Restoratif Justice Perkara Pidana Tidak
dapat Dipaksakan dan Tidak Imperatif Sifatnya
Tidak Memaafkan Tersangka / Terdakwa, merupakan Hak Prerogatif Korban Pelapor
Question: Dalam perkara pidana, apakah perdamaian (dalam rangka “restorative justice”) sifatnya dipaksakan ataukah fakultatif yang tentatif saja sifatnya?
Brief Answer: Menolak upaya perdamaian, dapat berangkat dari pilihan
korban pelapor maupun dari sikap pihak terlapor / tersangka itu sendiri,
sekalipun di hadapan hakim pihak terdakwa kemudian menyatakan terdakwa
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi, serta sekalipun
pihak terdakwa mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan Penuntut Umum. Sama seperti
perkara perdata, perdamaian tidak dapat dipaksakan sifatnya, sehingga
konsensual yang merupakan prasyarat mutlak “keadilan restoratif” tidak terjadi
antara kedua belah pihak, karenanya perkara dilanjutkan dengan digelarnya
persidangan hingga terbit vonis atau amar putusan hakim di persidangan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkretnya
sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Langsa perkara pidana register Nomor 61/Pid.B/2025/PN.Lgs
tanggal 08 Juli 2025, dimana terhadap dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU),
Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang,
bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa
perbuatan Terdakwa tersebut telah memenuhi unsur kedua dalam Dakwaan Penuntut
Umum yaitu melakukan Dengan terang-terangan dan tenaga bersama Menggunakan
kekerasan terhadap orang;
“Menimbang,
bahwa terhadap pembelaan secara lisan dari Terdakwa melalui Penasehat hukum
yang diajukan Terdakwa yang pada pokoknya memohon diberikan hukuman yang
seringan-ringannya dan seadil-adilnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa maksud
dan tujuan penjatuhan pidana pada diri Terdakwa tidaklah semata-mata bersifat
pembalasan atas kesalahan yang telah diperbuat, akan tetapi mempunyai tujuan
yang lebih mulia yaitu untuk menjaga agar Terdakwa khususnya dapat menyadari
atas kesalahan yang telah dilakukan, agar Terdakwa dapat memperbaiki sikap,
prilaku dan perbuatan sehingga di masa datang tidak mengulangi perbuatannya
serta dapat kembali ke tengah masyarakat.
“Majelis
hakim dalam menjatuhkan putusannya terhadap Terdakwa telah pula
mempertimbangkan dari berbagai faktor yang terbaik bagi Terdakwa, keluarga
Terdakwa dan rasa keadilan serta perlindungan terhadap masyarakat serta
generasi penerus bangsa kedepannya. Selain itu juga punya tujuan yang lebih
mulia agar dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat pada umumnya untuk tidak
membuat kesalahan sebagaimana yang telah Terdakwa lakukan, sehingga setelah
Majelis Hakim bermusyawarah serta mempertimbangkan secara arif dan bijaksana
terhadap fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan, Majelis Hakim
berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dihubungkan dengan
kesalahan Terdakwa dan tujuan dijatuhkannya pidana sebagaimana dalam amar
putusan ini dianggap telah sepadan dan adil sesuai dengan kesalahan Terdakwa
dan berdampak pemasyarakatan bagi Terdakwa;
“Menimbang,
bahwa berdasarkan Majelis mencermati tindak pidana yang dilakukan Terdakwa
terhadap Korban di dalam perkara ini dimana Terdakwa didakwa melanggar
ketentuan pidana dalam pasal 170 Ayat (1) KUHP dan Terdakwa di muka persidangan
membenarkan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum terhadapnya dan tidak
mengajukan keberatan, maka Majelis berpendapat bahwa perkara a quo termasuk
perkara yang dapat diterapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif (Perma 1 Tahun 2024), namun apakah dalam perkara a quo
dapat atau tidak Majelis mengadilinya berdasarkan keadilan restorative berdasarkan
Perma 1 Tahun 2024), Majelis mempertimbangkannya sebagaimana pertimbangan hukum
di bawah ini;
“Menimbang,
bahwa berdasarkan Perma 1 Tahun 2024 diketahui bahwa Hakim dapat menerapkan
pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif melalui
pemulihan kerugian Korban dan/atau pemulihan hubungan antara Terdakwa, Korban,
dan masyarakat melalui putusan;
“Menimbang,
bahwa dalam perkara a quo antara Terdakwa dan Korban tidak ada terjadi
perdamaian antara Terdakwa dan Korban sebelum persidangan yang mana Terdakwa sudah di panggil untuk melakukan
perdamaian tidak hadir dari Perangkat Desa namun Terdakwa tidak hadir maka
Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa tidak berniat menyelesaikan masalah
tersebut dengan kekeluargaan;
“Menimbang,
bahwa selama pemeriksaan persidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal–hal yang
dapat melepaskan dari pertanggung-jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar
dan atau alasan pemaaf, sehingga Terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas
kesalahannya dan harus dijatuhi pidana;
“Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan
dan yang meringankan Terdakwa;
Keadaan yang memberatkan:
- Tidak
ada perdamaian antara Terdakwa dengan Korban;
Keadaan yang meringankan:
- Terdakwa menyesali perbuatannya;
- Terdakwa berjanji tidak mengulanginya lagi;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa Januar Alias Nuwen Bin
Suherni A telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang”
sebagaimana Dakwaan Alternatif Kesatu Penuntut Umum;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut
diatas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang
telah dijalan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.