Agunan Jaminan Pelunasan Hutang Berpotensi Disalahgunakan Kreditor, Tidak Selamanya Debitor yang Bersikap Nakal

LEGAL OPINION

Resiko Hukum Kredit bila Nilai Agunan Jauh Lebih Tinggi daripada Total Hutang-Piutang

Question: Apa ada resikonya, bila kita meminjam uang di bank atau pada seseorang kreditor, dengan agunan jaminan pelunasan hutang berupa aset tanah atau bangunan rumah maupun pabrik, yang nilai objek agunannya jauh di atas nilai hutang yang dipinjam?

Brief Answer: Para praktik yang terjadi pada sejumlah perbankan, berlaku rumusan sebagai berikut : Ketika agunan memiliki nilai jual yang rendah dan hanya sebatas nominal total tunggakan hutang debitor, maka kalangan kreditor akan segera dan secepatnya melakukan lelang eksekusi Hak Tanggungan atas agunan selaku jaminan pelunasan hutang sang debitor, mengingat “hak preferen” seorang “kreditor preferen” hanya sejauh dan sebatas nilai Hak Tanggungan atas agunan, dimana bilamana total hutang tertunggak “membengkak” menjelma “segunung hutang” yang “menggunung” dan tidak lagi dapat dilunasi dengan penjualan agunan yang ada, maka status sang kreditor ialah selaku “kreditor konkuren” semata untuk selebihnya yang sangat tidak efisien dalam menuntut pelunasannya.

Namun, ketika realitanya ialah agunan berupa hak atas tanah yang memiliki nilai jual yang tinggi, jauh melampaui nilai total tunggakan hutang yang dimiliki debitor, maka kalangan kreditor akan cenderung untuk secara “politis-yuridis” menunda-nunda dan membiarkan hutang-piutang berlarut-larut dalam kondisi “macet” alias tertunggak, jika perlu menunggu serta mendorong pihak debitor mengajukan gugatan terhadap kreditornya.

Ketika beberapa tahun waktu serta “argo hutang” terus berjalan hingga selesainya proses gugat-menggugat yang dapat dipastikan debitor tetap harus melunasi dan mengembalikan dana yang dipinjam olehnya apapun pokok gugatannya, status “kredit macet” menjelma macet untuk sekian tahun lamanya, maka total tunggakan hutang konsekuensi logisnya telah menjelma “menggunung” mencapai berkali-kali lipat dari total hutang-piutang semula.

Seketika itu jugalah, agunan akan dilelang eksekusi oleh sang kreditor pemegang Hak Tanggungan, mengingat total hutang yang telah “menggunung” menjadi mustahil untuk dapat dilunasi oleh sang debitor, dimana agunan terjual lelang dengan hasil nilai penjualan akan dikusai sepenuhnya oleh pihak kreditor karena total tunggakan hutang-piutang beserta bunga, bunga atas bunga, denda, bunga atas denda, pinalti, serta bunga atas pinalti mengakibatkan total hutang-piutang mampu menyentuh harga nilai jual objek agunan sekalipun pada mulanya nilai jual objek agunan hanya mencapai separuh dari nilai hutang-piutang.

Konsultan Hukum SHIETRA & PARTNERS selalu menyarankan dan memberi pendapat kepada kalangan klien yang berencana meminjam sejumlah dana pinjaman / kredit dari suatu kreditor baik perbankan maupun kreditor perorangan, agar memastikan betul sanggup dan mampu membayar lunas setiap cicilan bulan berjalan atas tunggakan hutang. Sebab, sekali terjadi tunggakan atas cicilan pelunasan hutang, maka dapat dipastikan hutang-piutang menjelma mustahil untuk dapat dilunasi dikemudian hari selain menjelma hutang-piutang yang “menggunung” dan kian menjerat, dengan potensi ancamannya ialah bila agunan berupa objek hak atas tanah yang bernilai tinggi, dapat dipastikan objek agunan atas terlepas dari penguasaan pihak penjamin untuk seutuhnya, mengingat nilai total tunggakan hutang-piutang telah “menggunung”.

PEMBAHASAN:

Dalam setiap Akta Kredit ataupun Perjanjian Hutang-Piutang tidak terkecuali Perjanjian Pembiayaan atau apapun itu sebutannya yang pada pokoknya ialah perihal pinjam-meminjam atau hutang-piutang antara seorang debitor dan kalangan kreditor, selalu dapat kita jumpai komponen beban biaya kepada pihak debitor oleh kreditornya disamping kewajiban pembayaran pokok hutang, berupa bunga, bunga atas bunga, denda, bunga atas denda, pinalti, serta bunga atas pinalti, baik tertuang secara tertulis dan eksplisit maupun secara implisit.

Mengingat kesemua beban-beban demikian sifatnya telah disepakati dan “hitam diatas putih”, karenanya tidaklah dapat kalangan debitor memaksakan kreditornya untuk menghapuskan berbagai pembebanan bunga-berbunga yang kian menumpuk dan menjelma “gunung hutang” yang sangat tinggi akumulasinya, yang biasa dikenal dalam istilah kalangan perbankan sebagai “nilai outstanding”. Kalangan debitor hanya dapat mengajukan permohonan keringanan bunga, sifatnya hanya sekadar memohon, kepada kreditornya agar bersedia dihapus pembebanan “bunga berbunga” maupun denda dan “bunga atas denda” demikian.

Menimbang sifatnya ialah sekadar permohonan, maka kalangan kreditor memiliki hak prerogatif yang tidak dapat diganggu-gugat untuk mengabulkan ataupun untuk tidak mengabulkan permohonan keringanan pembebanan “berbagai komponen bunga dan denda” yang diajukan oleh debitornya demikian. Kalangan kreditor yang lebih menyerupai “kreditor Predator”, dapat dipastikan tidak akan bersedia “mundur satu langkah” pun atas permintaan debitornya untuk menghapus pembebanan berbagai komponen bunga dan denda demikian, dan membiarkan debitornya terjerat “segunung” total tunggakan hutang yang tidak mungkin lagi logis untuk sanggup dilunasi oleh debitornya.

Total hutang, akibat komponen bunga, “bunga berbunga”, denda, serta “bunga atas denda” demikian, benar-benar dalam realita lapangan dapat menjelma hutang yang “beranak-pinak”, jauh melampaui kenaikan harga properti maupun hak atas tanah setiap tahunnya, menjelma “lumpur hidup” yang demikian dalam dan menjerumuskan, ibarat sekali terjatuh maka mustahil untuk dapat kembali naik ke permukaan. Karenanya, kalangan debitor yang “ignorant” seringkali terkecoh oleh delusi serta asumsinya sendiri, seolah mengulur-ngulur waktu lelang eksekusi Hak Tanggungan atas agunan merupakan solusi yang paling ideal, terlebih delusi kelewat delusif bahwasannya seolah-olah menggugat dan sebuah gugatan mampu untuk menghapus kewajiban seorang debitor dari kewajiban hukumnya untuk membayar hutang, sekalipun fakta tidak dapat diingkari bahwasannya dirinya memiliki hutang serta karenanya berkewajiban hukum untuk membayar dan melunasinya.

Hingga dunia “kiamat” sekalipun, tidak akan pernah ada cerita praktik peradilan dimana sekalipun pihak debitor memenangkan gugatan melawan kreditornya, dimaknai sebagai menghapus kewajiban debitornya untuk mengembalikan seluruh hutang atau kredit berupa dana pinjaman yang pernah diterima olehnya dari sang kreditor. Karenanya, upaya hukum yang bertujuan hanya untuk mengulur-ngulur waktu, sejatinya menjadikan tali pengikat yang kian melingkari leher dari sang debitor itu sendiri, hanya tinggal menunggu hitungan waktu beberapa tahun sampai akhirnya sang debitor terjerat oleh tali penggantung leher yang dibuat sendiri olehnya.

Sebagaimana dapat kita maklumi dan telah kita ketahui bersama, adalah “rahasia umum” bahwa biaya operasional gedung kantor maupun komponen gaji pegawai kalangan perbankan swasta maupun perbankan “plat merah”, telah menghabiskan seluruh pendapatan kalangan perbankan dari bunga atas kredit yang mereka salurkan kepada debitor penerima fasilitas kredit. Keuntungan terbesar kalangan perbankan, tidak lain tidak bukan ialah dari pembebanan “bunga terhadap bunga”, denda, serta “bunga terhadap denda”, yang nilainya dapat jauh lebih menguntungkan serta lebih menggiurkan ketimbang sekadar beberapa belas persen “bunga” atas pokok hutang yang diterima debitor.

Dalam perspektif itulah, ketika seseorang atau suatu kalangan debitor mengalami “kredit macet”, wajah perbankan di Indonesia menjelma menyerupai “praktik rentenir” yang demikian menjerat debitor atas hutang yang kian membengkak akibat pembebanan komponen bunga, bunga-berbunga, denda, dan “bunga atas denda” yang timbul sebagai konsekuensi tunggakan atas cicilan pelunasan yang terjadi, menyerupai perangkap “no point to return”, selain vonis “hutang yang membengkak menyerupai gunung hutang” yang mustahil untuk dapat dilunasi oleh sang debitor.

Memang menjadi ambivalensi, kalangan perbankan mengklaim “kewalahan” serta terancam menghadapi debitor yang “macet” fasilitas kreditnya, sementara itu pada realitanya kalangan perbankan yang sama tersebut tumbuh subur dan makmur berkat debitor-debitor yang justru “macet” fasilitas kreditnya, sehingga memberi kesempatan kepada kalangan perbankan demikian untuk memungut sejumlah pembebanan komponen biaya mulai dari bunga, “bunga atas bunga”, denda, hingga “bunga terhadap denda” yang nilainya mampu membuat total hutang-piutang tertunggak menjadi benar-benar berlipat-ganda serta “menjelma bukit hingga gunung hutang” dalam arti yang sesungguhnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.