JENIUS KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI oleh HERY SHIETRA

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

MORALITY SHIFTING DISORDER, Bukan Saya yang Butuh Kamu, Namun Kamu yang Butuh Saya

ARTIKEL HUKUM

Semua dokter berharap mampu dan dapat menyembuhkan segala penyakit pasien yang menghadap kepadanya sebagai pengguna jasa layanan medik, terutama ketika penanganan medik berbiaya mahal. Namun, apakah harapan demikian, selalu realistis adanya dalam setiap situasi dan kondisi? Sang dokter mungkin saja memang memiliki keterampilan medis yang diakui oleh kalangan sesama rekan seprofesinya, pernah mendapat berbagai piagam penghargaan dibidang ilmiah kesehatan, namun terdapat faktor eksternal yang diluar kekuasaannya, semisal karena faktor akutnya penyakit sang pasien (bilamana datang tidak dapat kondisi terlambat karena penyakit telah stadium parah, bisa jadi akan lain cerita), atau ketika sang pasien justru bersikap “badung” dengan melanggar segala larangan maupun imbauan dari sang dokter untuk berpantang diri dari makanan tertentu atau kegiatan tertentu yang tidak baik bagi pemulihan kesehatan sang pasien itu sendiri.

Sebagai seorang Konsultan Hukum, sejatinya tidak jarang penulis pun mengalami problematika serupa yang dihadapi dalam keseharian kalangan medik. Ketika ada pasien dari sang dokter, yang katakanlah, tidak tertolong lagi dimana sang dokter menyatakan “angkat tangan” dan tidak dapat memberikan pertolongan medik apapun lagi serta telah diberi “vonis” akan meninggal dunia dalam waktu dekat, maka apakah artinya sang dokter memiliki reputasi yang buruk atau bahkan patut dicela, atau tidak berhak menuntut imbalan jasa? Keterampilan sang dokter, ialah faktor internal, yang masih termasuk dalam “lingkaran kekuasaan” pribadi sang dokter. Namun ketika kita berbicara faktor eksternal seperti diri pribadi sang pasien, itu menjadi “lingkaran kondisional” yang tidak dapat banyak dilakukan oleh sang dokter kecuali kesadaran pribadi serta kedisiplinan diri sang pasien.

Tidak jarang terjadi, setelah melewati masa sesi konsultasi yang panjang, menguras mental, dan meletihkan bersama dengan klien pengguna jasa konsultasi hukum yang penulis selenggarakan, baik sesi konsultasi, review surat dan akta, membuat “legal opinion” hingga menyusun konsep draf rancangan gugat-menggugat, namun ketika sang klien memilih untuk menyerah di tengah jalan dan memutuskan untuk menyerahkan semuanya kepada “takdir” atau mungkin juga “nasib” yang entah membawanya terombang-ambing ke “samudera” mana di benua “antah berantah”, maka itu menjadi keputusan sang klien yang harus penulis hormati dan hargai selaku penyedia jasa yang profesional—toh, sudah membayar tarif jasa, selebihnya bukan lagi tanggung-jawab moril maupun tanggung-jawab profesi penulis.

Semua telah penulis kerahkan secara “all out”, namun kesemua itu pada muaranya berpulang kembali kepada diri sang klien. Ketika seorang klien telah diberi motivasi, “pencerahan”, pandangan yuridis, gambaran mengenai konsekuensi hukum, opsi-opsi langkah hukum, cara-cara mitigasi dan alternatif solusi, pemetaan masalah dari “kacamata” legal-formil, bahaya dibalik suatu keputusan terkait hukum, hingga kepada rekomendasi serta kesimpulan yang dapat diberikan sebagai seorang Konsultan Hukum sebagaimana “best practice” yang ada, namun demikian pihak klien merasa tetap tidak memiliki “encourage” untuk menempuh opsi-opsi hukum demikian, atau bahkan memilih untuk mundur atau seperti “menyerah sebelum benar-benar berperang”, maka tidak pada tempatnya bagi seorang penyedia jasa konsultasi seputar hukum untuk memaksakan terlebih mendikte kehendak serta keputusan seorang klien pengguna jasa.

Tanggung-jawab profesi penyedia jasa konseling seputar hukum dan tanggung-jawab diri sang klien terhadap “nasib” hidupnya sendiri, adalah dua hal yang saling terpisah. Terdapat batasan, dimana seorang Konsultan Hukum tidak dapat melangkah lebih jauh. Seorang konsultan bukanlah seorang manipulator ataupun diktator yang mengambil keputusan bagi sang klien. Karenanya, serta menjadi kabar baiknya, tanggung-jawab moril menjadi tanggung-jawab masing-masing secara profesional.

Seorang Konsultan Hukum maupun seorang Dokter Gizi dan Kesehatan, ialah sebatas menjadi seorang “advisor” yang sekadar memberikan nasehat, dimana sang pasien atau klien hendak patuh / mendengar atau tidaknya, itu berpulang kepada diri pribadi yang bersangkutan. Seorang dokter mengatakan bahwa minyak goreng berbahaya bagi penderita kolesterol, namun apakah artinya sang dokter berhak untuk melarang pasiennya untuk tetap mengkonsumsi makanan berlemak penuh minyak?

Seorang Konsultan Hukum hanya sekadar memberitahu, menawarkan, menganjurkan, serta mengajarkan berbagai “perkakas hukum” (legal tools) yang dapat dipilih sebagai opsi upaya hukum, ataupun solusi-solusi lain yang bersifat alternatif, serta plus-minus dibalik setiap opsi yang ada hingga konsekuensi dibalik sikap “diam-pasif” itu sendiri. Sebanyak apapun dan sedahyat apapun “perkakas hukum” yang disuguhkan oleh seorang Konsultan Hukum, ketika sang klien tetap merasa tidak percaya diri untuk menggunakan “perkakas-perkakas hukum” yang tampak “kelewat canggih” di mata diri yang bersangkutan yang mengklaim sebagai “orang awam hukum”, maka tiada pilihan lain selain menyerahkan “nasib” kepada apa yang menjadi “takdir” dari sang klien itu sendiri. Jika sedang mujur, syukur-syukur bila keberuntungan berpihak kepadanya sekalipun lawannya memiliki segudang modus dan itikad tidak baik.

Dari pengalaman pribadi penulis selama berprofesi sebagai Konsultan Hukum di Indonesia, tiada yang lebih sukar daripada menangani atau mendampingi klien yang memiliki mental “MORALITY SHIFTING DISORDER”, suatu istilah psikologi mentalitas yang penulis perkenalkan, untuk menggambarkan sebuah kondisi dimana seseorang sejatinya adalah “korban”, namun seolah-olah dirinya adalah seorang atau sebagai “pelaku kejahatan”.

Fenomena batiniah semacam “morality shifting disorder”, dapat bersumber dari dua kemungkinan : 1.) dari diri pribadi individu bersangkutan, terutama berkat mental inferioritas yang rendah penghargaan terhadap dirinya sendiri; dan/atau 2.) dari manipulasi pikiran lewat penyalah-gunaan komunikasi verbal pihak-pihak manipulator yang mencoba menyetir dan menyetel ulang cara berpikir lawan bicaranya, disadari ataupun tidak oleh lawan bicaranya, terutama bila lawan bicaranya memiliki karakter yang serba “pasif” dan tidak berani mengungkapkan isi hatinya yang terdalam sehingga tenggelam dalam berbagai lontaran bahasa verbal sang manipulator. Seorang “korban” pun menjelma menjadi “penjahat”.

Terdapat suatu kebalikan beban moril disini, seolah-olah sang korban yang harus dipertanggung-jawabkan atau yang paling patut dimintakan pertanggung-jawaban. Singkatnya, sejatinya yang bersangkutan ialah “korban”, namun kemudian diposisikan atau didudukkan (re-framing) lewat manipulasi pikiran maupun manipulasi verbal oleh sang pelaku kejahatan, seolah-olah sang korban yang sejatinya ialah pelaku kejahatan itu sendiri—bahkan kemudian dipersalahkan oleh pelakunya atau membuat kondisi sedemikian rupa sehingga sang korban mempersalahkan dirinya sendiri.

Teknik-teknik “morality shifting” yang dibiasakan, dapat membentuk semacam pola terhadap daya pikir atau “budaya” dalam suatu lingkup rumah-tangga, menjelma “morality shifting disorder” pada satu atau lebih anggota keluarga, dimana hal demikian biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gejala “kelainan jiwa” yang agresif, merasa dirinya mampu memutar-balik realita tentang siapa “korban” dan siapa sang “penjahat” (bad guy) lewat aksi-aksi manuver “silat lidah” dengan berbagai klaim “semu” yang irasional hingga tuduhan demi tuduhan yang tidak logis, tendensius, parsial, penuh egosentris, timpang sebelah, dan cenderung manipulatif disamping “kekanakan” bagi yang memahami betul duduk-perkaranya.

Pernah terjadi, salah seorang klien dari penulis sejatinya adalah korban tindak pidana penggelapan atas harta warisan orangtuanya, namun tidak bersedia memproses pidana kepada salah seorang saudara kandungnya tersebut sekalipun telah dirugikan atas hak-hak warisnya. Sang saudara yang telah melakukan “penggelapan”, karena dibiarkan “meraja-lela” kemudian menjelma menjadi “makhluk yang besar kepala” dengan kembali hendak merampas dan menguasai aset-aset warisan lainnya. Untuk menyelamatkan aset-aset warisan lainnya yang tersisa, dalam rangka agar tidak dikuasai seorang diri oleh saudara dari klien penulis, maka sang klien meminta jasa konseling seputar hukum waris dari penulis—masalahnya, diri sang klien itu sendiri tidak memahami betul apa mau dan tujuan dirinya, selain semata seolah terombang-ambing dan tersapu ombak di tengah lautan luas tanpa tempat berpijak (helplessness syndrome).

Sang saudara dari klien penulis, hendak kembali merampas aset-aset warisan tersisa, namun dengan semata hendak memakai “aturan main” dari sang saudara dan meminta agar seluruh saudara kandungnya untuk patuh dan tunduk pada “aturan main” yang telah dirancang olehnya yang jelas-jelas hanya menguntungkan dirinya seorang semata. Telah penulis berikan peringatan secara berulang-kali hingga “bosan menyampaikan”, bahkan hingga beragam opsi lain yang dapat ditempuh selain tunduk pada “aturan main” saudara dari klien penulis yang terlihat jelas penuh pengelabuan dan tipu-muslihat, namun klien penulis bersikukuh ikut masuk ke dalam “lingkaran permainan” saudaranya tersebut—seolah sengaja masuk perangkap sekalipun telah penulis berikan peringatan serta konsekuensinya.

Ketika “somethings bad matters occurs during journey to the trap” berujung pada penyesalan diri sang klien, maka sang klien kini benar-benar hanya berhak untuk menyalahkan dirinya sendiri, dan mengucapkan selamat bergabung ke dalam lingkaran komunitas penderita “morality shifting disorder”. Para korban-korban tindak kejahatan manipulasi, yang sebelumnya telah diberi peringatan oleh orang-orang terdekatnya untuk berhati-hati namun tetap “berbaik sangka” dan memasuki “kandang harimau”, kemudian benar-benar tercabik oleh perbuatan pelaku, maka sang korban dikemudian hari hanya dapat kita temukan dalam kondisi “depresi”, dengan gejala yang sangat khas : menyalahkan dirinya sendiri dan lebih berfokus menyiksa diri, sementara fokusnya kepada siapa aktor kejahatan sesungguhnya seolah-olah tenggelam dan terlupakan oleh kenyataan “betapa bodoh dirinya sehingga tetap bersedia masuk perangkap”. Itulah bahaya terbesar dibalik teknik manipulasi “morality shifting”.

Yang mendesak agar aset-aset warisan dijual, ialah pihak saudara dari klien penulis. Yang membutuhkan uang dari penjualan aset warisan, ialah pihak saudara dari klien penulis. Yang selama ini telah menggelapkan harta warisan, ialah pihak saudara dari klien penulis. Yang demikian serakah serta tercela secara etika maupun moralitas, ialah pihak saudara dari klien penulis. Namun, lagi dan lagi, klien dari penulis menampilkan gelagak layaknya penderita gejala “morality shifting disorder”, dimana yang bersangkutan selalu bersikap seolah-olah dirinya yang membutuhkan saudaranya yang telah menggelapkan harta warisan, bukan sebaliknya, meski telah berulang-kali pula penulis menegaskan, bahwasannya saudara dari klien penulis yang membutuhkan dirinya, bukan dirinya yang membutuhkan saudaranya, sehingga daya tawar lebih sejatinya banyak dimiliki oleh klien dari penulis untuk menentukan “aturan main” guna me-mitigasi modus-modus manipulasi yang dimainkan maupun perangkap yang telah dipersiapkan oleh saudara yang bersangkutan.

Sebagai kesimpulan penutup dalam menghadapi klien dengan mental “morality shifting disorder” demikian, penulis membuat satu buah kesimpulan dari sebuah hipotesis yang cukup penulis ketahui dari dalam hati tanpa mengutarakannya secara lisan maupun tertulis kepada yang bersangkutan, bahwa “Selama dan sepanjang Anda masih menampilkan sikap-sikap seolah Anda yang lebih membutuhkan saudara Anda yang telah terbukti memiliki itikad tidak baik, bahkan dengan patuh masuk dalam lingkaran ‘aturan main’ bersangkutan, maka selama itu pula saudara Anda akan terus menang dan mendominasi Anda. Mulailah bersikap realistis, saudara Anda yang membutuhkan Anda, bukan sebaliknya bersikap seolah-olah Anda yang butuh saudara Anda.”

Sebagai contoh ilustrasi konkret sederhana lainnya, baru-baru ini seseorang diundang untuk datang membeli produk yang dijual oleh anggota keluarga penulis. Ditunggu hingga separuh hari, tanpa kabar apapun dirinya tidak menunjukkan “batang hidungnya”. Akhirnya anggota keluarga penulis meninggalkan lokasi dan pergi. Tak lama berselang setelah kepergian anggota keluarga penulis, orang tersebut barulah datang tanpa merasa bersalah karena terlambat “SEPARUH HARI” tanpa kabar-berita, tanpa juga mengucapkan permintaan maaf karena membuat anggota keluarga penulis menunggu dan membuang waktu separuh hari secara sia-sia tanpa kabar berita.

Ketika penulis yang masih berada di lokasi menyampaikan bahwa anggota keluarga penulis tersebut telah pergi meninggalkan lokasi setelah sekian lama menunggu dan lebih baik kini mencoba menghubungi saudara penulis tersebut lewat telepon, orang tersebut menyatakan tidak punya nomor kontak anggota keluarga penulis. Ketika kemudian penulis yang sudah diganggu dan direpotkan oleh “tamu tidak diundang” pada kediaman penulis tersebut, kemudian penulis hanya bersedia mengirim pesan singkat alih-alih menelepon anggota keluarga penulis (dengan pertimbangan bahwa anggota keluarga penulis “mungkin sedang mengemudi” agar tidak terpecah konsentrasinya, tamu tidak diundang ini bukanlah tamu yang patut diperlakukan secara istimewa, serta patut diberi “punishment” alih-alih diberi “reward” perlakuan yang tanggap), sang tamu justru tanpa bercermin atas segala kesalahannya kemudian memaki penulis sembari pergi meninggalkan kediaman penulis : “BUKANNYA DI-TELEPON, DASAR!” Mengapa tidak dirinya sendiri yang menelepon dan siapa yang suruh datang terlambat “separuh hari”?

Dirinya berhasil membuat penulis terkejut dan merasa bersalah, pada mulanya, sebelum kemudian penulis mencoba berpikir secara jernih untuk menganalisa situasi, kedudukan masing-masing pihak, dengan hasil kesimpulan yang berkebalikan dari perasaan awal yang menghinggapi diri dan benak penulis : bahwa dirinya memang tidak layak diberi perlakuan istimewa apapun, bahkan patut diberi “punishment”. Dirinya ternyata pergi tanpa mengucap permintaan maaf karena telah mengganggu dan menyita waktu produktif penulis yang sangat berharga.

Sungguh tamu tidak diundang yang tidak pernah diharapkan kehadirannya, dimana penulis merugi waktu produktif akibat orang-orang yang tidak layak menyita waktu penulis demikian. Demikianlah pelajaran hari ini dari “Universitas Kehidupan”, seni keterampilan dasar hidup sesi “morality shifting disorder” hari ini kita cukupi sampai disini dahulu untuk sementara. Cobalah untuk merefleksikan diri kita sendiri, apakah mungkin sampai saat kini kita membawa serta kemana pun kita berada “morality shifting disorder”? Orang-orang dengan bau badan “kurang sedap”, bahkan tidak mampu mencium aroma tidak sedap tubuhnya, semata karena telah “terbiasa” akibat “dibiasakan”.

Terdapat pula kaitan erat antara “morality shifting disorder” terhadap “learned helplessness syndrome” (alias “mental tidak berdaya” yang terinternalisasi lewat pengalaman buruk pribadi bersangkutan). “Learned helplessness” merupakan terminologi ilmu psikologi, untuk menggambarkan sebuah keadaan mental yang muncul setelah seeorang individu telah mengalami kondisi / situasi tertekan batin secara berulang kali. Karenanya mereka menjelma menjadi percaya bahwa mereka tidak dapat mengontrol ataupun mengubah situasi, sehingga mereka tidak akan mencobanya serta melepaskan keinginan atau harapan untuk mencoba—sekalipun ketika berbagai kesempatan untuk perubahan adalah tersedia pada satu waktu.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.