakan ataupun rasa tidak suka sebagai bentuk ketidak-setujuan, itu akan terulang kembali. Selalu.

- Kau memberi orang terlalu banyak saran. Kau membantu mereka yang bahkan mereka tidak membutuhkannya; kau berlebihan menanggapi sesuatu.

- Kau selalu berusaha untuk menyenangkan orang dan dan kau malah memberitahukan sesuatu yang membuatmu senang, tidak ada yang ingin melihat orang bahagia selalu ada rasa iri di balik semua itu. Kau membiarkannya berlalu alih-alih meletakkan kakimu dan membicarakannya karena kau selalu ingin terlihat bagus di mata semua orang. Berhentilah takut akan ketidak-senangan orang lain.

- Kau memiliki kepercayaan diri yang rendah, sehingga kau selalu diam karena tidak yakin akan sesuatu.

- Kau orang yang simpel. Meskipun merupakan sifat yang baik untuk menyesuaikan diri, kau membuat dirimu terkesan menyerupai kain “keset” untuk diinjak-injak dan pembersih kaki kotor mereka (suatu cara melecehkan diri yang tidak cerdas). Ketahui cara menyesuaikan diri namun tetap tegar.

Hargai kepentinganmu sendiri. Hargai keberadaanmu. Hargai identitasmu. Jika kau gagal untuk turut mementingkan diri sendiri, bagaimana kau bisa mengharapkan orang lain menghargai eksistensi dirimu? Dan yang paling penting di sini adalah — Belajarlah untuk mengatakan “Tidak”.

Netizen lain, Rayn Konatzu, memberi komentarnya atas topik “Mengapa orang baik selalu menderita?” Menurutnya, terdapat beberapa alasan (dari yang dapat kita amati serta alami sendiri):

- Orang baik selalu mementingkan orang lain, diri sendiri belakangan. Gini, sebagai manusia, kita memang harus peduli kepada sesama dan saling membantu, tapi jangan jadikan orang lain sebagai yang utama. Seperti misalnya terlalu sibuk bikin orang lain buat bahagia, sementara kebahagiaan sendiri tak sedahsyat melihat kebahagiaan orang lain.

- Senang mengalah. Masih ada kaitannya dengan poin pertama, orang baik senang mengalah dan mempersilakan orang lain maju duluan. Ketika ada masalah pun, si orang baik ini mengalah demi ketenangan bersama.

- Jarang menolak ketika diminta bantuan. Bahkan kalau lagi sibuk sesibuk-sibuknya, orang baik rela berkorban demi orang yang meminta bantuan. Tak apa bagi mereka jika pekerjaan yang amat penting bagi mereka terbengkalai yang penting orang lain senang bisa dibantu olehnya.

- Mudah memaafkan. Yang satu ini bagus, kesannya jadi tidak mudah marah dan bukan pendendam. Tapi kalau misal sahabatan sama seseorang dan berkali-kali disakiti, walau merasa kesal mereka tetap berusaha sabar dan memaafkan segala salah para sahabatnya. Jadinya orang yang sahabatan sama mereka bisa semena-mena, soalnya merasa tidak punya salah.

- Intinya sih, orang baik punya kadar ketulusan, simpati, dan empati yang tinggi sehingga ego mereka terkalahkan. Karena diri sendiri lebih sering diduakan, sementara orang lain adalah prioritas. Kadang ketika tidak ada orang lain yang meminta tolong padanya, hati terasa sangat kosong karena sudah terbiasa.

Gini, kita sebagai manusia memang harus peduli dan menolong sesama, tapi tetap jadikanlah diri sendiri sebagai prioritas.

Komang Birkner, menanggapi topik “Mengapa orang baik selalu disia-siakan?”, dengan pandangan sebagai berikut:

Semula Dijawab: Mengapa orang baik selalu di sia2kan ?

Orang baik selalu disia-siakan?

Menurut saya, orang baik selalu dimanfaatkan, bukan disia-siakan. Hati hati, sebab orang jahat suka memanfaatkan kebaikan orang baik, karena mereka tahu kita tidak akan menolak untuk berbuat baik.

Kalau pun kebaikan kita disia-siakan, itu artinya seseorang memang tidak mau menerima pendapat atau kebaikan dari kita. Ya sudah, jangan menawarkan kebaikan lagi padanya. Berikan kebaikan kepada orang lain yang pantas mendapatkan kebaikan kita.

Biarlah alam semesta yang akan membalas kebaikan kita, sobat. Kebaikan yang kita perbuat tidak akan sia sia dimata alam semesta.

Mungkin, alternatif lain dari frasa “disia-siakan”, lebih tepat bila menggunakan istilah “tidak dihargai”, sehingga lebih lengkapnya ialah “orang baik justru cenderung kurang dihargai”. Manusia, karenanya, pada dasarnya adalah “makhluk (yang) irasional”. Siera Koo, dalam komentarnya terhadap topik “Mengapa orang baik selalu dianggap bodoh?”, membagi pandangannya sebagai berikut:

Karena moralitas manusia sudah turun dratis.

Penghianatan, persaingan, pemanfaatan, pembodohan, penghinaan, penistaan sudah merajalela dan mayoritas manusia pernah melakukan satu atau banyak hal yang berkaitan dengan keburukan.

Baik menjadi barang langka. So, kalau ada manusia yang memilih masih menjadi baik, akan mengundang sorotan yang (pada gilirannya akan) dimanfaatkan oleh pihak atau agen perusak tatanan sosial.

Dwinta Ira Lasafta, dalam topik “Mengapa orang yang baik selalu dimanfaatkan?”, menceritakan secara singkat saja namun padat, sebagai berikut: “Karena dia akan selalu memaafkan dan tidak akan membalas dendam.” Orang-orang, tahu betul sifat sang orang baik, karenanya muncul niat tidak baik untuk memperdaya dan memperalatnya, sebagai objek eksploitasi yang “empuk” serta “gampangan”.

Ida Kemuning menanggapi topik “Apakah orang terlalu baik sering di-identik-kan dengan bodoh?”, dengan pendapat: (dikutip dari https:// id.quora .com/Apakah-orang-terlalu-baik-sering-diidentik-dengan-bodoh)

Terlepas dari benar atau salah, bodoh atau dibodohi, di mata orang lain orang terlalu baik memang sering dianggap bodoh, apalagi jika dimanfaatkan orang yg sama berkali-kali. Orang terlalu baik sering dianggap tidak mampu menilai pantas atau tidaknya seseorang dibantu, dianggap terlalu naif, berbaik sangka pada semua orang walau orang itu sudah pernah membohonginya.

Wisnu Tri Wijaksono membagi pandangannya atas isu “Mengapa orang polos sering dianggap bodoh?”, memberikan ilustrasi yang cukup jenaka, menyentil sekaligus menggigit, dengan pendapat sebagai berikut:

Kamu tahu kambing? Kambing itu tidak tahu kenapa dia di kandangkan, dia tidak tahu kenapa dia di beri makan, dan dia tidak tahu apa tujuan dari manusia yang memeliharanya.

Orang yang menyebut dirinya polos, atau saya lebih senang menyebut mereka dengan sebutan “orang yang tidak punya pendirian”, sering dimanfaatkan oleh orang lain karena kurangnya pengetahuan mereka.

Polos itu bukan sikap positif bagi saya, melainkan sikap negatif yang muncul diakibatkan dari tontonan yang menampakkan bahwa seorang yang polos itu adalah seorang yang imut (terutama dalam Drakor). Bagi saya itulah yang disebut dengan pola pikir seorang idiot.

Miswar Trc, dalam topik “Apa yang membedakan orang cerdas dengan orang bodoh?”, secara cukup mendalam membuat penilaian dalam tinjauan yang menyentuh aspek psikologi perilaku manusia, sekaligus memperlihatkan betapa IQ dan EQ saling berkelindan serta saling jalin-menjalin secara erat tanpa terpisahkan, sebagai berikut:

Menurut saya, begini perbedaannya antara orang bodoh dengan orang cerdas.

Orang bodoh menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. Kebiasaan menyalahkan orang lain adalah perilaku tidak profesional yang tidak akan pernah dilakukan orang cerdas. Orang yang secara konsisten menutupi kesalahannya dengan menyalahkan orang lain menunjukkan betapa tidak bertanggung-jawabnya dia.

Orang bodoh merasa paling benar sepanjang waktu. Dalam sebuah konflik, orang yang cerdas lebih mampu berempati pada orang lain dan mengerti argumentasi mereka. Orang cerdas mampu mengintegrasikan pendapat orang lain dengan pikirannya tanpa meremehkan pandangan orang lain.

Sebaliknya orang bodoh selalu merasa perlu untuk berargumentasi dengan orang lain untuk memastikan bahwa dirinya yang paling benar. Bias kognitif yang dialami orang bodoh membuatnya tidak mampu untuk melihat kemampuan sendiri sehingga selalu merasa dirinya superior.

Orang bodoh bereaksi terhadap konflik dengan kemarahan. Si cerdas juga bisa marah, tetapi marah yang bijaksana. Berbeda dengan orang bodoh yang bereaksi berlebihan dalam segala hal yang tidak menyenangkan hatinya.

Orang bodoh mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Orang cerdas cenderung mampu berempati dengan keadaan orang lain. Tetapi, orang bodoh selalu mementingkan dirinya sendiri. Dia cenderung tidak mampu untuk melihat kebutuhan dan perasaan orang lain dengan karena egonya.

Orang bodoh merasa lebih baik dari siapa pun. Orang cerdas cenderung mampu memotivasi atau menolong orang lain. Hal ini dilakukan karena mereka percaya diri akan kemampuan sendiri tanpa takut dikalahkan orang lain. Sedangkan orang bodoh akan melakukan segala cara agar dirinya terlihat lebih baik dari orang lain. Mereka percaya bahwa dirinya jauh lebih baik dari semua orang.

Mayang Moeda, dalam topik “Kamu itu bodoh atau terlalu baik jadi orang?”, menguraikan sebagai berikut:

Keduanya. Karena bodoh atau terlalu baik itu beda-beda tipis saat ini. Saat saya berbuat baik pada seseorang dan akhirnya menjadi terlalu baik. Ketika sadar sudah dimanfaatkan, barulah saya merasa bodoh.

Analoginya seperti menolong anjing terjepit, ketika dilepaskan, kita digigit.

Kapok berbuat baik?. Tidak. Saya tetap akan berbuat baik.

Kapok jadi bodoh?. Iya. Saya akan pakai logika, tidak lagi mau jadi korban emosi diri karena kasihan.

Ini pengalaman pribadi, mengenai orang berwajah polos dan (yang hanya) pura-pura polos?

Tomy Gunawan, secara singkat namun tepat mengenai sasaran, menguraikan pendapatnya sebagai berikut:

Jangankan orang yang memiliki sikap jahat, orang yang jujur pun selalu salah di mata orang lain. Hahaha

Itulah hidup, harus pintar mengatur sikap kapan harus baik, biasa saja, ataupun “keras”.

Sean Lana, dalam topik “What is the saddest truth about life?” (dikutip dari https:// id.quora .com/Mengapa-menjadi-orang-yang-terlalu-jujur-dan-polos-punya-kerentanan-untuk-sering-diperdaya-ditipu-oleh-orang-lain), secara introspektif memiliki pandangan sebagai berikut: (terjemahan bebas)

Apa kejujuran yang menyedihkan tentang orang banyak?

Jika kamu terlaku baik kepada orang-orang, mereka akan meremehkanmu.

Banyak orang yang kamu cintai dan sangat kamu hargai tiba-tiba akan menghilang suati hari nanti. Akan banyak beberapa alasan.

Orang-orang akan menyempatkan waktu untuk mereka yang ingin ditemui. Orang-orang mengirim pesan dan membalas pesan kepada orang yang mereka ingin ajak bicara. Jangan pernah percaya kepada orang yang bilang mereka terlalu sibuk. Jika mereka ingin berada di sekitarmu, mereka akan melakukannya.

Orang yang paling kesepian adalah orang yang paling baik. Orang yang paling sedih tersenyum paling cerah dan orang yang paling rusak adalah orang yang paling bijak.

Orang-orang akan memperhatikan perubahan perilakumu kepada mereka tapi tidak memperhatikan tingkah laku mereka yang membuat kamu berubah (bias standart).

Orang-orang yang negatif selalu mempunyai masalah untuk setiap solusi.

Orang-orang yang tidak bahagia dengan hidup mereka akan selalu memulai atau membawa drama ke dalam hidupmu.

Kita semua hidup di sebuah “hutan beton” dimana semua orang berjuang untuk mereka sendiri. Ini agak membuat orang-orang jadi egois.

Banyak orang tidak akan pernah mengapresiasi segala pengorbanan dan sumbangsih dirimu selama ini, sampai mereka kehilanganmu, tatkala semuanya sudah terlambat.

Terdapat sebuah kajian berjudul “Ini Alasan Kenapa Kamu Harus Berhenti Terlalu Baik Sama Orang”, dikutip dari https:// www. popbela .com/career/inspiration/andinarahayu/ini-alasan-kenapa-kamu-harus-berhenti-terlalu-baik-sama-orang/5, menawarkan paradigma alternatif yang cukup menarik perhatian:

Baik boleh, terlalu baik jangan.

Tak ada agama yang tak mengajarkan kebaikan. Pun tak ada orangtua yang tak mendidik anaknya menjadi orang baik. Tapi sayangnya, bersikap baik pun terkadang bisa serba salah. Inilah alasan, kenapa sikapmu yang terlalu baik harus mulai kamu batasi.

Minta maaf itu hanya untuk kesalahan yang benar-benar kamu lakukan, tak perlu terlalu sering diucapkan.

Orang yang berani minta maaf duluan sudah pasti berjiwa besar. Tapi apa jadinya kalau kamu selalu minta maaf untuk setiap hal yang bahkan bukan kesalahanmu? Meski terlihat manis dan sopan, tetap saja ini bisa jadi merugikan. Orang akan berpikir kalau kamu mudah diinjak-injak dan tak perlu dihargai, semata karena kamu sendiri pun toh gagal menghargai diri sendiri.

Karena tak berani membantah, orang justru akan menganggapmu sebagai pribadi yang membosankan dan bisa ditindas.

Saat diskusi sebenarnya kamu tidak setuju. Tapi, daripada perang terbuka, kamu sering memilih untuk menganggung-angguk saja. Dibanding melawan arus, kamu adalah orang yang memilih mengikuti arus. Karena selalu mengiyakan, orang pun menilaimu sebagai orang yang membosankan atau bahkan “gampangan” (sehingga tidak lagi menarik selain sekadar untuk dieksploitasi).

“Ringan tangan” bukan berarti tak tegaan. Salah-salah kamu malah dimanfaatkan.

Meski semua orang akan bahagia saat dibantu, tapi sayangnya tidak semua orang meminta tolong jika benar-benar butuh saja. Ada yang memang malas atau hanya iseng meminta bantuan. Karena terlalu sungkan, kamu pun selalu mengiyakan. Ujung-ujungnya kamu malah merasa kesulitan dan kerepotan. Berkata tidak sesekali sama sekali bukan dosa kok.

Terlalu percaya pada orang lain juga akan membuatmu mudah dikecewakan.

Memaafkan memang perlu, tapi memberi kepercayaan baru tak seperti itu. Memberi kepercayaan dan kesempatan pada seseorang yang pernah menyakitimu malah akan membuka ruang untukmu dikecewakan lagi. Apa kamu rela kalau hatimu terus-terusan disakiti?

Selalu mengikuti apa kata teman, membuatmu tak bisa menjadi diri sendiri.

Di mata banyak orang, kamu seakan tak punya pilihan serta dependen. Menentukan tempat makan, kamu ikut apa kata teman, pun dengan hal-hal remeh temeh lainnya. Kalau begini terus-terusan, kamu akan kesulitan mengekspresikan diri sendiri. Lama kelamaan kamu tak kan bisa menjadi diri sendiri.

Perbuatan baik semestinya indah di awal, indah di tengah, serta indah di akhir, setidaknya bagi diri sendiri, dan jika memungkinkan berbagi kebaikan kepada sesama dalam cara yang sama. Jika tiada orang yang menghargai dan bersikap baik terhadap diri kita, setidaknya kita yang tampil serta perlu senantiasa hadir untuk bersikap baik terhadap diri kita sendiri. Bahagiakan dahulu diri kita sendiri, dengan memberi uluran tangan kepada diri kita sendiri dikala sedang membutuhkan pertolongan serta perhatian.

Dengan cara begitulah, kebaikan hati kita tidak “bertepuk sebelah tangan”. Kita berbuat baik dengan tujuan utamanya ialah untuk dapat hidup secara bahagia, bukan untuk hidup menderita, tersiksa, dan sengsara karenanya. Bila ada yang tidak beres ketika kita bersikap baik, maka itulah saat bagi kita untuk meninjau ulang pendekatan kita mengenai kebaikan dan perbuatan baik, terutama ketika perbuatan baik kita justru menjelma “bumerang” bagi kepentingan maupun kebaikan diri kita sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.