Deterministik GENOM Genetik Kriminal sebagai Faktor Kriminogen

ARTIKEL HUKUM

Born to be a CRIMINAL, karena Faktor Deterministik GENETIK, dapatkah Dimintakan Pertanggung-Jawaban PIDANA? Apakah Kejahatan, Sifatnya Dilahirkan?

Siapakah yang sebetulnya, bertanggung-jawab dan dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas kejahatan dan niat jahat dari seorang pelaku kejahatan? Apakah murni akibat “kehendak bebas”, ataukah sebaliknya tiada yang benar-benar terdapat kebebasan untuk memilih alias sekadar “kebebasan semu” ketika seseorang warga kemudian ditemukan melakukan tindak kejahatan? Singkat kata, seberapa deteministik-kah, faktor genetik dalam menentukan kadar kejahatan seseorang penjahat yang dilahirkan untuk menjadi seorang penjahat (born to be a criminal)?

Berbagai riset para ilmuan genetika terkait GENOM yang menyusun tubuh seorang manusia lengkap dengan segala mentalitas dan tendensinya, telah meyakini adanya korelasi beberapa kromosom yang bertanggung-jawab atas kecenderungan watak kriminal seseorang, tidak terkecuali berbagai dorongan untuk melanggar hukum yang dipicu akibat suatu hormon yang dikendalikan oleh struktur genetik sang pelaku kejahatan itu sendiri—sehingga pada sudut pandang sains Genom, sang pelaku kejahatan adalah “korban” itu sendiri, korban dari diktatoriat genetik sumber bakat kriminal dalam diri sang kriminal itu sendiri sehingga kerap memiliki insting untuk membangkang serta melanggar.

Secara garis besar, semua individu, kita semua tanpa terkecuali, mewarisi bakat “malaikat” dan sekaligus benih bakat sebagai seorang “iblis” dalam dirinya ketika dilahirkan, ketika bertumbuh, hingga menjelang dewasa, sebelum kemudian mewarisinya kembali kepada generasi penerusnya. Kelainan fisik serta mental, terbukti sangat ditentukan oleh faktor “bibit, bobot, bebet” yang tidak terkecuali ialah merujuk pada faktor silsilah genetika mata rantai keluarga yang ditarik secara lurus ke atas bahkan hingga dapat dirunut lima hingga enak generasi pendahulu sebelumnya ternyata memiliki kelainan fisik yang sama (bawaan atau warisan). Prinsip yang sama berlaku bagi tendensi atau kecenderungan alam batin dan cara berpikir, terdapat sedikit atau banyak dipengaruhi serta ditentukan oleh deterministik faktor genetik seorang manusia.

Kita, sebagai manusia, merupakan individu pengemban seperangkat kode genetik yang menyusun tubuh, mental, serta daya berpikir, sebagai satu-kesatuan paket lengkap secara utuh berupa kromosom yang saling berpasangan. Jika setiap individu membawa bekal warisan benih “malaikat” sekaligus benih “iblis” dalam dirinya, maka mengapa kemudian terdapat manusia dewasa yang menjadi kriminal dan ada pula yang sangat humanis nan-mulia demikian kontras jarak perbedaannya?

Sifat dari benih-benih yang bersumber dari genetik seorang manusia, sifatnya ialah semata potensi, tendensi, serta dorongan disamping kecenderungan, sehingga deterministik faktor genetik terhadap aksi kriminil seorang kriminal sifatnya bukanlah “deterministik mutlak-imperatif”, namun lebih tepat bila kita sebut sebagai “deterministik yang tentatif”. Terdapat sedikit-banyaknya ruang fakultatif dalam sifat deterministik sebuah Kode Genetik penyusun “cetak biru” (blueprint) seorang manusia—dimana pada tepatnya, ialah yang menjadi ruang bagi tumbuh-kembang pilihan bebas (free will).

Kode Genetik manusia, karenanya, dapat kita kategorikan sebagai “variabel terikat”, bukan “variabel bebas”. Kita terlahir dalam kondisi telah mewarisi sejumlah kromosom dari kedua orangtua kita, tanpa dapat ditawar-tawar, dimana orangtua kita pun mewarisi sepasang kromosom dari kakek dan nenek kita, begitu seterusnya ketika kita merunut (tracing) silsilah keluarga kita hingga beberapa abad yang lampau. Sejumlah pasangan kromosom sumber genetik yang kita warisi tersebut, tidak dapat kita ganti dan pasang-copot sesuka hati seperti ketika mengenakan baju baju dan menanggalkan baju yang lama—itulah sebabnya Kode Genetik dikategorikan sebagai “variabel terikat”, kecuali lewat jalan rekayasa yang masih terbentur Kode Etik dunia kalangan medik.

Kabar baiknya, karena “variabel terikat” selalu berpasangan dengan “variabel bebas”, artinya pula Kode Genetik pada alamiahnya tidak demikian deterministik—semata karena masih terdapat “variabel bebas” yang dapat kita tentukan dan kondisikan sendiri alias menjadi ruang kekuasaan kita untuk “menentukan nasib sendiri” (self determination) alih-alih menjadi korban ataupun “budak” tanpa daya-tawar dari genetik kita sendiri yang mengatur seolah tanpa ruang negosiasi dan tawar-menawar. Terbebas dari deterministik “Kode Genetik”, karenanya, bukanlah sesuatu kondisi yang mustahil terjadi, sekaligus bukti bahwa “Kode Genetik” tidaklah demikian otoriter dalam mengatur hidup seorang individu.

Kelainan dan penyakit, memang terdapat beberapa jenis kelainan mental maupun penyakit fisik yang sifatnya “bawaan” alias diwarisi dari generasi sebelumnya kepada generasi selanjutnya, dan diwarisi oleh generasi masa kini sebelum kemudian akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Bilamana tidak terjadi mutasi yang mengubah rantai kromosom yang diwariskan. Tidak terkecuali, faktor kriminogen yang sifatnya ialah tendensi atau kecenderungan dari tabiat dan dorongan perilaku.

Sebagai contoh, berkebalikan secara kontras dari kalangan kriminal, ada orang-orang yang bahkan tidak mampu untuk menyakiti hewan, mencuri, ataupun menipu, sekalipun tiada akan ada orang lain yang menyadarinya, sekalipun ketika masih kecil dirinya pernah melakukan itu namun kemudian kecenderungannya berubah tatkala beranjak dewasa—semata karena benih kriminogen dalam dirinya kerap tidak diaktifkan, dan sebagai penggantinya kerap mengasuh diri dengan mengaktifkan genetik “malaikat” dalam dirinya, sehingga ketika menjelang dewasa genetik “malaikat” dalam dirinya lebih dominan, meski sesekali genetik “iblis” muncul ke permukaan ketika “alam bawah sadar” dirinya sedang bangkit dan mengambil-alih kesadaran bahkan melakukan sabotase terhadap tendensi dan cara kita berpikir.

Membentuk alur batang tegakan sebuah pohon, harus dari pohon tersebut tumbuh kecil dan dirawat dengan peng-kondisi-an tertentu lewat perlakuan yang khusus (conditioning) dalam rangka “rekayasa yang positif” (semacam “social engineering” bila padanannya dalam ilmu sosial). Ketika pohon tersebut telah tumbuh besar, alur batang tegakannya mustahil untuk dapat dibentuk. Sama halnya, seorang kriminil yang deterministik Genetik kriminogennya telah lama dibiasakan mendominasi kesadaran yang bersangkutan, maka fungsi sanksi hukuman pidana berupa penjara atau ancaman sanksi “kebiri” sekalipun tidak lagi efektif untuk membuat jera dan meng-koreksi perilaku serta tendensi yang bersangkutan, dimana cepat atau lambat akan menjelma seorang residivis selepasnya dari masa hukuman sebelum kemudian Kode Genetiknya membuat sang mantan narapidana terjarat kembali atas perkara serupa dikemudian hari.

Kode Genetik dapat demikian mendominasi “alam sadar”, bahkan membajak cara seseorang berpikir dan berperilaku, akibat dibiasakan dan terbiasa—salah satu bentuk “conditioning”. Apa yang telah mengkristal, sukar untuk kembali dapat dicairkan dan dibentuk ulang, perlu waktu untuk mengikisnya dan pembentukan ulang (re-shaping). Karena itulah, faktor mengasuh diri sendiri dengan baik, menjadi faktor penting bila tidak dapat disebut sebagai unsur terpenting dalam rangka pendidikan karakter serta moralitas seorang pribadi selaku individu manusia yang masih memiliki “ruang bebas” serta kemampuan untuk berakal-sehat.

Afirmasi dari hipotesis yang penulis kemukakan, menemukan relevansinya ketika penulis memindahkan sekelompok ikan dari satu kolam, ke kolam lainnya yang berjarak satu meter dari kolam semula, ternyata secara gradual, sekelompok ikan tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan watak (menjelma “lain ladang lain watak belalang (meskipun belalangnya sama)” sekalipun penulis hanya memindahkan ikan-ikan tersebut dari satu kolam ke wadah lain masih pada satu lokasi yang sama, ternyata perubahan karakter hewan-hewan tersebut dapat demikian kontras). Pada kolam semula, sekelompok ikan tersebut demikian “penakut”, hanya bersembunyi sepanjang hari di bawah daun teratai dan pasif.

Ketika ikan-ikan tersebut dipindahkan ke kolam lain dengan wadah yang berbeda bentuk, lebar, dan kedalamannya, serta dengan jenis teratai yang berbeda dari kolam yang sebelumnya, ikan-ikan tersebut menjadi demikian “pemberani” serta aktif disamping gemar muncul ke permukaan air kolam, bahkan mulai berubah karakter menjadi predator anak-anak ikan meski pada kolam sebelumnya anak-anak ikan dapat berpijah tanpa gangguan dari ikan-ikan dewasa. Ikan-ikan yang sama, namun berbeda watak ketika wadah tempatnya hidup diubah—prinsip yang sama, lewat “conditioning”, penulis yakini dapat diterapkan pula ketika otoritas negara dan penegak hukum hendak melakukan “social engineering”, sebagaimana semboyannya yang termasyur, “law as a tool of social engineering”.

Kejahatan memang bersumber dari Kode Genetik yang “dikandung” oleh sang penjahat, namun bukan faktor satu-satunya, dimana sedikit atau banyaknya memang berperan penting akibat sifat deterministik Kromosom penyusun Genom Manusia. Kembali lagi pada apa yang telah kita bahas di muka, bahwa masih terbuka “ruang bebas” dalam rangka “self determination”, bernama “variabel bebas” yang bukan menjadi domain dari Kode Genetik. Karenanya pula, manusia tidak murni produk Genetik, ada hal-hal diluar Genetik yang mempengaruhi tumbuh-kembang seorang anak, yakni mulai dari faktor pendidikan, lingkungan bergaul dan bersosialisasi, perlakuan orangtua (parenting), kebiasaan, konsumsi, hingga era atau zaman pada suatu negara lengkap dengan segala iklim budayanya.

Singkat kata, kejahatan itu memang sedikit-banyaknya dipengaruhi Genetik, dimana faktor kriminogen menjadi tanggung-jawab dari domain Kode Genetik, dimana juga sudah tidak lagi dibantah oleh para pakar neurologi-molekuler manapun. Meski demikian, menjadi catatan penting, bahwasannya sifat dibalik keberlakuan Kode Genetik yang bertanggung-jawab atas sifat “jahat” ialah tidak determinan “pasti menjadi penjahat” bagi individu pembawa Kode Genetik “iblis”—karena faktanya kita semua mewarisi pula genetik yang sama dalam kadar tertentu.

Sifat dari keberlakuan Kode Genetik, ialah hanya sebatas bakat, talenta, kecenderungan, tendensi, dorongan, atau potensi yang perlu dipicu dan dioptimalkan (“conditioning” alias di-kondisikan), baru sifatnya deterministiknya muncul ke permukaan “alam kesadaran” dari individu bersangkutan, tepatnya ialah dalam wujud “alam bawah sadar”—suatu domain alam kesadaran yang tidak dapat dikendalikan ataupun dikontrol suatu individu, kecuali merepresinya lewat penguatan “alam sadar”. Bedakan pula antara “alam kesadaran” dan “alam sadar”, dimana “alam kesadaran” seorang individu terbagi menjadi dua ranah, yakni “alam sadar” dan “alam bawah sadar” yang sifatnya saling tekan-menekan satu sama lainnya sehingga keduanya tidak dapat muncul disaat bersamaan. Ruang bebas, terdapat dalam lingkup “alam sadar”, sementara keberlakuan deterministik sebuah tendensi menjadi lingkup kekuasaan “alam bawah sadar”.

Sebagai ilustrasi sederhana, bisa jadi kita mempunyai talenta berupa Genetik yang memungkinkan kita dengan mudah menguasai bahasa asing. Namun, meski demikian kita memiliki potensi berbahasa asing, akan tetapi jika tidak kita latih sejak kecil alias semenjak usia dini, tetaplah akan percuma. Kode Genetik berbahasa asing kita akan menjadi tumpul, berkarat, sampai pada akhirnya dalam kondisi dorman, hibernasi, alias tidak aktif bahkan mungkin secara permanen.

Fenomena yang sama dapat kita jumpai pada kasus yang tersohor pada ilmu psikologi terapan, yakni mengenai fenomena “anjing Pavlov” (seekor anjing milik seorang psikolog bernama Pavlov. Sang anjing, pada kenyataannya mempunyai serta selalu membawa potensi bakat Genetik berupa “asosiasi”, sehingga memerlukan peran campur-tangan berupa “conditioning” dari sang majikan yang bernama Pavlov, dimana ketika Pavlov membunyikan suatu suara denting yang diasosiasikan dengan makanan bagi sang anjing (karena selalu dibunyikan oleh Pavlov ketika memberikan makan pada sang anjing), maka secara gaib sang anjing meneteskan air liurnya sekalipun makanan nyatanya saat ini belum disuguhkan oleh Pavlov, sang majikan yang tanpa sengaja menemukan fenomena unik sebagaimana ditunjukkan oleh air liur sang anjing yang menetes dari mulutnya ketika diperdengarkan bunyi denting.

Sebagai kesimpulan, antara “conditioning” dan Kode Genetik, sangat terkait erat disamping memiliki relevansi tersendiri yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Manusia, karenanya, bukanlah “produk yang sudah jadi”. Manusia, ketika dilahirkan, merupakan “produk yang belum menjadi dan masih sedang menjadi” sekalipun sudah dilengkapi seperangkat Kode Genetik yang sedemikian deterministik sifatnya.

Kita semua, tanpa terkecuali, memiliki “bakat kriminal” dengan kadar serta derajat yang saling berbeda satu sama lainnya. Derajat paling minimum, berupa rasa dendam, amarah, kecewa, kebencian, ketidak-sukaan, penolakan, keberatan, menjauhi. Sementara itu derajat paling maksimum berupa aksi-aksi yang menyerupai seorang psikopat maupun pembunuh “berdarah dingin”. Kita pun perlu membina dan membimbing diri kita sendiri dengan baik, bila orangtua maupun guru dan pemuka agama gagal untuk memberikan teladan maupun “pola asuh” yang tepat. Itulah tepatnya yan disebutkan oleh pepatah, bahwa guru terbaik ialah diri kita sendiri.

Semisal, bila dorongan rasa dendam dan amarah dalam diri sangat besar, sementara kemampuan kontrol diri dan kontrol emosi sangat rendah, jangan pernah perlengkapi diri dengan senjata tajam, namun perlengkapi diri dengan peralatan menjahit sehingga lebih produktif disamping lebih positif. Tidak terbayangkan bila seorang pembunuh “berdarah dingin” yang bahkan merasa adanya suatu sensasi kesenangan tersendiri dengan menyiksa dan menyakiti korban-korbannya, justru dibekali keterampilan bermain senjata tajam dan senjata api, sama artinya menyiram bensin ke dalam bara yang menyala.

Singkatnya, kita perlu untuk mampu mengenali serta mengidentifikasi diri kita sendiri, keadaan mental (state of mind) kita, tendensi serta kecenderungan berpikir dalam diri kita, kecondongan perilaku, hingga karakter dasar alam batin kita, dalam rangka menyusun stategi guna menjadi pengasuh yang baik bagi diri kita sendiri—alias bersikap proaktif membuat kondisi yang kondusif bagi tumbuh-kembang diri kita sendiri (peng-kondisi-an).

Bila kita telah mampu mengenali serta mengidentifikasi “constitutional traits” (suatu terminologi ilmu psikologi yang merujuk pada karakter dasariah yang sarat tendensi tertentu) yang bersemayam dalam diri kita masing-masing, berupa derajat suatu “bakat kriminal”, maka rekomendasi terbaik yang dapat diberikan pada diri kita sendiri ialah agar jangan sampai terpicu dan muncul ke atas permukaan sehingga mendominasi “alam kesadaran” diri kita. Kita bisa jadi akan tenggelam dalam jati-diri baru kita yang sama sekali berbeda, lewat pembiasaan dan kebiasaan yang tidak lain ialah “conditioning” itu sendiri—meng-“create” diri sendiri secara ideal, bukanlah hal yang mustahil lewat pembiasaan yang bermula dari sebentuk kemauan.

Sebaliknya, ketika kita mampu mengidentifikasi adanya potensi bakat positif dalam diri kita, maka perlu diasah serta dikelola dengan baik sejak dini lewat pola “asuh diri” lewat pembelajaran, pelatihan, serta mempraktikkannya agar tidak menjadi “Kode Genetik yang dorman” alias in-aktif sehingga sangatlah disayangkan bila bakat positif dalam diri kita tersia-siakan karena tidak terasah, menjadi “karatan”, sehingga akhirnya menjadi “barang rongsok” yang terbengkalai sedemikian lama dan menjadi tidak lagi dapat digunakan secara optimal.

Yang mempunyai bakat olahraga, perlu disalurkan lewat sarana latihan. Yang memiliki bakat merancang dan meneliti, perlu disalurkan dan diasah lewat ajang edukasi dan kompetisi serta iklim atau budaya meneliti yang kondusif serta produktif sejak usia Sekolah Dasar. Sementara yang memiliki bakat mengusai bahasa asing, penting pula untuk mengasahnya sejak sedini mungkin bahkan sejak Taman Kanak-Kanak agar “Kode Genetik berbahasa asing” yang kita miliki senantiasa aktif sepanjang hayat kita hingga usia dewasa.

Dari hasil berbagai penelitian, para pakar menemukan bahwa “Kode Genetik berbahasa” (baik bahasa asing maupun bahasa ibu) dapat menjadi “Kode Genetik yang mati” bila tidak diasah sejak usia dini. Itulah juga yang menjadi bukti tidak terbantahkan, bahwa “Kode Genetik” tidaklah se-deterministik yang kita bayangkan—mengingat sifatnya dapat saja menjadi in-aktif bahkan menjelma “Kode Genetik yang mati” karena tidak pernah diaktifkan sepanjang hayat seseorang individu.

Karenanya, memiliki “Kode Genetik kriminal” ketika dilahirkan, tidak menjadi vonis bahwa sang anak akan tumbuh dewasa dan besar menjadi seorang kriminal, sepanjang “Kode Genetik kriminal” dalam dirinya dikondisikan untuk tidak pernah aktif, ditidurkan, serta perlahan menjadi “berkarat” sebelum kemudian menjelma “Kode Genetik yang mati”.

Yang karenanya juga, seorang manusia yang notabene selaku “subjek hukum” maupun warganegara, karenanya dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana bukan atas “Kode Genetik kriminal”-nya (karena jika demikian artinya semua orang ialah kriminal semata karena memiliki genetik tersebut), namun karena ruang bebas berupa “variabal bebas” yang ia miliki yang mana sifatnya tidak deterministik oleh sebab terkait pilihan bebas untuk bertindak atas dasar dorongan naluri “Kode Genetik kriminal” yang bersangkutan, ataukah untuk secara penuh kesadaran memilih tidak menyalurkan hasrat dorongan maupun impuls yang ditimbulkan oleh “Kode Genetik kriminal”-nya. Seseorang yang terlahir dengan bakat bawaan berupa “Kode Genetik kriminal”, hanya dapat dipidana dan dimintakan pertanggung-jawaban atas kegagalan yang bersangkutan dalam membina dan membawa alias mengontrol dirinya sendiri.

Seorang manusia bukanlah hegemodi dari “Kode Genetik diktator”—tiada dikenal “Kode Genetik diktator”, dimana bahkan kita masih dapat merekayasa tubuh kita yang sekalipun memiliki bakat “Kode Genetik gemuk” dengan pola diet yang sehat agar dapat menjaga berat badan secara seimbang antara asupan kalori dan penggunaannya sehari-hari. Perlakuan khusus, alias peng-kondisi-an itu sendiri, menjadi krusial, dimana bahkan “Kode Genetik berbahasa” pun ternyata dapat menjelma “Kode Genetik yang mati” akibat kerap dalam kondisi “dorma in-aktif”.

Sama seperti sebuah kebohongan, pastilah berupa serangkaian kebohongan demi kebohongan, tidak pernah berupa satu buah kepalsuan. Seseorang menjadi “kriminal”, oleh sebab juga akibat terbiasa dan membiasakan diri dengan pola asuh diri yang kerap bertindak secara melanggar etika, mematikan nurani, menutup mata dari perilaku buruk dirinya sendiri, bahkan hingga menikmatinya ketika telah menjadi kebiasaan dan bagian dari karakter dirinya, sehingga tiada lagi “rasa malu” terlebih “rasa takut” berbuat kejahatan.

Teringat kembali sebuah kisah yang lama sebelum ini pernah penulis baca pada suatu buku, dimana seorang kakek sedang bercengkerama dengan sang cucu. Sang kakek bercerita pada sang cucu, bahwa di dalam hati sang kakek hidup dua ekor serigala, yang satu ialah serigala yang baik dan yang satunya lagi ialah serigala yang jahat. Kedua serigala tersebut, selalu bertengkar dan berkelahi satu sama lain. Sang cucu kemudian bertanya kepada sang kakek, siapakah yang pada akhirnya menang dalam pertarungan kedua serigala itu? Jawab sang kakek ialah, “Serigala yang Kakek berikan makan setiap harinya.

Seseorang dengan “Kode Genetik kriminal” yang dorman, ketika terjerat kemiskinan akan menyesuaikan alias adaptasi kebiasaan hidup dengan hidup berhemat dengan menekan pengeluaran, atau bahkan berinovasi serta berkreativitas agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan. Sebaliknya, seseorang dengan “Kode Genetik kriminal” yang sangat aktif karena terbiasa dan dibiasakan diberi “makan”, maka akan memilih untuk melakukan “jalan pintas” bernama aksi kejahatan seperti pencurian, perampokan, korupsi, hingga penipuan, semata demi kesenangan hidup seolah tidak mampu “survive” hidup secara bersahaja. Karenanya, mendidik diri sendiri dengan baik, sangatlah dominan dalam menentukan “produk akhir” diri seseorang pribadi. Karenanya pula, seseorang tidak divonis karena “kelahiran”-nya.

Bila ada di antara para pembaca yang memiliki adik, saudara, murid, putera, atau puteri, yang menunjukkan gejala “Kode Genetik kriminal”, seperti gemar menyiksa hewan ataupun seperti aksi-aksi “kenakalan remaja” (juvenile delinquency), maka segera ambil pendekatan korektif-edukatif berupa merancang peng-kondisi-an berupa perlakuan tertentu secara khusus dan selektif dalam rangka membentuk ulang (re-shaping) pola sikap sang anak yang masih dalam tahap pembentukan dan pertumbuhan (belum “menjadi”), sebelum segala sesuatunya menjelma “terlambat” dan hanya bisa menyesal dikemudian hari.

Sikap-sikap anak yang gemar meniru dan mencari “role model” (proses pembelajaran dan eksplorasi), adalah bukti lainnya bahwa “Kode Genetik” tidaklah sedominan sebagaimana dugaan kita mengenai dominasi deterministik suatu “Kode Genetik”. Mungkin, akan lebih tepat dan lebih bijaksana, bila kita berkesimpulan bahwa manusia yang sudah terlampau cukup tua, sudah sukar untuk dididik dan dikoreksi karena “Kode Genetik”-nya sudah “menjadi”, berlainan dengan “Kode Genetik” kalangan usia muda yang masih dalam proses “menjadi” sehingga belum telah benar-benar “menjadi”.

Sebelum segala sesuatunya terlambat, peng-kondisi-an sejak usia dini menjadi faktor penting yang tidak dapat kita abaikan sebagai orang dewasa yang bertanggung-jawab mengasuh dan mendidik mereka. Masa lampau (warisan genetik) tidak lagi dapat diubah, dimana kita hanya dapat menyikapinya apa adanya secara transparan terhadap diri sendiri, namun kita dapat merancang serta membentuk masa depan yang “belum menjadi” dan masih sedang berproses dengan berbagai peluang yang terbuka lebar, yang artinya pula “Kode Genetik” memang tidaklah demikian deterministik terhadap masa depan seseorang, semata karena masih menyisakan ruang berdaya bagi setiap individu, tanpa terkecuali.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.