JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apakah Sebenarnya Tujuan Dibalik Pemidanaan dan Penghukuman bagi Pelaku Kejahatan?

LEGAL OPINION

Tujuan Pidana, sebagai Sarana untuk Menghukum Pelaku Pelanggar Hukum agar Patuh lewat Efek Jera Vs. Deterministik GENETIKA PENJAHAT Milik Penjahat

Crime was Born, Bukan Dibentuk oleh Lingkungan maupun Pola Asuh dan Pendidikan?

Question: Rasanya tidak akan ada orang yang menjadi korban pelapor, merepotkan diri melaporkan pelaku yang telah berbuat kejahatan ke polisi agar si pelakunya diberi koreksi lewat hukuman pidana. Bukankah tujuannya kita sebagai korban, melapor memang untuk menghukum si pelakunya atas perbuatannya yang telah merugikan orang lain? JIka ada orang yang mengaku pakar hukum, bilang bahwa tujuan orang dipenjara itu untuk dikoreksi, maka itu tugas pemuka agama dan guru di sekolah, bukan tugas hukum, semestinya sumber daya hukum yang ada digunakan untuk fungsi penegakan hukum berupa penghukuman.

Brief Answer: Memang, hukum negara semestinya fokus pada penegakan norma hukum, selebihnya biarlah masyarakat kita yang berperan menegakkan norma sosial dan norma keagamaan. Harus ada simbol-simbol “taring yang tajam” suatu entitas negara, demi terwujud dan terciptanya “tertib sosial” (social order) yang menjadi soko-guru dari “kepastian hukum” maupun “keadilan hukum” itu sendiri. Adalah mustahil, bila terdapat asumsi kelewat spekulatif yang menyatakan bahwa adalah niscaya tercipta “keadilan hukum” tanpa adanya standar paling minimum dari “ketertiban umum” maupun “kepastian hukum”.

Seorang Kepala Negara boleh jadi santun dan lembut, baik di hadapan publik maupun “di balik layar”, di luar dan di dalam, namun tetap saja dibutuhkan seperangkat anak buahnya selaku abdi negara yang siap untuk menampilkan taring dan tegas serta keras bila diperlukan. Demokrasi tanpa hukum, yang tercipta ialah “chaos”. Ajahn Brahm maupun bahkan dalam hikayat Sang Buddha, disebutkan bahwa : Orang (yang telah) suci sekalipun, sesekali harus menampilkan taringnya agar tidak dijadikan objek bully alias perundungan oleh warga lain yang bisa jadi nakal atau bahkan diragukan itikadnya.

Sama halnya, dalam lingkup organisasi atau suatu perusahaan, bisa jadi sang pemilik usaha tampak “santun dan lunak” terhadap karyawan, namun tetap dibutuhkan peran sejenis manager yang dipekerjakan oleh sang pemilik usaha untuk bersikap “keras dan tegas” terhadap para karyawan. Tidak terkecuali, dalam ruang lingkup rumah tangga, butuh peran salah satu orangtua yang tampak hangat dan lembut namun juga butuh peran salah satu orangtua lainnya yang mampu mendisiplinkan anggota keluarga secara tegas dan efektif. Maupun kita sebagai anggota komunitas warga, tidak bisa seluruh anggota keluarga tampak membuat citra sebagai lembut, santun, dan pemurah—dapat dipastikan akan menjadi “mangsa empuk” di tengah negeri dimana orang-orang baik dijadikan “sasaran empuk” keserakahan warga lainnya.

Itulah sebabnya, sistem meritokrasi tata kelola bangsa berupa “reward and punishment”, tidak dapat dijadikan alat politis ataupun alat untuk negosiasi-kompromistis yang toleran terhadap kaum yang mampu “membeli dan membayar” (baca : menyuap pejabat yang bahkan minta diberi makan “uang suap”), namun tanpa “pandang bulu” norma hukum harus ditegakkan, apapun konsekuensinya—demi menutup ruang transaksional terhadap aspek penegakan hukum, disamping membangun reputasi dan wibawa hukum yang disegani serta “sakral” di mata masyarakat, dalam derajat kepastian yang paling optimum.

Itulah juga sebabnya, penulis selalu menyampaikan pada setiap kesempatan, norma hukum memang sudah seharusnya dibentuk secara demokratis oleh wakil rakyat yang humanis di parlemen selaku Lembaga Legislatif, namun implementasinya oleh Lembaga Eksekutif haruslah komun!stik. Model inilah sistem tata negara yang paling ideal mengusung konsep “check and balancing system”, dimana “balance” dapat kita maknai sebagai adanya figur atau peran yang “humanis” dan disaat bersamaan juga terdapat figur yang mengisi peran “tegas tanpa dapat ditawar-tawar” dalam satu sistem ketata-negaraan antar lembaga pemerintah dalam menjalankan republik.

PEMBAHASAN:

Bagi sebagian kalangan yang mengaku atau memandang dirinya sebagai kaum humanis, idealis, dan moralis, mungkin akan mendapati diri mereka terjerumus dalam frustasi bila tidak apatisme atau bahkan penyangkalan dan pengingkaran (denial), ketika terbentur oleh derasnya kajian ilmiah yang mengalir dari penjuru dunia, dimana para peneliti dan ilmuan biogenetika molekuler telah menemukan satu fakta menggemparkan yang kian kukuh afirmasinya, yakni faktor dominasi kode genetik manusia (GENOM) sebagai “tulang punggung” (backbone) proses pertumbuhan dan tendensi dalam derajat tinggi masing-masing individu manusia.

Fakta empirik menunjukkan, pentingnya faktor “bibit, bebet, dan bobot”, sebagaimana telah dipesankan oleh para leluhur kita. Mutu manusia yang berkualitas rendah atau yang berkualitas unggul, silsilah garis keturunan memang tidak bisa “bohong”, itulah GENOM dan silsilah pewarisan genetik dari satu generasi ke generasi penerusnya yang dapat ditarik dan dirunut akar silsilahnya. Disebutkan kemudian oleh para ahli biogenetika yang tersebar di berbagai belahan penjuru dunia, bahwa kejahatan adalah dilahirkan, bukan dibentuk (criminal was born, not as your wish). Karenanya, orang-orang baik pun adalah karena dilahirkan, bukan dibentuk. Kromosom yang bertanggung jawab atas kejahatan, genetik kejahatan, telah ditemukan peneliti, bahkan disebutkan turut diwariskan kepada generasi penerusnya, sehingga bukan hanya bakat penyakit fisik yang sifatnya diturunkan dari orangtua kepada anak.

Orang-orang dengan kecerdasan tinggi, bukan dibentuk sebagaimana keyakinan kaum “behaviouristic” (keyakinan mereka dilandasi oleh sebuah harapan delusif berupa asumsi, bahwa orang “dungu” dapat menjadi cemerlang lewat proses pembiasaan, pendidikan, polesan, semiran, dan penempaan intelektual), namun dilahirkan. Cobalah, masukkkan orang-orang dengan potensi kecerdasan dibawah rata-rata, ke sebuah sekolah khusus anak-anak dengan kecerdasan tinggi, mungkinkah itu bisa terjadi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, atau sekadar kisah fiktif dalam sebuah sinema?

Orang-orang dengan suatu ketertarikan gender tertentu, dianggap sebagai suatu hal yang “normal” bila seorang pria menyukai wanita, dan begitupula sebaliknya. Namun mengapa, mereka yang dibesarkan bersama saudara-saudara kandungnya yang bergender sama, pada sekolah yang sama, menghasilkan “output” yang bisa jadi berbeda dalam laporan sejumlah studi dengan banyak responden? Orientasi seksuil, ternyata dominasinya ialah faktor kode genetika, terutama kromosom X dan Y, yang menyusun rancang bangun tubuh serta otak manusia sejak proses janin yang memproduksi berbagai jenis hormon penentuan terkait gender maskulin maupun feminim yang sifatnya permanen hingga beranjak dewasa—alias, ketika seorang bayi terlahirkan dari dalam rahim, ia sudah menjadi seorang wanita ataupun seorang pria sekalipun tubuh mereka bisa jadi sebaliknya dan mentalitas yang dilahirkan sudah tidak dapat diubah kecuali faktor eksternal seperti fisik-tubuh yang dapat direkayasa oleh kecanggihan medik.

Seorang penjahat yang memang memiliki bakat genetika sebagai seorang kriminal, Anda masukkan dan jebloskan ke dalam sel tahanan untuk beberapa tahun lamanya, ketika sang mantan narapidana dibebaskan, akankah yang bersangkutan dapat menjelma “orang suci nan budiman”? Lihat kasus John Kei, preman pelaku aksi premanisme yang seolah penjara sudah menjadi rumah kedua baginya, dimana membunuh dan merampas hak hidup milik orang lain seolah hal “sepele” bagi yang bersangkutan, sempat membuat sesumbar bahwa dirinya telah terlahir kembali sebagai “orang baru” ketika bebas dari masa hukumannya beberapa tahun sebelum kembali tertangkap pihak berwajib akibat peristiwa pembunuhan serupa. Anak dari John Kei, terlibat aksi serupa seperti jejak hidup sang ayah. Dapat dipastikan, ayah dan kakek bahkan kakek buyut dan cucu buyut dari John Kei, memiliki karakter warisan serupa, kekerasan fisik sebagai menu makanan sehari-hari.

Jauh sebelum teknologi pemindaian dan uji genetik ditemukan, lama sebelumnya pada beberapa abad lampau, seorang kriminolog termasyur dari Italia, Lombroso, telah mengutarakan hipotesisnya yang sangat revolusioner dan jauh melampaui zamannya, tentang “born criminal” (penjahat yang dilahirkan), sehingga tidak mengherangkan bila Lombroso sempat dicemooh pada masa itu. Mungkinkah kita dapat berkata, bukanlah kesalahan sang pelaku kejahatan seperti pembunuhan, pencurian, maupun penganiayaan dan perampokan, namun yang bersalah dan yang dipersalahkan ialah karena kelahirannya, dalam arti yang sesungguhnya.

Sifat kriminal ataupun semacam manipulator dan ekploitator, ialah “penyakit mental”, niscaya diturunkan oleh silsilah keluarga. Bila penyakit berupa “penyakit fisik” yang langka, ternyata ditemukan adanya faktor genetika memeran peranan penting dan selalu ambil bagian, maka begitu pula semacam fenomena “down syndrome”, IQ dibawah rata-rata, hingga “penyakit mental” seperti kecenderungan berbuat kriminal, tidaklah mustahil juga turut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Janganlah kita berharap terlampau tidak rasional, dengan mengharapkan wajah dunia ini yang penuh oleh penyakit akibat faktor genetik, dapat disembuhkan oleh obat-obatan dan kecanggihan medik, semua pengobatan yang ada sifatnya hanya menghentikan gejala untuk sementara waktu. Sama halnya, kita tidak perlu menaruh banyak harapan bahwa faktor penghukuman, pendidikan, dan rehabilitasi, dapat membuat wajah dunia yang penuh kejahatan ini akan lebih cerah. We have to go back to REALITY, kita tidak hidup dalam dunia dongeng.

Orang-orang yang haus darah, tidak punya malu, psikopat, narsistik, egoistik, koruptif, tidak pernah merasa puas, suka main kekerasan fisik, menjadikan orang baik sebagai mangsa empuk, gemar dan hobi melakukan “pungutan liar”, diberikan “hati” menjelma “besar kepala”, lebih galak ketika ditegur atas kesalahannya, meyakini mampu masuk surga sekalipun berbuat dan bergelimang dosa, berbohong dan berkelit sedemikian rupa, mengeksploitasi, memanipulasi, merekayasa, tidak takut berbuat kejahatan, maling teriak maling, dan segala bentuk sifat-sifat negatif lainnya, bukanlah dibentuk oleh lingkungan maupun kurangnya pendidikan yang baik, namun karena faktor GENOM, alias kode genetik yang menguasai dan menjadikan tubuh dan otak-pikiran manusia itu sendiri sebagai “penjara”-nya. Kita, saya dan Anda, tanpa terkecuali, terpenjara dalam GENOM yang menyusun dan mengatur tubuh dan pikiran kita. Fakta, selalu pahit (truht always bitter).

Lantas, menjadi salah atau kesalahan siapa? Bukan salah siapa-siapa, namun jika Anda hendak menyalahkan, maka salahkan diri Anda sendiri di kehidupan Anda sebelumnya, yang banyak menanam benih “Karma Buruk” sehingga terlahir kembali dalam rahim dengan bibit, bebet, dan bobot yang buruk kualitasnya—bagai “lingkaran setan”, sifat buruk yang satu membawa seseorang yang mengemban bakat genetik kejahatan demikian terpuruk dan kembali terperosok pada atau ke dalam lembah kejahatan sebelum kemudian menemui kembali “reborn” atau “rebirth” yang sama buruknya—serangkaian episode yang berulang-ulang secara menjemukan.

Kabar baiknya ialah, sebagian kode genetik sejatinya hanya bersifat bakat alias potensial, yang bermakna bila tiada pemicu, maka kode genetik spesifik tersebut tidak akan terpicu untuk dapat aktif. Sebagai contoh, telah ditemukan bukti ilmiah relevansi antara kode genetik yang bertanggung-jawab atas masalah kecanduan terhadap minuman keras dan obat-obatan terlarang, suatu produk-produk yang pada pokoknya melemahkan kesadaran. Seseorang dengan “bakat genetik kecanduan” sekalipun, tidak akan terjerumus menjadi seorang pecandu, bila yang bersangkutan tidak pernah mencoba-coba mencicipi barang-barang madat demikian. Konon, sepuluh persen dari populasi manusia, membawa bakat genetik “candu”. Contoh lainnya ialah genetika yang bertanggung-jawab atas kemampuan berbahasa ibu maupun berbahasa asing. Ketika seseorang kurang dibiasakan dan diasah untuk berbahasa, maka genetik bahasanya bisa menjadi “dorman” untuk sepanjang hidupnya, sekalipun yang bersangkutan memiliki bakat berbahasa asing.

Berbekal penemuan ilmiah yang kian hari kian diafirmasi oleh serangkaian penelitian oleh beragam peneliti sejak teknologi pemetaan perdananya pilot projek “GENOM PROJECT” berhasil dipetakan beberapa dasawarsa lampau, maka menjadi tidak lagi relevan dan “kelewat idealis” teori klasik pemidanaan menyatakan bahwa tujuan penegakan hukum pidana dibagi menjadi tiga : menghukum pelaku sebenarnya agar mendapatkan balasan berupa penghukuman dan dihukum (retributif), demi menimbulkan efek jera (deterrence), dan memperbaiki dirinya sebagai wadah untuk “introspektif diri” (rehabilitatif). Fakta akan membawa kita kepada jurang pesimistis, jika kita tidak bersikap rasional menyikapi teori-teori pemidanaan klasik demikian.

Secara lebih rasional, penulis secara pribadi memandang bahwa tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku kejahatan ialah terutama demi melindungi masyarakat luas dari ancaman kejahatan-kejahatan, dengan mengurung atau menahan dan memenjarakan tubuh serta membatasi ruang gerak aksi pikiran para pelaku kejahatan sedemikian rupa agar tidak lagi berkeliaran meresahkan masyarakat. Perampasan kemerdekaan pikiran serta fisik dari tubuh pelaku kriminalitas, tujuan utamanya bukan untuk sang pelaku itu sendiri yang adalah mustahil direhabilitatif kode genetikanya (seolah-olah penjara adalah sarana “terapi genetika”?), mengingat seorang “penjahat tetaplah penjahat”, sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia, sehingga memang tujuan pidana semata untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi calon korban potensial kejahatan serupa dari pelaku kejahatan serupa.

Yang mana bila kita petakan, setidaknya kini terdapat empat buah tujuan dari pemidanaan, yakni antara lain:

- menghukum pelaku sebenarnya agar mendapatkan balasan berupa penghukuman dan dihukum (retributif). Dalam istilah yang penulis perkenalkan, itulah yang menjadi “victim centris”, dimana hukum mengakui rasa keadilan yang menjadi hak dari pihak korban, mengingat negara telah mengambil-alih sepenuhnya hak warga untuk melakukan aksi pembalasan dengan “main hakim sendiri” dan negara telah pula memonopolisir kewenangan penegakan hukum pidana sebagai pembalasan bagi pelaku yang melanggar hak-hak warga lainnya.

- demi menimbulkan efek jera (deterrence effect). Penulis memberinya istilah sebaagai “global centris”, karena meluas dan merata kepentingannya, bukan semata membuat efek jera bagi pelakunya (bila memang masih bisa dikoreksi perangarai dan wataknya), serta bagi juga keseluruh penjahat potensial yang bisa jadi akan terpanggil utuk mengurungkan niat jahatnya (penjeraan dalam arti luas).

- memperbaiki dirinya sebagai wadah untuk “introspektif diri” (rehabilitatif). Itulah yang penulis sebut sebagai “perpetrator centris”, dengan asumsi kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan olehnya, bukan karena faktor genetik, namun semisal karena faktor kelalaian (kekurang-hati-hatian), kekeliru-tahuan, atau kenakalan semata.

- melindungi masyarakat agar terhindar dari potensi resiko bahaya ancaman dan pengancam bersangkutan—penulis mengistilahkannya sebagai tujuan pemidanaan dengan “society centris”, semata karena hukum pidana diarahkan untuk lebih memerhatikan kepentingan kemaslahatan segenap rakyat yang lebih luas, ketimbang semata kepentingan pelaku maupun kepentingan korban. “Potential victim”, dengan demikian dapat dimitigasi dengan ditahannya tubuh serta pembatasan ruang gerak pikiran dari sang terpidana selama masa penahanan.

Tingginya tingkat residivis yang kembali meresahkan masyarakat, menjadi bukti bahwa teori yang idealis semacam pengutaraan perihal “tujuan pemidanaan ialah dalam rangka demi menimbulkan efek jera (deterrence effect)”, kehilangan pijakan relavansinya, bahkan sudah sejak lama menjadi objek kritik para kriminolog, yang kini bahkan turut ditertawakan oleh para pakar biogenetika kontemporer. Semakin kita mendalami hasil temuan para pakar GENOM, semakin kita menemukan diri kita menjelma kian apatis terhadap teori-teori klasik ilmu pemidanaan yang ternyata kelewat idealis akibat bertopang pada pilar asumsi yang rapuh serta penuh “fantasi”—bahwa manusia dilahirkan seolah kain kanvas yang polos yang putih bersih, bahwa manusia yang “bengkok” dapat diluruskan, bahwa manusia seolah-olah makhluk yang lugu hanya saja masuk ke jalan yang “sesat”, dan segala asumsi-asumsi idealis lainnya. Sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dan mempidanakan koruptor, koruptor tetap tumbuh subur di negeri ini. Karena salah siapa? Salahkanlah faktor kriminogen bernama GENOM yang mengalir pada darah bangsa kita sendiri, GENOM adalah “jaminan mutu”.

Teori klasik yang masih cukup relevan dari teori ilmu pemidanaan, ialah perihal ajang pembalasan berupa penghukuman dan dihukum bagi pelakunya (retributif). Hukum Karma itu sendiri, bekerja dengan cara yang serupa, meskipun orang-orang yang “born to be evil” tetap saja mencetak berbagai kejahatan seolah menutup mata dari ancaman konsekuensi buah Karma Buruk yang berpotensi ia petik sendiri di kemudian hari, yang mungkin diakibatkan oleh kode genetik yang bertanggung-jawab atas sikap dan sikap “egois terhadap diri sendiri”.

Pihak korban, berhak dipuaskan dan terpuaskan dahaga rasa keadilannya, menuntut kompensasi, ketika Hukum Karma memberikan jaminan serta kepastian pelaku kejahatannya akan mendapat hukuman yang setimpal—sebetapa pun tidak adil dan tiadanya jaminan keadilan oleh Hukum Negara. Karenanya, sejatinya tiada satu orang warga pun yang merugi ketika para pelaku kejahatan tidak ditindak oleh Hukum Negara, semata karena mereka tidak akan lolos oleh Hukum Karma. Tidak ada yang benar-benar dapat kita curangi dalam kehidupan ini, semuanya akan kembali kepada si pelakunya.

Penghuni neraka, yang menjalani hukuman berupa siksaan di alam neraka dan terjatuh ke alam neraka akibat kejahatan yang diperbuat olehnya semasa hidup, ketika Karma Buruknya telah habis selama menjalani masa penghukuman di alam neraka, dan terlahir kembali sebagai manusia, tidak akan ingat pengalamannya atas kejadian tersiksa dan disiksa di neraka, sehingga memperjelas dan mempertegas kelemahan teori perihal demi menimbulkan efek jera (deterrence effect).

Karenanya, seseorang mantan “penghuni neraka” tetap berpeluang kembali melakukan kejahatan di alam manusia, semata karena dirinya tidak mengingat kesemua pengalamannya semasa menjadi tahanan di alam neraka. Faktanya, menurut Buddhisme, kita semua, tanpa terkecuali, pernah mencicipi siksaan di alam neraka, dan tidak jera-jera juga sebagian besar masyarakat kita dengan kembali melakukan kejahatan semasa hidupnya sebagai manusia. Jangankan berbicara perihal kehidupan di “past life”, kita bahkan tidak jarang melupakan dimana letak tempat kita menaruh anak kunci, bahkan tidak ingat apa yang kita makan serta pakaian apa yang kita kenakan tepat tiga minggu yang lalu, yang terlebih ekstrim ialah para penderita parkinson yang menyerupai fenomena “gegar otak” dimana bahkan tidak mampu mengingat nama diri sendiri ataupun siapa yang menjadi anggota keluarganya, bahkan tidak juga mampu mengingat jalan pulang ke rumah.

Satu-satunya kelemahan utama dari praktik pemidanaan di Indonesia, bukanlah disebabkan masih diusungnya teori klasik perihal retributif, deterrence, maupun rehabilitatif, ialah kenyataan masifnya para terdakwa yang divonis pidana penjara sekalipun sejatinya mereka murni tidak bersalah dan tidak dapat dipersalahkan secara norma hukum yang ada maupun secara moril—kriminalisasi dalam arti yang sesungguhnya dan terkesan dipaksakan oleh tekanan publik maupun tekanan secara politis.

Contoh, kasus Meiliana di Tanjung Balai—Sumatera Utara, korban dari “polusi suara” tempat ibadah yang intoleran terhadap berbagi sumber daya ruang bagi kemajemukan, berujung pada pembakaran belasan tempat ibadah etnik Tionghua serta amuk massa kediaman Meiliana hingga berujung pada tekanan simpatisan kegamaan tertentu yang menuntut agar Meiliana yang sekadar melayangkan protes praktik rituil “berpolusi suara” yang bahkan ribuan tahun lampau tidak dikenal adanya speaker pengeras suara (dan mengapa pula melakukan ritual harus dengan cara-cara demikian menimbulkan “polusi”, sekalipun jam dan alarm pada pada gadget genggam setiap umatnya pasti lengkap tersedia sebagai penanda waktu), dipidana penjara, dan benar-benar dijatuhi vonis pidana penjara selama beberapa tahun oleh pengadilan hingga hakim Mahkamah Agung RI. Dalam kasus Meiliana ini, yang menjadi “jera” serta ketakutan disamping trauma, justru ialah sang korban sekaligus para etnik minoritas Tionghua se-Indonesia, sekalipun pada mulanya Nusantara abad ke-5 sampai dengan abad ke-15 merupakan mayoritas Buddhist dan dengan toleran membiarkan agama lainnya masuk dan berkembang—namun kini membalasnya dengan pemberangusan terhadap toleransi yang dahulu mereka terima dan nikmati, sehingga tidak heran bila Myanmar belajar dari tragedi sejarah Nusantara dengan melakukan restriksi ketat dalam rangka perlindungan diri agar tidak menjadi “Nusantara versi Kedua”.

Yang tidak bersalah, namun dipidana, sebagaimana amnesti dari Kepala Negara Indonesia kepada seorang narapidana wanita bernama Baiq Nuril, korban dari tekanan posisi dominan seorang kepala sekolah yang menyalah-gunakan statusnya terhadap Baiq Nuril yang hanya seorang guru honorer agar bersedia terpancing dan terpanggil untuk meladeni birahi tidak terkontrol sang kepala sekolah dengan harapan dapat memiliki karir yang lebih mapan, kemudian merekam isi perbincangan “kotor” sang kepala sekolah sebagai alat bukti tekanan psikis yang diterima olehnya, kemudian rekaman perbincangan tersebar luas, sehingga Baiq Nuril pun praktis dipidanakan oleh laporan sang kepala sekolah.

Dalam kasus Baiq Nuril, yang semestinya diberi “penjeraan” adalah sang kepala seolah yang “hidung belang” dan penyalah-guna kekuasaan, namun justru yang dihukum ialah sang korban—akrobatik alias putar-balik logika moril yang tidak akan mampu dipahami oleh mereka yang masih berdiri dan berpijak pada “akal sehat milik orang sehat”. Alhasil, “manusia predator” demikian akan terus berkeliaran dan menjadi tabuh genderang “lampu hijau” bagi “manusia predator” lainnya untuk bermunculan dan terus berkeliaran mencari mangsa, semata akibat “penjeraan” yang tidak pada subjek yang semestinya.

Frasa “penjeraan” itu sendiri, karenanya, berpotensi serta membawa atau membuka lebar peluang disalah-gunakan oleh mereka yang mampu membeli serta menyetir arah gerak putusan hukum pemidanaan. Ia dapat menjadi alat “sakti” paling efektif untuk membungkam warga lainnya, semisal perihal keberluan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung pasal “karet” bernama “penghinaan” atau “pencemaran nama baik” via media digital, ataupun untuk mengintervensi jalannya penegakan hukum agar menjadi “impoten” (sehingga pelakunya “kebal” terhadap hukum).

Korban yang justru dikriminalisasi, apanya yang perlu di-rehabilitatif? Justru, korban yang dipidana mengakibatkan pelaku kejahatan kian “besar kepala” serta “menjadi-jadi” bila tidak mendorong terjadinya “beranak-pinak”. Tidak terkecuali frasa “penghukuman” (retributif), menjadi sarana paling empuk untuk melancarkan ancaman disertai membuat takut pihak korban agar tidak menjadi “korban pangkat dua” atau menjadi korban untuk kedua kalinya, yakni menjadi korban di luar penjara dan menjadi korban dengan di-penjarakan. Aturan-aturan dalam norma hukum yang mengandung ancaman sanksi, dapat berpotensi menjelma alat-alat penekan, yang disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab—law as a tool of crime, perfect crime.

Itulah masalah utama di negeri kita, Indonesia, dimana Hukum Negara-nya penuh “bopeng” dan “cacat” dari segi pengaturan maupun implementasi dan penegakannya, sehingga tidak pada proporsinya untuk kita samakan dengan Hukum Karma dimana yang bersalah dipastikan akan dihukum dan korban dipastikan akan mendapatkan keadilan, sehingga teori retributif menemukan ruang berpijak dan tempat untuk mengumandangkan kebenarannya dalam konteks semata pada Hukum Karma, bukan pada hukum negara yang tidak dapat kita andalkan seutuhnya (semata agar kita tidak kecewa seutuhnya melihat dan mendapati realita praktik tidak tegaknya hukum sebagaimana mestinya).

Banyak diantara kita, ketika Karma Buruk sedang berbuah, tanpa mau menyadari bahwa perbuatan buruknya di masa lampau kini sedang berbuah dengan demikian “pahit” dan “getir” rasanya, justru kembali menanam benih Karma Buruk baru lainnya. Semisal, dengan mengatas-namakan dan menjadikan “alasan pembenar” faktor kemiskinan sebagai alibi untuk melakukan kejahatan seperti pencurian ataupun modus penipuan hingga aksi perampokan, sama artinya mereka menjebloskan dirinya sendiri ke dalam sebuah vonis bernama “nasib di masa depan” yang kembali dijerat kemiskinan akut, bagai “lingkaran setan”—karenanya pula, teori perihal “deterrence” maupun “rehabilitatif” tidak menemukan validasinya, baik dalam konteks hukum apapun.

Bila “Hukum Tuhan” baru akan ada proses penghakimannya, konon, pada alam baka setelah kematian sang manusia yang telah berbuat dosa kejahatan, maka sama artinya fungsi “penghukuman” sebagai sarana untuk melindungi masyarakat umum dari potensi menjadi korban aksi kejahatan serupa oleh pelaku serupa, maka tentunya wacana demikian menjadi tidak lagi menarik untuk diulas karena yang sejatinya membutuhkan penanganan sesegera mungkin demi mencegah jatuhnya korban serupa, ialah pada makhluk hidup di alam manusia, bukan di alam baka—itu pun diperkeruh oleh iming-iming ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa” yang TIDAK PRO TERHADAP KORBAN, sekaligus justru mempromosikan kejahatan, maksiat, dan dosa itu sendiri.

Begitupula Hukum Karma, bukan tiada kelemahan ataupun kekurangan yang cukup fatal, yakni perihal waktu berbuahnya yang tidak atau kurang efektif dan sering kali tidak tepat guna atau tidak tepat waktu. Bisa jadi, waktu berbuahnya ialah ketika sang pelaku kejahatan telah meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai manusia, yang tidak ingat dan tidak tahu-menahu perbuatannya di kehidupan sebelumnya, namun harus menanggung beban “getah” Karma Buruk yang berbuah pada saat itu. Bila kita egois terhadap diri kita sendiri, itulah “kodrat” yang kemudian terjadi pada diri kita di kehidupan selanjutnya. Kita sendiri yang sejatinya sedang memberikan merancang “nasib” dan masa depan kita sendiri, bukan pemberian “langit”, karenanya kita yang paling bertanggung-jawab atas sukkha dan dukkha hidup kita sendiri, bukanlah “langit”—karenanya pula kita perlu bersikap optimis, sebagai arsitek kehidupan kita sendiri.

Kabar baiknya untuk kita semua, bila Hukum Karma memiliki sifat atau cara kerja yang demikian efisien dari segi waktu dan ideal adanya, maka manusia akan melekat pada kelahiran kembali, seolah-olah kelahiran kembali dan kembali menjelma dalam alam pengkondisian mana pun adalah layak dan patut dilekati dan kembali bertumimbal lahir, yang karenanya akan menolak serta menjauhi Nibbana—alam dimana pengkondisian tidak lagi berlaku, dan belenggu rantai karma telah terputuskan untuk sepenuhnya sehingga tiada lagi tumimbal lahir.

Kehidupan memang berjalan tidak ideal, seringkali demikian, semisal yang benar justru dipersalahkan sementara yang salah menjadi benar, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (kesenjangan kian lebar), korban didiskredit dan dikriminalisasi, yang jujur tersisihkan, orang baik banyak yang yang dibenci, integritas tidak dihargai, orang baik dijadikan “mangsa empuk”, air susu dibalas air tuba, para Aparatur Sipil Negara yang justru meminta dilayani (diberikan uang) oleh masyarakat yang semestinya mereka layani, pungutan liar dan korupsi merajalela, yang lemah dimakan oleh yang kuat, dan berbagai keadaan tidak ideal lainnya, merupakan pesan yanh dikomunikasikan oleh kehidupan kepada kita, bahwa menjelma dalam pengkondisian dan kelahiran kembali akibat belenggu rantai karma, adalah tidak patut dan tidak layak dilekati, adalah tidak memuskan, membosankan, dan senantiasa mengecewakan, bukan nikmat ataupun kenikmatan untuk dilekati, sehingga mengarahkan kita pada kesadaran untuk berjuang “memutus belenggu rantai karma” (break the chain of kamma).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.