Janda / Duda Tanpa Anak, BUKAN AHLI WARIS, hanya Berhak atas Separuh Harta Gono-Gini

LEGAL OPINION

Hak Janda / Duda Tanpa Anak, hanya Sebatas Separuh Harta Bersama, Tidak Lebih, Sekalipun Pernah Menerima Hibah dari Almarhum Pasangannya

Question: Ada sarjana hukum yang bilang bahwa istri yang ditinggal meninggal suaminya, adalah ahli waris yang berhak atas harta warisan (peninggalan almarhum suaminya), sekalipun pasangan suami-istri ini selama menikahnya tidak pernah punya keturunan (anak kandung). Apa benar begitu? Jika memang benar begitu adanya, bisa seperti kejadian di cerita-cerita film, suami bunuh istri atau si istri bunuh suaminya agar semua dan seluruh hartanya jatuh ke tangan si suami atau si istri yang masih hidup. Orangtua atau saudara-saudara si almarhum, hanya bisa “gigit jari” karena tidak mendapat apapun, semua jatuh ke tangan istri yang kini men-janda.

Atau, semisal, mereka baru saja menikah, dimana usia pernikahan mereka bisa jadi kurang dari seumur jagung, namun pasangannya kemudian mendadak meninggal dunia karena penyakit, kecelakaan, atau lain sebab, maka sia-sialah seluruh pengorbanan serta jirih-payah orangtua si almarhum yang selama puluhan tahun telah melahirkan dan membesarkannya karena seluruh hartanya jatuh ke tangan sang istri yang baru dinikahi olehnya sebelum kemudian sang janda kembali menikah dengan suami barunya. Entah mengapa, sukar dicerna akal sehat.

Mengapa jadinya seperti mirip sebuah kisah sinetron? Akal sehat saya selaku orang awam, entah bagaimana mengatakan bahwa pandangan sarjana hukum sedemikian itu tidak logis adanya, tidak rasional dan terkesan ada “moral hazard” bahaya dibalik pandangan demikian. Bagaimana juga jadinya, bila saat mereka masih berumah-tangga, si suami ternyata pernah sempat hibahkan rumahnya ke istrinya, sebelum kemudian si suami meninggal, mirip seperti cerita konspirasi di film-film drama televisi.

Brief Answer: Janda ataupun duda dari pasangannya yang telah meninggal tanpa anak, bukanlah “ahli waris” alias tidak digolongkan sebagai “ahli waris” secara hukum, sekalipun perkawinan / pernikahan dengan suami / istrinya berlangsung secara hukum negara (bukan nikah “siri” sebatas secara agama), namun hanya sebatas mendapat hak berupa separuh “harga bersama” alias separuh “harta gono-gini” dari percampuran harta selama pasangan suami / istrinya masih berlangsung tatkala hidup berumah-tangga.

Peristilahan “ahli waris”, disebut sebagai demikian karena secara hukum seorang pemilik hak waris memiliki bagian hak minimum dari “budel waris”, dimana hak mutlak atas bagian minimum demikian dalam terminologi hukum waris disebut sebagai “legitieme portie”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) telah secara tegas dan eksplisit menyebutkan kaitan antara “ahli waris” dalam hubungannya dengan “legitieme portie”, yakni suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, BUKAN KARENA PERNIKAHAN. Sehingga dasar hukum yang ada telah sangat terang-benderang tanpa membuka ruang penafsiran yang menyimpang.

Perihal hibah yang sebelumnya pernah terjadi antara sang suami kepada sang istri selama masih hidupnya, ataupun sebaliknya dari istri kepada suami, bila kemudian sang suami atau istrinya meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan yang sah berupa anak kandung, maka hibah demikian akan diperhitungkan sebagai bagian hak “harta gono-gini” dari pasangan istri / suami yang ditinggalkannya sebagai duda / janda, bukan diperhitungkan sebagai bagian hak waris karena duda / janda tanpa keturunan bukanlah “ahli waris”—dimana bila ternyata hibah demikian melampaui separuh “harta bersama” yang menjadi hak “gono-gini” dari sang duda / janda yang ditinggalkan, maka “ahli waris” yang sah dan diakui oleh hukum dari sang almarhum, yakni orangtua (derajat kedua) ataupun saudara kandungnya (derajat ketiga) memiliki hak untuk menggugat pembatalan hibah demikian karena terdapat “legitieme portie” yang melindungi hak waris para “ahli waris”.

PEMBAHASAN:

Perihal waris-mewaris, terdapat dasar hukum pengaturan pembukanya sebagaimana ketentuan Pasal 611 KUHPerdata:

Cara memperoleh hak milik karena perwarisan menurut undang-undang atau menurut surat wasiat, akan dibicarakan dalam bab keduabelas dan ketigabelas buku ini.

Pasal 830 KUHPerdata:

Perwarisan hanya berlangsung karena kematian.

Pasal 832 KUHPerdata:

Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan yang tertera di bawah ini.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Perihal “luar kawin”, tidak lagi dianggap sebagai ahli waris sejak diterbitkannya Undang-Undang Perkawinan. Dapat pula dimaknai, bukan hanya istri di-“luar kawin” yang tidak tergolong sebagai ahli waris, anak di-“luar kawin” sekalipun tidak dapat digolongkan sebagai ahli waris, mengingat KUHPerdata dibentuk jauh sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan diterbitkan Indonesia. Karena itulah, kalangan kedua orangtua yang benar-benar menyayangi anak kandung buah hatinya, akan memilih menikah secara resmi berdasarkan hukum negara, bukan nikah siri—sebab dalam kostruksi nikah siri, konsekuensi yuridisnya ialah seorang anak hanya memiliki hubungan hukum dengan sang ibu kandung.]

Perihal “bagian mutlak” atas hak waris, alias “legitieme portie” dan pengurangan dari tiap-tiap pemberian yang kiranya akan mengurangkan bagian mutlak itu, baik dalam konteks hibah, hibah wasiat, maupun hak atas warisan, pengaturannya tertuang dalam Pasal 913 KUHPerdata:

Bagian mutlak atau legitieme portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.

[Note SHIETRA & PARTNERS : Perhatikan betul-betul penekanan yang disertakan pada pasal di atas, istri / suami tanpa keturunan bukanlah ahli waris, sebagaimana frasa “dalam garis lurus” baik ke atas maupun ke bawah. Tidak memiliki “legitime portie”, artinya tidak diakui oleh hukum sebagai golongan “ahli waris”. Karenanya, hak mutlak atas warisan menjadi identik dengan hak seorang “ahli waris”.]

Seorang atau lebih ahli waris yang mendapatkan hibah, akan diperhitungkan sebagai bagian hak waris “legitieme portie” ahli waris bersangkutan, sebagaimana secara ekplisit tertuang lewat norma Pasal 916a KUHPerdata: [Note SHIETRA & PARTNERS : Dimana pengaturan dalam pasal di bawah ini, tidak berlaku bagi seorang Janda / Duda tanpa keturunan, mengingat statusnya bukanlah “ahli waris” dari almarhum yang telah mendahuluinya.]

Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa waris, yang kendati menjadi waris karena kematian, namun bukan waris mutlak maka, apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami pemotongan-pemotongan sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan itu harus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka.

Pasal 920 KUHPerdata: [Note SHIETRA & PARTNERS : Lewat metode “argumentum per analogiam”, kaidah hukum di atas maupun di bawah ini dapat dipakai sebagai konstruksi hukum guna meng-analogikan yang sama sebagai “hibah diperhitungkan sebagai bagian hak atas separuh harta gono-gini” seorang istri / suami tanpa anak.]

Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jauh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka. Namun demikian, para ahli mutlak tak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal.

Ketentuan “aturan main” dari inventarisasi harta kekayaan pemberi waris terkait terjadinya hibah, terdapat pedomannya secara eksplisit sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 921 KUHPerdata: [Note SHIETRA & PARTNERS : Yang mana secara analogi, dapat pula diterapkan dalam konteks penghitungan hibah sebagai bagian dari separuh “harta gono-gini”, guna menentukan apakah hibah demikian telah melampaui atau tidaknya “separuh harga gono-gini”.]

Untuk menentukan besarnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, hendaknya dilakukan terlebih dahulu penjumlahan akan segala harta peninggalan yang ada di kala si yang menghibahkan atau mewariskan meninggal dunia; kemudian ditambahkannyalah pada jumlah itu, jumlah dari barang-barang yang telah dihibahkan di waktu si meninggal masih hidup, barang-barang mana harus ditinjau dalam keadaan tatkala hibah dilakukannya, namun mengenai harganya, menurut harga pada waktu si penghibah atau si yang mewariskan meninggal dunia; akhirnya dihitungnyalah dari jumlah satu sama lain, setelah yang ini dikurangi dengan semua utang si meninggal berapakah, dalam keseimbangan dengan kederajatan para ahli waris mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini harus dikurangi dengan segala apa yang telah mereka terima dari si meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari wajib pemasukan.

Perihal hak gugat pada “ahli waris” yang sah atas harta peninggalan almarhum yang pernah sempat dihibahkan kepada istrinya, sebelum kemudian suaminya meninggal dunia, pengaturan Pasal 924 KUHPerdata:

Segala hibah antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan, tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan itu harus dilakukan mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan demikian selanjutnya.

Penutup dan Kesimpulan SHIETRA & PARTNERS:

Dengan telah menyimak uraian dasar hukum yang relevan terkait “ahli waris”, telah ternyata pula tiada satupun dasar hukum yang mampu menciptakan persepsi seolah Janda / Duda tanpa anak kandung ialah ahli waris dari almarhum. Hanya ketika sang Janda / Duda memiliki anak kandung selama mereka berumah-tangga, barulah sang Janda / Duda yang hidup terlama akan digolongkan sebagai salah satu “ahli waris” dari almarhum beserta dengan para anak-anak kandung mereka disamping sebagai separuh hak atas “harta bersama” yang ditinggalkan almarhum.

Sehingga, menjadi tidak logis bila terdapat kalangan profesi dibidang hukum yang mengklaim memiliki argumentasi yuridis bahwa seorang Janda / Duda dengan status tanpa keturunan dikategorikan sebagai “satu-satunya ahli waris”? Bila klaim demikian dapat diberi pengakuan secara legal-formil adanya, maka tidak terbayangkan gejolak sosial yang mungkin timbul akibat jatuhnya seluruh harta milik sang suami, sekalipun kemudian sang istri menikah kembali dengan suami barunya—yang pada gilirannya yang harus membayar “social cost” ialah sang almarhum di “alam baka” maupun orangtua dan para saudara kandung sang almarhum. Norma hukum seyogianya bersifat solutif, alih-alih menjadi lembaran baru sengketa hukum yang berlarut-larut di kemudian hari.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.