Ada HAK Asasi Manusia, maka Ada KEWAJIBAN Asasi Manusia (Prinsip RESIPROSITAS / RESIPROKAL)

ARTIKEL HUKUM

Tiada Yang Melarang Seseorang untuk Beribadah Sesuai Keyakinannya Masing-Masing, Sepanjang Tidak Merugikan, Mengganggu, ataupun Menyakiti Umat Beragama Lain. Kebebasan untuk Beribadah Dibatasi oleh Kewajiban untuk Menghormati dan Menghargai Umat Keyakinan yang Berbeda.

JIka sedang Beribadah Saja, Merugikan dan Menyakiti Kaum yang Berlainan, Bagaimana Praktik Intoleransi ketika Mereka Tidak sedang Beribadah?

Terdapat satu keyakinan keagamaan di Indonesia, dimana praktik ritualnya menimbulkan “polusi suara” menyakitkan telinga yang sehari-harinya amat-sangat mengganggu (seolah umat agama lain tidak berhak beribadah sesuai keyakinannya sendiri secara tenang bebas dari segala jenis gangguan), hingga praktik-praktik semacam parkir liar (meski para umatnya sejatinya adalah warga sekitar namun masih juga membawa kendaraan bermotor, malas berjalan kaki dari kediamannya, dan memarkirkannya secara liar persis di depan pagar kediaman warga setempat), maupun menutup seluruh ruas dan badan jalan lewat blokade maupun umat yang beribadah merambah seluruh badan jalan tanpa menyisakan sejengkal pun bagian dari jalan umum tersebut bagi pejalan kaki maupun pengguna jalan lainnya.

Timbul pertanyaan besar pada benak penulis, ketika para umat keagamaan tersebut melakukan praktik ritual (beribadah) saja, sudah demikian intoleran terhadap kaum yang berlainan, maka bagaimana bila mereka tidak sedang dalam kondisi beribadah atau diluar waktu ibadah agamanya? Jika sedang beribadah saja, menimbulkan “polusi suara” yang demikian mengganggu dan menyakitkan gendang telinga, maka bagaimana bila yang bersangkutan tidak sedang beribadah? JIka sedang beribadah saja, para umatnya tersebut memarkir kendaraan secara liar dan secara sembarangan tanpa izin pemilik rumah (cerminan arogansi), maka bagaimana bila tidak sedang beribadah? Jika sedang beribadah saja, para umat tersebut merampas hak publik atas jalan milik umum, maka bagaimana bila mereka tidak sedang beribadah? Edukasi, teladan ataupun pendidikan moral apakah yang terjadi bila bukan “moral hazard” bagi para umatnya itu sendiri?

Disaat bersamaan, terdapat bahaya dibalik kebiasaan praktik ritual demikian, meletakkan pilar monumen “standar moral” manusia yang baru, menggantikan “standar moral” bangsa beradab yang diwariskan oleh nenek-moyang Bangsa Indonesia yang pilarnya bersumber dari Buddhisme (sejak abad ke-5 Masehi hingga abad ke-15 Masehi, sehingga dikenal sebagai bangsa yang besar, toleran, dan penuh budi-pekerti disamping tata-krama kesantunan) perihal prinsip “sic utere” (lengkapnya “sic utere tuo ut alienum non laedas”, yang bermakna : “gunakan harta kita, properti kita, halaman kita, tetapi jangan sampai merugikan orang lain”). Prinsip “good neighbourliness” alias “no harm rule”, yang bermakna : “use your own property in such a manner as not to injure that of another”.

Tiada yang melarang seseorang untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing, sepanjang tidak menimbulkan “polusi suara” yang mengganggu dan menyakitkan gendang telinga atau indera pendengaran umat beragama lain yang dapat terluka akibat polusi desibel suara yang memiliki sifat lintas batas ruang—terlebih dalam volume yang sangat besar. Tiada yang melarang seseorang untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing, sepanjang tidak menimbulkan “parkir liar” yang mengganggu kenyamanan dan ketenangan hidup umat beragama lain untuk “keluar dan masuk ke dan dari rumah sendiri” (sama artinya merampas kemerdekaan warga pemilik rumah, perilaku yang “masih biadab” alias belum beradab). Tiada yang melarang seseorang untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing, sepanjang tidak menimbulkan praktik “tutup jalan” yang mengganggu dan merugikan para pengguna jalan atas jalan milik umum—alias bukan hanya jalan milik satu kaum keyakinan tertentu.

Berhubung “standar moral” manusia yang beradab ternyata telah dirusak oleh “standar moral baru” (yang bahkan diberi legitimasi serta justifikasi dogma-dogma keagamaan, suatu “perfect crime”) dengan wajah demikian, mulailah terjadi degradasi moraltias dan pergeseran pola perilaku dan kebiasaan serta budaya dari Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikenal luhur dan mulia. Contoh, dari teladan praktik “tutup jalan” yang selama ini ditampilkan oleh tempat ibadah bersangkutan, mulailah tumbuh dan berkembang praktik negatif lain sebagai eksesnya, seperti menggelar hajatan dengan cara menutup dan memblokade seluruh ruas jalan milik umum, sehingga merugikan seluruh pejalan kaki maupun pengguna jalan lainnya, hanya demi segelintir pihak yang menggelar hajatan, dimana yang semestinya bersikap toleran dan saling pengertian ialah pihak yang menggelar hajatan terhadap hak para pengguna jalan—seolah tidak terdapat gedung yang tersedia lebih patut sebagai tempat menggelar hajatan, dimana melangsungkan pernikahan dan melakukan hajatan dengan menanam benih “Karma Buruk” dengan merampas hak publik atas jalan milik umum disertai sumpah-serapah dan doa negatif dari para warga yang dirugikan atas praktik “tutup jalan” demikian.

Tiada yang melarang seseorang untuk hajatan sesuai budayanya masing-masing, sepanjang tidak menimbulkan praktik “tutup jalan” yang mengganggu dan merugikan hak-hak pengguna jalan atas jalan milik umum. Seolah belum cukup mengganggu, pihak keluarga mempelai yang menggelar hajatan masih juga membunyikan “sound system” musik dan lagu semalam suntuk hingga subuh dengan volume suara yang benar-benar mengganggu warga dalam radius satu kilometer (atau bahkan lebih) dengan suara musik “dangdut” yang menggelegar mengganggu waktu istirahat warga pemukim di wilayah perumahan yang semestinya bebas dari segala jenis gangguan agar dapat hidup tenang dan beristirahat—akibat “standar moral” baru yang rusak, dimana beribadah saja melakukan praktik “polusi suara” yang demikian tinggi desibelnya, maka bagaimana dengan praktik kehidupan bermasyarakat saat tidak sedang beribadah?

Di Indonesia dikenal para pedagang kaki lima yang kerap merambah trotoar yang menjadi hak para pejalan kaki, maupun praktik-praktik perambahan lainnya secara liar. Tiada yang melarang untuk berusaha mencari nafkah, namun mengapa dengan cara merugikan hak-hak pihak lain? Kesemua itu terjadi “tanpa malu” dan “tanpa takut”, mengingat telah dibiasakan dalam praktik peribadatan yang mengatas-namakan “Saya sedang beribadah, kalian mau larang saya beribadah dengan larang saya parkir liar di depan pagar rumah kalian?” Apapun menjadi mengatas-namakan agama. Seorang penjahat yang diberi busana keagamaan, disebut sebagai “pemuka agama yang hendak dikriminalisasi”—sekalipun perilakunya tidak mencerminkan nilai kemuliaan, keagamaan, maupun keluhuran Humanis, terlebih untuk dapat disebut sebagai bersikap Tuhanis.

Praktik-praktik seperti razia tempat makan bagi kaum yang berbeda keyakinan saat “bulan puasa” suatu keyakinan tertentu, menimbulkan “standar moral baru” berupa praktik “sweaping” oleh berbagai organisasi massa-organisasi massa yang berlabel keagamaan tertentu, ke berbagai tempat menyerupai aksi “main hakim sendiri” hingga aksi kekerasan, intimidasi, ancaman, dan anarkhi. Sekalipun, membuka usaha tempat makan bukanlah hal tabu terlebih kejahatan, memberi kesempatan kepada umat Buddhist yang melakukan praktik “Uposatha” (hanya makan ketika matahari terbit hingga matahari tepat berada di atas langit, selebihnya tidak makan hingga keesokan harinya) untuk menjual dan membeli makanan, jelas memiliki jam waktu puasa yang berbeda dengan praktik puasa keyakinan lainnya.

Pada satu sisi, mereka menuntut diberi ruang toleransi dan kebebasan beragama di negara yang mana keyakinan mereka adalah minoritas. Namun, ketika mereka telah menjelma mayoritas karena diberi ruang toleransi yang besar dan luas sehingga dapat bertumbuh subur, mereka justru ingin dan berupaya mematikan dan memberangus toleransi demikian, persis seperti apa yang terjadi pada kondisi Nusantara Bumi Pertiwi maupun yang terjadi pada Myanmar yang hendak mereka jadikan “Indonesia versi kedua”. Adalah suatu “standar berganda”, dimana pada negara-negara dimana mereka adalah minoritas, menyerukan hak asasi manusia perihal kebebasan beribadah dan memeluk agama. Namun, pada negara-negara dimana mereka adalah mayoritas, tiada satupun praktik berbagi ruang gerak maupun ruang bernafas bagi kaum yang memeluk keyakinan berbeda.

Terdapat ketimpangan tatanan dogma antar keyakinan-keagamaan, yang mengakibatkan kerukunan antar umat beragama tampaknya adalah menjelma “utopia” belaka. Betapa tidak, sebagai contoh konkret, Buddhisme mengajarkan praktik latihan “Ahimsa” (dalam terminologi Buddhisme, “ahimsa” bermakna “tanpa kekerasan”, bukan dicetuskan untuk pertama kalinya oleh Ghandhi) kepada para siswa Sang Buddha, lewat ajaran maupun teladan nyata hidup Sang Buddha itu sendiri, yang bahkan menghargai eksistensi hak hidup makhluk kecil semacam hewan.

Karenanya, kaum Buddhist senantiasa bersikap saling menghormati dan saling menghargai terhadap mereka yang non-Buddhist. Namun, yang selalu menjadi masalah ialah, apakah ajaran keyakinan-keagamaan lainnya, menerapkan ajaran dogma yang serupa dengan Buddhisme, yakni untuk tidak menyakiti dan tidak melukai umat pemeluk keyakinan yang berlainan? Ketimpangan atau kesenjangan demikian, mengakibatkan kaum Buddhist yang berpandangan hidup “Ahimsa” selalu tampak menyerupai “mangsa empuk” untuk dijadikan sasaran dan “buruan” kaum yang berlainan keyakinan. Hanya kalangan pengecut sekaligus biadab, yang menjadi orang baik sebagai “mangsa empuk”.

Sang Buddha sangat menghormati praktik kebebasan beragama, tiada pemaksaan ataupun praktik-praktik semacam kekerasan, intimidasi, ter0risme, ataupun kampanye-kampanye bernuansa ancaman akan “dicampakkan ke neraka” semata karena meyakini keyakinan yang berbeda, melarang kebebasan memeluk keyakinan, mewajibkan sesuatu yang sifatnya merampas kebebasan untuk meyakini ataupun untuk tidak meyakini, bahkan Sang Buddha menyatakan bahwa alam surgawi bukanlah monopoli umat Buddhist, dimana segalanya ditentukan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Sang Buddha juga tidak meminta, menuntut, mengemis-ngemis, terlebih mendesak agar seseorang yang mendengarkan ajaran dan bimbingannya agar secara resmi berpindah agama menjadi pemeluk Buddhisme. Sang Buddha telah utuh dan penuh, ada atau tidak adanya umat—itulah keagungan paling utama dari Sang Buddha.

Namun, yang selalu menjadi masalah ialah, apakah dogma ataupun perintah keagamaan pada keyakinan diluar Buddhisme, ada mengajarkan ajaran serupa dengan Buddhisme yang mempromosikan toleransi dan kebebasan beragama? Yang terjadi dalam tataran praktik ialah aksi-aksi pemaksaan terselubung maupun yang secara tersirat hingga yang ekstrim-radikal seperti ter0risme, “...-isasi”, pemaksaan lewat kekerasan, perintah untuk membunuh, merampok, hingga memenggal kepala kaum yang berbeda keyakinan, disamping segala bentuk intimidasi, ancaman, diskredit, pelecehan, dan segala bentuk kekerasan fisik lainnya yang dilegalkan dengan bukan hanya mengatas-namakan agama, namun merupakan perintah dalam Kitab Suci agama yang bersangkutan. Semakin patuh para perintah keagamaan (justru) menjadi kian intoleran serta radikal. Karenanya, menjadi tidak mengherankan bila Buddhisme adalah minoritas di berbagai penjuru negara di dunia manusia ini.

Umat Buddhist yang dikenal karena toleransi dan penghargaannya terhadap penghayatan hak asasi manusia perihal kebebasan untuk memeluk dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing, selalu menyatakan kepada sanak-saudaranya bahwa “semua agama adalah baik dan mengajarkan kebaikan”. Namun, apakah setiap agama diluar Buddhisme, mengajarkan toleransi dan penghargaan serupa terhadap hak asasi manusia tiap-tiap warganegara dan sesama anak bangsa? Itulah sebabnya, tidak jarang umat Buddhist berakhir pada kondisi “mati konyol” akibat kelewat ekstrim toleran dan mengusung “Ahimsa” dan amat patuh terhadap Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi pilar hak asasi manusia, terutama ketika di-“kafir-kafir”-kan” oleh kaum yang berbeda keyakinan yang dikenal gemar “mengkafir-kafirkan”.

Uraian di atas sama sekali tidak merujuk kepada nama satu keyakinan tertentu, karenanya menjadi “DISCLAIMER” dimana penulis tidak dapat diganggu-gugat, dimana ketersinggungan menjadi urusan pribadi para pembaca, yang disaat bersamaan artinya telah “mengena” pada sasaran. Silahkan bagi Anda untuk membuat kontra-narasi bila memiliki pandangan berbeda atau bertolak-belakang dengan ulasan demikian, pada medium karya tulis milik masing-masing para pembaca, sebagai bentuk atau simbol demokrasi independensi dalam penyampaian pemikiran serta pendapat yang merupakan hak asasi manusia sebagaimana diakui serta dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.