Antara AGAMA DOSA dan KITAB DOSA / CURANG / KORUP

SENI HIDUP

“Agama DOSA” VS. “Agama KSATRIA” & “Agama SUCI”, Anda Pilih yang Mana dan Anda yang Mana?

Orang-orang SUCI dan para KSATRIA, Tidak Pernah Membutuhkan Penghapusan ataupun Penebusan DOSA. Mereka Tidak Memilih untuk Lari dari Konsekuensi atas Perbuatan Mereka Sendiri, Namun Bertanggung-Jawab dan Penuh Tanggung Jawab

Ketika dunia ini semakin dipenuhi oleh manusia-manusia pendosa yang menyembah dosa serta bergelimangan dosa akibat terbiasa melakukan perbuatan dosa (perbuatan jahat seperti menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain), tidak takut serta tidak malu berbuat dosa, mengoleksi dosa, menimbun dosa, makan dan hidup dari dosa, dimana kesemua itu menjelma “demand”—maka akan terdapat pula “supply”, bernama “Agama DOSA” yang bersumber dari wahyu-wahyu dogmatis bernama “Kitab DOSA”, dimana para umat pemeluknya disebut sebagai “PENDOSA” yang berdosa serta tangan yang penuh dosa.

Semakin tumbuh suburnya “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, menjadi indikator bahwa “standar moralitas” umat manusia kian merosot hingga ke titik nadir. Dahulu kala, “Agama MORALITAS” atau “Agama KEBAIKAN” semacam Buddhisme, menyuburkan Bupi Pertiwi sehingga dikenal sebagai bangsa yang gemar bergotong-royong, santun, humanis, mulia, berkarakter unggul, penuh budi-pekerti, disamping keadaan alam yang makmur dan subur—kesemua itu, adalah buah dari “standar moralitas” yang baik dari suatu bangsa (Hukum Karma itu sendiri, hukum konsekuensi perihal “apa yang memang sudah menjadi sepatutnya”). Kini, dapat kita lihat sendiri kondisi Bumi Pertiwi, penuh bencana alam bertubi-tubi, keadaan ekonomi yang selalu bergantung pada bangsa asing, menjadi pangsa pasar produk-produk asing, hak-hak rakyat dikorupsi serta dijajah dan terjajah oleh anak bangsa sendiri, apapun serta importasi bahkan untuk ukuran bahan pangan.

Suatu agama yang mengklaim sebagai “Agama KESUCIAN”, seharusnya semata mempromosikan kesucian serta praktik jalan hidup penuh kesucian tanpa toleran terhadap noda perbuatan kotor sekecil apapun. Menurut “Agama KESUCIAN”, seorang pendosa dapat dipastikan akan masuk ke dalam alam neraka setelah ajal tiba bagi yang bersangkutan, dimana sang pelaku kejahatan akan memetik hasil dari perbuatan buruknya sendiri, dalam derajat kepastian tertinggi. Alhasil, para pendosa berbondong-bondong keluar dan menjauh dari “Agama KESUCIAN” dengan mulai mencari-cari tawaran yang bersumber dari keyakinan keagamaan lain, apa lagi jika bukan keyakinan keagamaan yang memberikan iming-iming “angin surga” bagi para pendosa tersebut, bernama “Agama DOSA”.

Bagaimana mungkin, suatu umat pemeluk “Agama DOSA” yang mempromosikan “penghapusan dosa” ataupun ajaran dogmatis semacam “penebusan dosa”, akan tiada kompromistis terhadap sebuah perbuatan-perbuatan jahat, curang, korup, maksiat, ataupun dosa itu sendiri? Justru sebaliknya, “Agama DOSA” membutuhkan maksiat serta perbuatan jahat (sumber dosa) untuk menghimpun umat pengikut, yang tidak lain tidak bukan ialah para pelaku perbuatan dosa dan maksiat (perbuatan-perbuatan jahat dan tercela). Hal tersebut dicirikan dari keutamaan dari keberadaan ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang menjadi pilar utama daya tarik mereka dalam menghimpun umat—disamping memang tampak “menggiurkan” nan “menggoda”.

“Agama DOSA”, sumber dogma sebagai wahyu rujukannya, ialah apa yang kita sebut sebagai “Kitab DOSA”, sumber inspirasi bagi para umat pengikutnya (para pendosa) untuk berbuat dosa, curang, korup, dan jahat itu sendiri. Bila kompas serta bintang pemandu dan peta yang mereka yakini dan ikuti jalannya ialah “dosa” itu sendiri, karenanya “dosa” menjadi jalan hidup mereka, yang karenanya pula tangan mereka menjadi penuh oleh genangan darah, bergelimang dosa, tertimbun dosa, mengisi perut dengan hasil kejahatan, serta terbebani oleh segunung dosa, yang membuat mereka bagai meminum air laut untuk melepaskan dahaga, justru kian terjerat dan kian haus untuk terus-menerus terjerumus dalam perbuatan dosa, yang pada akhirnya mereka bermuara dan menemukan diri mereka menjelma menjadi “budak” penyembah ideologi semacam “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa”.

Alhasil, para umat pemeluk “Agama DOSA” akan senantiasa meremehkan perbuatan buruk dan jahat mereka, serta disaat bersamaan akan menyepelekan perasaan dan derita maupun luka ataupun kerugian yang diderita oleh para korban mereka—bahkan, sosok “Tuhan” dalam “Agama DOSA” digambarkan lebih “pro” terhadap para pendosa dan disaat bersamaan menempatkan dirinya sebagai “kontra” terhadap para korban, dengan semata menghapus dosa-dosa para pendosa tersebut tanpa memberikan keadilan bagi para korban mereka. Tiada prinsip tanggung-jawab yang “humanis” disini, terlebih “Tuhanis”; yang ada ialah “premanis” dan “aroganis” disamping “hewanis”.

Yang paling tidak dapat penulis pahami ialah, mengapa kita “Judge the Book by the COVER”? Sekalipun berbagai “Agama DOSA” tersebut mengklaim bahwa Kitab sumber rujukan dogma wahyu keagamaan mereka sebagai “Kitab SUCI”, fakta empirik menunjukkan isinya justru mempromosikan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat, lewat iming-iming “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—yang karenanya tidak salah bila kita menyebutnya secara lebih akurat dan lebih patut-proporsional sebagai “Kitab DOSA”, dimana ciri-ciri utamanya ialah para umat pengikutnya berstatus sebagai para “PENDOSA” yang membutuhkan “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

Kontras antara “Agama DOSA” dan “Agama KSATRIA” maupun “Agama SUCI”, dalam “Agama DOSA” sama sekali tidak kenal kata “tanggung jawab terhadap korban” (responsibility, berakar kata dari frasa “to respond”). Sementara itu sebagaimana pernah diutarakan oleh seorang aktivis bernama Soe Hoe-Gie, pelaku kejahatan (pendosa yang telah berdosa) bukan hanya bertanggung-jawab terhadap Tuhan, namun juga terhadap pihak KORBAN. Untuk memahami kontras tersebut, tepat kiranya bila penulis mengajak para pembaca untuk menelaah lebih lanjut perbandingannya terhadap “Agama KSATRIA” maupun “Agama SUCI”, untuk lebih memahami betapa bagaikan “langit dan bumi” bila kita sandingkan dengan “Agama DOSA”.

Kita mulai dengan membahas “Agama KSATRIA” bagi para kaum Ksatria. Mereka, para umat “Agama KSATRIA”, disebut sebagai seorang Ksatria karena mereka tidak pernah menjadikan “melarikan diri (dari konsekuensi)” sebagai opsi dalam hidup mereka, namun hanya mengenal satu jalan hidup, yakni bertanggung-jawab serta dapat dipertanggung-jawabkan. Mereka, adalah kaum yang penuh tanggung jawab, karenanya. Mereka, para umat “Agama KSATRIA”, yang kita sebut sebagai para kaum Ksatria, tidak akan pernah tertarik pada iming-iming maupun janji-janji “surgawi” bernama “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—bahkan mereka memandang rendah dan jijik terhadap para umat pemeluk ideologi kotor dan curang yang “korup” semacam itu.

Level para umat pemeluk “Agama KSATRIA”, jauh lebih tinggi dan lebih beradab disamping lebih “humanis” dan lebih “jantan” disamping lebih mulia ketimbang para umat “Agama DOSA”. Mereka, para Ksatria pemeluk “Agama KSATRIA”, tidak pernah memungkiri bahwa mereka pernah berbuat jahat dan dosa seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai seorang atau lebih korban mereka. Namun yang membedakan mereka dengan para umat “Agama DOSA”, bila umat “Agama DOSA” (para pendosa) menganggap tidak bertanggung-jawab semacam “tabrak lari” atau semacam “berkelit ketika dimintakan pertanggung-jawaban” ataupun semacam “korban tidak meminta ataupun menagih tanggung-jawab” hingga semacam “korban tidak sadar telah dikorbankan” (eksploitasi-manipulasi) adalah sebentuk keuntungan dan keberuntungan bagi sang pelaku; maka para kaum Ksatria pemeluk “Agama KSATRIA” menganggap lari dari tanggung-jawab adalah bentuk sikap-sikap yang tidak bertanggung-jawab disamping tidak “jantan” untuk dapat menyebut dan mengaku sebagai seorang “manusia” bukan seekor “hewan”.

Karenanya, korban tidak pernah perlu merepotkan dirinya untuk menagih ataupun meminta tanggung-jawab (terlebih mengemis-ngemis) kepada para kaum pemeluk “Agama KSATRIA”, dimana para Ksatria akan secara penuh kesadaran (berangkat dari kesadaran pribadi dan nurani), akan tampil ke hadapan korban mereka untuk memberikan pertanggung-jawaban sedemikian rupa. Dengan cara seperti itulah, suara hati nurani milik kaum pemeluk “Agama KSATRIA” dilestarikan dan ditumbuhkan untuk terus hidup—tidak dimatikan dan tidak dibungkam layaknya para pemeluk “Agama DOSA” yang sudah tidak lagi memiliki “hati nurani” karena dimatikan, alias mematikan suara batin dan hati nurani sendiri. Mereka, para kaum Ksatria, karenanya dapat hidup dan mati secara tenang, penuh kedamaian, tanpa beban dan tanpa “hutang Karma” apapun. Mereka akan terlahir kembali dalam kondisi yang dimuliakan, berkat buah perbuatan mulia mereka itu sendiri yang memang patut diberikan tempat yang hormat secara penuh kehormatan. Merekalah yang akan mengisi alam-alam surgawi.

Kini kita beralih pada “Agama SUCI” bagi para suciwan. Hanya umat atau pemeluk “Agama SUCI”, yang berhak untuk berceramah ataupun mengajarkan perihal hidup suci serta penuh kesucian—ciri utamanya ialah tidak pernah mempromosikan ajaran-ajaran semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Umat dan pemeluk “Agama SUCI” hanya mengenal satu jenis ajaran perilaku, yakni yang kita sebut sebagai “Hukum Karma” (hukum tentang konsekuensi, sebab dan akibat) serta memiliki pedoman perilaku sebagai “standar moral” tingkat tinggi berupa “malu berbuat jahat” dan “takut berbuat jahat”. Merekalah, para kaum SUCIWAN, menjadi penghuni Nibbana.

Para umat dan pemeluk “Agama SUCI” memahami betul, karenanya, tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini. Menjadi kontras dengan itu, bagaimana mungkin umat pemeluk “Agama DOSA” justru hendak berceramah dan memberikan nasehat perihal kebenaran, kebaikan, keluhuran, kemuliaan, mana yang baik dan mana yang buruk, hingga melarang perbautan dosa, bila mereka selama ini pula hidup dari “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”? Sebagaimana kata pepatah, “yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang”. Tidak terkecuali, “yang hidup dari DOSA, akan mati karena DOSA”.

Tanpa menyebutkan nama suatu keyakinan keagamaan mana pun, kita akan sepakat bahwa ajaran-ajaran atau ideologi-ideologi atau dogma-dogma dan wahyu-wahyu di bawah ini hanya layak dapat kita sebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, sebagaimana dapat kita cermati dan sadari sendiri, antara lain:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Sebagai penutup, kita janganlah terkecoh oleh nama yang disandang oleh sampul sebuah “buku”, sekalipun ia diberi gelar “Kitab SUCI”, yang mana bila justru mempromosikan kejahatan, dosa, dan maksiat dengan meremahkan perbuatan buruk dan jahat serta disaat bersamaan menyepelekan derita yang diderita oleh korban mereka, berkat ideologi “too good to be true” yang kita sadari (pastinya) amatlah “korup” semacam “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sehingga korbanlah yang menjadi takut terhadap para PENDOSA umat pemeluk “Agama DOSA”, berkebalikan dengan cara hidup kaum SUCIWAN umat pemeluk “Agama SUCI” yang justru “takut berbuat jahat” (sehingga tiada orang lain yang perlu takut dijadikan sebagai orang korban), atau setidaknya kaum KSATRIA pemeluk “Agama KSATRIA” dimana korban bahkan tidak pernah perlu merepotkan dirinya menagih tanggung-jawab.

Tiada yang lebih “malang” dan “tidak mujur”, daripada berjodoh dengan kaum pemeluk “Agama DOSA”. Dahulu kala, sebelum lahirnya “Agama DOSA”, orang-orang jahat (kalangan penjahat yang berdosa) tidak memiliki keyakinan bahwa perbuatan jahat dan mengingat dosa-dosa mereka, akan masuk ke alam surgawi setelah kematian mereka menjelang. Saat kini dan dewasa ini, paska munculnya “Agama DOSA”, bahkan para pendosa merasa yakin dan terjamin akan masuk ke dalam alam surgawi, sebanyak apapun dosa pernah mereka timbun semasa hidupnya secara tidak bertanggung-jawab.

Itulah sebabnya, menurut Buddhisme, hanya berjodoh dengan orang-orang baik (kaum SUCIWAN dan KSATRIA), adalah “berkah utama”. Akibat terjebak dalam kondisi “too big to fall”, kaum PENDOSA pemeluk “Agama DOSA” hanya memiliki satu pilihan sebagai opsi hidup mereka, yakni meyakini secara membuta (bila perlu secara radikal dan irasional) iming-iming penuh kecurangan bernama ideologi “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, karena jika tidak maka nasib mereka ialah dikodratkan jatuh ke alam neraka—alias tersandera dan menjadi sandera oleh dosa-dosa dan perbuatan buruk-jahat mereka sendiri, bagaikan sebuah reaksi berantai atau efek “bola salju yang terus menggelinding membesar” menyerupai “kebohongan yang satu ditutup oleh kebohongan dan dusta baru lainnya”, demikianlah para pendosa pemeluk “Agama DOSA” dikodratkan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.