Hibah dengan Akta Dibawah Tangan, dan Hibah dengan Akta Otentik, Bergantung pada Objek Hibah

LEGAL OPINION

Question: Apakah jika hendak hibah, harus pakai notaris? Bagaimana surat hibahnya keluarga kami buat sendiri, lalu dibawa ke notaris?

Brief Answer: Perlu diketahui serta diperjelas terlebih dahulu objek apakah yang hendak dihibahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Jika objek hibah berupa “benda tidak bergerak”, maka wajib dalam bentuk “akta otentik” alias akta yang dibuat oleh pihak notaris selaku “pejabat umum”, sebagai “unsur objektif causa yang sahih”, dengan ancaman “batal demi hukum” (null and void) bila syarat demikian tidak terpenuhi oleh ketika pemberi hibah hendak menghibahkan harta miliknya.

Sementara bila objek hibah hanya sekadar “benda bergerak”, maka tidak disyaratkan “akta otentik”, cukup “akta dibawah tangan”, bahkan tanpa akta sekalipun dimungkinkan secara hukum. Membuat sendiri akta hibah secara “dibawah tangan” untuk kemudian dibawa ke hadapan pihak notaris, itu dimungkinkan, dan istilah hukumnya ialah “waarmerking” oleh pihak notaris.

Waarmerking” itu sendiri memiliki makna ketika pihak notaris membubuhkan keterangan bahwa pihak penghadap menghadap pada tanggal sekian untuk menanda-tangani “akta dibawah tangan” yang dibawa dan telah disiapkan oleh pihak penghadap itu sendiri, sehingga pihak notaris hanya menjamin identitas pihak yang menanda-tangani, tanda-tangan, serta tanggal penanda-tanganan. Namun, dokumen yang dibubuhkan “waarmerking” itu sendiri tetap berstatus sebagai “akta dibawah tangan”, bukan menjelma menjadi berstatus “akta otentik”.

Hibah, sekalipun sifatnya sepihak dari pihak pemberi hibah, tanpa kontra-prestasi dari pihak penerima hibah, tetap tunduk pada “syarat sah perjanjian” sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), karenanya tetap dikategorikan sebagai sebuah perjanjian—yang karenanya juga tidak dapat ditarik kembali ataupun dibatalkan oleh pihak pemberi hibah sepanjang pihak penerima hibah telah menyatakan menerimanya [vide Pasal 1338 Ayat (4) KUHPerdata].

Namun bisa saja terjadi, dalam satu akta hibah, objek hibah bersifat majemuk, dalam artian terdapat objek berupa “benda bergerak” dan “benda tidak bergerak”, mengingat tiada kewajiban hukum satu buah akta hibah hanya berisi satu perbuatan hukum menghibahkan satu objek tunggal semata. Ketika hibah yang berlangsung ialah model hibah dengan objek majemuk demikian, maka wajib dalam bentuk “akta otentik”, mengingat di dalamnya terkandung salah satu objek hibah berupa “benda tidak bergerak”.

PEMBAHASAN:

Waarmerking” merupakan terminologi dalam praktik profesi notaris di Indonesia, tidak diwajibkan dalam akta hibah “dibawah tangan”. Adapun komponen dari pembubuhan “waarmerking” oleh pihak notaris, terdiri dari pencantuman dalam dokumen yang dibubuhkan “waarmerking”, antara lain:

- nomor register “waarmerking”;

- pencantuman: “Melihat dan mengesahkan tanggal dan tanda-tangan dari:

- identitas pihak menghadap dan menanda-tangani dokumen yang dibubuhkan “waarmerking”, sebagaimana Kartu Tanda Penduduk (KTP) pihak penghadap;

- keterangan dalam identitas penghadap : “...untuk sementara berada di ...”, bila penghadap menghadap notaris yang berbeda wilayah kota / kabupaten dengan kota / kabupaten dalam alamat KTP pihak penghadap.

- keterangan “Yang menanda-tangani dokumen di hadapan saya, Notaris.

- kota / kabupaten wilayah kerja notaris bersangkutan, disertai tanggal;

- tanda-tangan notaris disertai stempel notaris; serta

- nama dan keterangan statusnya sebagai notaris di kabupaten / kota apakah.

Adapun dasar hukum ketentuan mengenai “hibah” yang berlaku di Indonesia, terdapat pengaturannya yang dapat masyarakat rujuk dalam norma Pasal 1666 KUHPerdata:

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Sementara itu kewajiban penggunaan “akta otentik” dalam konteks hibah “benda tidak bergerak”, yang sifat imperatif dalam artian tidak dapat disimpangi oleh pihak penghibah, pengaturannya dapat kita rujuk secara eksplisit sebagaimana dalam norma Pasal 1682 KUHPerdata:

“Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”

Terdapat pengecualian penggunaan “akta otentik” bila warga hendak mengadakan hibah, khususnya dalam konteks objek hibah berupa “benda bergerak” semacam kendaraan roda empat ataupun kendaraan roda dua, dimana bahkan hibah semacam ini dimungkinkan untuk terjadi secara lisan, pengaturannya dapat kita jumpai sebagaimana norma Pasal 1687 KUHPerdata:

“Pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang kepada si penunjuk dari tangan satu ke tangan lain, tidak memerlukan suatu akta, dan adalah sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima pemberian itu atas nama si penerima hibah.”

Kesimpulan dan Penutup dari SHIETRA & PARTNERS:

Banyak kita jumpai akta hibah di tengah-tengah masyarakat, ternyata hanya berwujud “akta dibawah tangan” sekalipun substansi atau isi kandungan di dalamnya mencantumkan objek-objek majemuk berupa “benda bergerak” dan “benda tidak bergerak”. Ketika hal itu yang terjadi, maka terdapat “cacat hukum” dalam Akta Hibah dimaksud, sehingga tidak memenuhi “syarat sah perjanjian”, karenanya “batal demi hukum” sebagai konsekuensinya. Karenanya, kenali serta identifikasi terlebih dahulu ojek hibah yang hendak dihibahkan, guna menentukan model akta yang memenuhi prosedur hukum, apakah cukup secara “dibawah tangan” ataukah wajib berupa “akta otentik”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.